BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berpikir. Sedangkan untuk bentuk jamaknya adalah ta etha, yang berarti

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dikemukakan oleh Pieget (1932) dalam bukunya, The Moral Judgement of. objek dan kejadian yang ada di sekitar lingkungannya.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. memadai saja yang dapat tumbuh dan bertahan. Setiap profesi dituntut untuk

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

aktivitas-aktivitas investasi, perbankan dan capital raising, jasa perencanaan

BAB II LANDASAN TEORI. Setiap pengambilan keputusan akan lengkap dan sempurna jika melibatkan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN UKDW. pada prakteknya di lapangan, keahlian khusus tidak menjamin. menunjang keberhasilan yaitu menerapkan suatu etika.

BAB I PENDAHULUAN. menghubungkan pihak-pihak yang berkepentingan dalam perusahaan. Pihak-pihak

BAB I PENDAHULUAN. dengan masyarakat. Dalam pasal 1 ayat (2) Kode Etik Ikatan Akuntan. integritas dan obyektivitas dalam melaksanakan tugasnya.

BAB 1 PENDAHULUAN. keuntungan sebesar-besarnya. Tetapi terkadang untuk mencapai tujuan itu,

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam semua area profesi akuntansi Louwers et al. dalam (Husein, 2004). Profesi

BAB I PENDAHULUAN. diperhadapakan pada berbagai persaingan yang sangat ketat, khususnya pada bidang bisnis UKDW

PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Peran akuntan dalam penatalaksanaan keuangan negara meningkat seiring

BAB I PENDAHULUAN. persaingan antar perusahaan semakin meningkat, dan masalah yang dihadapi semakin UKDW

BAB I PENDAHULUAN UKDW. menjalankan suatu profesi juga dikenal adanya etika profesi.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. ada dua teori etika yang dikenal sebagai deontologi dan teleologi.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dewasa ini pekembangan dunia usaha yang semakin pesat mengakibatkan

BAB I PENDAHULUAN. jasa pemeriksa laporan keuangan, menyimpan banyak konflik dalam. Masalah yang sering terjadi ternyata tidak sedikit auditor yang

BAB I PENDAHULUAN. Akuntan Indonesia (Indonesian Institute of Accountants) yang disingkat IAI.

BAB I PENDAHULAN. mengevaluasi bukti secara obyektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kegiatan

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Auditor merupakan ujung tombak dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Dalam suatu organisasi profesi setiap anggota. komitmen profesi. Harsanti (2001) menyatakan bahwa komitmen dapat dijadikan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Dengan meningkatnya kompetensi persaingan, profesi akuntan menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. Keberhasilan dan kinerja seseorang dalam suatu bidang pekerjaan dalam Putri, 2005). Oleh karena itu komitmen organisasi akan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada era globalisasi saat ini akuntan dituntut untuk profesional

BAB I PENDAHULUAN. Di Indonesia, profesi auditor mengalami perkembangan yang

BAB I PENDAHULUAN. membahas tentang latar belakang penelitian yang. penelitian sebelumnya. Selanjutnya berdasakan latar belakang penelitian, dapat

BAB I PENDAHULUAN. kode etik akuntan. Kode etik akuntan, yaitu norma perilaku yang mengatur

BAB I PENDAHULUAN. ini disebabkan oleh faktor diantaranya praktik-praktik profesi yang

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Perusahaan dalam mempertanggung jawabkan aktivitas bisnisnya dan menilai

BAB I PENDAHULUAN. diperbaiki melihat kurangnya good corporate governance (Yulianti, 2006). Salah

BAB I PENDAHULUAN. bebas atau free trade antara negara-negara anggota ASEAN sehingga Institut

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Seiring dengan meningkatnya kompetisi dalam dunia kerja, setiap

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan ekonomi suatu perusahaan memacu profesi akuntan untuk

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan dalam melakukan audit (Mulyadi dan Puradiredja, (1998)

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat sekarang ini. Terjadinya krisis. Indonesia menyadarkan masyarakat untuk mengutamakan perilaku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kepada pihak-pihak yang terkait, terutama informasi yang berkaitan dengan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG. Perkembangan etika sangat mempengaruhi kehidupan manusia dalam

