BAB I PENDAHULUAN. Pertumbuhan kawasan bersejarah kerap diiringi dengan perubahan fungsi dan

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Kota Bandung memiliki sejarah yang sangat panjang. Kota Bandung berdiri

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

KAJIAN POLA STRUKTUR RUANG KOTA LASEM DITINJAU DARI SEJARAHNYA SEBAGAI KOTA PANTAI TUGAS AKHIR. Oleh: M Anwar Hidayat L2D

Pelestarian Bangunan Bersejarah Di Kota Lhokseumawe

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. keanekaragaman kulinernya yang sangat khas. Setiap suku bangsa di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

STUDI PENENTUAN KLASIFIKASI POTENSI KAWASAN KONSERVASI DI KOTA AMBARAWA TUGAS AKHIR

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN LITERATUR

STUDI PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA TEGAL MELALUI PENDEKATAN MORFOLOGI KOTA TUGAS AKHIR. Oleh : PRIMA AMALIA L2D

BAB VII KESIMPULAN, SARAN DAN KONTRIBUSI TEORI

lib.archiplan.ugm.ac.id

PUSAT KESENIAN JAWA TENGAH DI SEMARANG

PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA-KOTA AWAL DI KABUPATEN REMBANG TUGAS AKHIR. Oleh: OCTA FITAYANI L2D

MEMUTUSKAN: : PERATURAN BUPATI TENTANG PENGELOLAAN CAGAR BUDAYA.

Dasar Kebijakan Pelestarian Kota Pusaka 1. Tantangan Kota Pusaka 2. Dasar Kebijakan terkait (di Indonesia) 3. Konvensi Internasional

GUBERNUR JAWA TIMUR PERATURAN GUBERNUR JAWA TIMUR NOMOR 66 TAHUN 2015 TENTANG PELESTARIAN CAGAR BUDAYA PROVINSI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. Museum Permainan Tradisional di Yogyakarta AM. Titis Rum Kuntari /

KAJIAN PELESTARIAN KAWASAN BENTENG KUTO BESAK PALEMBANG SEBAGAI ASET WISATA TUGAS AKHIR. Oleh : SABRINA SABILA L2D

BAB I PENDAHULUAN. dari target yang ditetapkan. Kegiatan pertambangan mengalami penurunan seiring

WALIKOTA PALANGKA RAYA

MUSEUM BUDAYA DI PONTIANAK, KALIMANTAN BARAT

PENGEMBANGAN PECINAN SEMARANG SEBAGAI KAWASAN WISATA WARISAN BUDAYA BERDASARKAN PERSEPSI MASYARAKAT SETEMPAT (LOCAL COMUNITIES) TUGAS AKHIR

STUDI POLA MORFOLOGI KOTA DALAM PENENTUAN KAWASAN KONSERVASI KOTA DI KABUPATEN KENDAL TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kelahirannya dilatarbelakangi oleh norma-norma agama, dan dilandasi adat

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Pengadaan Proyek

BAB II KAJIAN TEORI...

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 11 TAHUN 2010 TENTANG CAGAR BUDAYA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III METODE PENELITIAN. dengan paradigma rasionalistik. Metodologi kualitatif merupakan prosedur

BAB 1 PENDAHULUAN. dan kawasan yang memiliki m nilai arti kesejarahan ataupun aupun nilai seni

BAB I PENDAHULUAN. Ruang Publik Yaroana Masigi berada di tengah-tengah permukiman

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Perancangan Marina Central Place di Jakarta Utara (Sebagai Lokasi Sentral Bisnis dan Wisata Berbasis Mixed Use Area)

POTENSI DAN KENDALA PENGEMBANGAN KAWASAN SURYAKENCANA SEBAGAI KAWASAN CAGAR BUDAYA KOTA BOGOR

langsung dalam kontak dagang.1

BAB I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Di era globalisasi ini, bangunan bersejarah mulai dilupakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. besar ke kota Medan (Sinar, 1996). Orang Cina dan Jawa didatangkan sebagai kuli

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Batik di Indonesia bukan merupakan sesuatu yang baru. Secara historis, batik

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. 1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Existensi proyek

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Jalan ini terkenal karena merupakan salah satu penggal sejarah kemerdekaan RI

