BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Persaingan bisnis mendorong perusahaan untuk melakukan pengembangan bisnis. Pada saat perusahaan memutuskan untuk melakukan ekspansi, perusahaan membutuhkan modal. Ada beberapa pilihan untuk mendapatkan tambahan modal, salah satunya adalah melakukan penawaran umum perdana saham atau lebih dikenal dengan Initial Public Offering (IPO). Perusahaan yang melakukan IPO akan menjadi perusahaan terbuka (go public) yang sahamnya diperjualbelikan di bursa efek dan masyarakat dapat menjadi bagian dari struktur kepemilikan perusahaan. Keuntungan go public adalah kemudahan meningkatkan modal di masa mendatang, meningkatkan likuiditas bagi pemegang saham, dan nilai pasar perusahaan diketahui. Adapula beberapa kerugian dari go public, yaitu biaya laporan yang meningkat, pengungkapan, dan ketakutan untuk diambil alih (Hartono, 2010). Salah satu fenomena yang menyertai IPO adalah underpricing. Underpricing adalah suatu fenomena ketika harga saham perdana lebih rendah dibanding harga penutupan saham IPO pada hari pertama di pasar sekunder. Penelitian yang dilakukan oleh Akhbani (2007) yang menggunakan 104 IPO di Indonesia periode 1999-2006 menunjukkan 90 IPO atau sebesar 86,53% mengalami underpricing. Darmadi dan Gunawan (2013) juga mencatat bahwa tingkat underpricing di Indonesia berada di atas 70% pada periode 2003-2011. Hal ini mengakibatkan dana yang diterima perusahaan menjadi tidak maksimal. Oleh sebab itu, pemilik 1
2 atau investor awal perusahaan berupaya meminimalkan underpricing karena akan menyebabkan adanya transfer kemakmuran dari pemilik perusahaan kepada calon investor (Yatim, 2011). Beberapa alasan dan teori terjadinya underpricing telah dikemukakan oleh beberapa peneliti. Karakteristik IPO yang ditandai dengan kondisi ketidakpastian dan informasi asimetri menjadi dasar penjelasan underpricing. Ada beberapa teori yang dapat menjelaskan underpricing. Pertama, teori agensi menjelaskan bahwa underpricing terjadi karena adanya informasi asimetri. Informasi asimetri terjadi di antara pelaku pasar yang terlibat dalam proses IPO seperti perusahaan, penjamin emisi, serta investor. Menurut Rock (1986), penyebab terjadinya informasi asimetri antara perusahaan dan calon investor adalah perusahaan memiliki informasi yang lebih baik terkait prospek perusahaan di masa mendatang dibandingkan calon investor. Oleh karena itu, perusahaan menjual saham IPO dengan harga murah (underpriced). Menurut Beatty dan Ritter (1986), informasi asimetri antara perusahaan dan penjamin emisi terjadi karena penjamin emisi memiliki informasi yang lebih baik mengenai pasar dan kriteria sekuritas yang diinginkan oleh investor dibandingkan perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan mempercayakan penjamin emisi untuk menentukan harga yang tepat dari saham IPO yang ditawarkan ke publik. Penjamin emisi memiliki kecenderungan untuk menetapkan harga lebih rendah dari harga yang berani dibayarkan oleh pasar maka terjadilah underpricing. Tindakan ini dilakukan oleh penjamin emisi untuk mengurangi risiko dan kerugian dari ketidakberhasilan penawaran saham perdana.