BAB I PENDAHULUAN. profesi. Etika Profesi diperlukan agar apa yang dilakukan oleh suatu profesi tidak

BAB I PENDAHULUAN. dalam melaksanakan pemeriksaan akuntan, memperoleh kepercayaan dari klien

PENGARUH SIFAT MACHIAVELLIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang semakin berat, oleh karena itu perbaikan kompetensi seiring

BAB I PENDAHULUAN. semua kepentingan menegakkan kebenaran, kemampuan teknis dan

BAB I PENDAHULUAN. memberikan opini atau pendapat tentang kewajaran penyajian laporan

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN. sebagai dasar untuk memberi jawaban sementara terhadap rumusan masalah yang

ETIKA BISNIS DAN PROFESI PPAK

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Tema tentang independensi dan etika dalam profesi akuntan memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Pada era globalisasi ini di dalam dunia kerja setiap pekerja dari berbagai

BAB I PENDAHULUAN. Etika merupakan konsep fundamental bagi semua bidang seperti; akuntansi,

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan bisnis yang begitu pesat ini menimbulkan berbagai kasus bisnis

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Brooks (2007) menyatakan bahwa etika merupakan cabang dari filsafat

BAB I PENDAHULUAN. milik Belanda yang beroperasi di Indonesia pada waktu itu, didirikan dan akuntansi sistem Amerika mulai dikenal, terutama melalui

BAB I PENDAHULUAN. ada dalam laporan keuangan adalah relevan (relevance) dan dapat diandalkan

SKRIPSI. Oleh : MSY. FADHILAH DWINTASARI B

BAB I PENDAHULUAN. laporan keuangan adalah relevan (relevance) dan dapat diandalkan (reliable). Kedua

BAB I PENDAHULUAN. menerapkan etika.etika mempunyai peranan yang sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN UKDW. menjadi dasar atau aturan bagi seseorang dalam menjalankan profesinya. Etika

Kode Etik Ikatan Akuntan Indonesia terdiri dari tiga bagian:

BAB I PENDAHULUAN. memperhatikan interaksinya dan aspek-aspek kehidupan nasional. BUMN harus. bidang pengendalian dan pengawasan, Wardoyo (2010)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Etika memberi manusia orientasi bagaimana ia menjalani hidupnya melalui

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan dunia usaha yang semakin pesatpada saatini dapat memicu

BAB I PENDAHULUAN. whistleblower. Beberapa dekade terakhir istilah whistleblower menjadi makin. pemukul kentongan, atau pengungkap fakta.

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Seiring dengan meningkatnya kompetensi dan globalisasi, setiap profesi dituntut

BAB I PENDAHULUAN. kepercayaan masyarakat. Dari profesi akuntan publik, masyarakat. yang disajikan oleh manajemen perusahaan dalam laporan keuangan

ETIKA. Kata etik (atau etika) berasal dari kata ethos (bahasa Yunani) yang berarti karakter, watak kesusilaan atau adat.

BAB I PENDAHULUAN. tempat berlangsungnya proses pembentukan karakter seseorang melalui

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan teknologi informasi makin meluas dan peran teknologi

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan Ekonomi mendorong munculnya pelaku bisnis baru sehingga

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Auditor merupakan profesi yang mendapat kepercayaan dari publik untuk

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada era globalisasi ini dunia bisnis sudah tidak asing lagi bagi para pelaku

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. Banyak faktor yang mempengaruhi kinerja seorang auditor dalam

BAB I PENDAHULUAN. pergerakan pembaharuan yang akan menjadi generasi-generasi penerus

KODE ETIK PSIKOLOGI. Etika dan Moral, Kode Etik Psikologi, Psikolog dan ilmuwan psikologi, Layanan Psikologi, Etika dalam Eksperimen Psikologi

BAB I. melanggar dimensi moral dan etika bisnis itu sendiri, termasuk profesi. Masalah etika menjadi perhatian yang sangat penting bagi masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. baik oleh pihak eksternal maupun internal perusahaan. (Singgih dan Bawono, 2010).

