IV HASIL DAN PEMBAHASAN

dokumen-dokumen yang mirip
Gambar 7 Peta wilayah Kota Bandung

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENGELOLAAN SAMPAH PERMUKIMAN DI KAWASAN PERDESAAN KABUPATEN PONOROGO ( STUDI KASUS KECAMATAN BUNGKAL )

KAJIAN MODEL PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT DI KECAMATAN WONOCOLO KOTA SURABAYA

WALIKOTA KEDIRI PERATURAN WALIKOTA KEDIRI NOMOR 5 TAHUN 2012 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA KEDIRI WALIKOTA KEDIRI,

KAJIAN MODEL PENGELOLAAN SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT (STUDI KASUS DI KECAMATAN WONOCOLO KOTA SURABAYA)

BAB I PENDAHULUAN. dan mutlak. Peran penting pemerintah ada pada tiga fungsi utama, yaitu fungsi

ADLN UNIVERSITAS AIRLANGGA BAB I PENDAHULUAN. 13 tahun 2012 tentang pedoman pelaksanaan reduce, reuse, dan recycle melalui

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SAMPAH

PENGOLAHAN SAMPAH DENGAN SISTEM 3R (REDUCE, REUSE, RECYCLE)

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA KEMENTERIAN DALAM NEGERI. Pengelolaan Sampah. Pedoman.

BAB I PENDAHULUAN. Sampah merupakan limbah yang dihasilkan dari adanya aktivitas manusia.

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Kota Gorontalo ± 4 km. Jumlah penduduk pada tahun 2011 adalah Jiwa

PENGELOLAAN PERSAMPAHAN

MENTERI DALAM NEGERI REPUBLIK INDONESIA PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 33 TAHUN 2010 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN SAMPAH

PROVINSI KALIMANTAN TENGAH PERATURAN BUPATI KATINGAN NOMOR : 3 TAHUN 2016 TENTANG

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

PERANSERTA PEMERINTAH, SWASTA, DAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA SEMARANG DINAS KEBERSIHAN & PERTAMANAN KOTA SEMARANG TAHUN 2010

Pengelolaan Sampah Mandiri Berbasis Masyarakat. Oleh: Siti Marwati, M. Si Jurusan Pendidikan Kimia FMIPA UNY

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BUPATI POLEWALI MANDAR

BAB V IMPLEMENTASI PROGRAM KOMPOSTING RUMAH TANGGA

PERATURAN DAERAH KOTA BENGKULU NOMOR 02 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA BENGKULU DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA WALIKOTA BENGKULU,

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA TENGAH

PERATURAN DESA SEGOBANG NOMOR 7 TAHUN 2017 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA KEPALA DESA SEGOBANG,

KAJIAN PELUANG BISNIS RUMAH TANGGA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH

LEMBARAN DAERAH KOTA BANDUNG PERATURAN DAERAH KOTA BANDUNG NOMOR : 27 TAHUN 2001 TENTANG PENGELOLAAN KEBERSIHAN DI KOTA BANDUNG

BAB IV STRATEGI PENGEMBANGAN SANITASI

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 2 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PEMERINTAH KOTA PANGKALPINANG

BUPATI TRENGGALEK PERATURAN BUPATI TRENGGALEK NOMOR 92 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN TRENGGALEK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

ASPEK MANAJEMEN (INSTITUSI, PERATURAN DAN PEMBIAYAAN)

I. PENDAHULUAN Latar Belakang

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN GARUT

Lampiran IA Surat Edaran Menteri Pekerjaan Umum Nomor : 12/SE/M/2011 Tanggal : 31 Oktober 2011

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

E. Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi mengenai sistem pengelolaan sampah yang dilakukan di

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI. 1. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan responden pemukiman elite

Potensi Penerapan Pengelolaan Sampah Permukiman Berbasis 3R di Kelurahan Tunjungsekar Kota Malang

pendahuluan dilakukan untuk memperoleh hasil pengolahan atau daur ulang yang mengefektifkan pengolahan sampah selanjutnya, termasuk upaya daur ulang.

BUPATI PATI PROVINSI JAWA TENGAH

RANCANGAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR... TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH

BUPATI KOTAWARINGIN BARAT PERATURAN BUPATI KOTAWARINGIN BARAT NOMOR 4 TAHUN 2013 TENTANG

KERANGKA PENDEKATAN TEORI. manusia yang beragam jenisnya maupun proses alam yang belum memiliki nilai

BAB I PENDAHULUAN. Tabel 1. Jumlah Penduduk dan Timbulan Sampah di Provinsi DKI Jakarta Tahun

Kata kunci : Sampah, Reduksi, daur ulang, kawasan komersial dan Malioboro

BAB I Permasalahan Umum Persampahan

III. METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. pola konsumsi masyarakat menimbulkan bertambahnya volume, jenis dan

V. PASAR TRADISIONAL KOTA BOGOR

BAB II DESKRIPSI OBJEK PENELITIAN. 1. Gambaran Umum Dusun Kaliabu RW 13 dan Bank Sampah Karesma

BUPATI GRESIK PROVINSI JAWA TIMUR

Pengelolaan Sampah Terpadu. Berbasis Masyarakat Kelurahan Karang Anyar

PEMERINTAH KABUPATEN KUTAI BARAT

OLEH : SIGIT NUGROHO H.P

BAB VII ANALISIS DAYA DUKUNG LINGKUNGAN UPS MUTU ELOK. Jumlah Timbulan Sampah dan Kapasitas Pengelolaan Sampah

BAB VI PENGELOLAAN SAMPAH 3R BERBASIS MASYARAKAT DI PERUMAHAN CIPINANG ELOK. menjadi tiga macam. Pertama, menggunakan plastik kemudian

PENGELOLAAN SAMPAH KERTAS DI INDONESIA

WALI KOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTANN TIMUR TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA DAN SAMPAH SEJENIS SAMPAH RUMAH TANGGA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 3 TAHUN 2010 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN PASURUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2 Kerangka Pengembangan Sanitasi

Konsep penanganan sampah dengan sistem koperasi. Oleh Kelompok 9

PERANAN IBU-IBU DALAM PENGELOLAAN KOMPREHENSIF SAMPAH BERBASIS MASYARAKAT DI KELURAHAN SUKOMULYO KABUPATEN LAMONGAN

BAB I PENDAHULUAN. upaya telah dilakukan oleh pemerintah untuk mengetaskan kemiskinan, tetapi hingga

B P L H D P R O V I N S I J A W A B A R A T PENGELOLAAN SAMPAH DI PERKANTORAN

Kata Kunci: Evaluasi, Masa Pakai, Reduksi, Pengomposan, Daur Ulang

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

BAB I PENDAHULUAN. kurang tepat serta keterbatasan kapasitas dan sumber dana meningkatkan dampak

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KAJIAN PEMBIAYAAN SAMPAH DALAM MENDUKUNG PENGELOLAAN SAMPAH DI PASAR JOHAR KOTA SEMARANG TUGAS AKHIR. Oleh: Andrik F. C. A.

BAB 1 PENDAHULUAN. umumnya termasuk Indonesia adalah pertumbuhan penduduk yang sangat

BAB III STUDI LITERATUR

INVENTARISASI SARANA PENGELOLAAN SAMPAH KOTA PURWOKERTO. Oleh: Chrisna Pudyawardhana. Abstraksi

EVALUASI SISTEM PEMBUANGAN AKHIR SAMPAH DI KOTA TRENGGALEK

STRATEGI PENGELOLAAN ASET SISTEM PERSAMPAHAN DI KOTA POSO

BAB 1 : PENDAHULUAN. dan pengelolaan yang berkelanjutan air dan sanitasi untuk semua. Pada tahun 2030,

WALIKOTA SORONG PERATURAN DAERAH KOTA SORONG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA SORONG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEPARA NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DI KABUPATEN JEPARA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEPARA.

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA MENTERI PERHUBUNGAN REPUBLIK INDONESIA,

BANTAENG, 30 JANUARI (Prof. DR. H.M. NURDIN ABDULLAH, M.Agr)

PERAN KELUARGA DAN KEBIJAKAN PEMERINTAH KOTA PALANGKA RAYA DALAM PENGELOLAAN SAMPAH RUMAH TANGGA

LEMBARAN DAERAH KOTA SAMARINDA

PERATURAN DAERAH KOTA TASIKMALAYA NOMOR : 29 TAHUN 2003 T E N T A NG KEBERSIHAN, KEINDAHAN DAN KELESTARIAN LINGKUNGAN

V. GAMBARAN UMUM. Desa Lulut secara administratif terletak di Kecamatan Klapanunggal,

BAB I PENDAHULUAN. Kepadatan penduduk yang tinggi dengan pertumbuhan cepat di kota bila

QANUN KABUPATEN BIREUEN NOMOR 15 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM DENGAN NAMA ALLAH YANG MAHA KUASA BUPATI BIREUEN,

MODEL PENGEMBANGAN KELEMBAGAAN PENGELOLAAN PERSAMPAHAN KOTA BERBASIS PARTISIPASI MASYARAKAT (STUDI KASUS KOTA BANDUNG) ENDANG SARASWATI

IV. KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I P E N D A H U L U A N

Kajian Timbulan Sampah Domestik di Kelurahan Sukamenak Kecamatan Margahayu Kabupaten Bandung

1. Pendahuluan ABSTRAK:

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 29 TAHUN 2011 TENTANG PENGELOLAAN SAMPAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI TEMANGGUNG,

V. PERAN PEMANGKU KEPENTINGAN DALAM PENGELOLAAN KEBERSIHAN LINGKUNGAN BERKELANJUTAN KOTA BANDAR LAMPUNG. Abstrak

BAB I PENDAHULUAN A. Latarbelakang

BAB III PERAN DINAS LINGKUNGAN HIDUP KOTA CIREBON DALAM PENGOLAHAN SAMPAH TAHUN 2016

BAB III KERANGKA PENGEMBANGAN SANITASI

PENGELOLAAN SAMPAH GEDUNG GEOSTECH

BAB I PENDAHULUAN. mengabaikan pentingnya menjaga lingkungan hidup. Untuk mencapai kondisi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi:

IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Pengelolaan Sampah Kota Bandung Pengelola persampahan Kota Bandung adalah Perusahaan Daerah Kebersihan. Sebagian besar sampah Kota Bandung berasal dari rumah tangga (66%), sedangkan sisanya berasal dari pasar, daerah komersial, jalan, industri, fasilitas umum, dan saluran drainase. Sampah organik mendominasi sampah kota Bandung yaitu sekitar 63,56% dari berat sampah. Sampah anorganik sebanyak 36,44% terdiri dari berbagai benda kering, yaitu kertas (10,42%), plastik (9,79%), kaca (1,45%), kain (1,70%), dan lainnya 13,08% (BPS 2003). Gambaran tentang perkembangan jumlah sampah Kota Bandung selama kurun waktu 2000-2004 disajikan pada Tabel 6. Tabel 6 Jumlah sampah Kota Bandung tahun 2000-2004 (BPS 2000-2004) 2000 2001 2002 2003 2004 Sumber 2.141.837 jiwa 2.136.260 jiwa 1.867.010 jiwa 2.228.268 jiwa 2.232.624 jiwa Volume Volume Volume Volume Volume % % % % % (m3/hr) (m3/hr) (m3/hr) (m3/hr) (m3/hr) Pemukiman 4.283,95 60,61 3.926,90 60,61 3.921,76 57,92 3.921,76 60,61 4.951,98 66,02 Pasar 675,70 9,56 615,50 9,50 618,58 9,14 618,58 9,56 618,50 8,25 Pertokoan, Restoran 330,78 4,68 303,20 4,68 602,82 8,90 302,82 4,68 302,80 4,04 & Hotel Penyapuan Jalan 494,05 6,99 447,10 6,90 452,29 6,68 452,29 6,99 452,30 6,03 Kawasan Industri 872,19 12,34 799,50 12,34 798,46 11,79 798,46 12,34 798,50 10,65 Fasilitas Umum 397,22 5,62 364,10 5,62 363,64 5,37 363,64 5,62 363,60 4,85 Saluran, Lain-lain 14,13 0,20 22,51 0,35 12,94 0,20 12,91 0,20 12,90 0,16 Jumlah sampah per hari 7.068,03 100,00 6.478,81 100,00 6.770,49 100,00 6.470,46 100,00 7.500,58 100,00 4.1.1. Teknik Operasional Kota Bandung dibagi menjadi 3 wilayah operasional penanganan persampahan, yaitu Bandung Barat (9 kecamatan), Bandung Tengah (9

42 kecamatan), dan Bandung Timur (8 kecamatan). Pengelolaan sampah oleh PD Kebersihan terbatas pada sampah dari rumah tangga, jalan, pasar, pertokoan dan terminal. Pengelolaan sampah meliputi pengumpulan sampah dari sumber, pemindahan di tempat pembuangan sementara (TPS), pengangkutan ke tempat pembuangan akhir (TPA), dan pengolahan dan pembuangan di TPA. Diagram operasional PD Kebersihan disajikan pada Gambar 11. Gambar 11 Diagram operasional PD Kebersihan Pengumpulan sampah dari rumah tangga dilakukan oleh Rukun Tetangga/Rukun Warga (RT/RW), sedangkan penyapuan dan pengumpulan sampah jalan dan pasar dilakukan oleh PD Kebersihan. Peralatan yang digunakan untuk pengumpulan sampah adalah gerobak kapasitas 1 m3. Sampah hasil pengumpulan selanjutnya dibawa ke TPS. Sampah kemudian dituang ke dalam kontainer 10 m3 yang terdapat di TPS. Jumlah TPS yang tersebar di Kota Bandung adalah 237 lokasi. Kontainer kemudian diangkut oleh truk arm-roll ke TPA. Pengumpulan sampah pertokoan dan terminal dilakukan dengan truk yang secara langsung akan membawa sampah hasil pengumpulan ke TPA. Cara ini digunakan mengingat jumlah sampah pertokoan dan terminal yang relatif tinggi dan kecilnya kemungkinan memperoleh lahan untuk TPS di area tersebut. Tingkat kemampuan PD Kebersihan dalam pengangkutan sampah baru mencapai sekitar 60-75% dari jumlah sampah. Keadaan ini terutama disebabkan oleh terbatasnya

jumlah peralatan pengangkutan. Tabel 7 berikut memberikan gambaran tingkat kemampuan pengangkutan sampah dibandingkan jumlah sampah. 43 Tabel 7 Tingkat kemampuan pengangkutan sampah (PD Kebersihan 2005) Keadaan Volume sampah (m3) Volume terangkut (m3) Persentase terangkut (%) Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 7068,03 6478,81 6770,49 6470,46 7500,58 4382,14 4643,80 4247,13 4904,01 4512,90 62,00 71,70 62,73 75,80 60,00 Salah satu penyebab dari rendahnya tingkat kemampuan pengangkutan sampah adalah terbatasnya sarana pengangkut sampah berupa truk. Bila sebuah truk dengan kapasitas angkut 10 m3 bisa bekerja 3 rit per hari maka dibutuhkan 250 buah truk. Pada kenyataannya PD Kebersihan mempunyai 110 buah truk dengan kondisi hanya 57 buah yang berfungsi layak jalan. Tingkat kemampuan pengangkutan akan semakin menurun mengingat tidak berfungsinya TPA Leuwigajah sehingga harus digunakan TPA lain yang jaraknya semakin jauh dari Kota Bandung. Jarak yang semakin jauh membuat truk hanya mampu bekerja kurang dari 3 rit per hari. Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Pelayanan Persampahan sesuai Keputusan Menteri Permukiman dan Prasarana Wilayah Nomor 534/KPTS/M/2001 menyebutkan bahwa perbandingan antara jumlah truk dengan jumlah penduduk adalah satu truk per 5000 jiwa. Berdasarkan ketentuan tersebut maka pada tahun 2004 sebenarnya dibutuhkan 446 buah truk untuk melayani 2.232.624 penduduk Kota Bandung.

