BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan sehari-hari, seseorang tidak terlepas dari suatu komunikasi. Komunikasi dapat berlangsung antar individu, kelompok, sosial, dan lain sebagainya. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), komunikasi adalah pengiriman dan penerimaan pesan atau berita antara dua orang atau lebih sehingga pesan yang dimaksud dapat dipahami. Hoben (Morissan, 2013: 10) menjelaskan bahwa Communication is the verbal interchange of a thought or idea, yang berarti komunikasi adalah pertukaran verbal dari pemikiran dan gagasan. Dengan kata lain, komunikasi merupakan penyampaian pesan secara lisan maupun tulisan. Pada kegiatan belajar mengajar, kemampuan komunikasi sangat dibutuhkan dalam mencapai tujuan pembelajaran, salah satunya dalam pembelajaran matematika sebagaimana yang termuat dalam Peraturan Dirjen Dikdasmen No. 506/C/PP/2004 tanggal 11 November 2004 tentang Penilaian Perkembangan Anak Didik Sekolah Menengah Pertama (SMP) bahwa aspek penilaian matematika dalam rapor dikelompokkan menjadi tiga aspek, yaitu: (1) pemahaman konsep, (2) penalaran dan komunikasi, serta (3) pemecahan masalah. Sejalan dengan itu, Hirschfeld (2008: 4) menyatakan bahwa komunikasi adalah bagian penting dari matematika dan pendidikan matematika. Melalui komunikasi, siswa dapat menyampaikan ide dan memperjelas pemahaman National Council of Teachers Mathematics (NCTM, 2000: 60). Menurut Wahid Umar (2012: 1) melalui kemampuan komunikasi matematis, siswa dapat mengorganisasikan berpikir matematisnya baik secara lisan maupun tulisan. Mahmudi (2009) menyatakan bahwa diperlukan perubahan pendekatan pembelajaran yang selama ini digunakan, ia juga menyatakan bahwa selama ini pembelajaran matematika lebih difokuskan pada aspek komputasi yang sifatnya 1
algoritmik. Tidak mengherankan jika berdasarkan berbagai studi menunjukkan bahwa siswa pada umumnya dapat melakukan perhitungan matematik, tetapi kurang menunjukkan hasil yang menggembirakan terkait penerapannya dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, perolehan hasil The Third International Mathematics and Science Study (TIMSS) menyatakan bahwa siswa SMP Indonesia sangat lemah dalam problem solving, namun cukup baik dalam keterampilan procedural (Mullis, Martin, Gonzales, Gregory, Garden, O Connor, Chrostowski, & Smith, 2000). Hal tersebut berkebalikan dengan latar belakang pada lampiran dokumen Standar Isi Permendiknas Nomor 22 Tahun 2006 (Depdiknas, 2006) bahwa Pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika. dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Sistem Persamaan Linear Dua Variabel (SPLDV) merupakan salah satu materi matematika yang menyajikan masalah sesuai situasi yang ada (contextual problem), yaitu permasalahan sederhana yang berkaitan dengan kehidupan seharihari. Melalui soal cerita yang mengangkat permasalahan sehari-hari ini, siswa dituntut untuk mengomunikasikan bahasa sehari-hari ke dalam bahasa matematika dan menafsirkan hasil perhitungan yang dilakukan sesuai permasalahan yang diberi untuk memperoleh suatu pemecahan. Berdasarkan hasil observasi peneliti di kelas VIII B dan VIII D SMP N 16 Surakarta pada semester ganjil tahun ajaran 2015/2016 dan wawancara dengan guru pengampu matematika kelas tersebut, diperoleh informasi secara umum bahwa kemampuan komunikasi matematika peserta didik kelas VIII SMP N 16 Surakarta masih rendah. Berikut hasil observasi yang diperoleh: 1. Sebagian besar peserta didik tidak menuliskan apa yang diketahui dan ditanyakan, serta tidak membuat pemodelan matematika dari masalah kontekstual yang ada. 2. Sebagian besar peserta didik tidak menjelaskan konsep dan strategi yang mereka gunakan dalam pemecahan masalah 2