BAB II KAJIAN PUSTAKA. usul kata, etika berasal dari bahasa Yunani, yaitu ethos yang berarti adat istiadat/

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

BAB I PENDAHULUAN. diasumsikan bahwa seseorang yang profesional memiliki kepintaran, profesionalismenya dalam melaksanakan tugasnya.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Setiap perusahaan baik milik negara maupun swasta sebagai suatu pelaku

BAB I PENDAHULUAN. profesionalisme profesi. Profesionalisme suatu profesi diwujudkan dalam sikap

BAB I PENDAHULUAN. menyimpang jauh dari aktivitas moral, bahkan ada anggapan bahwa dunia

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. keuangan adalah relevan (relevance) dan dapat diandalkan (reliable). Kedua

BAB I PENDAHULUAN. Profesi di bidang akuntansi merupakan profesi yang penuh dengan masalah

BAB I PENDAHULUAN. atau prinsip tersebut secara konsisten (Wibowo, 2010). Profesi akuntan publik

BAB 1 PENDAHULUAN. dibutuhkan suatu alat. Laporan keuangan yang diterbitkan perusahaan

KODE ETIK IKATAN AKUNTAN INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperoleh keuntungan yang sebesar-besarnya (profit-making) agar

BAB I PENDAHULUAN. Pengembangan dan kesadaran etik/moral memainkan peran kunci. dalam semua area profesi akuntansi (Louwers et al dalam Muawanah dan

BAB I PENDAHULUAN. independen maka hasil pemeriksaan akan lebih akurat. kewajaran laporan keuangan agar laporan keuangan tersebut tidak memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Organization (WTO), General Agreement on Tarrifs and Trade (GATT), dan General Agreement on Trade in Services (GATS) tidak hanya

Bab I PENDAHULUAN. perkembangan yang cukup pesat dengan ditemukannya komputer pada tahun UKDW

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Etika Etika berasal dari kata Yunani ethos yang berarti tempat tinggal, padang rumput, kandang, kebiasaan, adat, watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan untuk bentuk jamaknya adalah ta etha, yang berarti adat istiadat. Kata etika memiliki keterkaitan dengan moral. Moral berasal dari kata latin yakni mos atau mores yang berarti adat istiadat, kebiasaan, kelakuan, watak, tabiat, akhlak dan cara hidup (Soekrisno Agoes, 2009: 26). Menurut Kamus Bahasa Indonesia, etika dirumuskan dalam beberapa pengertian sebagai berikut: a. Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk, dan tentang hak dan kewajiban moral (akhlak); b. Kumpulan asas atau nilai yang berkenaan dengan akhlak; c. Nilai mengenai benar dan salah yang dianut suatu golongan atau masyarakat. Dari beberapa uraian diatas, etika dapat diartikan dalam dua hal berikut: a. Etika sebagai praksis; yakni sama dengan moral yang berarti adat istiadat, kebiasaan, nilai, dan norma yang berlaku dalam kelompok atau masyarakat. 15

16 b. Etika sebagai ilmu atau tata susila adalah pemikiran atau penilaian moral. Etika sebagai pemikiran bisa mencapai taraf ilmiah apabila proses penalaran tersebut bersifat kritis, metodis, dan sistematis. Dalam hal terkait ilmiah, etika mencoba untuk mampu merumuskan suatu teori, konsep, asas, atau prinsip tentang perilaku manusia yang dianggap baik atau tidak baik. Dengan demikian, akan memunculkan pertanyaan mengapa perilaku tersebut dianggap baik atau tidak baik, mengapa menjadi baik itu sangat bermanfaat, dan sebagainya. Persoalan etika dalam akuntansi dapat berfokus pada pengembangan etika yang dapat mendasari proses penalaran etis (Jeffrey, 1996). Pendidikan etika juga dapat menjadi hal yang penting untuk diperhatikan terutama pada masa muda sehingga dengan adanya intervensi etika sejak di bangku sekolah akan menjadi suatu kebutuhan penting. Hal tersebut dikarenakan pendidikan dapat menjadi suatu pedoman dalam menemukan identitas diri, mengembangkan hubungan bermasyarakat dan mampu menghindari konflik meskipun terkadang banyak pendapat menyatakan jika pengetahuan mengenai etika atau moral tidak menjamin bahwa individu tersebut akan berperilaku moral seperti yang ia yakini. Pokok dalam proses penalaran etis juga dapat didasari dengan adanya pengembangan moral 2.1.2 Etika Profesi Akuntan Akuntan merupakan mereka yang telah lulus dari pendidikan Strata Satu (S1) program studi akuntansi dan telah memperoleh gelar profesi