Arahan Pengembangan Kota Palembang Sebagai Kota Pusaka

PEKALONGAN BATIK CENTER

Perkuatan Struktur pada Revitalisasi Bangunan Cagar Budaya Kasus Studi: Toko Dynasti, Jalan AM Sangaji Yogyakarta

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Lanskap Sejarah 2.2 Kriteria Lanskap Sejarah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latarbelakang Latarbelakang Pengadaan Proyek

PENATAAN KAWASAN GEDONG BATU SEBAGAI KAWASAN WISATA BUDAYA DI SEMARANG

STUDI KOMPARATIF POLA MORFOLOGI KOTA GRESIK DAN KOTA DEMAK SEBAGAI KOTA PERDAGANGAN DAN KOTA PUSAT PENYEBARAN AGAMA ISLAM TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. 1 Universitas Kristen Maranatha

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Permasalahan Isu Perkembangan Properti di DIY

TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS

PERKAMPUNGAN TUA DI TENGAH KOTA, Upaya Mewujudkan Kawasan Bantaran Sungai sebagai Kawasan Budaya Berjatidiri

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA PERATURAN DAERAH DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 1 TAHUN 2017

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia penuh dengan keberagaman atau kemajemukan. Majemuk memiliki

BAB V KESIMPULAN. dituliskan dalam berbagai sumber atau laporan perjalanan bangsa-bangsa asing

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB I PENDAHULUAN. bangunan yang sudah ditetapkan sebagai cagar budaya, namun banyak juga yang

BAB I PENDAHULUAN. I.I Latar Belakang Menurut sejarah yang diceritakan K.R.T. Darmodipuro, dahulu di tepi sungai

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

PROGRAM JANGKA PENDEK: - Peningkatan kapasitas P3KP - Pengelolaan secara internal

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Naisbitt dalam bukunya Global Paradox yakni bahwa where once. usaha lainnya (http;//pariwisata.jogja.go.id).

Identifikasi Kelayakan Kawasan Pecinan Lasem sebagai Kawasan Konservasi

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang LAPORAN TUGAS AKHIR

BAB VI KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Pendahuluan

II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Lanskap Sejarah

PUSAT BATIK DI PEKALONGAN (Showroom,Penjualan,Pelatihan Desain,dan Information center)

PERDA TENTANG KARAKTER KHAS BANGUNAN DAN KAWASAN DIKOTA SOLO oleh: Bimo Hernowo

SUMBU POLA RUANG DALAM RUMAH TINGGAL DI KAWASAN PECINAN KOTA BATU

PEMERINTAH PROVINSI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Kota merupakan salah satu wilayah hunian manusia yang paling kompleks,

MUSEUM BATIK PEKALONGAN PENEKANAN DESAIN ARSITEKTUR NEO-VERNAKULAR

BAB I PENDAHULUAN. Kisaran terbagi menjadi dua kecamatan yaitu Kecamatan Kisaran Timur dan

BAB 1 PENDAHULUAN. itu wajib bagi generasi muda untuk melestarikan dan menjaganya agar tidak. hilang terkena arus globalisasi dan modernisasi.

BAB V KESIMPULAN. Proses terbentuknya kawasan Pecinan Pasar Gede hingga menjadi pusat

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

PENDAHULUAN. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Berawal dari Surabaya yang menjadi kota perdagangan tua, banyak sekali pedagang dari berbagai belahan dunia berdagang dan

BAB I PENDAHULUAN. kebudayaan yang mewakili daerahnya masing-masing. Setiap Kebudayaan

Materi ke-13 9/7/2014 DASAR EKOLOGI PADA PENGELOLAAN LANSKAP DAN IMPLEMENTASINYA TUJUAN INSTRUKSIONAL KHUSUS

BAB I PENDAHULUAN. Bermukim merupakan salah satu cerminan budaya yang. merepresentasikan keseluruhan dari teknik dan objek, termasuk didalamnya cara

BAB I PENDAHULUAN. GambarI.1 Teknik pembuatan batik Sumber: <

ARAHAN KONSEP PERANCANGAN KAWASAN KONSERVASI BENTENG MARLBOROUGH KOTA BENGKULU TUGAS AKHIR

sampai sasaran keempat. Berikut ini merupakan kesimpulan dari konsep Konservasi; 1. Konsep pada kondisi tetap: Konsep Preservasi jaringan jalan (pola

dari periode yang awal sampai pada periode-periode berikutnya?. Perkembangan terjadi bila berturut-turut masyarakat bergerak dari satu bentuk yang

1BAB I PENDAHULUAN. KotaPontianak.Jurnal Lanskap Indonesia Vol 2 No

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1. 1 Peta Wisata Kabupaten Sleman Sumber : diakses Maret Diakses tanggal 7 Maret 2013, 15.