3. Sebagian besar siswa tidak menafsirkan solusi masalah matematika yang ia peroleh kembali ke dalam masalah kontekstual. Dari hasil observasi di atas tersebut, dapat dilihat bahwa siswa SMP Negeri 16 Surakarta tidak terlatih untuk mengomunikasikan ide-ide tertulisnya. Hal ini dimungkinkan karena guru tidak menuntut dan mencontohkan bagaimana mengomunikasikan ide-ide matematisnya atau memang mereka cenderung hanya berorientasi pada hasil. Berikut contoh dari salah satu proses pekerjaan siswa dalam memecahkan masalah kontekstual pada materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel (SPLDV): Suatu pertunjukkan dihadiri oleh 480 orang. Harga karcis tempat duduk depan Rp 4.000,00 dan belakang Rp 6.000,00. Uang yang terkumpul Rp. 2.530.000,00. Berapa banyaknya tempat duduk depan dan belakang yang ditempati? Dari soal di atas, sebagian besar siswa menjawabnya dengan langsung melakukan suatu perhitungan tanpa mengkomunikasi dan merepresentasikan prosedur pemecahan dengan jelas. Hal tersebut dapat dilihat pada salah satu proses pemecahan yang dilakukan siswa seperti pada Gambar 1.1. Gambar 1.1. Contoh Pengerjaan Soal SPLDV sebelum Penelitian 3
Jawaban siswa di atas menunjukkan bahwa siswa hanya mementingkan hasil berupa solusi akhir daripada langkah pemecahan masalah matematika dengan representasi yang komunikatif dan jelas. Berdasarkan hasil wawancara peneliti dengan guru pengampu mata pelajaran matematika SMP Negeri 16 Surakarta pada tanggal 21 September 2015 diperoleh bahwa sangat jarang siswa yang menuliskan apa yang diketahui dan ditanyakan dari permasalahan matematika yang diberikan oleh guru. Sehingga, guru pun akhirnya mengesampingkan kemampuan bagaimana cara siswa mengomunikasikan jawabannya. Sementara itu, dari hasil wawancara peneliti dengan beberapa siswa SMP Negeri 16 Surakarta, mereka mengaku agak kesulitan dalam menghadapi masalah matematika dalam bentuk soal cerita. Hal ini dikarenakan mereka diharuskan mengubahnya ke dalam bentuk simbol-simbol matematika untuk menyelesaikannya. Selain itu, mereka juga sering kebingungan bagaimana harus mengkomunikasikan jawaban dalam pikiran mereka ke bentuk matematika, serta kapan harus menggunakan operasi penjumlahan atau pengurangan Kemampuan komunikasi matematis pun berkaitan dengan gaya kognitif. Hal ini dikarenakan gaya kognitif berpengaruh terhadap pemrosesan informasi dalam otak siswa sehingga akan terjadi perbedaan penyampaian ide-ide matematis siswa pada masing-masing gaya kognitif. Sejalan dengan hal tersebut, Maclean dan Wilson (2009) dalam Dewi Risalah (2012) menyatakan bahwa, The cognitive style dimension of field independence or dependence refers to a student s manner of processing information on a continuum between globally or analytically, yang artinya gaya kognitif adalah cara seseorang dalam memproses, menyimpan, maupun menggunakan informasi untuk menanggapi suatu tugas atau menanggapi berbagai jenis situasi lingkungannya. Setiap individu memiliki gaya kognitif yang berbeda-beda tidak terkecuali bagi siswa. Ada banyak tipe gaya kognitif, salah satu tipe yang sering digunakan adalah gaya kognitif menurut Witkin, Oltman, Raskin, dan Karp (1977) yaitu gaya kognitif Field Independent (FI) dan gaya kognitif Field Dependent (FD). 4
Desmita (2009) menjelaskan beberapa karakter seseorang yang memiliki gaya kognitif FD dan FI. Siswa yang memiliki gaya kognitif FD cenderung menerima suatu pola sebagai suatu keseluruhan. Mereka sulit untuk memfokuskan pada satu aspek dari suatu situasi, mereka juga kesulitan dalam menganalisa pola menjadi bagian-bagian yang berbeda. Siswa FD cenderung kesulitan dalam memproses informasi yang diberikan, kecuali informasi tersebut telah diubah atau dimanipulasi kedalam bentuk yang biasa mereka kenal. Siswa FD cenderung memerlukan instruksi atau petunjuk yang lebih jelas mengenai bagaimana