1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan kawasan bersejarah kerap diiringi dengan perubahan fungsi dan terkadang diikuti perubahan fisik bangunan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan pemilik bangunan. Padahal ketika sebuah bangunan dikategorikan sebagai bangunan lama/kuno (old building), bangunan pusaka (heritage building) ataupun bangunan bersejarah (historical building) ada kaidah-kaidah yang harus diketahui oleh pemilik bangunan. Upaya perubahan fisik bangunan sebenarnya tidak perlu dilakukan dan bisa diupayakan menyesuaikan, menyelaraskan ataupun menyerasikan kemudian memanfaatkannya kembali dengan fungsi baru. Kegiatan pelestarian ini dikenal dengan adaptive reuse. Pleevoet dan Cleempoel (2012) menyampaikan; The theoretical discussion on adaptive reuse as a way to preserve historic monuments started in the 19th century. Today, however, working with existing buildings, repairing and restoring them for continued use has become a creative and fascinating challenge within the architectural discipline. The process of wholeheartedly altering a building is often called adaptive reuse Bahwa diskusi tentang adaptive reuse sebagai cara untuk preservasi bangunan bersejarah menurut Pleevoet dan Cleempoel sudah dimulai sejak abad 19. Sekarang ini, aktifitas dengan bangunan yang sudah ada, kemudian memperbaiki dan merestorasinya untuk fungsi selanjutnya telah menjadi tantangan kreatif dan 1
2 sangat menarik dalam ilmu arsitektur. Antariksa (2012) dan Vakyan (2013) menyebutkan bahwa sejak munculnya generasi baru yang berorientasi pada keuntungan, adaptive reuse tidak hanya dilihat sebagai sebuah cara untuk preservasi tetapi juga sebuah cara menyelaraskan dalam konteks arsitektur modern yang juga menghasilkan keuntungan. Sehingga konteks fisik suatu bangunan yang telah dilestarikan sama pentingnya dengan nilai fisik bangunan tersebut. Pelestarian bangunan pada kawasan tersebut akan nampak dan idealnya akan memperkuat karakter dan integritas arsitekturalnya. Kementrian Pariwisata berupaya membuat jaringan kota pusaka di Indonesia agar eksistensi bangunan bangunan lama dan bersejarah yang mempunyai karakter dan nilai arsitektural yang khas dapat menumbuhkan nilai ekonomi kawasan, sehingga akan terjadi perubahan bangunan baik fasad maupun bentuk bangunan terkait dengan fungsi baru yang diwadahi dan dapat dimanajemen dengan baik. Kota Pekalongan terletak di pesisir utara Jawa Tengah dan termasuk dalam Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI). Dalam sejarahnya, kota Pekalongan telah melewati tahapan perkembangan kota sejak masa kerajaan, masa kolonial, hingga masa Indonesia merdeka. Adanya politik segregasi etnik pada masa kolonial menjadikan kota Pekalongan memiliki daerah-daerah atau kawasan berdasarkan etnis tertentu yaitu Pecinan untuk etnik Tionghoa, Kampung Arab untuk etnik Arab, Kampung India untuk etnik India, Kampung Kauman untuk para ulama/pemimpin agama, Kampung Pesindon untuk pengusaha batik, Kampung Canting untuk pekerja buruh pabrik batik dan sebagainya. Pembagian kampung ini merupakan upaya Pemerintah Hindia Belanda untuk mengontrol
3 populasi dan kriminalitas di Pekalongan. (Bappeda Kota Pekalongan, 2012: 87). Keberadaan kampung-kampung tersebut masih ada dan berlangsung hingga sekarang. Salah satu kawasan yang dijadikan topik dalam penelitian ini adalah adalah Kampung Pecinan yang terletak di Pekalongan. Berdasarkan catatan sejarah, perkembangan Pecinan dan penyebutan toponim Kota Pekalongan sudah dimulai sejak 1200 tahun yang lalu. Chao Ju-Kua seorang penulis kekaisaran China dibawah Dinasti Sung, menuliskannya di dalam karyanya Ling-Wai-Tai-Ta tahun 1278 menyebut Poe-Chu-Lang (Pulau Penghasil Padi) sebagai nama dari Che-Poe (Bappeda Kota Pekalongan 2012 : 8). Ma Huan, sekretaris dan juru bahasa Laksamana Cheng Ho dalam catatan perjalanannya pada abad XIV menyebutkan bahwa kelompok penduduk China merupakan pedagang dan bertempat tinggal di kampung Sampangan, dekat dengan muara Sungai Loji. Karena disitu tempat tambatan sampan-sampan yang mengangkut barang dagangan keluar masuk pelabuhan. Kampung Sampangan inilah yang selanjutnya disebut Pecinan. Keberadaan Pecinan menyertakan pasar sebagai pusat ekonominya. Potensi geografis dan ekonomis wilayah tersebut berkaitan dengan posisinya sebagai pintu gerbang pengangkutan produk-produk pedalaman berupa kopi, nila, dan kapas. Produk-produk pedalaman inilah di kemudian hari yang berkembang pesat dalam industri perdagangan hasil bumi dan industri kain di Pekalongan. (Bappeda Kota Pekalongan 2012:15). Keberadaan budaya di Pecinan sampai sekarang juga masih dipertahankan, diantaranya adalah tradisi Pek Chun. Tradisi Pek Chun