44 4.1.2. Organisasi Pada Gambar 12 yang menunjukkan struktur organisasi tampak bahwa Kota Bandung dibagi menjadi empat wilayah operasional yaitu Wilayah Bandung Utara, Wilayah Bandung Barat, Wilayah Bandung Timur dan Wilayah Bandung Selatan. Setiap wilayah operasional membawahi Seksi Kebersihan untun setiap kecamatan. Seksi Kebersihan ini merupakan perpanjangan tangan dari PD Kebersihan di setiap kecamatan. Visi dari Perusahaan Daerah Kebersihan adalah Bandung Bersih Tanggung Jawab Bersama, dengan misi yaitu menyelenggarakan usaha jasa pengelolaan sampah/ kebersihan kepada masyarakat di permukiman, pasar dan tempat kegiatan usaha dan Pemerintah Kota dalam mengelola kebersihan jalan dan fasilitas umum. Tugas pokok dari PD Kebersihan adalah melestarikan lingkungan, secara khusus memelihara dan meningkatkan kebersihan kota sebagai usaha menjamin terwujudnya kota yang rapi, bersih dan sehat. Jumlah pegawai PD Kebersihan 1.696 orang, terdiri dari pegawai administrasi sebanyak 440 orang dan pegawai operasional 1.256 orang, diantaranya terdapat 225 orang berstatus pegawai harian. Dibandingkan dengan jumlah penduduk Kota Bandung tahun 2005, yaitu 2.232.624 jiwa, maka perbandingan antara personil pengelolaan sampah dengan penduduk adalah 1 : 1300 (PD Kebersihan 2005). Sesuai fungsinya sebagai pengelola sampah Kota Bandung, PD Kebersihan berfungsi sebagai operator dan regulator. Sebagai operator, PD Kebersihan adalah pengelola tunggal dalam arti tidak melakukan kerjasama dengan pihak swasta dalam melaksanakan tugas pelayanan persampahan. Keadaan ini membuat fungsi regulator tidak berjalan optimal.

46 4.1.3. Pembiayaan Pembiayaan pengelolaan persampahan Kota Bandung diperoleh dari retribusi yang dibayar oleh masyarakat dan dana dari pemerintah kota. Jumlah penerimaan dan pengeluaran PD Kebersihan dari tahun 2000 sampai 2004 disajikan pada Tabel 8. Pada tahun 2000 sampai dengan tahun 2003 PD Kebersihan mengalami defisit namun pada tahun 2004 jumlah penerimaan sudah lebih besar dibandingkan pengeluaran. Besarnya retribusi sampah bagi setiap jenis sumber sampah ditentukan sesuai Surat Keputusan Walikota Nomor 44 Tahun 2002 tentang Tarif Jasa Pelayanan Kebersihan. Sumber sampah atau objek retribusi dibagi menjadi empat kategori yaitu rumah tinggal, usaha komersial dan non komersial, panti sosial dan tempat ibadah, pedagang pasar dan pedagang tidak tetap, dan kendaraan umum. Bagi rumah tinggal, retribusi adalah untuk membiayai operasi di TPS, pengangkutan sampah ke TPA dan pembuangan sampah di TPA. Rumah tinggal dibagi menjadi enam kelas berdasarkan luas tanah atau luas bangunan atau daya listrik terpasang. Pemungutan retribusi untuk rumah tinggal dilakukan dengan bekerja sama dengan Perusahaan Umum Listrik Negara (PLN), sehingga besarnya retribusi ditentukan berdasarkan daya listrik terpasang. Pada prakteknya, retribusi sampah sifatnya tidak menyatu dengan rekening listrik sehingga tidak semua pelanggan listrik membayar retribusi sampah. Hal ini menyebabkan hasil pungutan retribusi hanya mencapai 56% dari target (PD Kebersihan 2005). Berdasarkan hal ini maka perlu dibuat sistem pemungutan retribusi yang lebih efektif, misalnya dilakukan oleh RT/RW yaitu bersamaan dengan saat pemungutan iuran sampah lokal. Tabel 8 Jumlah penerimaan dan pengeluaran (PD Kebersihan 2005) Keadaan Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 Penerimaan *) 12.331 15.254 17.295 20.232 22.201 Pengeluaran *) 13.592 14.572 17.963 20.929 21.762 *) dalam juta rupiah

47 4.1.4. Peraturan Peraturan yang berhubungan dengan pengelolaan persampahan Kota Bandung meliputi : 1. Peraturan Walikota Bandung Nomor 101 tahun 2006 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Perusahaan Daerah Kebersihan Kota Bandung. 2. Peraturan Daerah Nomor 27 tahun 2001 tentang Pengelolaan Kebersihan di Kota Bandung. 3. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 11 tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 03 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan. 4. Keputusan Walikota Bandung Nomor 644 Tahun 2002 tentang Tarif Jasa Kebersihan di Kota Bandung. Berdasarkan peraturan-peraturan yang ada, terdapat peraturan yang mengatur masalah usaha 3R dengan tujuan minimasi jumlah sampah yaitu Peraturan Daerah Nomor 27 tahun 2001. Sehubungan dengan kejadian longsor pada TPA Leuwigajah diterbitkan beberapa kali Surat Edaran Walikota Bandung yang berisi himbauan kepada masyarakat untuk melakukan kegiatan 3R. 4.1.5. Peranserta Masyarakat Bentuk peranserta masyarakat yang sudah berjalan adalah membayar iuran sampah untuk biaya opersional pengumpulan sampah oleh RT/RW dan retribusi untuk biaya opersional pemindahan, pengangkutan dan pembuangan sampah ke TPS oleh PD Kebersihan. Sistem operasi yang digunakan baik oleh RT/RW maupun PD Kebersihan adalah sistem tercampur sehingga masyarakat tidak terdorong untuk melakukan pemilahan di sumber. Pembinaan masyarakat untuk mau melakukan pemilahan juga belum tampak dilakukan oleh RT/RW ataupun PD Kebersihan. Aspek peran serta atau partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah kota dalam model pengembangan kelembagaan melibatkan seluruh stakeholder. Penelitian melibatkan masyarakat penghasil sampah yaitu rumah tangga; masyarakat pengelola sampah yaitu RT, RW, kelurahan dan kecamatan;

48 masyarakat pemanfaat sampah yang meliputi pemulung, lapak, bandar, pabrik kompos dan produk daur ulang; masyarakat pemerhati lingkungan dan pemerintah. Dengan mengkaji keinginan dan potensi dari setiap kelompok masyarakat dapat meningkatkan tingkat partispasi dalam usaha mengurangi atau meminimalkan sampah di sumber. 4.2. Peran Stakeholder dalam Pengelolaan Sampah 4.2.1. Masyarakat Penghasil Sampah Menurut Matsunaga dan Themelis (2002) pengelolaan sampah menjadi suatu masalah pada wilayah dengan tingkat kepadatan penduduk yang relatif tinggi. Bila tingkat kepadatan masih rendah atau dibawah 50 jiwa per hektar maka pengelolaan sampah kota bisa dilakukan secara swakelola atau oleh masyarakat secara langsung. Hal ini ditunjukkan di wilayah pedesaan tidak diperlukan pengelolaan sampah. Berdasarkan hal tersebut maka pengkajian karakteristik rumah tangga terhadap pengelolaan sampah dilakukan terhadap tiga wilayah dengan tiga tingkatan kepadatan yaitu kepadatan tinggi, sedang dan rendah. Masyarakat penghasil sampah domestik adalah rumah tangga. Sebagai salah satu stakeholder dalam pengelolaan sampah kota, rumah tangga dianalisis dalam tiga wilayah kepadatan. Masyarakat penghasil sampah merupakan faktor penting dalam pengelolaan sampah, karena merupakan sumber sampah terbesar. Bila penghasil sampah ini dapat menurunkan timbulan sampah, maka akan mengurangi beban pengelola sampah. Metode cross tabulation (chi square) digunakan untuk mengetahui hubungan antara karakteristik rumah tangga dengan aspek pengelolaan sampah di rumah. Hubungan yang diperoleh adalah dalam hal (1) jumlah sampah perhari, (2) yang menangani sampah di rumah sebelum dibuang, (3) pengetahuan tentang 3R (reduce, reuse, recycling), (4) pemilahan, (5) pelaksanaan reduce, (6) pelaksanaan reuse dan (7) kesediaan melakukan recycling (daur ulang). Aspek nomor (4) sampai nomor (7) merupakan komponen partisipasi masyarakat. Hasil uji hubungan antara karakteristik rumah tangga dengan pengelolaan sampah di rumah dengan menggunakan cross tabulation (chi square) disajikan pada Lampiran 5.

49 Analisis pertama adalah pada aspek jumlah sampah. Pada kepadatan tinggi, faktor karakteristik rumah tangga yang berhubungan dengan jumlah sampah adalah jenis rumah yang didiami saat ini. Pada kepadatan sedang, terdapat lima faktor karakteristik rumah tangga yang berhubungan dengan jumlah sampah, yaitu faktor: (1) pendidikan terakhir kepala keluarga, (2) pekerjaan kepala keluarga, (3) pendapatan kepala keluarga, (4) jumlah jiwa dalam rumah, dan (5) status kepemilikan rumah yang didiami saat ini. Pada kepadatan rendah, terdapat tiga faktor karakteristik rumah tangga yang berhubungan dengan jumlah sampah, yaitu faktor: (1) pendapatan kepala keluarga, (2) jumlah jiwa dalam rumah, dan (3) keberadaan halaman rumah. Analisis kedua adalah pada aspek yang menangani sampah di rumah sebelum dibuang. Pada kepadatan tinggi, tidak ada faktor karakteristik rumah tangga yang berhubungan dengan yang menangani sampah sebelum dibuang. Pada wilayah dengan kepadatan sedang terdapat dua faktor karakteristik rumah tangga yang berhubungan dengan yang menangani sampah di rumah, yaitu faktor pendidikan terakhir kepala keluarga dan pendidikan terakhir isteri. Pada wilayah dengan kepadatan rendah terdapat enam faktor karakteristik rumah tangga, yaitu: (1) pendidikan terakhir kepala keluarga, (2) pekerjaan kepala keluarga, (3) pendapatan kepala keluarga, (4) pendidikan terakhir isteri, (5) pekerjaan isteri dan (6) jumlah jiwa dalam rumah. Analisis ketiga adalah pada aspek pengetahuan tentang 3R (reduce, reuse dan recycling). Pada kepadatan tinggi, terdapat satu faktor karakteristik rumah tangga yang berhubungan dengan pengetahuan tentang 3R yaitu pendapatan kepala keluarga. Pada wilayah dengan kepadatan sedang terdapat tiga faktor karakteristik rumah tangga yang berhubungan dengan pengetahuan tentang 3R, yaitu faktor pendidikan terakhir kepala keluarga, pekerjaan kepala keluarga dan pendapatan kepala keluarga. Pada wilayah dengan kepadatan rendah terdapat lima faktor karakteristik rumah tangga, yaitu: (1) umur kepala keluarga, (2) pekerjaan kepala keluarga, (3) pendapatan kepala keluarga, (4) status kepemilikan rumah dan (5) keberadaan halaman rumah. Analisis keempat adalah pada aspek pemilahan. Pada kepadatan tinggi, terdapat dua faktor karakteristik rumah tangga yang berhubungan dengan