BAB I PENDAHULUAN. Suku bangsa Melayu di Sumatera Timur mendiami daerah pesisir timur

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 7 TAHUN 2015 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 7 TAHUN 2015 TENTANG

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

HASIL PENELITIAN. Kata kunci: Kata kunci: Bangunan Kuno dan Kawasan Bersejarah, Konservasi Pusat Kota Lama Manado, Heritage Bulding.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan untuk fasilitas-fasilitas pendukungnya. menginap dalam jangka waktu pendek.

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pertumbuhan kawasan bersejarah kerap diiringi dengan perubahan fungsi dan terkadang diikuti perubahan fisik bangunan sebagai upaya pemenuhan kebutuhan pemilik bangunan. Padahal ketika sebuah bangunan dikategorikan sebagai bangunan lama/kuno (old building), bangunan pusaka (heritage building) ataupun bangunan bersejarah (historical building) ada kaidah-kaidah yang harus diketahui oleh pemilik bangunan. Upaya perubahan fisik bangunan sebenarnya tidak perlu dilakukan dan bisa diupayakan menyesuaikan, menyelaraskan ataupun menyerasikan kemudian memanfaatkannya kembali dengan fungsi baru. Kegiatan pelestarian ini dikenal dengan adaptive reuse. Pleevoet dan Cleempoel (2012) menyampaikan; The theoretical discussion on adaptive reuse as a way to preserve historic monuments started in the 19th century. Today, however, working with existing buildings, repairing and restoring them for continued use has become a creative and fascinating challenge within the architectural discipline. The process of wholeheartedly altering a building is often called adaptive reuse Bahwa diskusi tentang adaptive reuse sebagai cara untuk preservasi bangunan bersejarah menurut Pleevoet dan Cleempoel sudah dimulai sejak abad 19. Sekarang ini, aktifitas dengan bangunan yang sudah ada, kemudian memperbaiki dan merestorasinya untuk fungsi selanjutnya telah menjadi tantangan kreatif dan 1

2 sangat menarik dalam ilmu arsitektur. Antariksa (2012) dan Vakyan (2013) menyebutkan bahwa sejak munculnya generasi baru yang berorientasi pada keuntungan, adaptive reuse tidak hanya dilihat sebagai sebuah cara untuk preservasi tetapi juga sebuah cara menyelaraskan dalam konteks arsitektur modern yang juga menghasilkan keuntungan. Sehingga konteks fisik suatu bangunan yang telah dilestarikan sama pentingnya dengan nilai fisik bangunan tersebut. Pelestarian bangunan pada kawasan tersebut akan nampak dan idealnya akan memperkuat karakter dan integritas arsitekturalnya. Kementrian Pariwisata berupaya membuat jaringan kota pusaka di Indonesia agar eksistensi bangunan bangunan lama dan bersejarah yang mempunyai karakter dan nilai arsitektural yang khas dapat menumbuhkan nilai ekonomi kawasan, sehingga akan terjadi perubahan bangunan baik fasad maupun bentuk bangunan terkait dengan fungsi baru yang diwadahi dan dapat dimanajemen dengan baik. Kota Pekalongan terletak di pesisir utara Jawa Tengah dan termasuk dalam Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI). Dalam sejarahnya, kota Pekalongan telah melewati tahapan perkembangan kota sejak masa kerajaan, masa kolonial, hingga masa Indonesia merdeka. Adanya politik segregasi etnik pada masa kolonial menjadikan kota Pekalongan memiliki daerah-daerah atau kawasan berdasarkan etnis tertentu yaitu Pecinan untuk etnik Tionghoa, Kampung Arab untuk etnik Arab, Kampung India untuk etnik India, Kampung Kauman untuk para ulama/pemimpin agama, Kampung Pesindon untuk pengusaha batik, Kampung Canting untuk pekerja buruh pabrik batik dan sebagainya. Pembagian kampung ini merupakan upaya Pemerintah Hindia Belanda untuk mengontrol