17 Akuntan melalui pendidikan profesi akuntan yang diselenggarakan oleh beberapa Perguruan Tinggi yang telah mendapat izin dari Departemen Pendidikan Nasional atas rekomendasi dari organisasi profesi Institut Akuntan Indonesia atau IAI (Agoes dan Ardana, 2009). Pertumbuhan profesi akuntan mempunyai hubungan positif yang kuat dengan adanya pertumbuhan ekonomi. Dalam masa sekarang ini, adanya kemajuan pertumbuhan ekonomi sangat berdampak positif pada kemajuan profesi akuntan di Indonesia. Profesi akuntan menjadi bagian yang tak terpisahkan dari praktik bisnis dan penyelenggaraan administrasi pemerintahan, sehingga profesi ini terkadang diharuskan dalam kondisi tekanan berat atas konflik kepentingan. Dengan demikian banyak profesi akuntan yang terseret ke dalam praktikpraktik yang tidak etis, seperti yang terjadi pada kasus praktik tidak etis yang dilakukan beberapa KAP papan atas. Pelanggaran etika sudah bukan menjadi hal baru di dalam lingkungan masyarakat, sehingga pemahaman mengenai etika perlu diberikan perhatian yang lebih karena mempengaruhi kehidupan bersama. Etika dianggap sebagai hal penting karena (Martin, 1993) menjadi disiplin dalam ilmu yang dapat bertindak sebagai indeks kinerja atau acuan sistem kontrol individu. Jadi, etika harus diterapkan di setiap profesi karena menjadi ilmu tentang apa yang baik atau buruk (Soepardan, 2007). Etika profesi diperlukan dalam semua bidang konsentrasi ilmu seseorang dalam menjalankan profesinya bagi masyarakat dan

18 lingkungannya sehingga perlu adanya kode etik profesi yang mengatur aturan secara jelas mengenai tindakan etis dan tidak etis yang dilakukan oleh profesional. Etika sebagai salah satu masalah yang sering dihadapi dalam profesi akuntansi karena profesi akuntan bertanggungjawab terhadap klien dan masyarakat atau publik. Menurut International Federation of Accountants (dalam Regar, 2003), profesi akuntan adalah semua bidang pekerjaan yang mempergunakan keahlian di bidang akuntansi, termasuk bidang pekerjaan akuntan publik, akuntan intern yang bekerja pada perusahaan industri, keuangan atau dagang, akuntan yang bekerja di pemerintah, dan akuntan sebagai pendidik. Sejalan dengan berkembangnya ekonomi global dan dalam rangka mengantisipasi keberadaan profesi akuntan bertaraf internasional, maka organisasi IAI telah sepakat untuk mengadopsi standar audit, akuntansi, dan kode etik internasional yang dikeluarkan oleh IFAC. Etika profesi akuntan di Indonesia diatur dalam Kode Etik Akuntan Indonesia yang bertujuan agar profesi akuntansi dapat memenuhi tanggung jawab dengan standar profesionalisme tertinggi, mencapai tingkat kinerja tertinggi dan dengan orientasi kepada kepentingan publik. Etika profesi akuntan menurut Institut Akuntan Indonesia (IAI) dibentuk didalam Kode Etik IAI yang dimaksudkan sebagai panduan dan aturan bagi seluruh anggota, baik sebagai pihak praktisi yakni akuntan publik, bekerja di lingkungan dunia usaha, di instansi pemerintah; maupun sebagai pihak akademisi yakni di