50 pemilahan yaitu pendidikan terakhir kepala keluarga dan pendapatan kepala keluarga. Pada wilayah dengan kepadatan sedang terdapat satu faktor karakteristik rumah tangga yang berhubungan dengan pemilahan yaitu status kepemilikan rumah yang didiami saat ini. Pada wilayah dengan kepadatan rendah, terdapat empat faktor karakteristik rumah tangga, yaitu: (1) pendidikan terakhir isteri (2) pekerjaan isteri, (3) status kepemilikan rumah yang didiami saat ini, dan (4) keberadaan halaman. Analisis kelima adalah pada aspek pelaksanaan reduce. Pada wilayah dengan tingkat kepadatan tinggi, terdapat satu faktor yang berhubungan yaitu pendapatan kepala keluarga. Pada wilayah dengan kepadatan sedang terdapat empat faktor karakteristik rumah tangga yang berhubungan dengan pelaksanan reduce, yaitu faktor: (1) pekerjaan kepala keluarga, (2) pendapatan kepala keluarga, (3) status kepemilikan rumah yang didiami saat ini, dan (4) keberadaan halaman rumah. Pada wilayah dengan kepadatan rendah, juga terdapat empat faktor karakteristik rumah tangga, yaitu: (1) umur kepala keluarga, (2) pekerjaan kepala keluarga, (3) pendapatan kepala keluarga, dan (4) keberadaan halaman rumah. Analisis keenam adalah aspek pelaksanaan reuse pada tingkat rumah tangga. Pada kepadatan tinggi, terdapat empat faktor karakteristik rumah tangga yang berhubungan dengan pelaksanaan reuse pada tingkat rumah tangga. Keempat faktor tersebut adalah: (1) umur kepala keluarga, (2) pendapatan kepala keluarga, (3) pekerjaan isteri dan (4) status kepemilikan rumah yang didiami. Pada wilayah dengan kepadatan sedang terdapat empat faktor karakteristik rumah tangga yang berhubungan dengan pelaksaan reuse, yaitu: (1) pekerjaan kepala keluarga, (2) pendapatan kepala keluarga, (3) pekerjaan isteri dan (4) status kepemilikan rumah yang didiami saat ini. Pada wilayah dengan kepadatan rendah, terdapat tiga faktor karakteristik rumah tangga yang berhubungan dengan pelaksaan reuse. Ketiga faktor tersebut yaitu: (1) pendidikan terakhir kepala keluarga, (2) pendapatan kepala keluarga, dan (3) pekerjaan isteri. Analisis ketujuh adalah aspek kesediaan untuk melaksanakan daur ulang pada tingkat rumah tangga. Pada kepadatan tinggi, hanya terdapat satu faktor yaitu umur kepala keluarga. Pada wilayah dengan kepadatan sedang juga hanya terdapat satu faktor karakteristik rumah tangga yang berhubungan dengan kesediaan untuk

Tabel 9 Ringkasan hubungan karakteristik rumah tangga dengan aspek pengelolaan sampah pada tiga wilayah kepadatan (hasil analisis) Jumlah sampah per hari Yang menangani sampah di rumah sebelum dibuang Pengetahuan tentang 3 R (reduce, reuse, recycling) Pemilahan Pelaksanaan reduce Pelaksanaan reuse Kesediaan melakukan recycling (daur ulang) T S R T S R T S R T S R T S R T S R T S R Umur kepala keluarga Pendidikan terakhir kepala keluarga Pekerjaan kepala keluarga Pendapatan kepala keluarga Pendidikan terakhir istri kepala keluarga Pekerjaan istri Jumlah jiwa dalam rumah Status kepemilikan rumah Keberadaan halaman rumah Keterangan : T S R : : : kepadatan tinggi kepadatan sedang kepadatan rendah : ada hubungan : tidak ada hubungan

52 melaksanakan daur ulang yaitu pekerjaan isteri. Pada wilayah dengan kepadatan rendah, tidak terdapat faktor karakteristik rumah tangga yang berhubungan dengan kesediaan untuk melaksanakan daur ulang. Keseluruhan hasil analisis disajikan pada Lampiran 1, sedangkan rangkuman hasil analisis disajikan pada Tabel 9 berikut. Tabel 10 Ringkasan dari hasil uji pada masyarakat penghasil sampah (hasil analisis) Faktor Keadaan mayoritas Wilayah dengan kepadatan Tinggi Sedang Rendah Jumlah sampah 10 liter X X Yang menangani sampah sebelum dibuang Ibu X X Pengetahuan tentang 3R Pemilahan Pelaksanaan reduce Pelaksanaan reuse Pernah dengar tetapi tidak paham Tidak melakukan pemilahan Pernah dengan membeli produk isi ulang Melakukan reuse dengan menggunakan kembali botol bekas air mineral untuk tempat air minum X X X X X X Kesediaan untuk mendaur ulang Tidak bersedia X Keterangan : : ada hubungan, X : tidak ada hubungan Tabel 10 ini merupakan ringkasan hubungan antara karakteristik rumah tangga dengan aspek pengelolaan sampah berdasarkan kondisi mayoritas. Tabel rinci dan lengkap disajikan pada Lampiran 1. Mayoritas masyarakat penghasil sampah memproduksi sampah rumah tangga adalah 10 liter per rumah per hari. Kondisi ini nyata terdapat pada wilayah kepadatan sedang, namun tidak nyata pada wilayah dengan kepadatan tinggi dan rendah. Pada aspek yang menangani sampah sebelum dibuang, mayoritas menetapkan ibu (isteri) sebagai orang yang bertanggung jawab. Aspek ini nyata pada wilayah dengan kepadatan rendah. Pada

53 wilayah dengan kepadatan tinggi dan sedang kondisinya tidak nyata. Mayoritas masyarakat pernah mendengar tentang 3R namun tidak memahaminya. Keadaan ini tampak nyata pada wilayah dengan kepadatan rendah, namun tidak nyata pada wilayah dengan kepadatan tinggi dan sedang. Demikian juga dengan pemilahan, mayoritas masyarakat tidak melakukan pemilahan. Keadaan ini nyata di wilayah dengan kepadatan rendah. Usaha reduce berupa pernah membeli produk ulang telah dilakukan oleh mayoritas masyarakat, dan nyata di wilayah kepadatan sedang dan rendah. Mayoritas masyarakat juga telah melakukan reuse berupa menggunakan botol bekas air mineral untuk tempat air minum. Keadaan ini nyata di wilayah dengan kepadatan tinggi dan sedang, dan tidak nyata di wilayah kepadatan rendah. Mayoritas masyarakat tidak bersedia untuk melakukan daur ulang sampah. Hal ini nyata di wilayah kepadatan tinggi dan sedang, dan tidak nyata di wilayah kepadatan rendah. Berdasarkan keadaan mayoritas tersebut di atas tampak bahwa dibutuhkan upaya sosialisasi tentang 3R kepada masyarakat, terutama kepada kaum ibu yang mayoritas adalah orang yang menangani sampah sebelum dibuang. Pengetahuan tentang pentingnya pemilahan menjadi sangat penting karena merupakan langkah awal dalam 3R. Besarnya peran ibu juga dinyatakan oleh Schenberg et al. (1999) yang melakukan penelitian tentang gender dan sampah. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa perempuan bertanggung jawab untuk kebersihan dan kesehatan di dalam rumah tangga. Perempuan dengan kelas sosial lebih tinggi cenderung mendelegasikan tugas menangani sampah kepada pembantu rumah tangga, sedangkan perempuan dengan kelas sosial lebih rendah lebih berperan langsung berupa melakukan minimisasi sampah dengan cara pemilahan. 4.2.2. Masyarakat Pengelola Sampah Masyarakat pengelola sampah terdiri dari kelompok Rukun Tetangga (RT), Rukun Warga (RW), Kelurahan dan Kecamatan. Sebagai salah satu dari stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan sampah, peran kelompok masyarakat pengelola sampah ini dikaji perannya dalam pengelolaan sampah berbasis partisipasi masyarakat. Hasil pengkajian adalah berupa hubungan antara RT, RW,

54 kelurahan, dan kecamatan dalam pengelolaan sampah (Tabel 11). Secara keseluruhan keadaan tersebut disajikan pada Lampiran 2. Aspek kegiatan di lingkungan RT yang berkaitan cukup signifikan dengan pengelolaan sampah adalah aspek topik sosialisasi. Umur dan jenis pekerjaan ketua RT mempunyai hubungan yang nyata dengan topik sosialisasi dan pelatihan tentang pengelolaan sampah. Aspek kegiatan di lingkungan RW yang berkaitan cukup signifikan dengan pengelolaan sampah adalah aspek topik sosialisasi, penetapan besaran iuran sampah, sanksi bagi masyarakat yang tidak membayar iuran, partisipasi kaum ibu, dan hubungan dengan RT. Berdasarkan keadaan tersebut, ketua RT dan RW sangat berperan dalam menentukan topik sosialisasi yang sesuai untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat dalam hal pengelolaan sampah. Sesuai dengan tingkat pengetahuan masyarakat maka diperlukan sosialisasi tentang 3R. Mengingat bahwa ibu adalah sosok yang paling berperan dalam mengelola sampah rumah tangga maka sosialisasi dapat difokuskan kepada kaum ibu. Bulle (1999) mengatakan bahwa dihampir semua situasi, perempuan adalah pengatur atau manajer rumah tangga dan karenanya bertanggung jawab atas pengelolaan sampah demi kebersihan di dalam dan di sekitar rumah. Ketua RW adalah koordinator dari pengelolaan sampah oleh RT dilingkungan RW. Untuk itu maka ketua RW mempunyai hubungan dengan ketua RT dalam bentuk pembinaan, berupa penetapan besarnya iuran beserta sanksi bagi yang tidak membayar iuran sampah. Kedua hal ini dilakukan dengan memperhatikan aspirasi masyarakat. Bulle (1999) menyebutkan bahwa pembayaran iuran sampah juga dilakukan oleh ibu rumah tangga sehingga perempuan penting untuk dilibatkan dalam menentukan besarnya retribusi pelayanan sampah. Aspek partisipasi kaum ibu ditingkatkan melalui sosialisasi dengan topik peningkatan pengetahuan tentang pentingnya 3R. Beberapa hasil penelitian memperlihatkan bahwa kaum ibu berpotensi besar untuk diikutsertakan dalam program-program partisipasi dalam pengelolaan sampah.

Tabel 11 Ringkasan hubungan karakteristik rukun tetangga, rukun warga, kelurahan, dan kecamatan dengan aspek pengelolaan sampah pada pengelolaan persampahan Kota Bandung (hasil analisis) Rukun Tetangga (RT) Rukun Warga (RW) Kelurahan Kecamatan Umur Pendidikan Pekerjaan Hubungan dgn R. Tangga Hubungan dengan RW Umur Pendidikan Pekerjaan Hubungan dengan RT Hubungan dgn Kelurahan Umur Pendidikan Pekerjaan Hubungan dengan RW Hubungan dgn Kecamatan Umur Pendidikan Pekerjaan Hubungan dengan Kelurahan Hubungan dgn PD Kebersihan Topik sosialisasi pengelolaan sampah Penetapan besaran iuran sampah Sanksi tidak membayar iuran Partisipasi ibu rumah tangga Keterangan : : ada hubungan : tidak ada hubungan

56 Iyer (2001) menyebutkan pada proyek partisipasi masyarakat pada pengelolaan persampahan di Bangalore India, wanita mempunyai peranan yang besar mulai dari pengumpulan sampah. Para wanita ikut dalam komite persampahan kota, berperanserta dalam pertemuan dan penyuluhan dan berperan dalam memberikan motivasi kepada anggota masyarakat lainnya. Jumlah wanita yang berperan dalam partisipasi masyarakat dalam proyek ini sekitar 60%. Sudah lebih dari 20 tahun pengelola persampahan kota bekerjasama dengan organisasi wanita. Pada tingkat lurah dan camat analisis kelembagaan tidak memberikan hasil yang nyata. Hal ini dapat ditarik kesimpulan karena lurah dan camat tidak langsung berhubungan dengan warga (rumah tangga) dalam pengelolaan sampah, sementara RT dan RW mempunyai hubungan yang langsung dalam pengelolaan sampah. Secara kelembagaan RT dan RW merupakan community based organisation. Karena itu, aspek partisipasi masyarakat dalam pengelolaan sampah perlu dikembangkan di tingkat RW dan RT. Hal ini dapat ditunjukkan dengan keberhasilan Banjarsari, Cilandak, Jakarta dibawah pembinaan Ibu Bambang Wahono, yaitu kegiatan pembuatan kompos untuk media tanaman. Melalui kegiatan tersebut masyarakat diajak untuk menanam tanaman obat untuk keperluan sendiri. Dari 26 Kelurahan yang disurvei, hanya 11 Kelurahan yang menugaskan Seksi Ketenteraman dan Ketertiban untuk mengurus sampah, selebihnya tidak menugaskan karena menganggap bahwa Kelurahan tidak mengurus soal sampah. Terdapat hubungan antara adanya seksi yang mengurus sampah dengan kemungkinan mengajak ibu rumah tangga untuk berpartisipasi dalam mengelola sampah. Adanya seksi yang mengurus sampah cenderung mempermudah untuk mengajak para ibu untuk berpartisipasi, misalnya dengan memilah sampah. Hal ini akan lebih terbantu bila Lurah berpendidikan tinggi, karena cenderung lebih berkemampuan dalam melakukan sosialisasi atau pelatihan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, misalnya dalam 3R. Dalam hal persampahan, Kecamatan berpegang pada Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 27 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kebersihan di Kota

57 Bandung dan Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 3 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan (K3). Dari 26 kecamatan yang diobservasi, sebagian besar kecamatan yaitu sejumlah 22 kecamatan yang menugaskan Seksi Ketenteraman dan Ketertiban untuk mengurus sampah, selebihnya tidak menugaskan karena menganggap bahwa kecamatan tidak mengurus soal sampah. Terdapat hubungan antara adanya seksi yang mengurus sampah dengan kemungkinan mengajak ibu rumah tangga untuk berpartisipasi dalam mengelola sampah. Adanya seksi yang mengurus sampah cenderung mempermudah untuk mengajak warga, misalnya aktif dalam kegiatan membersihkan lingkungan. Terdapat 9 kecamatan dari 26 kecamatan yang diobservasi pernah terkena wabah penyakit demam berdarah pada tahun 2004/2005. Wabah ini menandakan adanya lingkungan yang berpotensi terhadap berkembangbiaknya nyamuk aedes aegepty. Penyakit ini dapat dikatakan tidak berkait langsung dengan masalah sampah, meskipun faktor kebersihan lingkungan juga berpengaruh pada terjadinya wabah demam berdarah. 4.2.3. Masyarakat Pemanfaat Sampah Masyarakat pemanfaat sampah terdiri dari: (1) pemulung, (2) bandar (lapak), (3) pengusaha daur ulang dan (4) pengusaha kompos. Peranan masyarakat pemanfaat sampah dalam mereduksi jumlah sampah yang harus diangkut ke tempat pembuangan akhir sampah cukup signifikan. Karena itu, sebagai stakeholder dalam pengelolaan persampahan kelompok ini perlu dikaji potensi dan kendala dalam kegiatan pemanfaatan sampah. Informasi yang diperoleh akan dijadikan bahan dalam penyusunan model pengembangan kelembagaan. 4.2.3.1. Pemulung Pemulung yang menjadi sampel terdiri dari pemulung yang berada di sekitar lokasi tempat pembuangan akhir (TPA) sampah dan kawasan perumahan. Pemulung yang berada di TPA diwakili oleh 80 pemulung dan pemulung dari lokasi perumahan diwakili oleh 22 orang pemulung. Profil mayoritas pemulung tersebut disajikan di Tabel 12.

