I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Diabetes mellitus (DM) merupakan penyakit kronis yang dapat disebabkan karena faktor genetik, kekurangan produksi insulin oleh sel beta pankreas, maupun karena ketidakefektifan insulin. Diabetes merupakan gangguan metabolisme yang sangat umum mempengaruhi metabolisme karbohidrat, lemak, dan protein, yang ditandai dengan hiperglikemia dan glukosuria. Hal ini terutama disebabkan oleh kurangnya sekresi insulin, atau resistensi terhadap aksi insulin, atau keduanya (Boddupalli et al., 2012). Penyakit DM di kalangan masyarakat luas lebih dikenal sebagai penyakit gula atau kencing manis. Berdasarkan berbagai riset, terjadi kecenderungan peningkatan prevalensi DM baik di dunia maupun di Indonesia (Rachmawati dkk, 2007). Diabetes mellitus dapat mengakibatkan berbagai komplikasi akut maupun kronik yang dapat mengenai berbagai jaringan dan organ tubuh. Komplikasi akut diabetes mellitus dapat berupa ketoasidosis diabetik, koma hiperosmolar, asidosis laktat, hipoglikemik akibat reaksi insulin atau syok insulin, dan infeksi akut. Sedangkan komplikasi kronis diabetes mellitus dapat berupa kelainan pada organ mata (retinopati diabetik), ginjal (nefropati diabetik), syaraf (neuropati diabetik), penyakit pembuluh darah koroner dan perifer, infeksi kronik
dan ulkus kaki diabetik (Price and Wilson et al., 2005; Sudoyo dkk, 2006; Mansjoer dkk, 2007). Selain komplikasi diabetes mellitus yang banyak dan mematikan, insidensinya pun tergolong tinggi. Di Indonesia, diabetes mellitus berada diurutan 4 penyakit kronis berdasarkan pravalensinya. Data Riskesdas tahun 2013 menyatakan prevalensi nasional penyakit diabetes mellitus adalah 1,5%. Merujuk kepada prevalensi nasional, Sumatera Barat memiliki prevalensi total DM sebanyak 1,3% dan berada diurutan 14 dari 33 provinsi yang ada di Indonesia. Menurut data dari Federasi Diabetes International (IDF), jumlah penderita diabetes di tanah air telah mencapai 8,5 juta orang di tahun 2013 (Kemenkes RI, 2014). Obat-obat antidiabetik yang memberikan kontribusi besar dalam penanganan diabetes saat ini masih memiliki banyak keterbatasan terutama efek samping yang ditimbulkan seperti hipoglikemia, peningkatan berat badan, dan ketidakmampuan untuk mencegah degenerasi pankreas atau komplikasi diabetik yang berhubungan dengan stres oksidatif (Baynes, 1999). Terapi ideal untuk diabetes mellitus sebaiknya adalah obat yang tidak hanya memiliki efek antihiperglikemik, tetapi juga mampu meningkatkan atau melindungi sistem pertahanan antioksidan yang biasanya terganggu pada pasien diabetes mellitus (Erejuwa et al., 2011).
Propolis merupakan zat yang dibuat oleh lebah madu yang telah digunakan sebagai antioksidan yang efektif, antimikroba, dan agen antiinflamasi (Guney et al., 2011). Propolis sebagai alternatif juga digunakan secara luas untuk mencegah dan mengobati pilek, luka, bisul, rematik, keseleo, penyakit jantung, dan diabetes (Zhu et al., 2011; Li et al., 2012). Khasiat ini tentu berkaitan dengan senyawa yang terkandung pada propolis, diantaranya senyawa fenolik termasuk flavonoid (Bankova et al., 1998). Flavonoid memiliki efek antioksidan yang dapat menurunkan glukosa darah dengan cara menghambat reaksi stres oksidatif. Aktivitas antioksidan propolis menstimulasi reseptor insulin pada saat kondisi resisten sehingga sensitivitas insulin meningkat (El Sayed et al., 2009). Kandungan CAPE (Caffeic Acid Phenethyl Ester) pada propolis menunjukkan potensi yang signifikan sebagai agen antidiabetes dengan cara menekan produksi glukosa hepatik melalui induksi ekspresi mrna glukokinase dan piruvat kinase, sementara menghambat fosfoenolpiruvat carboxykinase pada diabetes (Celik et al., 2009). Uji toksisitas yang telah dilakukan sebelumnya oleh para peneliti membuktikan bahwa propolis aman dikonsumsi secara berulang. Arvouet-Grand et al (1993) melaporkan LD50 ekstrak oral propolis pada tikus melebihi 7340 mg/kg. Selain itu sumber lain
menyebutkan bahwa dalam uji praklinis, LD50 propolis mencapai lebih dari 10.000 mg. Jika dikonversi, dosis itu setara 7 ons sekali konsumsi untuk manusia dengan berat badan 70 kg. Faktanya, dosis konsumsi propolis di masyarakat sangat rendah, hanya 1-2 tetes dalam segelas air minum. Efek konsumsi jangka panjang tidak menimbulkan kerusakan pada darah, organ hati, dan ginjal. Penentuan toksisitas subkronik pada 21 ekor mencit menunjukkan pemberian propolis dosis 5.000 mg/kg BB dan 10.000 mg/kg BB setiap hari selama 30 hari tidak menimbulkan kematian mencit, tidak mempengaruhi berat badan, tidak mengganggu jumlah sel-sel darah dan kadar hemoglobin, tidak mengganggu fungsi hati dan ginjal (tidak mempengaruhi kadar SGOT, SGPT, kreatinin dan asam urat), tidak mempengaruhi kualitas sel-sel hati, ginjal dan lambung (Sarto dan Saragih, 2009). Berdasarkan tingginya angka kejadian dan kematian akibat diabetes mellitus di Indonesia serta mengingat pengobatan ideal yang tidak hanya memiliki efek antihiperglikemik, tetapi juga mampu meningkatkan dan melindungi sistem pertahanan antioksidan masih sangat terbatas, maka perlu dilakukan penelitian efek antidiabetik propolis dengan induksi aloksan dan membandingkannya dengan obat hipoglikemik yang sudah digunakan secara luas yaitu glibenklamid. Pemberian aloksan adalah cara yang cepat untuk menghasilkan kondisi
diabetik eksperimental (hiperglikemik) pada hewan coba. Mencit hiperglikemik dapat dihasilkan dengan menginjeksikan aloksan 120-150 mg/kgbb secara intravena, intraperitoneal, atau subkutan (Nugroho dan Puwaningsih, 2004). 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apakah pemberian propolis dapat menurunkan kadar glukosa darah mencit yang diinduksi aloksan. 2. Pada dosis berapakah propolis efektif sebagai antidiabetes pada mencit yang diinduksi aloksan? 3. Apakah pemberian propolis lebih efektif sebagai antidiabetes bila dibandingkan dengan glibenklamid? 1.3 Tujuan Penelitian 1. Menguji efek antidiabetes propolis terhadap mencit diabetes yang diinduksi aloksan. 2. Mengetahui dosis efektif propolis sebagai agen antidiabetes pada mencit putih yang diinduksi aloksan. 3. Mengetahui efektivitas propolis sebagai antidiabetes bila dibandingkan dengan obat glibenklamid.
1.4 Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar penelitian lebih lanjut pada manusia untuk dijadikan alternatif pengobatan dalam mengatasi penyakit diabetes mellitus.