3 Menurut Rock (1986), informasi asimetri juga dapat terjadi pada kelompok investor yang memiliki informasi (informed investor) dan kelompok investor yang tidak memiliki informasi (uninformed investor). Kelompok investor yang memiliki informasi hanya akan membeli saham perusahaan IPO jika mereka yakin bahwa harga saham setelah IPO akan lebih tinggi atau dapat memberikan return, sedangkan investor yang tidak memiliki informasi akan membeli saham perusahaan IPO secara acak baik itu saham yang undepriced atau overpriced. Keadaan itu tidak menguntungkan bagi investor yang tidak memiliki informasi karena akan mengalami kerugian yang lebih besar lalu meninggalkan pasar. Oleh sebab itu, harga saham IPO dijual murah agar investor yang tidak memiliki informasi tidak meninggalkan pasar. Teori lain yang dapat menjelaskan underpricing adalah signaling theory. Pada saat IPO, ketidakpastian nilai perusahaan menjadi salah satu risiko yang harus dipertimbangkan calon investor. Semakin tinggi ketidakpastian nilai perusahaan, maka semakin tinggi juga risiko yang ditanggung oleh calon investor. Oleh sebab itu, penelitian tentang signaling theory menyatakan bahwa pemegang saham awal perusahaan melakukan underpricing saat IPO untuk memberi sinyal positif terkait nilai perusahaan kepada calon investor (Allen dan Faulhaber, 1989). Underpricing juga mengindikasikan bahwa perusahaan memiliki kinerja keuangan yang baik untuk memulihkan kerugian saat IPO. Berdasarkan penjelasan di atas, perusahaan termotivasi menemukan mekanisme yang dapat mengomunikasikan nilai perusahaan dan memengaruhi underpricing saat IPO. Salah satu mekanisme yang dianggap dapat menunjukkan nilai perusahaan yang baik serta
4 menjadi elemen kunci untuk bersaing adalah tata kelola perusahaan (Shleifer dan Vishny, 1997). Tata kelola perusahaan adalah struktur hubungan serta kaitannya dengan tanggung jawab di antara pihak-pihak terkait yang terdiri atas pemegang saham, pihak eksternal, anggota dewan direksi dan komisaris termasuk manajer yang dirancang untuk mendorong terciptanya suatu kinerja yang kompetitif yang diperlukan dalam mencapai tujuan utama perusahaan (OECD, 2004). Di Indonesia, pelaksanaan tata kelola diatur dalam UU Republik Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 dan Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia tahun 2006 oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG). Pada kasus underpricing, tata kelola perusahaan dapat digunakan sebagai mekanisme untuk mengatasi masalah keagenan yang disebabkan oleh informasi asimetri, yaitu dengan melakukan pengawasan baik secara internal atau eksternal (Jensen dan Meckling, 1976). Pengawasan ini dapat mengurangi tindakan oportunistik yang dapat merugikan investor dan pemangku kepentingan lainnya. Implementasi kelola yang baik diharapkan memberi keyakinan kepada investor bahwa perusahaan dapat memberi return atas investasi yang ditanamkan. Berdasarkan signaling theory, tata kelola perusahaan juga dapat digunakan sebagai sinyal terkait kualitas perusahaan. Karakteristik suatu sinyal adalah sinyal tersebut dapat diamati dan diketahui sehingga pihak-pihak di pasar modal dapat secara efektif menggunakan sinyal tersebut. Karakteristik penting lainnya adalah sinyal tersebut adalah sinyal yang mahal dan susah ditiru oleh perusahaan lain yang berkualitas rendah (Yatim, 2011). Berdasarkan karakteristik tersebut, tata
