Kolom IBRAHIM ISA Senin Malam, 15 Desember 2014 --------------------------- KEKERASAN DAN KEBIADABAN YANG MENYESAKKAN DENYUT HATI-NURANI Kemarin sore, hari Minggu, 14 Desember 2014, antara jam 16.00 s/d 18. 30, Stichting DIAN sebuah organisasi sosial perempuan Indonesia di Belanda, dengan Farida Ishaya sebagai ketuanya, --- mengadakan suatu acara yang, menggugah.. sekaligus menimbulkan kemarahan dan kutukan terhadap apa yang terjadi antara 13 16 Mei 1998 di Jakarta. Kegiatan kemarin sore tsb diselenggarakan oleh Dian dalam rangka kampanye: 'We can' Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Pertemuan yang dihadiri sekitar 50 peserta itu (untuk pertemuan-pertemuan serupa di negeri Belanda. Sudah dianggp suatu pertemuan yang SUKSES), berlangsung di Gedung Vrouwen Empowerment Centrum (VEC), Bijlmerdreef 1301, Amsterdam Zuidoost. Salah satu bahan dokumenter yang diperlihatkan kemarin itu adalah foto-foto mengenai korban-korban (terutama perempuan-perempuan etnis Tionghoa-Indonesia). Film dokumenter lainnya yang dipertunjukkan adalah yang berjudul BEHIND THEIR SMILE dan HARUS!! Belum terlalu lama terjadinya. Maka banyak orang masih menyandang ingatan kuat dan traumatik, sekitar huru-hara, kekerasan, pembakaran, perampokan, penganiayaan, PEMERKOSAAN dan PEMBUNUHAN terhadap warga Republik Indonesia ASAL KETURUNAN TIONGHOA. Suatu kasus kekerasan rasialis anti-tionghoa yang amat biadab dan amat sangat mengerikan! Dengan aparat kekuasaan negeri sebagai DALANGNYA. Dari sejumlah foto-foto (yang amat shokking ) dan presentasi sekitar KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP PEREMPUAN ETNIS TIONGHOA MEI 1998 DI INDONESIA, 1
orang mendapat sekadar gambaran betapa biadab dan kejamnya kejahatan yang berlangsung terhadap warga Indonesia turunan etnis Tionghoa ketika itu. Peristiwa yang berlangsung pada bulan Mei 1998 itu, tidak hanya di Jakarta. Tetapi juga di beberapa kota besar lainnya. Saat itu suasana tanah air sedang dilanda prahara arus protes dan tuntutan: Sasaran utama adalah rezim Orde Baru. Tuntutan terfokus: SUHARTO TURUN PANGGUNG!! ADILI SUHARTO!!. Kemarahan dan kebangkitan massa sudah tidak bisa dibendung lagi! Situasi gawat dan krusial inilah yang hendak dibendung dan ditahan oleh Orde Baru. Oleh Presiden Suharto dan kroni-kroni terdekatnya. Resep mujarab penguasa reaksioner Indonesia untuk mengalihkan perhatian, menyelamatkan kekuasaan, serta MENUNJUK KAMBING HITAM, adalah menciptakan huru-hara rasialis, keonaran, kekerasan dan keganasan tertuju pada WARGA KETURUNAN TIONGHOA. Dari sumber informaswi yang bisa mudah diperoleh di media internet: Banyak analis berpendapat, perancang kerusuhan tsb erat hubungannya dengan pertarungan internal para elit politik Indonesia, terutama presiden Indonesia saat itu, Soeharto, berusaha mengalihkan tekanan krisis moneter dan meringankan tekanan dari dalam negeri, melalui upaya memecah belah kaum muslim tradisional dengan non-tradisional, kaum muslim dengan kristiani, bahkan orang Tionghoa dengan pribumi. Untuk mencapai tujuan mengikis kekuatan oposisi, maka melalui lembaga intel militer dengan sengaja merancang, menghasut serta mengendalikan pertentangan SARA (suku, agama, ras, antar-golongan). Kerusuhan bersamaan yang terjadi di berbagai daerah jelas, terancang dan terorganisir. Pada saat kerusuhan terjadi selama 30 jam, polisi dan tentara menghilang di sejumlah daerah, bahkan terjadi penarikan polisi dan pasukan militer beberapa jam sebelum kerusuhan terjadi..... Untuk sekadar menyegarkan ingatan, dikutip di bawah ini beberapa tulisan, a.l yang berjudul Apa Yang Terjadi Pada Mei 1998 Serta Tanggapan Dunia? Dikirim oleh 2