58 Tabel 12 Kondisi mayoritas pemulung pada pengelolaan persampahan Kota Bandung (hasil analisis) Kondisi mayoritas pemulung Persentase (%) Jenis kelamin laki-laki 75 Umur 25-35 tahun 29 Status kawin 75 Daerah asal Jawa Barat 100 Rumah milik sendiri 65 Pendidikan Sekolah Dasar 64 Sebelumnya adalah petani 34 Menjadi pemulung daripada menganggur 89 Telah lebih dari 5 tahun menjadi pemulung 45 Penghasilan Rp. 20.000-30.000,- per hari 55 Tidak mempunyai pekerjaan selain menjadi pemulung 84 Bekerja lebih dari 8 jam per hari 75 TPA adalah tempat yang disukai 61 Logam = barang yang paling dicari 19 Plastik = barang yang paling mudah didapat 22 Logam = barang yang paling jarang didapat 34 Plastik + logam = barang yang paling laku dijual 42 Karet = barang yang paling tidak laku dijual 37 Pemulung yang berada di kota Bandung di dominasi oleh laki-laki dengan proporsi 75%. Kisaran umur para pemulung tersebar dari dibawah umur 25 tahun sampai lebih dari 45 tahun dengan merata dengan persentase terbesar yaitu 29% berumur 25-35 tahun, dengan 75% dari mereka berstatus telah menikah. Mayoritas dari pemulung berasal dari Jawa Barat, dan 65% dari jumlah pemulung responden telah memiliki rumah sendiri. Sebesar 64% pemulung hanya berpendidikan sekolah dasar, dan 23% lulus dari sekolah menengah pertama. Adapula responden yang memiliki pendidikan cukup, sejumlah 4% lulus sekolah menengah tingkat atas dan 1% lulus dari pendidikan tinggi.

59 Pekerjaan sebelum menjadi pemulung cukup bervariasi, namun yang cukup menonjol adalah 34% adalah petani, 28% buruh pabrik, dan 20% penganggur. Hampir semua pemulung (89%) beralasan memilih pekerjaan sebagai pemulung adalah karena kesulitan mencari pekerjaan lain (daripada menganggur). Hampir separuh (45%) telah lebih dari 5 tahun bekerja sebagai pemulung dan 25% baru bekerja kurang dari setahun sebagai pemulung. Penghasilan rata-rata perhari berkisar antara Rp 20.000,- sampai Rp 30.000,-, sebagian kecil (12%) memperoleh sampai Rp 40.000,- per hari. Hampir semua pemulung (84%) tidak mempunyai pekerjaan lain, namun ada pemulung (10%) yang juga bekerja sebagai petani. Jam dan hari kerja pemulung tidak tertentu, namun sebagian besar (75%) bekerja lebih dari 8 jam per hari. Kondisi cuaca dan ketersediaan sampah sangat berpengaruh pada jumlah jam kerja tersebut. Tempat yang paling disukai adalah TPA karena terdapat cukup banyak sampah yang dapat dipulung. Perumahan juga cukup disukai karena barang pulungan relatif lebih bersih dibandingkan TPA. Daerah pertokoan dianggap paling sulit oleh pemulung untuk memperoleh barang pulungan. Selain ketersediaan barang pulungan, lokasi pemulungan juga dipilih karena alasan dekat dengan lapak sehingga memudahkan untuk menjual barang pulungan. Lokasi pemulungan relatif menetap dan baru berpindah ketempat lain bila di lokasi semula tidak terdapat cukup barang pulungan. Barang pulungan yang paling banyak diambil adalah kertas, kardus, plastik, dan logam. Selain terdapat cukup banyak, jenis barang ini relatif mudah untuk dijual ke lapak. Logam besi termasuk barang pulungan yang jarang diperoleh, sedangkan karet dan kayu adalah jenis barang yang paling sulit untuk dijual. Harga jual barang pulungan dari TPA relatif lebih rendah dibandingkan dengan dari daerah permukiman karena relatif lebih bersih. Tidak ada standar harga jual, umumnya ditentukan oleh pihak lapak. Sampai saat ini belum ada pembinaan bagi pemulung di Kota Bandung, baik berupa organisasi atau akses terhadap segala bentuk informasi. Hasil obeservasi memperlihatkan bahwa para pemulung lebih menyukai cara kerja secara individual dengan sikap bebas terhadap waktu kerja. Namun terdapat minat untuk

60 bekerja dibawah suatu perusahaan dengan tujuan memperoleh kehidupan dan masa depan yang lebih baik. Hal tersebut diatas sejalan dengan penelitian Nas dan Jaffe (2004) yang meneliti pemulung di Kota Bandung. Pembinaan terhadap pemulung pernah dilakukan oleh Institut Teknologi Bandung (ITB) pada tahun 1986, untuk meningkatkan pendapatan pemulung dengan mendirikan koperasi pemulung. Koperasi berjalan dan cukup membantu pemulung, tetapi setelah pembinaan dihentikan, koperasi pemulung tersebut juga secara perlahan-lahan berhenti. Para pemulung bekerja sama kembali dengan lapak/ bandar. Penelitian Djuwendah (2005) yang mengamati kegiatan daur ulang di Kota Bandung menyebutkan bahwa hubungan antara pemulung, lapak atau bandar merupakan hubungan yang bersifat kooperatif dan saling menguntungkan. Kelembagaan transaksi yang ada memperlihatkan adanya distribusi biaya dan keuntungan yang seimbang. Hubungan ini merupakan hubungan saling membutuhkan, yaitu pemulung sebagai pihak pencari barang, sedangkan lapak adalah pihak yang membeli barang dari pemulung. Lapak akan menjual barang kepada bandar yang selanjutnya menjualnya kepada pihak produsen barang daur ulang. 4.2.3.2. Lapak (Bandar) Lapak yang menjadi sampel terdiri dari lapak yang berada di sekitar lokasi tempat pembuangan akhir (TPA) sampah, sebanyak 20 orang. Para lapak membeli barang pulungan dari pemulung, kemudian menjualnya kepada bandar. Profil mayoritas lapak tersebut disajikan di Tabel 13 berikut ini.

Tabel 13 Kondisi mayoritas lapak yang ada pada pengelolaan persampahan Kota Bandung (hasil analisis) 61 Kondisi mayoritas lapak Persentase (%) Jenis kelamin laki-laki 78 Status kawin 100 Memiliki rumah sendiri 87 Daerah asal Jawa Barat 96 Pendidikan SD sampai SMP 74 Sebelumnya adalah buruh pabrik 30 Menjadi lapak daripada menganggur 57 Telah lebih dari 5 tahun menjadi pemulung 57 Penghasilan Rp. 20.000-40.000,- per hari 60 Bekerja lebih dari 8 jam per hari 87 TPA adalah tempat yang disukai 71 Sebagian besar lapak (78%) adalah laki-laki dengan status kawin. Sebagian lapak (87%) mempunyai rumah milik sendiri, sedangkan selebihnya tinggal di rumah sewa atau menumpang pada keluarga. Tingkat pendidikan rata-rata adalah Sekolah Dasar sampai SMU, namun juga terdapat (4%) lapak berpendidikan perguruan tinggi. Pekerjaan sebelum menjadi lapak cukup bervariasi, namun yang cukup menonjol adalah 17% adalah pemulung, 22% adalah petani, dan 30% buruh pabrik. Lebih dari separuh (57%) beralasan menjadi lapak adalah karena kesulitan mencari pekerjaan lain, dan telah bekerja sebagai lapak lebih dari 5 tahun (57%) sedangkan 39% baru bekerja 1-5 tahun. Hampir semua lapak (83%) memulai usaha dengan modal sendiri ditambah pinjaman. Penghasilan rata-rata perhari tergantung dari besarnya modal, 17% berpenghasilan kurang dari Rp 20.000,-, 60% berpenghasilan antara Rp 20.000,- sampai Rp 40.000,-, dan 22% berpenghasilan lebih dari Rp 40.000,- per hari. Jam dan hari kerja lapak tidak tertentu, namun sebagian besar (87%) bekerja lebih dari 8 jam per hari. Lapak umumnya mencari lokasi kerja yang mudah didatangi oleh pemulung, sehingga sebagian besar lapak (71%) berada di sekitar TPA. Barang pulungan yang paling banyak dibeli oleh lapak adalah kertas,

62 kardus, plastik, logam, dan gelas. Selain terdapat cukup banyak, jenis barang ini relatif mudah untuk dijual ke pabrik daur ulang. Tidak ada standar harga jual, umumnya ditentukan oleh pihak pabrik. Sampai saat ini belum ada pembinaan bagi lapak, baik berupa organisasi atau akses terhadap segala bentuk informasi. Para lapak masih menyukai cara kerja secara individual dengan sikap bebas terhadap waktu kerja. Sikap ini didorong oleh kemudahan untuk menentukan harga beli dari pemulung tanpa dipengaruhi oleh lapak lainnya. Namun terdapat minat untuk bekerja dibawah suatu perusahaan dengan tujuan memperoleh kehidupan dan masa depan yang lebih baik. Menurut Djuwendah (2005) lapak dalam kegiatan daur ulang sampah merupakan penampung dan perantara yang membeli dari pemulung dan akan menjual kembali kepada bandar (pedagang besar). Bandar biasanya melakukan spesialisasi dalam membeli bahan dauran sampah dan omsetnya relatif besar. Lapak melakukan kerjasama dengan bandar dengan tujuan agar terhindar dari resiko fluktuasi harga, ketersediaan modal operasional besar, biaya pemasaran, biaya bongkar muat dan transportasi. 4.2.3.3. Perusahaan Pembuatan Kompos Perusahaan pembuatan kompos yang menjadi sampel berjumlah tiga perusahaan. Ringkasan jumlah dan keadaan perusahaan kompos disajikan pada Tabel 14. Secara lengkap daftar dan kondisi perusahaan pembuatan kompos ada pada Lampiran 3. Sampah basah sebagai bahan baku kompos tidak menjadi masalah mengingat sebagian besar sampah kota adalah sampah basah. Pembuat kompos harus melakukan pemilahan sendiri karena masyarakat belum mempunyai kebiasaan untuk memilah sampah. Pembuatan kompos dilakukan secara windrow (alamiah) yang membutuhkan waktu sekitar dua bulan atau dengan penambahan zat aktivator, misalnya EM4, untuk mempercepat proses pematangan kompos menjadi hanya sekitar dua minggu saja.

63 Tabel 14 Daftar perusahaan pembuatan kompos (hasil analisis) No Nama perusahaan Tahun mulai usaha Lahan usaha Jumlah karyawan Pemasok bahan baku Produk 1 PT Cakra Mandiri Pratama Indonesia 1992 Milik sendiri - orang Sampah dari lingkungan sekitar Kompos 2 Torik Kompos 2000 Pinjam 6 orang Rumah tangga Kompos 3 Bitari (yayasan) 2004 Tanah negara 15 orang Dinas pasar Ko mpos Harga jual kompos berkisar antara 3.000-4.000 rupiah per kilogram. Kendala utama dalam produksi kompos adalah masalah pemasaran. Sampai saat ini belum ada organisasi produsen dan campur tangan dari pihak PD Kebersihan yang bisa membantu pemasaran kompos. Keadaan ini membuat banyak produsen kompos mengalami kebangkrutan. Bantuan membuka pasar bagi produksi kompos sangat diperlukan bila usaha pembuatan kompos dipandang dapat membantu menekan jumlah sampah mengingat sekitar 60% sampah kota adalah bahan organik yang dapat dijadikan kompos. 4.2.3.4. Perusahaan Daur Ulang Perusahan daur ulang yang menjadi sampel penelitian berjumlah empat perusahaan. Tabel 15 menunjukkan profil ringkas dari perusahaan daur ulang. Profil lengkap disajikan pada Lampiran 4. Daur ulang adalah usaha mengubah sampah menjadi produk baru. Sampah kering relatif mudah diperoleh dari pemulung dan lapak. Pemasaran tidak menjadi masalah karena produk selalu terjual habis, bahkan jumlahnya lebih kecil dibandingkan permintaan. Bahkan kertas seni (dibuat dari kertas bekas) yang diproduksi oleh Suhuf Kertaseni Nusantara telah diekspor ke negara-negara Timur Tengah. Kendala utama yang dirasakan adalah keterbatasan modal untuk membeli bahan baku.

