BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tekanan darah tinggi, baik prehipertensi maupun hipertensi, merupakan permasalahan yang patut diperhatikan karena merupakan salah satu manifestasi dari kejadian gizi lebih yang semakin meningkat. Yang et al. (2015) menyebutkan bahwa di Amerika Serikat remaja dengan gizi lebih lebih banyak yang mengalami tekanan darah tinggi dibandingkan remaja dengan Indeks Massa Tubuh (IMT) normal. Perhatian akan prehipertensi dan/atau hipertensi pada saat remaja dapat mencegah keparahan ketika dewasa (Morrison et al., 2012). Prevalensi kasus peningkatan tekanan darah pada remaja di dunia hampir mencapai 20% (McNiece et al., 2007) Di Indonesia, besar prevalensi hipertensi pada remaja adalah 6-15%, dimana Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) merupakan 5 besar provinsi yang memiliki prevalensi hipertensi tertinggi (Balitbangkes, 2010). Faktor risiko yang berperan pada peningkatan prevalensi tekanan darah tinggi pada remaja mencakup perubahan gaya hidup multikomponen yang meliputi asupan makanan, aktivitas fisik, serta dari sisi psikologis (Altman & Wilfley, 2015). Selain itu genetik dan obesitas juga ikut berperan. Geleijnse et al. (2004) menyebutkan faktor lain yang ikut berperan adalah kebiasaan merokok, kurang tidur, dan stres. Menurut Ranabir & Reetu (2011) stres sebagai salah satu faktor risiko tekanan darah tinggi didefinisikan sebagai ketidakmampuan seseorang untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya. Sedangkan persepsi stres merupakan gambaran stres seseorang terhadap dirinya sendiri. Pada remaja stres merupakan permasalahan yang cukup sering ditemukan. Hal ini disebabkan karena pada masa remaja ada pengaruh perubahan hormonal. Pengaruh hormonal oleh hipotalamic-pituitary-adrenocortical (HPA) axis akan menyebabkan timbulnya stres (Essex, 2011). Penyebab timbulnya stres pada remaja adalah karena tekanan peer group, permasalahan di rumah serta tuntutan performa di 1
2 sekolah (Moksnes et al., 2010). Cohen (1981) menyebutkan bahwa persepsi stres dapat diukur dengan menggunakan kuesioner Perceive Stress Scale (PSS). Timbulnya stres oleh HPA-axis dikarenakan pengaruh perubahan kadar hormon kortisol (Essex, 2011). Hosseini et al., (2014) menyebutkan bahwa peningkatan kadar kortisol ditemukan pada populasi dengan tingkat stres tinggi. Selain pengaruhnya pada stres, Abraham et al. (2013) menyatakan bahwa peningkatan kadar kortisol juga sejalan dengan peningkatan nilai IMT. Sebagai hormon steroid utama, kortisol memiliki peran dalam metabolisme lemak, protein, dan karbohidrat (Jameson, 2006). Fungsi kortisol juga terlihat dalam pengaturan tekanan darah melalui rennin-angiotensin-system (RAS) (Forhead et al., 2000; Mcbride & Cole, 2014), serta pengaturan hipotalamicpituitary-adrenocortical (HPA) axis (Hunter et al., 2014). Walaupun mekanisme pengaturan tekanan darah oleh kortisol telah banyak dibahas, namun hasilnya masih belum konsisten. Penelitian kortisol yang dihubungkan dengan status gizi telah banyak dipelajari tetapi penelitian pada populasi remaja masih jarang dilakukan (Rodriguez et al., 2015). Selain itu di Indonesia masih belum ada penelitian terkait persepsi stres sebagai salah satu faktor risiko peningkatan darah melalui mekanisme pengaturan kadar kortisol saliva. Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, penelitian Hubungan Persepsi Stres dan Kadar Kortisol Saliva Terhadap Tekanan Darah Pada Remaja SMA di Kota Yogyakarta penting untuk dilakukan. B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, dapat dirumuskan permasalahan penelitian, sebagai berikut: 1. Apakah remaja SMA dengan obesitas memiliki persepsi stres, kadar kortisol saliva dan tekanan darah yang berbeda dibandingkan remaja SMA tanpa obesitas? 2. Apakah ada hubungan yang bermakna antara persepsi stres terhadap kadar kortisol saliva pada remaja obesitas dan tanpa obesitas di Kota Yogyakarta?