5 kelola perusahaan dapat digunakan sebagai sinyal untuk mengomunikasikan nilai perusahaan. Lebih lanjut, Certo, et. al. (2001) menyatakan bahwa adanya pengawasan dengan penerapan tata kelola perusahaan dapat dijadikan sinyal positif terkait kualitas perusahaan karena dapat mengurangi informasi asimetri yang merupakan penyebab underpricing. Oleh sebab itu, tata kelola perusahaan mempunyai pengaruh terhadap underpricing. Beberapa penelitian sebelumnya telah menganalisis pengaruh mekanisme tata kelola perusahaan terhadap underpricing. Hasilnya, mekanisme tata kelola perusahaan memengaruhi tingkat underpricing (Filatotchev dan Bishop, 2002; Yatim, 2011). Pada penelitian ini atribut tata kelola perusahaan berfokus pada struktur dewan komisaris dan struktur kepemilikan yang diproksikan oleh jumlah dewan komisaris, komisaris independen, dewan komisaris wanita, konsentrasi kepemilikan, kepemilikan manajerial, dan kepemilikan institusional. Forum Corporate Governance Indonesia (FGCI, 2001) menyatakan bahwa ada dua sistem hukum terkait struktur tata kelola perusahaan yaitu one-tier system dan two-tier system. Tata kelola di Indonesia menganut two-tier system yang peran pengawas (dewan komisaris) dan manajemen (dewan direksi) dipisah dalam perusahaan. Tugas dari dewan komisaris adalah mengawasi kebijakan direksi dalam menjalankan perusahaan, memberi nasihat kepada direksi, serta memastikan perusahaan melaksanakan tata kelola perusahaan (KNKG, 2006). Pada penelitian ini, pengaruh dewan komisaris terhadap underpricing dianalisis dengan jumlah dewan komisaris. Pengujian terkait pengaruh jumlah dewan komisaris terhadap underpricing telah dilakukan oleh beberapa peneliti dan menunjukkan hasil yang
6 beragam. Certo, et. al. (2001), Darmadi dan Gunawan (2013) menemukan hubungan signifikan negatif antara jumlah dewan komisaris dan tingkat underpricing. Hasil ini berbeda dengan penelitian Mnif (2010) yang menemukan hubungan signifikan positif antara jumlah dewan komisaris dan underpricing. Perbedaan lainnya ditunjukkan oleh penelitian Yatim (2011) yang tidak menemukan pengaruh yang signifikan antara jumlah dewan komisaris dan underpricing. Menurut Filatotchev dan Bishop (2002), keefektifan dewan komisaris dipengaruhi oleh keberadaan komisaris independen dalam struktur dewan komisaris. Komisaris independen sebagai pihak yang tidak terafiliasi dengan perusahaan diharapkan mengawasi manajemen lebih efektif dan mengomunikasikan informasi kepada calon investor sehingga dapat mengurangi informasi asimetri dan masalah keagenan di antara pemegang saham (Lin dan Chuang, 2011). Hasil penelitian pengaruh komisaris independen terhadap underpricing juga beragam. Filatotchev dan Bishop (2002) serta Lin dan Chuang (2011) menemukan bahwa proporsi dewan independen berpengaruh negatif dan signifikan terhadap underpricing IPO. Itu artinya keberadaan komisaris independen mengurangi tingkat underpricing. Sementara itu, hubungan signifikan positif antara komisaris independen terhadap underpricing ditemukan oleh Darmadi dan Gunawan (2013). Hasil tersebut ber-beda dengan penelitian Yatim (2011) dan Certo, et. al. (2001) yang tidak mene-mukan adanya pengaruh antara variabel komisaris independen dan underpricing.