19 lingkungan dunia pendidikan dalam pemenuhan tanggung-jawab profesionalnya. Kode etik IAI dibagi menjadi empat bagian, meliputi (1) prinsip etika yang memberikan kerangka dasar dalam mengatur pelaksanaan etika pemberian jasa profesional (2) aturan etika yang memberikan aturan mengenai setiap tindakan yang harus dilakukan profesi akuntan dan sebagai penerapan dari prinsip etika (3) intepretasi etika yang memberikan panduan dalam penerapan etika tanpa membatasi lingkup penerapannya (4) tanya jawab etika yang berkaitan dengan isu-isu etika dan dapat dilakukan dengan Dewan Standar Profesi yang dibentuk oleh pengurus institut yang bersangkutan. 2.1.3 Pendidikan Etika Bisnis dan Profesi Kesadaran sikap etis seseorang dipengaruhi dengan perkembangan dunia pendidikan, dalam hal ini pendidikan akuntansi memiliki pengaruh besar terhadap perilaku etis mahasiswa sebagai calon akuntan masa depan. Terdapat empat alasan mengapa perlu mempelajari etika bisnis dan profesi (Utami dan Indriawati, 2006: 5): 1. Etika memandu manusia dalam memilih berbagai keputusan yang dihadapi dalam kehidupan. 2. Etika merupakan pola perilaku yang didasarkan pada kesepakatan nilainilai sehingga kehidupan yang harmonis dapat tercapai.

20 3. Dinamika dalam kehidupan manusia menyebabkan perubahan nilainilai moral sehingga perlu dilakukan analisa dan ditinjau ulang. 4. Etika mendorong tumbuhnya naluri moralitas dan mengilhami manusia untuk sama-sama mencari, menemukan dan menerapkan nilai-nilai hidup yang hakiki. Tujuan dilaksanakannya pendidikan etika bisnis dan profesi antara lain: 1. Menstimulir imajinasi moral. 2. Mengenal persoalan etis. 3. Menimbulkan suatu dorongan dalam perasaannya untuk kewajiban moral (moral obligation). 4. Mengembangkan keahlian bisnis 5. Menahan dan mengurangi ketidaksetujuan (disagreement) dan kerancuan (ambiguity) 6. Etika memandu manusia dalam memilih berbagai keputusan yang dihadapi dalam kehidupan. 7. Etika merupakan pola perilaku yang didasarkan pada kesepakatan nilainilai sehingga kehidupan yang harmonis dapat tercapai. Kemampuan seorang profesional dapat dikatakan peka terhadap persoalan etika sangat dipengaruhi lingkungan dimana mereka berada. Hal tersebut dikarenakan masih adanya keterbatasan dalam pendidikan etika bisnis dan profesi akuntansi seperti banyaknya pendidik atau akademisi

21 yang tidak mengajarkan secara formal serta kebanyakan pengetahuan mengenai pendidikan etika bisnis maupun profesi masih sedikit dimasukkan dalam mata kuliah yang diajarkan (Ristalata, 2005: 16). Dengan demikian, perlu diperhatikan sejauh mana pendidikan etika bisnis maupun profesi telah tercakup dalam berbagai mata kuliah yang diajarkan sehingga benar jika dunia pendidikan akuntansi memiliki pengaruh yang besar bagi tumbuhnya kesadaran etis mahasiswa akuntansi. Selain itu, dosen sebagai pengajar juga dapat menentukan pembentukan etika melalui pendidikan tinggi akuntansi 2.1.4 Sensitivitas Etis Penelitian di bidang akuntansi sedang berfokus pada kemampuan para akuntan dalam membuat keputusan untuk berperilaku etis. Kesadaran para individu sebagai agen moral menjadi faktor penting dalam menilai perilaku etis. Kemampuan untuk menyadari adanya nilai etika dalam suatu keputusan berperilaku etis. Keputusan yang berkaitan dengan masalah moral mempunyai konsekuensi dan harus melibatkan suatu pilihan dari individu yang membuat keputusan tersebut. Hal tersebut dikarenakan seringkali keputusan memiliki konsekuensi bagi pihak lain dan kerelaan untuk memilih pilihan yang seringkali memiliki risiko yang besar. Menurut Jones (1991:367), keputusan dinilai sebagai keputusan moral jika pada saat keputusan itu dibuat dengan memperhitungkan atau memasukkan nilai-nilai moral.