3 3. Apakah ada hubungan yang bermakna antara kadar kortisol saliva dan tekanan darah pada remaja dengan dan tanpa obesitas di Kota Yogyakarta? 4. Apakah persepsi stres dan kadar kortisol saliva memiliki hubungan dengan tekanan darah pada remaja di Kota Yogyakarta? C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui perbedaan persepsi stres, kadar kortisol saliva, dan tekanan darah pada remaja SMA dengan dan tanpa obesitas di Kota Yogyakarta. 2. Mengetahui hubungan persepsi stres terhadap kadar kortisol saliva pada kelompok remaja obesitas dan kelompok remaja tanpa obesitas di Kota Yogyakarta. 3. Mengetahui hubungan kadar kortisol saliva terhadap tekanan darah pada kelompok remaja obesitas dan kelompok remaja tanpa obesitas di Kota Yogyakarta. 4. Mengetahui hubungan persepsi stres dan kadar kortisol saliva terhadap tekanan darah pada remaja SMA di Kota Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian Dengan diadakannya penelitian ini, diharapkan dapat memberi manfaat kepada: 1. Peneliti. Penelitian ini dapat menambah wawasan mengenai hubungan persepsi stres, kadar kortisol saliva, dan tekanan darah pada remaja obesitas, serta dapat menambah pengalaman peneliti di lapangan. Selain itu juga penelitian ini merupakan ajang untuk mempraktikan dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang telah didapat dalam perkuliahan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi rujukan awal untuk penelitian terkait obesitas dan tekanan darah pada populasi remaja di kemudian hari. 2. Siswa dan orang tuanya. Hasil penelitian ini dapat menggambarkan kondisi kesehatan responden, khususnya terkait kadar kortisol saliva dan tekanan darah. Selain itu responden juga dapat mengetahui status gizi serta tingkat persepsi stres dan aktivitas fisik mereka.
4 E. Keaslian Penelitian 1. Penelitian berjudul Cortisol, dehydroepiandrosterone sulphate, their ratio and hypertension: evidence of associations in male veterans from the Vietnam Experience Study oleh Carroll et al. (2011) bertujuan untuk mengetahui hubungan dehydroepiandrosterone sulphate (DHEAS) dan hipertensi, serta untuk mengetahui hubungan antara rasio kortisol:dheas dengan hipertensi. Rancangan penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah metode potong lintang (cross sectional) dengan subjek penelitian veteran perang. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kortisol berhubungan dengan hipertensi, begitu juga dengan rasio kortisol:dheas juga berhubungan dengan hipertensi. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah pada populasi penelitian dan juga akan melihat persepsi stres yang digambarkan melalui kuesioner PSS. 2. Penelitian oleh Abraham et al. (2013) dengan judul Cortisol, Obesity, and the Metabolic Syndrome: A Cross-Sectional Study of Obese Subjects and Review of the Literature merupakan penelitian yang ingin mengetahui pengaruh kortisol dan stres dalam obesitas dan sindroma metabolik. Penelitian ini berdesain cross sectional dan dilakukan pada populasi dewasa (18-75 tahun). Hasil penelitian ini menunjukan bahwa kortisol berhubungan positif dengan peningkatan IMT dan lingkar pinggang pada laki-laki. Selain itu juga berpengaruh pada tekanan sistolik dan diastolik pada wanita. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada populasi, yaitu menggunakan populasi remaja berusia 15-18 tahun. 3. Penelitian Cortisol, alpha amylase, blood pressure and heart rate responses to food intake in men aged 50 70 years: importance of adiposity oleh Jayasinghe et al. (2014) bertujuan untuk mengetahui apakah overweight dan obesitas memiliki respon sympatho-adrenal medullary (SAM) dan HPA-axis (ditunjukkan oleh kadar kortisol) yang lebih tinggi dibandingkan populasi dengan status gizi normal. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental yang dilakukan pada laki-laki berusia 50-70 tahun. Hasilnya menunjukkan bahwa responden dengan status gizi lebih memiliki kadar kortisol yang lebih
5 tinggi dibanding responden dengan status gizi normal. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan terletak pada jenis dan rancangan, serta populasi penelitian.
Lampiran 6.