7 Pengaruh dewan komisaris terhadap underpricing juga dapat dianalisis dari keberagaman gender, khususnya keberadaan wanita pada dewan komisaris. Menurut Carter (2003), dewan komisaris wanita dapat meningkatkan nilai perusahaan. Namun, menurut Amatucci dan Crawley (2011), dewan komisaris wanita dianggap lebih konservatif dan menghindari risiko dalam mengambil keputusan dibandingkan dewan komisaris laki-laki. Pengujian yang dilakukan oleh Reutzel (2015) menguji pengaruh dewan komisaris wanita terhadap underpricing IPO menemukan bahwa dewan komisaris wanita berpengaruh positif terhadap underpricing. Hasil berbeda ditemukan oleh Singh (2015) yang menemukan pengaruh negatif, tetapi tidak signifikan antara dewan komisaris wanita dan underpricing. Proksi lain dari mekanisme tata kelola perusahaan adalah konsentrasi kepemilikan. Konsentrasi kepemilikan menggambarkan saham perusahaan yang dimiliki oleh pemegang saham terbesar (Darmadi dan Gunawan, 2013). Pemegang saham tersebut dikenal dengan blockholders. Pemegang saham ini memiliki wewenang dalam pengawasan kinerja perusahaan dan mendapatkan hak suara dalam pengambilan keputusan. Hasil penelitian Brennan dan Franks (1997) menemukan hubungan yang positif antara konsentrasi kepemilikan dan underpricing. Chen dan Strange (2004) menemukan proporsi saham yang dipegang oleh pemegang saham terbesar berpengaruh negatif terhadap underpricing IPO perusahaan di Cina. Namun, Darmadi dan Gunawan (2013) gagal menemukan hubungan signi-fikan antara konsentrasi kepemilikan dan underpricing IPO. Proksi tata kelola perusahaan lainnya adalah kepemilikan manajerial. Kepemilikan manajerial adalah kepemilikan saham oleh manajemen di perusa-
8 haan. Kepemilikan manajerial merupakan salah satu bentuk insentif yang diberikan kepada manajer agar bertindak sesuai dengan kepentingan pemegang saham. Menurut Jensen dan Meckling (1976), kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap penilaian pasar karena merepresentasikan kepercayaan manajer terhadap kualitas perusahaan. Peningkatan kepemilikan manajerial dapat meningkatkan nilai perusahaan, tetapi kepemilikan manajerial yang berlebihan dapat menyebabkan manajer bertindak oportunistik untuk memperoleh keuntungan pribadi dan dapat merugikan pemegang saham. Kepemilikan institusional juga dapat digunakan sebagai proksi dari struktur kepemilikan. Kepemilikan institusional adalah kepemilikan saham perusahaan oleh institusi lain, termasuk perusahaan asuransi, bank, perusahaan dana pensiun, perusahaan investasi, dan perusahaan konsultan investasi. Besarnya kepemilikan institusional dalam perusahaan akan berpengaruh terhadap keefektifan pengawasan manajemen dalam mengelola perusahaan. Menurut Shleifer dan Vishny (1986), keefektifan pengawasan akan meningkatkan nilai perusahaan dan menarik investor untuk berinvestasi di perusahaan. Darmadi dan Gunawan (2013) juga mengatakan bahwa kehadiran investor institusional dapat mengurangi informasi asimetri antara perusahaan dan calon investor. Hasil penelitian kepemilikan institusional terhadap underpricing menunjukkan hasil yang beragam. Darmadi dan Gunawan (2013) menemukan kepemilikan institusional berpengaruh negatif dan signifikan terhadap underpricing. Namun, penelitian Lin dan Chuang (2011) menemukan hubungan positif antara kepemilikan institusional dan underpricing.
9 Berdasarkan penjelasan di atas, penelitian ini akan menguji pengaruh tata kelola perusahaan terhadap underpricing. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah perusahaan nonfinansial yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) yang melakukan IPO pada periode 2010-2015. Penelitian ini berfokus pada sektor nonfinansial karena lebih cenderung mengalami underpricing dibanding perusahaan pada sektor finansial karena perusahaan finansial lebih ketat diawasi oleh pemerintah sehingga memiliki beberapa perbedaan dalam peraturan tata kelola perusahaan. Penelitian ini mengacu pada penelitian sebelumnya, yaitu penelitian yang dilakukan Darmadi dan Gunawan (2013). Perbedaannya terletak pada periode tahun dan variabel penelitian, yakni penambahan variabel dewan komisaris wanita dan kepemilikan manajerial. Penelitian ini juga menggunakan variabel kontrol yaitu financial leverage, reputasi penjamin emisi, dan ukuran perusahaan untuk mengkontrol adanya pengaruh di luar variabel independen yang diteliti terhadap underpricing. 