Michael Steven di situs INFO TIONGHOA. Pada tanggal 13 Mei hingga 15 Mei 1998, di Jakarta dan beberapa kota lain di Indonesia terjadi kerusuhan anti Tionghoa yang menggemparkan seluruh dunia, penduduk etnik Tionghoa mengalami penganiayaan dan pembunuhan, wanita Tionghoa diperkosa secara massal, perusahaan dan rumah penduduk Tionghoa dijarah dan dibakar. Pada 13 16 Mei 1998 di Indonesia terjadi kerusuhan rasialis anti-tionghoa yang menggemparkan dunia, yang kemudian disebut Kerusuhan Kelam Mei. Atas tekanan kuat opini dunia, pemerintah Indonesia pada 3 November 1998 mengumumkan laporan penyelidikan lembaga penyelidikan resmi Tim Gabungan Pencari Fakta, sebanyak 1.250 penduduk Tionghoa tewas, 24 luka-luka, 85 perempuan diperkosa, diperkosa bergilir atau mengalami pelecehan seksual. Pemerintah dan rakyat berbagai negara dunia beramai-ramai telah melakukan protes serta mengutuk keras kepada pemerintah Indonesia kala itu.... Sebuah laporan dari Organisasi HAM dan Bantuan Untuk Perempuan, secara terperinci telah melaporkan kejadian kerusuhan di Indonesia serta menyampaikan kecaman keras terhadap kejadian tersebut, sehingga tersebar luas dan menimbulkan badai di seluruh dunia........... Laporan membuktikan, kerusuhan Mei benar-benar adalah kerusuhan yang terorganirsir dan terencana secara rapi, pada masa kerusuhan dan pasca kerusuhan dengan sasaran penyerangan utama adalah orang Tionghoa, jelas-jelas telah terjadi peristiwa perkosaan secara massal terhadap para perempuan Tionghoa yang mengejutkan itu. Laporan menunjukkan, pada masa kerusuhan 13-15 Mei, di Jakarta telah terjadi kasus 52 perempuan diperkosa, 14 perempuan diperkosa dan dianiaya, 10 perempuan mengalami serangan seksual dan penganiayaan, 9 perempuan mengalami pelecehan seksual; kasus pemerkosaan hampir bersamaan terjadi di daerah yang berlainan, lagi pula sebagian besar adalah kasus perkosaan massal, dan hampir semua penderita adalah keturunan Tionghoa...... Dalam peringatan 10 tahun Kerusuhan Mei pada 15 Mei 2008, Komite Hak Asasi Perempuan Indonesia dalam laporannya menyebutkan, sejumlah besar perempuan etnis Tionghoa di dalam kerusuhan Mei 1998 telah mengalami kekerasan adalah realita yang tak terbantahkan. Ia mengatakan, sebagian besar korban diperkosa massal, bahkan 3
ada yang mengalami perusakan anggota vital seksual, selain itu terdapat pula banyak sekali pelecehan seksual dan angka korban jauh melebihi 85 kasus yang dilaporkan oleh tim gabungan pencari fakta. Catatan tim gabungan pencari fakta dalam keterangan yang disampaikan Gubernur DKI dan Panglima Kodam DKI saat itu mengenai peristiwa kerusuhan Mei, Gubernur mengakui kerusuhan dilakukan secara terorganisir dan ada yang menghasut; sedangkan mantan panglima kodam DKI mengakui sejumlah perusuh datang dari luar Jakarta, namun catatan keterangan tersebut belakangan dihilangkan. Kerusuhan anti Tionghoa Mei 1998 di Indonesia telah berlalu 14 tahun lamanya. Hingga saat ini, para perusuh masih belum mendapat hukuman yang setimpal, juga tidak terdapat laporan penyelidikan yang menyeluruh dan terpercaya dari pihak pemerintah yang mengungkap seluruh fakta peristiwa kejadian Pada tanggal 21 Mei 2013, tertulis di Kolom IBRAHIM ISA, a.l. Sbb: Salah satu gejala yang menjadi perhatian peneliti dan fokus pembicaraan serta perdebatan di masyarakat, adalah sekitar terjadinya peristiwa *"kerusuhan Mei 1998"*, yang bernuansa rasis anti-etnik-tionghoa. Peristiwa kekerasan itu telah menelan korban lebih 1000 jiwa manusia. Pelbagai analisis dan tafsiran diajukan melalui penulisan maupun diskusi-diskusi yang diselenggarakan oleh pelbagai stasiun TV dan Radio Cukup menarik "analisis" yang dikemukakan oleh*fadli Zon*, Wakil Ketua GERINDRA. Ia berpendapat bahwa *yang menjadi penyebab "kerusuhan Mei 1998"*, *ialah faktor luar*. Kita jangan hanya "inward looking". Harus "outward looking", kata Fadli di sebuah diskusi TV dimana hadir Komisioner KomnasHAM Zamrotin, dan Ester Jusuf dari *Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF)* sekitar Peristiwa Kerusuhan 13-15 Mei 1998. Penyebab utama "kerusuhan Mei 1998", menurut Fadli Zon, adalah suatu badan internasional --- International Monetary Fund", IMF. IMF adalah pemberi 4