22 Sensitivitas etis merupakan kemampuan individu untuk menafsirkan situasi yang sedang terjadi dengan tetap mempertimbangkan apakah situasi tersebut etis atau tidak etis. Kemampuan seorang profesional dapat dipengaruhi oleh sensitivitas individu itu sendiri. Individu sebagai pelaku moral dianggap memiliki kesadaran yang dinilai melalui kemampuan untuk menyadari adanya nilai etis dalam suatu keputusan yang disebut sebagai sensitivitas etis (Velasquez dan Rostankowski, 1985). Sensitivitas etis mengacu pada kemampuan seseorang dalam mengidentifikasi konten etika dengan mengingat situasi (Sparks dan Hunt, 1998). Hal tersebut diperjelas dengan adanya beberapa individu yang terlibat dalam kegiatan yang tidak etis meskipun mereka memiliki pengetahuan tentang sifat tidak etis dari perilaku mereka. Sensitivitas etis menjadi faktor penting, selain variabel pribadi, dalam pengambilan keputusan yang adil dan dipengaruhi oleh lingkungan ketika keputusan dibuat (Hunt dan Vitell, 1993; Patterson, 2001). Sensitivitas etis merupakan salah satu dari empat proses psikologi dasar yang dilakukan individu untuk bertingkah laku secara moral. Model empat komponen dasar tersebut telah digagas oleh Rest untuk meneliti pertimbangan pemikiran dan tingkah laku moral individu. Rest (1983) mengkonstruksikan empat komponen model terkait yang pada dasarnya harus dilakukan individu dengan proses psikologi, antara lain: (1) moral sensitivity (2) moral judgement (3) moral motivation (4) moral character. Proses pertimbangan keputusan model, terdiri dari:

23 a. Kesadaran moral. Mengidentifikasi sifat moral dari sebuah situasi tertentu b. Pertimbangan moral. Membuat keputusan yang secara moral benar dalam konteks tersebut. c. Niat moral. Memutuskan untuk menempatkan nilai yang lebih tinggi pada norma lain. d. Tindakan moral. Terlibat dalam perilaku moral (Rest, 1986; Butterfield et al., 2000; Jones, 1991). Sensitivitas etis menjadi cara individu dalam menafsirkan atau mengintepretasikan situasi yang dapat mempengaruhi orang lain. Jadi dapat dikatakan bahwa sensitivitas etis adalah kemampuan dalam mengetahui masalah etika yang sedang terjadi dan mengevaluasi pengaruh atas pilihan tindakan yang berpotensi pada kesejahteraan pihak yang terimbas. Jadi, individu dengan sensitivitas etis yang baik akan mampu berperilaku lebih etis karena mereka mampu mengetahui situasi yang etis yang terjadi. Sensitivitas etis dapat dipengaruhi faktor seperti lingkungan budaya, pengalaman pribadi, lingkungan industri, lingkungan organisasi yang memungkinkan untuk mempengaruhi kemampuan profesi akuntan dalam mengenali situasi terkait etika (Hunt dan Vitell, 1986). Masing-masing individu memiliki kemampuan yang berbeda dalam mengetahui adanya masalah etika karena mereka dapat gagal ketika menafsirkan situasi yang terjadi dalam keterbatasan sensitivitas mereka terhadap kebutuhan dan kesejahteraan orang lain (Rest, 1986).