4 hakekatnya adalah tradisi sedekah laut, yaitu melepas perahu yang berisikan hasil bumi. Tradisi ini dilaksanakan pada perayaan tahun baru china atau Imlek diiringi dengan Barongsai, berbagai macam lomba dan makan bersama. (Bappeda Kota Pekalongan 2012:106). Atas dasar UU Cagar Budaya pasal 10 1 poin 2, 3, 4, 5 maka Pecinan dapat dikategorikan sebagai Kawasan Cagar Budaya. Terkait keberadaan Pecinan sebagai kawasan yang memenuhi kriteria sebagai Kawasan Cagar Budaya, kesadaran dan kepedulian pemerintah dan masyarakat Pecinan terhadap budaya dan bangunan langgam arsitektur China yang sudah berusia ratusan tahun, belum ada. Kondisi bangunan maupun lingkungan di Pecinan saat ini banyak terjadi perubahan fungsi yang berimplikasi pada perubahan karakteristik bangunan. Nampak beberapa bangunan menjadi kurang terawatt. Bahkan Pecinan menjadi kawasan rawan kebakaran karena posisi hunian yang berdekatan. Everson (2012) menyebutkan, pembangunan berkelanjutan dan konservasi bangunan warisan di pusat kota seharusnya menyediakan manfaat sosial, ekonomi, dan lingkungan ke masyarakat atau daerah. Konservasi warisan dibangun tidak hanya berkontribusi pada ekonomi dan komposisi lingkungan masyarakat, tetapi juga untuk identitas sosial dan budaya, yang membantu untuk membuat tempat yang dinamis, dan menggambarkan sense of place atau karakter 1 Dalam Undang-Undang Cagar Budaya No. 11 Tahun 2010 Pasal 10 menyebutkan, Satuan ruang geografis dapat ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya apabila: (1). Mengandung 2 (dua) Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan, (2). Berupa lanskap budaya hasil karakteristikan manusia berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun, (3). Memiliki pola yang memperlihatkan fungsi ruang pada masa lalu berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun, (4). Memperlihatkan pengaruh manusia masa lalu pada proses pemanfaatan ruang berskala luas, (5). Memperlihatkan bukti pemkarakteristikan lanskap budaya, (6). Memiliki lapisan tanah terbenam yang mengandung bukti kegiatan manusia atau endapan fosil.
5 tempat tersebut. Feilden (2003) mengemukakan bahwa tindakan konservasi maupun adaptive reuse pada bangunan lama yang modern maupun bangunan lama yang tradisional tetap menerapkan prinsip-prinsip pelestarian yang mengacu pada estetika, filosofi, dan penelusuran sejarah. Perlu juga dikenalkan aspek commercial judgement (keputusan komersial) dan manajemen bangunan. Untuk itu penelitian ini dilakukan agar mengetahui lebih lanjut tentang perubahan fungsi bangunan Arsitektur China di Sampangan Pekalongan yang diwadahi sejak 1800an hingga sekarang serta pengaruhnya terhadap karakteristik bangunan bercorak Arsitektur China dan lingkungan Pecinan. Selain itu juga, akan digali faktor-faktor yang menyebabkan perubahan fungsi, perubahan karakter bangunan bercorak Arsitektur China dan lingkungan Pecinan, Sampangan, Pekalongan. Diharapkan nantinya strategi pelestarian di lingkungan Pecinan dapat dilakukan dan dapat direkomendasikan pada pemerintah daerah agar keberadaannya dapat mendukung Kota Pekalongan sebagai Kota Pusaka. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah perubahan fungsi bangunan bercorak arsitektur China di Sampangan Pekalongan sejak tahun 1800an hingga sekarang dan pengaruhnya terhadap karakter arsitektur China dan lingkungan Pecinan? 2. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan perubahan fungsi, perubahan karakter bangunan bercorak Arsitektur China dan lingkungan Pecinan Sampangan Pekalongan?
6 3. Bagaimana strategi pelestarian yang tepat bagi lingkungan Pecinan di Sampangan Pekalongan? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menentukan adaptive reuse yang tepat pada obyek penelitian. 1.3.2 Tujuan khusus Tujuan khusus yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui perubahan fungsi bangunan bercorak arsitektur China di Sampangan Pekalongan sejak tahun 1800an hingga sekarang dan pengaruhnya terhadap karakter arsitektur China dan lingkungan Pecinan. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan perubahan fungsi, perubahan karakter bangunan dan lingkungan Pecinan, Sampangan, Pekalongan. 3. Untuk mendapatkan strategi pelestarian yang tepat bagi lingkungan Pecinan di Sampangan Pekalongan. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat akademik Manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah menambah ilmu dan pengetahuan tentang adaptive reuse karena penelitian ini mengemukakan tentang proses adaptive reuse yang didapat dari berbagai sumber baik dari kepustakaan, tulisan peneliti lain maupun hasil wawancara. 1.4.2 Manfaat praktis
7 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis bagi masyarakat, konservator, akademisi, maupun pemerintah selaku pengambil kebijakan dalam manajemen konservasi. Manfaat bagi masyarakat adalah sebagai panduan praktis proses adaptive reuse bangunan bersejarah. Manfaat bagi Universitas adalah sebagai referensi bagi civitas akademika mengenai adaptive reuse dan sebagai bahan pembelajaran tentang proses adaptive reuse pada bangunan-bangunan bersejarah yang ada di kawasan cagar budaya.. Sedangkan manfaat bagi pemerintah adalah menjadi acuan dan rekomendasi jika selanjutnya akan dilaksanakan kegiatan adaptive reuse pada bangunan - bangunan bersejarah di Kota Pekalongan. Manfaat penelitian bagi konservator adalah menjadi referensi dan acuan dalam penanganan adaptive reuse bangunan bersejarah dan kawasan cagar budaya.