64 Tabel 15 Perusahaan Daur Ulang (Hasil analisis) No Nama perusahaan Tahun mulai usaha Lahan usaha Jumlah karyawan Pemasok bahan baku Produk 1 Suhuf Kertas Seni Nusantara 1995 sewa 60 orang pengumpul kertas 2 Penggilingan plastik 3 CV Nikori 1987 Milik sendiri 2004 sewa 4 orang Pemulung, bandar 8 orang Pemulung, lapak kecil 4 Sumardjiman 2000 pinjam 6 orang Rumah tangga Kertas, kardus, plastik giling, kresek Kertas, kardus, plastik, kresek, logam, gelas, logam murni, botol Kertas duplek, kardus, koran, kresek, logam, gelas, karung Sebagian besar perusahaan tidak berbadan hukum karena alasan resiko berupa kewajiban membayar pajak. Sampai saat juga belum ada organisasi pengusaha daur ulang. Kondisi ini menimbulkan kesulitan untuk melihat besarnya potensi penyerapan sampah oleh usaha daur ulang terhadap jumlah sampah kota. Sistem manajemen perusahaan yang relatif sederhana juga membuat pengusaha sulit untuk mengetahui secara benar jumlah produksi mereka. Salah satu kendala adalah keterbatasan modal sehingga produksi juga banyak tergantung dari modal yang ada. Solusi atas keadaan ini sangat diperlukan bila usaha daur ulang dipandang sebagai salah satu cara menekan jumlah sampah yang harus dibuang ke TPA. 4.2.4. Masyarakat Pemerhati Lingkungan Sampel adalah 4 lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Kota Bandung. Di Kota Bandung terdapat sekitar 10 buah LSM pemerhati masalah lingkungan, berusia antara 2 30 tahun. Keanggotaan terbuka bagi semua golongan, mulai dari masyarakat umum sampai dengan perguruan tinggi. Kegiatan LSM dibidang persampahan sebagian besar berupa sosialisasi 3R dan pelatihan pembuatan kompos. Kendala utama dalam melaksanakan kegiatan adalah keterbatasan dana

65 yang sebagian besar berasal donatur. Hasil kegiatan belum banyak memberikan pengaruh positif karena rendahnya respon dari masyarakat. LSM berpendapat bahwa merubah sikap masyarakat terhadap sampah adalah persoalan merubah pola pandang dan perilaku. Pandangan bahwa sampah adalah benda buangan harus diganti dengan pandangan bahwa sampah adalah benda yang masih berguna. Perubahan ini akan terjadi bila masyarakat sudah mau melakukan 3R, yaitu reduce berupa mengurangi jumlah sampah, reuse berupa menggunakan kembali benda yang masih bisa digunakan kembali, dan recycle berupa mengubah sampah menjadi benda berguna misalnya menggunakan sampah basah sebagai bahan baku kompos. Dasar keberhasilan dari 3R adalah kesediaan sumber sampah untuk memilah sampah menjadi sampah basah (organik) dan sampah kering (anorganik). Permasalahan utama adalah 3R yang baru merupakan wacana. Belum ada perangkat hukum yang mengatur penghargaan (reward) bagi yang melakukan dan hukuman (punishment) bagi yang tidak melakukan 3R. Selain itu sistem operasi penanganan sampah oleh PD Kebersihan juga belum mendukung program 3R. Pemilahan sampah menjadi sampah kering dan basah oleh sumber sampah akan menjadi sia-sia karena sistem operasi masih bersifat sampah tercampur. Kondisi ini membuat sumber sampah enggan untuk melakukan pemilahan sampah karena pada akhirnya sampah akan tercampur kembali dan seluruhnya dibuang ke TPA. LSM berpendapat bahwa mewujudkan pola 3R membutuhkan waktu lama namun akan menjadi semakin lama bila tidak ada keselarasan antara 3R, sistem operasi penanganan sampah, dan hukum yang jelas (Lampiran 5). 4.2.5. Pemerintah Peranan pemerintah dalam pengelolaan sampah kota adalah dilakukan oleh PD Kebersihan sebagai satu-satunya lembaga formal yang memberikan pelayanan persampahan kepada masyarakat. Analisis kapasitas lembaga menggunakan tool yang dikembangkan oleh Booth et al 2001 dan GTZ 2005. Aspek yang dianalisis meliputi Kepemimpinan (Governance), Manajemen (Management Practice), Sumber Daya Manusia/ SDM (Human Resources), Sumber Daya Keuangan (Financial Resources), Aspek Pelayanan (Service Delivery) & Hubungan

66 Eksternal (External Relations). Jumlah responden yang menjadi penilai dari kapasitas organisasi PD Kebersihan adalah 12 orang. Responden ini merupakan unsur internal organisasi dengan jabatan direktur, kepala bagian dan kepala seksi. Hasil interview dengan penilai kapasitas disajikan pada Tabel 16. Tabel 16 Hasil penilaian kapasitas organisasi PD Kebersihan menggunakan OCAT (hasil analisis) Komponen Responden A B C D E F Sumberdaya Aspek Hubungan Kepemimpinan Manajemen SDM Keuangan Pelayanan Eksternal 1 4,4 4,2 3,5 4,2 3,7 4,6 2 4,0 3,5 3,2 3,3 3,1 3,9 3 2,7 3,1 1,7 2,5 1,7 3,0 4 3,2 3,4 3,1 3,5 2,8 3,0 5 2,2 2,6 2,4 3,2 2,3 3,5 6 4,8 4,1 3,7 3,9 3,3 4,4 7 3,3 3,1 2,9 3,2 3,0 3,3 8 3,5 3,3 3,0 4,0 3,1 3,5 9 3,9 3,5 3,9 3,7 3,3 3,7 10 3,1 3,1 3,1 3,3 3,0 3,4 11 3,6 3,1 2,4 4,5 2,3 3,8 12 4,8 4,4 4,2 3,8 3,6 4,0 Total 43,5 41,4 37,1 43,1 35,2 44,1 Rata-rata 3,6 3,5 3,1 3,6 2,9 3,7 Hasil penilaian dari unsur pejabat-pejabat dalam organisasi PD Kebersihan disajikan pada Tabel 16 di atas. Tampak bawa bahwa nilai terendah yang diberikan adalah 2,2 dan nilai tertinggi adalah 4,6. Nilai 2,2 diberikan oleh pejabat nomor 5 pada aspek kepemimpinan. Sedangkan nilai 4,6 diberikan oleh pejabat nomor 1 untuk aspek hubungan eksternal. Skala penilaian berkisar antara 0 sampai 6. Organisasi yang sempurna dalam seluruh aspek akan mendapat nilai 6. Jadi secara umum seluruh aspek dari kapasitas organisasi masih berada di tengah skala yang berarti bahwa posisi organisasi relatif jauh untuk mencapai taraf sempurna.

67 Kepemimpinan Manajemen Sumberdaya Manusia Sumberdaya Keuangan Aspek Pelayanan Hubungan Eksternal 0,0 0,5 1,0 1,5 2,0 2,5 3,0 3,5 4,0 4,5 5,0 5,5 6,0 nascent emerging expanding mature Gambar 13 Hasil perhitungan penilaian kapasitas organisasi PD Kebersihan dengan OCAT Dari hasil perhitungan dengan mengunakan lembar asesmen OCAT (Organisasional Capacity Assessment Tool) diperoleh kondisi kapasitas organisasi. Kapasitas organisasi seluruh komponen berada pada level expanding atau pada level pengembangan, perluasan atau semakin besar/ baik (Gambar 13). Komponen yang tertinggi dari penilaian adalah komponen hubungan eksternal dengan nilai 3,7 selanjutnya diikuti oleh sumber daya keuangan dan kepemimpinan dengan nilai 3,6 kemudian manajemen dengan nilai 3,5. Nilai yang terkecil adalah aspek pelayanan dengan nilai 2,9 dan sumber daya manusia 3,1. Aspek pelayanan merupakan aspek dengan nilai terkecil, hal ini kontradiktif dengan tugas dan fungsi dari organisasi yaitu jasa pelayanan persampahan di tingkat pemukiman, daerah komersial, fasilitas publik dan pemerintah kota. Tetapi aspek hubungan eksternal mendapat penilaian paling tinggi, hal ini menggambarkan terdapat koordinasi dengan pihak luar. Aspek pelayanan yang masih rendah juga terdapat di Kota Surabaya dengan 2.941.820 jiwa penduduk dan jumlah sampah sebesar 8.700 m3 per hari pada tahun 2005 (Pemerintah Kota Surabaya, 2006). Pengelola sampah adalah Dinas Kebersihan dan Pertamanan dengan kemampuan pengangkutan sampah ke TPA hanya sebesar 6.700 m3 perhari atau 77% dari jumlah sampah. Rendahnya tingkat pelayanan disebabkan oleh tingginya jumlah sampah yang tidak sebanding dengan kemampuan pengangkutan sampah ke TPA. Tingginya jumlah sampah tersebut disebabkan oleh belum adanya upaya pemilahan dan pemanfaatan sampah secara optimal. Peraturan Daerah Kota

68 Bandung Nomor 27 Tahun 2001 sudah mengatur tentang 3R, yaitu pada pasal 4 ayat 2 yang memasukkan aspek pemilahan didalam kegiatan pengelolaan kebersihan di lingkungan permukiman, dan pasal 6 ayat 1 yang mengatakan bahwa pengelolaan sampah diselenggarakan berdasarkan kebijakan pengurangan sampah dari sumbernya, pemanfaatan atau penggunaan kembali, daur ulang dan pengomposan sampah secara maksimal. Sosialisasi atas peraturan ini sudah dilakukan namun dengan cara yang tidak terstruktur dan tidak disertai dengan peraturan tentang insentif dan disinsentif bagi masyarakat yang sudah dan belum melakukan 3R. Hal ini tampak pada Keputusan Walikota Bandung tentang Tarif Jasa Kebersihan di Kota Bandung Nomor 644 Tahun 2002 yang hanya menetapkan besarnya tarif berdasarkan kondisi rumah tinggal atau daya listrik terpasang. Penetapan sanksi terhadap pelanggaran kebersihan berupa denda dan sanksi administratif juga sudah diatur dalam Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 11 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 03 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan. Pada Lampiran 6 dapat dilihat ringkasan dari peraturan-peraturan yang berkaitan dengan pengelolaan sampah kota. Namun dalam peraturan tersebut tidak tercantum sanksi terhadap penghasil sampah yang tidak melakukan pemilahan sampah. Hasil analisis peran stakeholder dalam pengelolaan sampah eksisting digambarkan pada Gambar 14.

69 Gambar 14 Hasil analisis peran stakeholder dalam pengelolaan sampah eksisting Peraturan pemerintah dan sosialisasi 3R dilakukan secara tidak terstruktur sehingga tidak mampu memberikan pemahaman 3R kepada masyarakat. Penanganan sampah oleh masyarakat penghasil sampah dilakukan tanpa 3R atau pemilahan. Penanganan sampah oleh masyarakat pengelola sampah (RT/RW) selanjutnya dilakukan terhadap sampah tercampur. PD Kebersihan pada akhirnya harus mengelola seluruh sampah, yaitu mengangkut sampagh dari TPS ke TPA. Besarnya beban pekerjaan membuat PD Kebersihan berfungsi lebih sebagai operator dibandingkan sebagai regulator. Pengolahan sampah oleh masyarakat pemanfaat sampah sudah ada namun dilakukan terhadap sampah yang sudah berada di TPA atau TPS. Produk daur ulang yang tercipta dapat berupa kompos dari sampah organik atau produk daur ulang berbahan baku sampah anorganik. Pemasaran produk daur ulang dilakukan langsung oleh produsen tanpa adanya campur tangan dari pemerintah.

70 4.3. Pengembangan Kelembagaan 4.3.1. Skenario dan Implikasi Pengembangan Skenario Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Persampahan Berbasis Partisipasi Masyarakat Kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat Kota Bandung melibatkan berbagai pelaku. Penelitian terhadap pelaku dalam pengelolaan persampahan dilakukan terhadap rumah tinggal, organisasi masyarakat yang meliputi Rukun Tetangga, Rukun Warga, Kelurahan dan Kecamatan. Selain itu, dilakukan penelitian terhadap pemulung, lapak, pengusaha kompos dan pabrik daur ulang serta Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Pengkajian organisasi dilakukan terhadap PD Kebersihan dengan menggunakan Organisasional Capacity Assessment Tools (OCAT). Metode yang digunakan dalam membuat skenario adalah analisis prospektif dengan lokakarya yang melibatkan seluruh stakeholder. Langkah pertama dalam analisis prospektif adalah identifikasi faktor-faktor yang terlibat dalam pengelolaan persampahan. Hasil identifikasi faktor disajikan pada Tabel 17. Faktor yang diperoleh melalui identifikasi faktor pada lokakarya analisis prospektif. Identifikasi faktor yang diperoleh pada tahap awal lokakarya analisis prospektif merupakan hasil kesepakatan seluruh peserta lokakarya. Sebagai bahan untuk identifikasi faktor adalah hasil penelitian terhadap kelompok penghasil, kelompok pengelola, kelompok pemanfaat dan organisasi pengelola sampah. Para peserta kemudian memberikan penilaian terhadap hubungan antar faktor. Hasil penilaian tersebut kemudian dihitung tingkat saling ketergantungan dan pengaruh. Faktor-faktor dengan tingkat ketergantungan dan pengaruh yang tinggi akan terpilih sebagai faktor-faktor kunci.

Tabel 17 Daftar faktor yang teridentifikasi dalam pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat di Kota Bandung No Faktor 1. Kapasitas Perusahaan Daerah Kebersihan 2. Biaya Operasi 3. Lahan Tempat Pembuangan Sementara (TPS) 4. Lahan Tempat Pembuangan Akhir (TPA) 5. Sosialialisasi 3R (Reuce, Reduce, Recycle) 6. Kebijakan pemerintah 7. Peran Pemerintah Kota (Pemkot) 8. Jumlah Sampah 9. Tingkat Pendapatan Masyarakat 10. Peran Ibu rumah tangga 11. Kesediaan membayar iuran 12. Kesediaan membayar retribusi 13. Pemahaman 3R (Reuce, Reduce, Recycle) 14. Pemilahan 15. Reduce 16. Reuse 17. Komposting rumah tangga 18. Peran Rukun Tetangga (RT) / Rukun Warga (RW) 19. Peran Kelurahan 20. Peran Kecamatan 21. Kegiatan usaha kompos 22. Kegiatan usaha daur ulang 23. Pemasaran kompos 24. Pemasaran produksi daur ulang 25. Peran Lembaga Swadaya Masyarakat 71

72 2,50 2,00 Gambaran Tingkat Kepentingan Faktor-Faktor yang Berpengaruh pada Sistem yang Dikaji Sosialialisasi 3R Pemasaran kompos Kegiatan usaha daur ulang Pmasar prod daur ulang Pengaruh 1,50 1,00 0,50 Peran Ibu rumah tangga Pemahaman 3R Tkt Pdpt Masy Lahan TPS Reuse Reduce Biaya Operasi Kebijakan pemerintah Pemilahan Peran LSM Peran Pemkot Jumlah Sampah Lahan TPA Ksedia byr retrib Kapasitas PDK Ksedia byr iuran Kegiatan usaha kompos Peran RT/RW Komposting rmh tangga Peran Kelurahan Peran Kecamatan - - 0,20 0,40 0,60 0,80 1,00 1,20 1,40 1,60 1,80 2,00 Ketergantungan Gambar 15 Gambar tingkat kepentingan faktor-faktor yang berpengaruh pada sistem yang dikaji Faktor kunci yang terpilih karena memiliki peran penting pada pengelolaan sampah Kota Bandung ada tujuh faktor yaitu: sosialisasi 3R, pemahaman 3R, peran ibu rumah tangga, kegiatan usaha kompos, pemasaran kompos, kegiatan usaha daur ulang, pemasaran produk daur ulang (Gambar 15). Dari setiap faktor kunci didiskusikan keadaan setiap faktor tersebut. Keadaan setiap faktor merupakan keadaan yang mungkin terjadi pada masa datang dari faktor tersebut. Berikut ini adalah keadaan atau state dari setiap faktor kunci. Faktor kunci pertama yang terpilih adalah sosialisasi 3R (reduce, reuse dan recycle). Hasil diskusi pada lokakarya analisis prospektif ditemukan empat keadaan yaitu A, B,C dan D..Keadaan tersebut adalah sebagai berikut: A. Tidak ada sosialisasi, artinya tidak terdapat usaha dari pihak pemerintah untuk melakukan sosialisasi tentang 3R. B. Kegiatan sosialisasi 3R mengalami penurunan baik dalam hal intensitas maupun materinya. C. Kegiatan sosialisasi 3R tidak mengalami perubahan, yaitu baru pada tingkat wacana dan belum sampai pada tingkat implementasi.