"kredit" utama Barat/AS kepada pemerintahan Suharto. Dikatakan Fadli, itu adalah cara IMF dimana-mana, khususnya didunia ketiga. Yaitu menciptakan syarat untuk digantikannya suatu rezim yang tidak lagi disokongnya. Sedangkan menurut Ester Jusuf dari TGPF, jelas adanya kekuatan (militer) yang terlibat, paling tidak "membiarkan" terjadinya kerusuhan Mei tsb. Demikian juga laporan KomnasHAM mengenai kerusuhan Mei 1998, mengindikasikan terlibatnya aparat, serta menunjuk pada tanggung jawab aparat dalam peristiwa kerusuhan tsb. Fadli Zon berusaha menjelaskan bahwa laporan yang dikemukakan TGPF dan KomnasHAM adalah dugaan dan tafsiran belaka, tanpa bukti. Namun, Estter Jusuf maupun Zamrotin menandaskan bahwa laporan-laporan mereka bersumber pada penelitian lapangan, saksi dan bukti-bukti. Tampak sekali usaha Fadli Zon, mmengalihkan perhatian dari fihak yang terlibat dan bertanggung jawab sekitar Kerusuhan Mei 1998. Yaitu fihak aparat keamanan negara. Fadli Zon menuding FAKTOR LUAR, IMF. Sehingga bisa disimpulkan bahwa Fadli Zon yang menjabat Wakil Ketua Garindra itu, berusaha membela Prabowo Subianto, yang ketika terjadinya peristisa kerusuhan Mei 1998, menjabat sebagai Panglima Kostrad..... TGPF tiba pada kesimpulan bahwa, --- kekerasan yang terjadi itu, merupakan "usaha menciptakan situsai kritis sehingga memerlukan dibentuknya kekuasaan in-skonstitusinil untuk menguasai situasi. *Dalam bahasa sehari-hari: menciptakan situasi untuk melakukan KUDETA.* Menurut TGPF, Jendral Prabowo Subianto adalah tokoh kunci dalam keterlibatan tentara dengan kerusuhan Jakarta itu. Ester Jusuf menekankan bahwa terjadinya kerusuhan adalah pada waktu yang hampir bersamaan di Medan, Jakarta, Bandung, Makasar, Jogya, dll -- hal mana tidak mungkin bila tidak ada pengaturan menurut rencana yang sudah ditetapkan. Fadli Zon dengan keras membantah tuduhan tsb. Dinyatakannya laporan TPGF itu adalah fitnah terhadap Prabowo Subianto. 5
Yang parah ialah bahwa pemerintah yang sekarang ini, samasekali tidak menunjukkan "political will" dan tindakan apapun untuk menangani kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998, menghukum yang bertanggung-jawab, dan para pelakunya serta mememberikan keadilan kepada para korban. Seperti dinyatakan oleh Komisioner KomnasHAM, Zamrotin, dalam diskusi tsb: -- Pada tahun 2004 KomnasHAM mengajukan pertanyaan kepada Kejaksaan Agung sekitar kerusuhan Mei 1998, tapi tidak menerima tanggapan. Apa yang terjadi pada kerusuhan Mei 1998, jelas menuruti suatu pola tertentu. Yaitu *KEKERASAN*. Yang disutradarai oleh aparat keamanan. Pola ini persis sama dengan apa yang terjadi menjelang berdirinya Orde Baru. Pola kekerasan mencirii Peristiwa Pelanggaran HAM berat yang paling luas dalam sejarah Republik Indonesia. Yaitu Peristiwa Pembantaian Masal 1965/66. Sikap pemerintah dewasa ini terhadap Kerusuhan 13-15 Mei 1998, dan terhadap Peristiwa Pembantaian Masal 1965 dengan keterlibatan aparat keamanan negeri, adalah...*b u ng k a m!* "Let bygones be bygones".... "Mari bersama melihat kedepan"..... kata mereka-mereka itu. Bukankah sikap seperti itu merupakan usaha *UNTUK MELUPAKAN SEJARAH?* Menanggapi sikap tidak bertanggung-jawab pemerintah ini seorang penulis, AYANG UTRIZA NWAY, mahasiswa S-2 sejarah "Ecole des Hautes Etudes en Sciences Sociales" (EHESS) Paris, tergugah dan menulis a.l : Kini, pemerintahan yang baru ini, apakah punya niat baik untuk merehabilitasi para korban PKI dan membuat tim pencari fakta korban pembantaian 65-66? Kita tidak tahu. Kita hanya bisa mengharap bahwa tragedi besar kemanusian ini segera diselesaikan. Kita hanya tak ingin negara ini berdiri di atas piramida korban kemanusiaan. Paling tidak, studi dan penelitian tentang korban pembantaian "65-66" harus terus dilakukan agar semakin jelas sejarah kelabu bangsa ini. 6
Pertanyaan serupa harus ditanyakan kepada pemerintah sekarang ini mngenai kasus Kerusuhan 13-15 Mei 1998: Dan dengan tegas dan keras kita nyatakan: *Kita tidak ingin negara ini ini berdiri di atas piramida korban kemanusiaan.* What Next....?* Jawaban tegas dan adil sudah diberikan, oleh salah seorang dari generasi muda: Paling tidak, studi dan penelitian tentang korban pembantaian harus terus dilakukan agar semakin jelas sejarah kelabu bangsa ini.* 7