3 populasi dan kriminalitas di Pekalongan. (Bappeda Kota Pekalongan, 2012: 87). Keberadaan kampung-kampung tersebut masih ada dan berlangsung hingga sekarang. Salah satu kawasan yang dijadikan topik dalam penelitian ini adalah adalah Kampung Pecinan yang terletak di Pekalongan. Berdasarkan catatan sejarah, perkembangan Pecinan dan penyebutan toponim Kota Pekalongan sudah dimulai sejak 1200 tahun yang lalu. Chao Ju-Kua seorang penulis kekaisaran China dibawah Dinasti Sung, menuliskannya di dalam karyanya Ling-Wai-Tai-Ta tahun 1278 menyebut Poe-Chu-Lang (Pulau Penghasil Padi) sebagai nama dari Che-Poe (Bappeda Kota Pekalongan 2012 : 8). Ma Huan, sekretaris dan juru bahasa Laksamana Cheng Ho dalam catatan perjalanannya pada abad XIV menyebutkan bahwa kelompok penduduk China merupakan pedagang dan bertempat tinggal di kampung Sampangan, dekat dengan muara Sungai Loji. Karena disitu tempat tambatan sampan-sampan yang mengangkut barang dagangan keluar masuk pelabuhan. Kampung Sampangan inilah yang selanjutnya disebut Pecinan. Keberadaan Pecinan menyertakan pasar sebagai pusat ekonominya. Potensi geografis dan ekonomis wilayah tersebut berkaitan dengan posisinya sebagai pintu gerbang pengangkutan produk-produk pedalaman berupa kopi, nila, dan kapas. Produk-produk pedalaman inilah di kemudian hari yang berkembang pesat dalam industri perdagangan hasil bumi dan industri kain di Pekalongan. (Bappeda Kota Pekalongan 2012:15). Keberadaan budaya di Pecinan sampai sekarang juga masih dipertahankan, diantaranya adalah tradisi Pek Chun. Tradisi Pek Chun

4 hakekatnya adalah tradisi sedekah laut, yaitu melepas perahu yang berisikan hasil bumi. Tradisi ini dilaksanakan pada perayaan tahun baru china atau Imlek diiringi dengan Barongsai, berbagai macam lomba dan makan bersama. (Bappeda Kota Pekalongan 2012:106). Atas dasar UU Cagar Budaya pasal 10 1 poin 2, 3, 4, 5 maka Pecinan dapat dikategorikan sebagai Kawasan Cagar Budaya. Terkait keberadaan Pecinan sebagai kawasan yang memenuhi kriteria sebagai Kawasan Cagar Budaya, kesadaran dan kepedulian pemerintah dan masyarakat Pecinan terhadap budaya dan bangunan langgam arsitektur China yang sudah berusia ratusan tahun, belum ada. Kondisi bangunan maupun lingkungan di Pecinan saat ini banyak terjadi perubahan fungsi yang berimplikasi pada perubahan karakteristik bangunan. Nampak beberapa bangunan menjadi kurang terawatt. Bahkan Pecinan menjadi kawasan rawan kebakaran karena posisi hunian yang berdekatan. Everson (2012) menyebutkan, pembangunan berkelanjutan dan konservasi bangunan warisan di pusat kota seharusnya menyediakan manfaat sosial, ekonomi, dan lingkungan ke masyarakat atau daerah. Konservasi warisan dibangun tidak hanya berkontribusi pada ekonomi dan komposisi lingkungan masyarakat, tetapi juga untuk identitas sosial dan budaya, yang membantu untuk membuat tempat yang dinamis, dan menggambarkan sense of place atau karakter 1 Dalam Undang-Undang Cagar Budaya No. 11 Tahun 2010 Pasal 10 menyebutkan, Satuan ruang geografis dapat ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya apabila: (1). Mengandung 2 (dua) Situs Cagar Budaya atau lebih yang letaknya berdekatan, (2). Berupa lanskap budaya hasil karakteristikan manusia berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun, (3). Memiliki pola yang memperlihatkan fungsi ruang pada masa lalu berusia paling sedikit 50 (lima puluh) tahun, (4). Memperlihatkan pengaruh manusia masa lalu pada proses pemanfaatan ruang berskala luas, (5). Memperlihatkan bukti pemkarakteristikan lanskap budaya, (6). Memiliki lapisan tanah terbenam yang mengandung bukti kegiatan manusia atau endapan fosil.