73 D. Kegiatan sosialisasi 3R meningkat baik dalam hal intensitas maupun contentnya sehingga 3R sudah mulai bisa dilaksanakan oleh masyarakat. Faktor kunci kedua adalah pemahaman 3R. Terdapat empat keadaan dari faktor kunci pemahaman 3R yaitu A, B, C dan D. Keadaan dari faktor kunci pamahaman 3R adalah sebagai berikut: A. Masyarakat sama sekali tidak memahami tentang 3R. B. Pemahaman masyarakat tentang 3R akan terjadi berkat adanya sosialisasi 3R. C. Masyarakat sudah paham tentang 3R dan bersedia untuk melakukan 3R. D. Masyarakat sudah paham dan mau melakukan 3R. Faktor kunci ketiga adalah peran ibu rumah tangga. Hasil diskusi pada lokakarya analisis prospektif terhadap faktor kunci peran ibu rumah tangga menghasilkan empat keadaan yaitu A, B, C dan D sebagai berikut: A. Ibu rumah tangga tidak berperan pada penanganan sampah di rumah. B. Peran ibu rumah tangga terbatas pada mewadahi sampah sebelum diambil oleh petugas. C. Ibu rumah tangga sudah memahami 3R, sehingga mulai mencoba untuk mengurangi sampah yang harus dibuang. D. Ibu rumah tangga sudah melakukan 3R, terutama memilah sampah basah dan kering. Faktor kunci keempat adalah kegiatan usaha kompos. Kegiatan usaha kompos teridentifikasi memiliki tiga keadaaan yaitu A, B dan C sebagai berikut: A. Kegiatan usaha membuat kompos menurun karena sampah tidak laku dijual. B. Kegiatan usaha kompos tetap seperti sekarang, yaitu sulit untuk berkembang karena adanya kendala pemasaran produk kompos. C. Kegiatan usaha kompos berkembang karena harga jual kompos yang cukup baik, disamping adanya peluang memperoleh bantuan modal. Faktor kunci kelima adalah pemasaran kompos. Keadaan dari faktor kunci ini terdiri dari tiga keadaan yang meliputi: A. Pemasaran kompos menurun dan tidak seimbang dengan tingkat produksi kompos.

74 B. Tingkat kemampuan memasarkan kompos tetap seperti sekarang, yaitu produsen berusaha bertahan dengan harga pasar kompos yang tidak seimbang dengan harga pupuk buatan. C. Pemasaran kompos makin baik karena adanya bantuan menciptakan pasar dari pemerintah dan subsidi pemerintah sehingga harga kompos dapat bersaing dengan harga pupuk buatan. Faktor kunci keenam adalah kegiatan usaha daur ulang. Terdapat tiga keadaan dari kegiatan usaha daur ulang yaitu A, B dan C yang meliputi: A. Kegiatan usaha daur ulang menurun karena kesulitan memperoleh bahan baku dan keterbatasan modal. B. Kegiatan usaha daur ulang tidak berkembang karena harga produk daur ulang tidak mampu bersaing dengan produk non daur ulang. C. Kegiatan usaha daur ulang berkembang karena terbuka peluang untuk memperoleh bantuan modal usaha. Faktor kunci ketujuah adalah pemasaran produk daur ulang. Terdapat tiga keadaan dari faktor kunci pemasaranproduk daur ulang yang meliputi: A. Pemasaran menurun karena harga produk daur ulang tidak mampu bersaing dengan harga produk non daur ulang. B. Pemasaran tidak berkembang karena perusahaan tidak berbadan hukum sehingga ruang pasar menjadi terbatas. C. Pemasaran meningkat karena harga produk mampu bersaing dengan produk non daur ulang dan ruang pemasaran tidak terbatas karena perusahaan berbadan hukum. Keadaan dari ketujuh faktor kunci yang telah teridentifikasi digambarkan pada Tabel 18.

75 Tabel 18 Keadaan faktor kunci pada pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat FAKTOR KEADAAN Sosialisasi 3R 1 A 1 B 1 C 1 D Tidak ada Menurun Tetap Meningkat Pemahaman 3R Peran ibu rumah tangga Kegiatan usaha kompos Pemasaran kompos Kegiatan usaha daur ulang Pemasaran produk daur ulang 2 A 2 B 2 C 2 D Tidak paham Akan paham Sudah Mau melakukan 3R paham 3 A 3 B 3 C 3 D Tidak berperan Hanya sebatas mewadahi sampah Paham 3R Melakukan 3R, terutama pemilahan 4 A 4 B 4 C Tetap, sulit berkembang, kendala pasar Menurun, mengarah bangkrut karena sampah tidak laku Menurun, jumlah produksi kompos lebih besar dari kompos terjual Berkembang, harga baik, ada peluang bantuan modal 5 A 5 B 5 C Tetap, produsen bertahan, harga kompos lebih besar dari pupuk Menurun, kesulitan bahan baku dan modal Meningkat, ada bantuan pemasaran dan subsidi 6 A 6 B 6 C Tidak berkembang, harga produk tidak kompetitif Menurun, harga tidak kompetitif Berkembang, ada peluang bantuan modal 7 A 7 B 7 C Tidak berkembang, tidak berbadan hukum, pasar terbatas Meningkat, harga kompetitif, berbadan hukum, pasar luas Setelah ditentukan keadaan yang mungkin terjadi pada setiap faktor kunci, dilakukan penentuan skenario pengembangan kelembagaan pada pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat. Skenario ini ditentukan berdasarkan kombinasi dari keadaan setiap faktor kunci. Hasil penentuan skenario pengembangan diperoleh lima skenario yaitu skenario sangat optimis, optimis, agak optimis, kondisi tetap dan pesimis. Skenario pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat ini ditunjukkan pada Tabel 19.

Tabel 19 Skenario pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat No Skenario Urutan Keadaan Faktor Kunci 1 Sangat optimis (sinergi antara lembaga 1D-2D-3D-4C-5C-6C-7C dan partisipasi masyarakat sangat tinggi) 2 Optimis (sinergi antara lembaga dan 1D-2C-3C-4C-5C-6C-7C partisipasi masyarakat cukup tinggi) 3 Agak optimis (ada sinergi antara 1C-2B-3C-4C-5C-6C-7C lembaga dan partisipasi masyarakat) 4 Kondisi tetap (sinergi antara lembaga 1C-2A-3B-4B-5B-6B-7B dan partisipasi masyarakat seperti sekarang) 5 Pesimis (tidak ada sinergi antara lembaga dan partisipasi masyarakat) 1A-2A-3A-4A-5A-6A-7A 76 Tabel 20 Hasil penilaian skenario untuk pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat Skenario Jumlah Persen Sangat optimis (sinergi antara lembaga dan partisipasi 270 20,77 masyarakat sangat tinggi) Optimis (sinergi antara lembaga dan partisipasi masyarakat 300 23,08 cukup tinggi) Agak optimis (ada sinergi antara lembaga dan partisipasi 340 26,15 masyarakat) Kondisi tetap (sinergi antara lembaga dan partisipasi 220 16,92 masyarakat seperti sekarang) Pesimis (tidak ada sinergi antara lembaga dan partisipasi 170 13,08 masyarakat) Total 1300 100,00 Setelah diperoleh lima skenario seperti yang disajikan pada Tabel 19, dilakukan penilaian dari masing-masing skenario oleh peserta lokakarya. Setiap peserta diberi nilai 100 yang kemudian dibagi dengan angka puluhan kepada lima skenario. Seluruh peserta yang memberikan nilai berjumlah 13 orang sehingga total nilai bagi kelima skenario adalah 1300. Hasil penilaian skenario untuk pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat disajikan pada Tabel 20.

77 Tiga skenario terbanyak terpilih adalah agak optimis (26,15%) ada sinergi antara lembaga dan partsipasi masyarakat, optimis (23,08%) terdapat sinergi antara lembaga dan partisipasi masyarakat cukup tinggi, dan sangat optimis (20,77%) terdapat sinergi antara lembaga dan partisipasi masyarakat sangat tinggi. Skenario pertama terpilih adalah Agak Optimis yaitu ada sinergi antara lembaga pengelola persampahan dengan partisipasi masyarakat. Skenario ini memiliki keadaan sebagai berikut: sosialisasi 3R tetap, masyarakat akan paham 3R, Ibu rumah tangga paham 3R, kegiatan usaha kompos berkembang, harga kompos baik, dan ada peluang bantuan modal untuk usaha kompos, pemasaran kompos meningkat, ada bantuan pemasaran dan subsidi untuk usaha kompos, kegiatan usaha daur ulang berkembang dan ada peluang bantuan modal untuk kegiatan usaha daur ulang, pemasaran produk daur ulang meningkat, harga kompetitif, berbadan hukum, dan pasar luas. Skenario kedua paling mungkin adalah Optimis yaitu sinergi yang tinggi antara lembaga pengelola persampahan dengan partisipasi masyarakat. Skenario memiliki keadaan sebagai berikut: sosialisasi 3R meningkat, masyarakat sudah paham 3R, ibu rumah tangga paham 3R, kegiatan usaha kompos berkembang, harga kompos baik, dan ada peluang bantuan modal untuk usaha kompos, pemasaran kompos meningkat, ada bantuan pemasaran dan subsidi, kegiatan usaha daur ulang berkembang dan ada peluang bantuan modal, pemasaran produk daur ulang meningkat, harga kompetitif, berbadan hukum, dan pasar luas. Skenario ketiga paling mungkin Sangat Optimis yaitu sinergi yang sangat tinggi antara lembaga pengelolaan persampahan dengan partisipasi masyarakat. Skenario ini memiliki keadaan sebagai berikut sosialisasi 3R meningkat, masyarakat sudah mau melakukan 3R, ibu rumah tangga sudah mau melakukan 3R, terutama pemilahan, kegiatan usaha kompos berkembang, harga baik, dan ada peluang bantuan modal, pemasaran kompos meningkat, ada bantuan pemasaran dan subsidi, kegiatan usaha daur ulang berkembang dan ada peluang bantuan modal, pemasaran produk daur ulang meningkat, harga kompetitif, berbadan hukum, dan pasar luas. Tahap akhir dari lokakarya analisis prospektif pengembangan kelembagaan berbasis partisipasi masyarakat adalah implikasi dari skenario terpilih.

78 Berdasarkan skenario terpilih maka implikasi terhadap pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan berbasis partisipasi masyarakat di Kota Bandung adalah sebagai berikut. Skenario pertama yang terpilih adalah Skenario Agak Optimis. Skenario ini bertumpu pada gerakan 3R (reduce, reuse, recycling), terutama pada recycle (daur ulang). Sosialisasi tetap dilakukan dengan tujuan memberikan pemahaman masyarakat terhadap 3R. Melalui pemahaman ini pandangan terhadap sampah diharapkan akan berubah, yaitu dari sampah yang harus dibuang menjadi sampah yang masih dapat dimanfaatkan. Ibu rumah tangga yang sangat berperan dalam pengelolaan sampah di rumah diupayakan sudah sampai pada tahap paham terhadap 3R sehingga sudah mulai berusaha menekan jumlah sampah dan sudah mulai mau melakukan pemilahan sampah. Pemahaman ini perlu diiringi dengan kebijakan pemerintah yang mengarah pada dukungan terhadap masyarakat yang melakukan aktivitas daur ulang, baik terhadap sampah basah maupun sampah kering. Dukungan tersebut dapat berupa bantuan permodalan dan pemasaran bagi pengusaha kompos dan daur ulang. Rekomendasi untuk pencapaian skenario tersebut adalah dengan dua strategi. Strategi pertama, sosialisasi 3R tetap dilakukan dengan cara yang sama dengan yang telah dilakukan selama ini. Tujuan sosialisasi adalah membuka wawasan masyarakat tehadap manfaat 3R. Perhatian lebih ditujukan kepada para ibu rumah tangga agar pemahamannya tentang 3R selangkah lebih maju dibandingkan anggota keluarga lainnya mengingat ibu rumah tangga sangat berperan dalam pengelolaan sampah di rumah. Strategi kedua, memberikan kesempatan kepada masyarakat yang berminat dalam usaha pembuatan kompos dan produksi berbahan baku sampah kering (daur ulang). Kendala dalam hal permodalan dapat ditanggulangi dengan memberikan peluang untuk memperoleh bantuan modal dan subsidi. Jaringan pemasaran perlu dipersiapkan termasuk didalamnya perlindungan terhadap harga pasar. Usaha kompos dan daur ulang dapat diupayakan agar bisa berbadan hukum untuk membantu terciptanya jaringan pemasaran yang lebih luas. Skenario kedua terpilih adalah Skenario Optimis. Skenario ini bertumpu pada pemahaman masyarakat terhadap 3R (reduce, reuse, recycling), terutama

79 pada recycle (daur ulang). Bentuk-bentuk sosialisasi yang telah dilakukan ditingkatkan dalam hal intensitas dan meluas kesemua lapisan masyarakat dengan tujuan merubah pandangan terhadap sampah, yaitu dari sampah yang harus dibuang menjadi sampah yang masih dapat dimanfaatkan. Pemahaman terhadap 3R diharapkan sudah sampai pada tahap mulai berusaha menekan jumlah sampah dan sudah mulai mau melakukan pemilahan sampah. Pemahaman ini perlu diiringi dengan kebijakan pemerintah yang mengarah pada dukungan terhadap masyarakat yang melakukan aktivitas daur ulang, baik terhadap sampah basah maupun sampah kering. Dukungan tersebut dapat berupa bantuan permodalan dan pemasaran bagi pengusaha kompos dan daur ulang. Skenario Optimis dapat terimplementasikan bila dilakukan strategi-strategi. Strategi yang direkomendasikan untuk mencapai skenario optimis ada dua strategi. Strategi pertama, sosialisasi 3R yang telah dilakukan selama ini ditingkatkan intensitasnya dan memperluas cakupan area sosialisasi sampai mencapai seluruh lapisan masyarakat. Target sosialisasi adalah terbentuknya masyarakat yang mulai mau menekan jumlah sampah dan memilah sampahnya menjadi sampah basah dan kering. Bentuk sosialisasi dapat diperkaya dengan memberikan pelatihan cara memilah sampah atau membuat kompos skala rumah tangga. Strategi kedua, memberikan kesempatan kepada masyarakat yang berminat dalam usaha pembuatan kompos dan produksi berbahan baku sampah kering (daur ulang). Kendala dalam hal permodalan dapat ditanggulangi dengan memberikan peluang untuk memperoleh bantuan modal dan subsidi. Jaringan pemasaran perlu dipersiapkan termasuk didalamnya perlindungan terhadap harga pasar. Usaha kompos dan daur ulang dapat diupayakan agar bisa berbadan hukum untuk membantu terciptanya jaringan pemasaran yang lebih luas. Skenario ketiga terpilih adalah Sangat Optimis. Skenario ini bertumpu pada pemahaman masyarakat terhadap 3R (reduce, reuse, recycling), terutama pada recycle (daur ulang). Bentuk-bentuk sosialisasi yang telah dilakukan ditingkatkan dalam hal intensitas dan meluas kesemua lapisan masyarakat. Tingkat pemahaman masyarakat sudah sampai pada mau melakukan 3R, terutama para ibu rumah tangga yang sudah melakukan pemilahan sampah. Melalui 3R maka jumlah sampah dapat ditekan dan sudah terpilah menjadi sampah basah dan kering.