memecahkan masalah. Mereka memiliki kesulitan dalam mempelajari materi terstruktur dan butuh analisis seperti matematika. Meskipun demikian, mereka memiliki ingatan yang baik terhadap informasi-informasi sosial dan juga pada materi dengan muatan sosial. Sebaliknya, siswa FI lebih dapat menerima bagian-bagian terpisah dari suatu pola yang menyeluruh dan mampu menganalisa pola kedalam komponen-komponennya. Hal ini disebabkan karena siswa FI memiliki kemampuan lebih baik dalam menganalisa informasi yang kompleks, tidak terstruktur, dan mampu mengorganisasinya untuk memecahkan masalah. Siswa FI lebih menguasai materi matematika yang membutuhkan analisis dibandingkan materi dengan muatan sosial. Dari paparan di atas menunjukkan bahwa individu dengan gaya kognitif FI lebih baik dari individu dengan gaya kognitif FD dalam hal pemecahan masalah matematika. Berdasarkan hasil penelitian Prastiti (2009) tentang implementasi Realistic Mathematics Education (RME) dengan memperhatikan gaya kognitif siswa dalam pengaruhnya terhadap kemampuan komunikasi dan pemecahan masalah matematika SMP menyimpulkan bahwa siswa dengan gaya kognitif FI lebih baik daripada siswa dengan gaya kognitif FD dalam kemampuan komunikasi matematis dan pemecahan masalah matematika. Walaupun demikian, FI tidak dapat dikatakan lebih unggul dari FD. Hal ini dikarenakan FD dan FI mempunyai kekurangan dan kelebihannya masing-masing. 5
Pada penelitian ini, akan dibahas mengenai komunikasi tertulis siswa dalam pemecahan masalah matematika pada materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel (SPLDV) ditinjau dari gaya kognitif. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijabarkan sebelumnya, maka rumusan masalah yang didapat adalah: 1. Bagaimana deskripsi dan tingkat kemampuan komunikasi matematis secara tertulis siswa yang memiliki gaya kognitif Field Dependent (FD) kelas VIII SMP Negeri 16 Surakarta dalam pemecahan masalah matematika pada materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel (SPLDV)? 2. Bagaimana deskripsi dan tingkat kemampuan komunikasi matematis secara tertulis siswa yang memiliki gaya kognitif Field Independent (FI) kelas VIII SMP Negeri 16 Surakarta dalam pemecahan masalah matematika pada materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel (SPLDV)? C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk: 1. Mendeskripsikan tingkat kemampuan komunikasi matematis secara tertulis siswa yang memiliki gaya kognitif Field Dependent (FD) kelas VIII SMP Negeri 16 Surakarta dalam pemecahan masalah matematika pada materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel (SPLDV) 2. Mendeskripsikan tingkat kemampuan komunikasi matematis secara tertulis siswa yang memiliki gaya kognitif Field Independent (FI) kelas VIII SMP Negeri 16 Surakarta dalam pemecahan masalah matematika pada materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel (SPLDV) 6
D. Manfaat Penelitian Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Memberikan informasi, khususnya kepada guru mata pelajaran matematika mengenai kemampuan komunikasi matematis siswa yang memiliki gaya kognitif FI dan FD kelas VIII SMP Negeri 16 Surakarta dalam pemecahan masalah matematika pada materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel (SPLDV). 2. Sebagai sarana bagi siswa dalam mendeteksi masalah belajar apa saja yang muncul dalam pemecahan masalah matematika pada materi Sistem Persamaan Linear Dua Variabel (SPLDV) dengan masing-masing gaya kognitif. 3. Sebagai wawasan tambahan bagi penulis dalam memahami komunikasi matematis siswa dengan masing-masing gaya kognitif kelas VIII SMP Negeri 16 Surakarta dalam pemecahan masalah matematika pada materi sistem persamaan linear dua variabel (SPLDV). 4. Sebagai referensi bagi penelitian sejenis. 7