5 tempat tersebut. Feilden (2003) mengemukakan bahwa tindakan konservasi maupun adaptive reuse pada bangunan lama yang modern maupun bangunan lama yang tradisional tetap menerapkan prinsip-prinsip pelestarian yang mengacu pada estetika, filosofi, dan penelusuran sejarah. Perlu juga dikenalkan aspek commercial judgement (keputusan komersial) dan manajemen bangunan. Untuk itu penelitian ini dilakukan agar mengetahui lebih lanjut tentang perubahan fungsi bangunan Arsitektur China di Sampangan Pekalongan yang diwadahi sejak 1800an hingga sekarang serta pengaruhnya terhadap karakteristik bangunan bercorak Arsitektur China dan lingkungan Pecinan. Selain itu juga, akan digali faktor-faktor yang menyebabkan perubahan fungsi, perubahan karakter bangunan bercorak Arsitektur China dan lingkungan Pecinan, Sampangan, Pekalongan. Diharapkan nantinya strategi pelestarian di lingkungan Pecinan dapat dilakukan dan dapat direkomendasikan pada pemerintah daerah agar keberadaannya dapat mendukung Kota Pekalongan sebagai Kota Pusaka. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut : 1. Bagaimanakah perubahan fungsi bangunan bercorak arsitektur China di Sampangan Pekalongan sejak tahun 1800an hingga sekarang dan pengaruhnya terhadap karakter arsitektur China dan lingkungan Pecinan? 2. Apa saja faktor-faktor yang menyebabkan perubahan fungsi, perubahan karakter bangunan bercorak Arsitektur China dan lingkungan Pecinan Sampangan Pekalongan?

6 3. Bagaimana strategi pelestarian yang tepat bagi lingkungan Pecinan di Sampangan Pekalongan? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menentukan adaptive reuse yang tepat pada obyek penelitian. 1.3.2 Tujuan khusus Tujuan khusus yang hendak dicapai melalui penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui perubahan fungsi bangunan bercorak arsitektur China di Sampangan Pekalongan sejak tahun 1800an hingga sekarang dan pengaruhnya terhadap karakter arsitektur China dan lingkungan Pecinan. 2. Untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan perubahan fungsi, perubahan karakter bangunan dan lingkungan Pecinan, Sampangan, Pekalongan. 3. Untuk mendapatkan strategi pelestarian yang tepat bagi lingkungan Pecinan di Sampangan Pekalongan. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat akademik Manfaat yang dapat diambil dari hasil penelitian ini adalah menambah ilmu dan pengetahuan tentang adaptive reuse karena penelitian ini mengemukakan tentang proses adaptive reuse yang didapat dari berbagai sumber baik dari kepustakaan, tulisan peneliti lain maupun hasil wawancara. 1.4.2 Manfaat praktis

7 Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis bagi masyarakat, konservator, akademisi, maupun pemerintah selaku pengambil kebijakan dalam manajemen konservasi. Manfaat bagi masyarakat adalah sebagai panduan praktis proses adaptive reuse bangunan bersejarah. Manfaat bagi Universitas adalah sebagai referensi bagi civitas akademika mengenai adaptive reuse dan sebagai bahan pembelajaran tentang proses adaptive reuse pada bangunan-bangunan bersejarah yang ada di kawasan cagar budaya.. Sedangkan manfaat bagi pemerintah adalah menjadi acuan dan rekomendasi jika selanjutnya akan dilaksanakan kegiatan adaptive reuse pada bangunan - bangunan bersejarah di Kota Pekalongan. Manfaat penelitian bagi konservator adalah menjadi referensi dan acuan dalam penanganan adaptive reuse bangunan bersejarah dan kawasan cagar budaya.