80 Keadaan ini mendukung bagi usaha pembuatan kompos dan usaha daur ulang sampah kering. Kondisi ini perlu diikuti dengan kebijakan pemerintah yang mengarah pada dukungan terhadap masyarakat yang melakukan aktivitas daur ulang, baik terhadap sampah basah maupun sampah kering. Dukungan tersebut dapat berupa bantuan permodalan dan pemasaran bagi pengusaha kompos dan daur ulang. Skenario ketiga yang terpilih dapat dicapai dengan melaksanakan dua strategi yang direkomendasikan. Strategi pertama, sosialisasi 3R yang telah dilakukan selama ini ditingkatkan intensitasnya dan memperluas cakupan area sosialisasi sampai mencapai seluruh lapisan masyarakat. Target sosialisasi adalah terbentuknya masyarakat yang sudah sangat paham tentang 3R dan mau memilah sampahnya menjadi sampah basah dan kering. Keadaan ini mengarah pada terbukanya peluang untuk usaha pemanfaatan sampah basah dan sampah kering, baik oleh rumah tangga maupun usaha produksi kompos dan daur ulang. Strategi kedua, memberikan kesempatan kepada masyarakat yang berminat dalam usaha pembuatan kompos dan produksi berbahan baku sampah kering (daur ulang). Kendala dalam hal permodalan dapat ditanggulangi dengan memberikan peluang untuk memperoleh bantuan modal dan subsidi. Jaringan pemasaran perlu dipersiapkan termasuk didalamnya perlindungan terhadap harga pasar. Usaha kompos dan daur ulang dapat diupayakan agar bisa berbadan hukum untuk membantu terciptanya jaringan pemasaran yang lebih luas. 4.3.2. Pengembangan Kelembagaan Pengelolaan Persampahan Berbasis Partisipasi Masyarakat Berdasarkan hasil penelitian tampak adanya saling keterkaitan antar kelima stakeholder, yaitu masyarakat penghasil sampah, masyarakat pengelola sampah, masyarakat pemanfaat sampah, masyarakat pemerhati lingkungan, dan pemerintah. Beberapa penelitian juga memperlihatkan tentang hal ini. Aspek kelembagaan dalam pengelolaan persampahan adalah distribusi fungsi, tanggung jawab dan otoritas antara lembaga lokal, regional dan pusat; struktur organsisasi dari kelembagaan yang bertanggungjawab terhadap pengelolaan sampah kota termasuk koordinasi antar sektor; prosedur dan metode untuk perencanaan dan

81 manajemen; kapasitas lembaga yang bertanggung jawab terhadap kapabilitas staf; dan sektor swasta yang terlibat dan peranserta masyarakat dan kelompok pengguna (Schubeler 1996). Wade et al. (2006) melakukan pengkajian pengelolaan sampah rumah tangga di Kaunas, Lithuania. Peneliti menyusun dua skenario pengelolaan, yang pertama dengan implementasi pemilahan dan daur ulang; yang kedua dengan multi treatment yang meliputi pemilahan, daur ulang dan pemulihan energi atau yang disebut dengan mechanical-biological treatment (MBT). Dengan skenario pertama sampah yang akan sampai ke TPA sekitar 65 persen, sementara dengan skenario kedua sampah yang perlu dibuang ke TPA sekitar 31 persen. Penelitian ini hanya melihat segi teknologi belum dihitung aspek ekonominya. Kirkeby et al. (2006) melakukan pengkajian lingkungan dari teknologi dan system pengelolaan sampah. Model yang baru dikembangkan adalah EASEWASTE singkatan dari Environmental Assessment of Solid Waste System and Technologies. Model ini dapat mengidentifikasi solusi paling ramah lingkungan yang akan berbeda tergantung materi limbah dan wilayah. Model ini telah digunakan untuk mengevaluasi dua skenario yang berbeda dalam pengelolaan sampah di Denmark yang berdasar pada life cycle analysis untuk menurunkan dampak pengelolaan sampah terhadap lingkungan. Henry et al. (2006) meneliti pengelolaan sampah di Kenya dari sudut pandang pemerintah pusat dan lokal. Adanya kemiskinan dan migrasi dari desa ke kota yang mengakibatkan permukiman tidak terencana menambah masalah pengelolaan persampahan. Temuan dari penelitian ini adalah terjadinya peningkatan pengumpulan sampah pada saat musim hujan. Pada lokasi penelitian di beberapa pemerintah daerah kelebihan pegawai yang tidak mempunyai keahlian sehingga keuangan pemerintah daerah lebih banyak digunakan untuk membayar pegawai. Hal ini mengakibatkan ketidak efisienan pengelolaan persampahan kota. Law enforcement terhadap pembuangan limbah padat, pengumpulan retribusi dan manajemen relatif rendah. Temuan lainnya adalah adanya kesediaan membayar retribusi yang tinggi dari masyarakat ekonomi menengah ke atas dan dari wilayah Central Business District (CBD) yang telah melakukan pembayaran biaya pengelolaan sampah 10 kali lebih besar dibanding dengan wilayah lain.

82 Pengelolaan sampah di wilayah tersebut, dilakukan oleh pengelola swasta yang mendapat lisensi dari pemerintah daerah setempat. Penelitian meliputi analisis terhadap semua stakeholder yang selanjutnya diproses melalui analisis prospektif untuk memperoleh skenario pengembangan kelembagaan pengelolaan sampah berbasis partisipasi masyarakat. Setiap stakeholder berperan dalam pengembangan kelembagaan berdasarkan kelemahan dan kekuatan yang dimilikinya. Masyarakat penghasil sampah adalah penghasil sampah terbesar dibandingkan sumber sampah kota lainnya. Keterbatasan pengetahuan tentang 3R membuat sampah menjadi barang tidak bernilai. Kaum ibu sebagai sosok yang paling berperan dalam menangani sampah rumah tangga perlu ditingkatkan pengetahuannya tentang 3R. Melalui pemilahan maka akan diperoleh sampah basah yang berguna untuk dijadikan kompos dan sampah kering yang bernilai jual. Masyarakat pengelola sampah, yaitu RT dan RW, adalah pelaksana pengelolaan sampah dan pembina masyarakat ditingkat lokal. Sosialisasi tentang pengelolaan sampah, termasuk 3R, dapat dilakukan oleh RT/RW. Masyarakat pemanfaat sampah berpotensi untuk mengurangi sampah yang harus dibuang ke TPA, namun menghadapi kendala utama yaitu dalam hal pemasaran produk daur ulang sampah. Dukungan yang diperlukan adalah bantuan modal atau subsidi dan pemasaran produk. Masyarakat pemerhati lingkungan, umumnya berupa LSM, berpotensi dalam usaha meningkatkan partisipasi masyarakat dalam 3R namun seringkali menghadapi kendala berupa keterbatasan dana kegiatan. Pemerintah, dalam hal ini PD Kebersihan, tidak memiliki kemampuan yang lebih rendah dibandingkan jumlah sampah yang harus dikelola. Pengelolaan sangat bersifat teknis dan belum mendukung partisipasi masyarakat dalam 3R. Skenario terpilih yang dihasilkan adalah Agak Optimis, yaitu ada sinergi antara lembaga dan partisipasi masyarakat. Skenario ini bertumpu pada gerakan 3R terutama pada daur ulang sampah menjadi kompos dan produk daur ulang. Sosialisasi 3R tetap dilakukan dengan tujuan pemahaman masyarakat terhadap 3R, terutama para ibu rumah tangga. Kebijakan pemerintah mengarah pada pemberian dukungan terhadap aktivitas daur ulang sampah basah dan kering berupa bantuan permodalan dan pemasaran. Rekomendasi untuk mencapai

83 skenario tersebut adalah sosialisasi 3R dan memberikan kesempatan yang luas dalam pemanfaatan sampah untuk kompos atau produk daur ulang. Dalam Struktur Organisasi Pemerintah Kota Bandung terdapat tiga badan yang bisa bekerja sama dengan PD Kebersihan dalam mendukung usaha daur ulang sampah. Badan-badan tersebut adalah Dinas Pertamanan dan Pemakaman, Dinas Pertanian, dan Badan Pemberdayaan Masyarakat. Pembinaan bagi pengusaha kompos dan daur ulang bisa dilakukan oleh Sub Bidang Usaha Ekonomi Rakyat yang berada dibawah Badan Pemberdayaan Masyarakat. Dinas Pertamanan dan Pemakaman dan Dinas Pertanian adalah dua dinas yang dapat menyerap produk kompos dari para pengusaha kompos. Tabel 21 berikut ini memperlihatkan hasil analisis, pengembangan dan implementasi dari skenario pengembangan kelembagaan. Diagram pengembangan kelembagaan pengelolaan sampah kota berbasis partisipasi masyarakat digambarkan pada Gambar 16. Gambar 16 Diagram pengembangan kelembagaan pengelolaan sampah kota berbasis partisipasi masyarakat

Tabel 21 Hasil analisis, pengembangan dan implementasi skenario pengembangan kelembagaan pengelolaan persampahan kota berbasis partisipasi masyarakat Kelompok Hasil Analisis Pengembangan Implementasi Masyarakat penghasil sampah Masyarakat pengelola sampah 1. Rumah tangga adalah penghasil terbesar sampah kota. 2. Mayoritas tingkat timbulan sampah = 10 liter per rumah per hari. 3. Mayoritas penanganan sampah rumah tangga = ibu. 4. Mayoritas masyarakat belum memahami dan melakukan 3R. 5. Sampah rumah tangga mengandung 60% sampah basah dan 40% sampah kering. 6. Pengumpulan sampah dilakukan oleh RT. 1. RT adalah pelaksana pengumpulan sampah rumah tangga (sampah tercampur). 2. RW adalah koordinator RT dan penentu besarnya iuran sampah. 3. Tidak ada hubungan antara RW dengan masyarakat pemanfaat sampah. 1. Ibu rumah tangga paham 3R. 2. Melalui 3R maka tingkat timbulan sampah rumah tangga menurun sehingga jumlah sampah kota menurun. 3. Rumah tangga melakukan pemilahan sampah basah dan sampah kering. 4. Rumah tangga lambat laun mau melakukan daur ulang berupa pembuatan kompos secara individual atau komunal. 1. RT dan RW sebagai organisasi penanganan dan pembinaan persampahan lokal. 2. RT melakukan pengumpulan sampah terpilah dan penyedia sampah basah dan kering untuk masyarakat pemanfaat sampah. 3. RW berperan sebagai pembina 3R, termasuk memberikan reward dan punishment. 1. Ibu rumah tangga memperoleh pengetahuan tentang 3R sampai tingkat paham dan terampil. 2. Melakukan pemilahan sampah. 3. Pada tahap lanjut melakukan komposting individual atau komunal. 1. RT menjual sampah basah dan kering kepada kelompok masyarakat pemanfaat sampah. 2. RW bekerjasama dengan LSM dalam sosialisasi dan pelatihan 3R. 3. Memanfaatkan forum-forum di lingkungan RW sebagai wadah melakukan sosialisasi 3R, misalnya forum pengajian para ibu, kegiatan ibadah, arisan warga, dan sebagainya. 4. RW memberikan insentif bagi rumah tangga yang sudah memilah sampah dan sanksi bagi rumah tangga yang belum memilah sampah.