1.2 Rumusan Masalah Salah satu usaha perusahaan untuk mendapatkan dana adalah dengan melakukan IPO. Pada saat IPO, perusahaan tidak terlepas dari fenomena underpricing. Underpricing terjadi karena adanya informasi asimetri terkait kinerja perusahaan. Oleh sebab itu, perusahaan berusaha mencari suatu mekanisme yang memengaruhi underpricing. Penelitian ini akan menguji dan membuktikan pengaruh tata kelola perusahaan terhadap underpricing. Tata kelola perusahaan akan diproksikan oleh jumlah dewan komisaris, dewan komisaris wanita, independensi
10 dewan komisaris, konsentrasi kepemilikan, kepemilikan manajerial, dan kepemilikan institusional. Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka pertanyaan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Apakah jumlah dewan komisaris berpengaruh terhadap underpricing IPO? b. Apakah independensi dewan komisaris berpengaruh terhadap underpricing IPO? c. Apakah dewan komisaris wanita berpengaruh terhadap underpricing IPO? d. Apakah konsentrasi kepemilikan berpengaruh terhadap underpricing IPO? e. Apakah kepemilikan manajerial berpengaruh terhadap underpricing IPO? f. Apakah kepemilikan institusional berpengaruh terhadap underpricing IPO? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut. a. Menguji dan menjelaskan pengaruh jumlah dewan komisaris terhadap underpricing IPO. b. Menguji dan menjelaskan pengaruh independensi dewan komisaris terhadap underpricing IPO. c. Menguji dan menjelaskan pengaruh dewan komisaris wanita terhadap underpricing IPO.
11 d. Menguji dan menjelaskan pengaruh konsentrasi kepemilikan terhadap underpricing IPO. e. Menguji dan menjelaskan pengaruh kepemilikan manajerial terhadap underpricing IPO. f. Menguji dan menjelaskan pengaruh kepemilikan terhadap institusional underpricing IPO. 1.4 Kontribusi Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan memberikan bukti empiris terkait pengaruh tata kelola perusahaan terhadap tingkat underpricing IPO dan memberikan kontribusi kepada berbagai pihak. a. Kontribusi Teori. Penelitian ini diharapkan bermafaat untuk menambah wawasan kepada pem-baca terkait pengaruh tata kelola perusahaan terhadap underpricing saat IPO dengan menggunakan teori keagenan dan sinyal. Penelitian ini juga dapat dijadikan referensi untuk penelitian selanjutnya, terkait tata kelola perusahaan dan fenomena underpricing saat IPO. b. Kontribusi Praktik. Penelitian ini diharapkan dapat berguna untuk emiten, penjamin emisi, dan investor dalam mengambil keputusan. Bagi emiten, penelitian ini dapat membantu mengidentifikasi bagaimana struktur dewan komisaris dan struktur kepemilikan dapat memberi nilai tambah bagi perusahaan saat IPO dan kaitannya dalam meminimalkan underpricing. Bagi penjamin emisi, hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam menentukan harga IPO yang tepat agar terhin-
12 dar dari risiko saham tidak terjual. Hasil penelitian ini juga dapat digunakan oleh investor sebagai pengetahuan dalam mengambil keputusan investasi. c. Kontribusi Kebijakan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi bagi regulator terkait praktik tata kelola perusahaan yang memengaruhi perspektif pemangku kepentingan dan IPO saham. 1.5 Sistematika Penulisan Penelitian ini disusun dalam beberapa bab. Penyusunan ini ditujukan untuk memudahkan pembaca dalam memahami penelitian ini. Berikut sistematika penulisan penelitian ini. a. Bab 1: Pendahuluan, menguraikan latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kontribusi penelitian dan sistematika penulisan. b. Bab II: Tinjauan pustaka, menjelaskan landasan teori yang relevan, hasil penelitian terdahulu, serta pengembangan hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini. c. Bab III: Metode penelitian, menguraikan populasi dan sampel penelitian, data, sumber data, metode pengumpulan data, definisi operasional variabel, metode analisis data, teknis analisis data, dan pengujian hipotesis. d. Bab IV: Hasil penelitian, membahas hasil analisis data dan pengujian hipotesis. e. Bab V: Penutup, menguraikan kesimpulan, keterbatasan dan saran.