24 Setiap akuntan yang memiliki kemauan dalam menafsirkan dilema etis yang terjadi dianggap mampu mengambil keputusan atas tindakan profesional mereka secara etis. Kemampuan dalam memahami sifat dasar etika dari suatu keputusan dinamakan sensitivitas etis, sehingga profesi akuntan harus memahami skema moral yang mengarah pada masalah etis (Jones, 1991). Dengan demikian, adanya etika profesi akuntan sangat berguna dalam hal kemampuan akuntan ketika mengambil keputusan dan perilaku etis mereka. 2.1.5 Penalaran Etis Penalaran Etis adalah penalaran tentang perilaku manusia dengan menggunakan beberapa alasan untuk menilai tindakan tersebut benar atau salah. Penalaran etis mencerminkan penilaian seseorang dalam menghadapi dilema etis dan pengambilan keputusan mereka ketika menghadapi situasi dilematis tersebut. Penalaran etis lebih menekankan pada pertimbangan dan alasan yang melatarbelakangi seseorang menilai baik atau buruk suatu tindakan. Penalaran etis dibutuhkan mahasiswa sebagai calon akuntan masa depan untuk dapat menilai nilai-nilai etika mereka sendiri dalam konteks masalah sosial, mengenali masalah etika dalam berbagai pengaturan, berpikir tentang bagaimana perspektif etis yang berbeda bisa diterapkan untuk dilema etika dan mempertimbangkan konsekuensi dari tindakan alternatif. Identitas diri etika mahasiswa dapat berkembang karena mereka

25 berlatih keterampilan pengambilan keputusan etis dan belajar bagaimana untuk menggambarkan dan menganalisa posisi pada isu-isu etika. Keputusan etis merupakan suatu keputusan yang harus dibuat oleh setiap profesional yang mengabdi pada suatu bidang pekerjaan tertentu, contohnya dalam bidang akuntansi. Di Amerika pernah dilakukan survey O Clock dan Okleshen (1993) dalam Darsinah (2005) yang menemukan bahwa profesi akuntan dianggap sebagai salah satu profesi yang paling etis. Oleh karena itu dalam membuat suatu keputusan etis, seorang profesional akuntansi pasti akan mengacu pada kode etik profesi. 2.1.6 Orientasi Etis Orientasi etis menjadi salah satu faktor pribadi dalam penelitian ini. Dalam penelitian sebelumnya menyarankan variasi individu dibentuk dengan pertimbangan etis yang mendeskripsikan ke dalam dua faktor yaitu idealisme dan relativisme sebagai orientasi etis individu (Forsyth, 1980; Schlenker dan Forsyth, 1977; Chan and Leung, 2006). Idealisme mengacu pada sejauh mana seorang individu percaya bahwa konsekuensi yang diinginkan selalu dapat diperoleh tanpa melanggar pedoman moral. Idealis individu terkait mengenai tindakan individu dalam melakukan sesuatu selalu memikirkan konsekuesi yang akan muncul atas tindakan individu tersebut sehingga idealisme diartikan sebagai konsekuensi yang positif.

26 Idealisme adalah suatu sikap yang menganggap bahwa tindakan yang tepat atau benar akan menimbulkan konsekuensi yang atau hasil yang diinginkan (Forsyth, 1980). Individu yang idealis memiliki prinsip bahwa tindakan yang mereka lakukan tidak mengarah pada tindakan yang berkonsekuensi negatif sehingga tidak merugikan individu lain. Sehingga, apabila individu berada dipilihan yang dapat berakibat negatif terhadap individu lain maka sebisa mungkin seorang idealis akan mengambil pilihan yang paling sedikit mengakibatkan akibat buruk pada individu lain. Individu yang idealis akan sangat memegang teguh perilaku etis dalam profesi yang dijalankannya sehingga cenderung akan menjadi whistle blower dalam menghadapi situasi yang didalamnya terdapat perilaku tidak etis karena memiliki tingkat idealisme yang tinggi. Sedangkan, individu dengan idealisme yang lebih rendah menganggap bahwa dengan patuh terhadap semua prinsip moral yang ada dapat berakibat negatif sehingga terkadang dibutuhkan sedikit tindakan negatif untuk mendapatkan hasil terbaik. Penelitian mengenai seorang idealis mengambil tindakan tegas terhadap situasi yang dapat merugikan orang lain dan pandangan yang lebih tegas terhadap individu yang melanggar perilaku etis dalam profesinya telah banyak dilakukan. Idealis individu terkait mengenai tindakan individu dalam melakukan sesuatu selalu memikirkan konsekuesi yang akan muncul atas tindakan individu tersebut diartikan sebagai konsekuensi yang positif. Dengan bersikap idealis diartikan profesi akuntan memiliki sikap tidak