85 Masyarakat pemerhati lingkungan Masyarakat pemanfaat sampah Kegiatan LSM dalam bidang persampahan, meliputi : 1. Sosialisi 3R 2. Pelatihan pembuatan kompos. Kendala pada usaha kompos dan daur ulang 1. Komposting : pemasaran. 2. Daur ulang : permodalan & badan hukum. Pemerintah 1. Kemampuan PD Kebersihan = 60-75% dari jumlah sampah. 2. Teknik operasional = sampah tercampur. 3. Biaya operasional tinggi karena seluruh sampah diangkut ke TPA. 4. Usaha pengomposan dan pemulungan sampah kering dilakukan di TPA. 5. Adanya dinas/ lembaga teknis di lingkungan pemerintah Kota Bandung yang dapat dikaitkan dengan masalah sampah, yaitu Dinas Pertamanan dan Pemakaman, Dinas Pertanian, dan Badan Pemberdayaan Masyarakat. LSM membantu RW dalam melakukan pembinaan masyarakat tentang 3R dan pembuatan kompos skala rumah tangga. Lebih mampu dalam produksi kompos dan daur ulang karena adanya dukungan pemerintah berupa jaringan pemasaran dan legalitas usaha. Pemulung tidak perlu bekerja di TPA. 1. Teknik operasional pengelolaan sampah selaras dengan 3R, pengangkutan hanya pada sampah sisa. 2. Membangun jaringan pemasaran kompos dan produk daur ulang. 3. Membina pengusaha kompos dan daur ulang (organisasi, koperasi, bantuan hukum). 4. Pemberian insentif bagi pengusaha kompos dan daur ulang berupa pembebasan atau keringanan pajak, bantuan modal atau kredit usaha, dan sebagainya. Sosialisasi dilakukan dengan tahapan : 1. Pemahaman 3R pada kaum ibu. 2. Pelatihan pemilahan sampah menjadi sampah basah layak dikomposkan dan sampah kering layak didaur ulang. 3. Pelatihan membuat kompos skala rumah tangga. 1. Memanfaatkan sampah basah dan sampah kering dari RT 2. Membentuk organisasi/ asosiasi pengusaha kompos dan daur ulang dengan tujuan mempermudah akses terhadap pembinaan oleh pemerintah. 3. Memperbaiki mutu produk untuk menciptakan iklim pasar yang baik. 1. Jumlah sampah menurun, tingkat kemampuan PD Kebersihan meningkat. 2. PD Kebersihan bisa lebih memfokuskan diri sebagai regulator dibandingkan sebagai operator. 3. Bekerjasama dengan dinas-dinas yang terkait dengan pemanfaatan kompos di lingkungan pemerintah Kota Bandung (Dinas Pertamanan dan Pemakaman, Dinas Pertanian). 4. Bekerjasama dengan Badan Pemberdayaan Masyarakat dalam pembinaan usaha kompos dan daur ulang. 5. Penerbitan peraturan daerah yang mengatur tentang 3R.

Rukun Warga (RW) bekerja sama dengan LSM sebagai masyarakat pemerhati lingkungan untuk melakukan sosialisasi tentang 3R kepada masyarakat penghasil sampah. Pemerintah menerbitkan peraturan tentang insentif bagi masyarakat yang sudah melakukan 3R dan disinsentif bagi masyarakat yang belum melakukan 3R. Pemahaman tentang 3R dan adanya peraturan insentif dan disinsentif tersebut akan mendorong masyarakat untuk menangani sampah dengan 3R, termasuk didalamnya memilah sampah. Keadaan ini membuat penanganan sampah oleh RT/RW dilakukan terhadap sampah terpilah. Sampah organik dan anorganik selanjutnya disalurkan kepada masyarakat pemanfaat sampah, sedangkan sampah sisa dibawa ke TPS untuk selanjutnya diangkut ke TPA oleh PD Kebersihan atau sejenisnya. Rangkaian tersebut di atas memberikan manfaat kepada setiap stakeholder. Masyarakat penghasil sampah akan memperoleh insentif yang dapat berupa potongan biaya pengelolaan sampah, kompos yang dibuat sendiri, atau barang bekas yang dijual sendiri. Masyarakat pengelola sampah memperoleh pendapatan dari penjualan sampah organik dan anorganik, selain itu mengecilnya jumlah sampah yang harus dikelola karena hanya berupa sampah sisa. Masyarakat pemanfaat sampah memperoleh sampah organik segar sebagai bahan baku kompos dan sampah anorganik yang lebih bersih dibandingkan bila pemulungan dilakukan di TPA. Manfaat ekonomi juga diperoleh para produsen daur ulang karena adanya jaringan pemasaran yang bisa menyerap produk mereka. Pemerintah memperoleh manfaat berupa semakin kecilnya jumlah sampah yang harus diangkut ke TPA. Hal ini secara langsung akan menurunkan biaya pengangkutan sampah dan kebutuhan lahan untuk TPA. Menyusutnya jumlah sampah yang harus ditangani membuat fungsi pengelola sampah kota berubah dari operator menjadi regulator. Bilamana manfaat ini dapat dirasakan oleh setiap stakeholder maka partisipasi dari setiap stakeholder akan terus berlangsung dan akan terbentuk budaya pengelolaan sampah Kota Bandung yang berbasis partisipasi masyarakat. Peraturan insentif dan disinsentif 3R ditujukan bagi masyarakat penghasil sampah. Peraturan ditetapkan oleh Pemerintah Daerah Kota Bandung yang mengacu pada:

87 1. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 21/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan (KSNP-SPP); 2. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 27 Tahun 2001 pasal 4 ayat 2 dan pasal 6 ayat 1; 3. Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 11 Tahun 2005 tentang Perubahan atas Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 03 Tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan; 4. Keputusan Walikota Bandung Nomor 644 Tahun 2002 tentang Tarif Jasa Kebersihan di Kota Bandung; 5. Surat Edaran Walikota Bandung Nomor 658.1/SE.030-PD.KBR Tahun 2006 kepada para camat dan lurah untuk mengikutsertakan masyarakat dalam kegiatan 3R. Lembaga Swadaya Masyarakat sebagai masyarakat pemerhati lingkungan menjadi pemrakarsa dalam penyusunan rancangan akademik peraturan insentif dan disinsentif 3R dengan mengikutsertakan seluruh stakeholder. Ruang lingkup dari rancangan peraturan insentif dan disinsentif 3R meliputi bentuk, tata cara, pelaksanaan dan pengawasan. Bentuk insentif dapat berupa pembebasan iuran dan retribusi sampah, sedangkan bentuk disinsentif dapat berupa pembebanan iuran dan retribusi sampah yang besarnya beberapa kali lipat. Pemungutan iuran dan retribusi sampah adalah melalui rukun warga (RW) dengan alasan RW adalah pelaksana pengumpulan sampah dari rumah tangga. Untuk keperluan pengawasan dilakukan oleh perwakilan Perusahaan Derah Kebersihan di tingkat kecamatan. 4.3.3. Simulasi Reduksi Jumlah Sampah Berdasarkan Skenario Pengembangan Kelembagaan Skenario pengembangan kelembagaan bertujuan mereduksi jumlah sampah yang harus dibuang ke tempat pembuangan akhir (TPA). Pencapaian target reduksi dilakukan dengan dua strategi yaitu sosialisasi 3R dan membuka peluang usaha kompos dan daur ulang.

88 Usaha reduksi sampah sudah dilakukan di banyak negara melalui daur ulang sampah. Beberapa negara telah mempunyai portofolio untuk 3R yang berisi target reduksi sampah yang harus dibuang ke TPA (Policy Planning Division 2006). Jepang telah melakukan reduksi sampah sebesar 28% selama 10 tahun yaitu tahun 1989-2000) dan mentargetkan menjadi 50% pada kurun waktu tahun 1997-2010. Malaysia, khususnya Kuala Lumpur mempunyai target reduksi sampah sampai 35% selama 15 tahun yaitu tahun 2005-2020. Afrika Selatan mentargetkan dapat mereduksi sampah sampai 40% selama 5 tahun yaitu tahun 2005-2010. Target daur ulang terhadap sampah di Singapura adalah sebesar 60% yang ingin dicapai pada tahun 2012, sedangkan di Jerman sebesar 50% pada tahun 2020. Berdasarkan Kebijakan dan Strategi Nasional Sistem Pengelolaan Persampahan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 diseebutkan bahwa reduksi sampah di Indonesia yang dibuang ke TPA ditargetkan sebesar 20% pada tahun 2010 (Departemen Pekerjaan Umum 2006). Kota Bandung sudah mempunyai peraturan yang didalamnya mengatur masalah 3R, namun belum dilengkapi dengan ketentuan tentang insentif dan disinsentif bagi masyarakat yang sudah dan belum melakukan 3R. Namun demikian, sampah Kota Bandung mempunyai komposisi yang memungkinkan untuk dilakukannya 3R oleh masyarakat. Komposisi tersebut adalah 63,56% berupa sampah organik dan 36,44% berupa sampah anorganik, yang 66% berasal dari rumah tangga dan 34% dari non rumah tangga. Berdasarkan kondisi tersebut maka dapat diasumsikan bahwa target reduksi sampah sebesar 20% akan dicapai dalam waktu 20 tahun, yaitu tahun 2005-2024. Target tersebut dicapai dengan asumsi : (1) Pemilahan hanya oleh rumah tangga, (2) Sampah organik layak dikomposkan sebesar 50%, (3) Sampah anorganik layak didaur ulang sebesar 30%, dan (4) Sampah residu sebesar 20% dibuang ke TPA. 4.3.3.1 Strategi Sosialisasi 3R Berdasarkan hasil perhitungan, target reduksi sampah sebesar 20% dalam waktu 20 tahun akan tercapai bila 40% rumah tangga memilah. Keadaan ini dapat terjadi dengan asumsi pada tahun 2004 rumah tangga belum melakukan pemilahan. Dimulai pada tahun 2005 ditargetkan ada pertambahan 2% rumah tangga memilah. Selanjutnya terus menerus terjadi penambahan 2% setiap tahun,

89 sehingga tercapai 40% rumah tangga memilah pada tahun 2024. Melalui sosialisasi diharapkan dapat tercapai target sebagai berikut yang disajikan pada Tabel 22. Jumlah sampah yang harus dibuang ke TPA selama tahun 2005-2024 tanpa dan dengan pemilahan oleh rumah tangga disajikan pada Gambar 17. 2400 2200 2000 1800 1600 1400 1200 1000 Tahun 2005 Tahun 2006 Tahun 2007 Tahun 2008 Tahun 2009 Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012 Tahun 2013 Tahun 2014 Tahun 2015 Tahun 2016 Tahun 2017 Tahun 2018 Tahun 2019 Tahun 2020 Tahun 2021 Tahun 2022 Tahun 2023 Tahun 2024 Jumlah sampah ke TPA tanpa pemilahan (ton/hari) Jumlah sampah ke TPA dengan pemilahan (ton/hari) Gambar 17 Jumlah sampah yang harus dibuang ke TPA selama tahun 2005-2024 tanpa dan dengan pemilahan oleh rumah tangga (hasil analisis)

Tabel 22 Target sosialisasi 3R pertahun dari tahun 2005 sampai 2024 (hasil analisis) Tahun Tahun sosialisasi 3R 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011 2012 2013 2014 2015 2016 2017 2018 2019 2020 2021 2022 2023 2024 Tahun ke 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 S penduduk (ribu jiwa) 2.287 2.342 2.399 2.458 2.517 2.579 2.641 2.705 2.771 2.838 2.907 2.978 3.050 3.125 3.201 3.278 3.358 3.440 3.523 3.609 S sampah (m3/hari) 6.861 7.026 7.197 7.374 7.551 7.737 7.923 8.115 8.313 8.514 8.721 8.934 9.150 9.375 9.603 9.834 10.074 10.320 10.569 10.827 S sampah (ton/hari) 1.372 1.405 1.439 1.475 1.510 1.547 1.585 1.623 1.663 1.703 1.744 1.787 1.830 1.875 1.921 1.967 2.015 2.064 2.114 2.165 Rumahtangga memilah (%) 2 4 6 8 10 12 14 16 18 20 22 24 26 28 30 32 34 36 38 40 Sampah layak kompos (%) 0,66 1,32 1,98 2,64 3,30 3,96 4,62 5,26 5,94 6,60 7,26 7,92 8,58 9,24 9,90 10,56 11,22 11,88 12,54 13,20 Sampah layak kompos 9,06 18,55 28,49 38,94 49,83 61,26 73,23 85,37 98,78 112,40 126,61 141,53 157,01 173,25 190,18 207,72 226,08 245,20 265,10 285,78 (ton/hari) Produksi kompos 3,02 6,18 9,50 12,98 16,61 20,42 24,41 28,46 32,93 37,47 42,20 47,18 52,34 57,75 63,39 69,24 75,36 81,73 88,37 95,26 (ton/hari) Sampah layak daurulang (%) 0,40 0,80 1,19 1,58 1,98 2,38 2,77 3,17 3,56 3,96 4,36 4,75 5,15 5,54 5,94 6,34 6,73 7,13 7,52 7,92 Sampah layak daur ulang 5,49 11,24 17,12 23,31 29,90 36,82 43,90 51,45 59,20 67,44 76,04 84,88 94,25 103,88 114,11 124,71 135,61 147,16 158,97 171,47 (ton/hari) Sampah ke TPA (%) 98,94 97,88 96,83 95,78 94,72 93,66 92,61 91,57 90,50 89,44 88,38 87,33 86,27 85,22 84,16 83,10 82,05 80,99 79,94 78,88 S sampah ke TPA (ton/hari) 1.357 1.375 1.393 1.413 1.430 1.449 1.468 1.486 1.505 1.523 1.541 1.561 1.579 1,598 1.617 1.635 1.653 1.672 1.690 1.708 Tingkat pelayanan (%) 60 60,70 61,36 62 62,72 63,42 64,13 64,88 65,64 66,42 67,22 68,00 68,84 69,70 70,57 71,46 72,41 73,33 74,30 75,29 Keterangan : Tingkat pelayanan dihitung berdasarkan asumsi tidak ada penambahan peralatan operasi.

91 Sesuai dengan jumlah kecamatan, sosialisasi dilaksanakan dengan membagi Kota Bandung menjadi 26 area sosialisasi dengan target dalam 20 tahun akan diperoleh 40% rumah tangga memilah. Setiap area sosialisasi dibagi menjadi 20 ring sosialisasi yang berarti pada tahun pertama sosialisasi dilakukan pada ring 1, tahun kedua pada ring 1 dan 2, dan seterusnya (Gambar 18). Gambar 18 Pergerakan radius sosialisasi pada setiap kecamatan (hasil analisis) Sosialisasi selama 20 tahun tersebut dapat dibagi menjadi 3 tahapan, yaitu jangka pendek, menengah, dan panjang. Sosialisasi dilakukan oleh LSM yang bekerjasama dengan RW. 4.3.3.2. Strategi Pemasaran Kompos Strategi kedua adalah memberikan kesempatan kepada masyarakat yang berminat dalam usaha pembuatan kompos dan produksi berbahan baku sampah kering (daur ulang). Hasil penelitian memberikan dua gambaran yaitu: (1) Masalah pada usaha pembuatan kompos adalah dalam hal pemasaran kompos, (2) Masalah pada usaha daur ulang adalah dalam hal permodalan dan badan hukum.