27 memihak dan terhindar dari berbagai kepentingan serta mampu untuk menafsirkan situasi yang sedang terjadi dengan tetap mempertimbangkan apakah situasi tersebut etis atau tidak etis. Relativisme mengacu pada sejauh mana seorang individu menolak aturan moral yang universal untuk memandu perilaku mereka. Relativis individu terkait mengenai tindakan yang akan dilakukan individu pada dasarnya tidak mempedulikan konsekuensi yang muncul atas tindakan yang dilakukannya sehingga individu tidak peduli apakah tindakannya etis atau tidak etis. Perbedaan orientasi etis yang ada dapat menimbulkan perdebatan terkait kesepakatan tentang tindakan etis mengenai situasi yang mana seorang individu harus peka terhadap pertimbangan etis yang dibuatnya. Untuk menghindari situasi konflik yang muncul maka orientasi etis menjadi penting untuk mengevaluasi dan mempertimbangkan orientasinya ketika memeriksa kemampuan individu untuk menanggapi isu etis yang sedang berkembang. Dengan demikian, profesi akuntan diharuskan paham mengenai etika profesi mereka karena dengan berperilaku etis menjadikan orientasi etis akuntan sangat diperlukan dalam mengambil sikap yang wajar ketika terjadi konflik.

28 2.1.7 Locus of Control Locus of control adalah keyakinan individu mengenai tindakan individu menghubungkan peristiwa dalam kehidupannya dengan tindakan di luar kendalinya (Rotter, 1966). Locus of control sebagai kendali individu atas pekerjaan dan kepercayaan terhadap keberhasilan diri, sehingga (Tsui dan Gul 1996) dapat diartikan sejauh mana individu dapat merasakan hubungan kontinjensi antara tindakan dan hasil yang diperoleh. Locus of control menjadi salah satu variabel kepribadian (personility), yang didefinisikan sebagai keyakinan individu terhadap mampu tidaknya mengontrol nasib (destiny) sendiri (Kreitner dan Kinicki, 2005). Menurut Rotter (dalam Mearns, 2008) locus of control memiliki empat konsep dasar, yaitu: a. Potensi perilaku individu ( behaviour potential ) merupakan setiap kemungkinan yang secara relatif muncul pada situasi tertentu berkaitan dengan hasil yang diinginkan dalam kehidupan seseorang. b. Harapan ( expectancy ) merupakan suatu kemungkinan dari berbagai kejadian yang akan muncul dan dialami oleh seseorang. c. Nilai penguatan ( reinforcement value ) merupakan pilihan terhadap berbagai kemungkinan penguatan atas hasil dari beberapa penguat hasil-hasil lainnya yang dapat muncul pada situasi serupa. d. Suasana psikologis merupakan bentuk ransangan baik secara internal maupun eksternal yang diterima seseorag pada suatu saat, yang

29 meningkatkan atau menurunkan harapan terhadap munculnya hasil yang sangat diharapkan. Locus of control dibedakan menjadi dua yakni (1) locus of control internal (2) locus of control eksternal. Locus of control internal didefinisikan sebagai kendali atas tindakan yang dilakukan individu di pegang oleh individu itu sendiri, sedangkan locus of control eksternal adalah keyakinan individu bahwa tindakan yang dilakukan pada diri mereka dikendalikan oleh faktor luar dari diri mereka. Jadi, kendali individu tersebut dapat menunjukkan tingkat keyakinan individu atas penentuan nasib mereka sendiri (Robbins dan Judge, 2007). Locus of contol internal dipercaya individu bahwa keberhasilan mereka didapatkan dari aktifitas yang dilakukan dengan sendiri, sedangkan locus of control eksternal dipercaya individu bahwa keberhasilan tindakan mereka didapatkan dari faktor lingkungan mereka. Perbedaan dari kedua jenis locus of control yang paling terlihat adalah anggapan individu mengenai hasil atas tindakan mereka, yang mana hasil atas tindakan sebagai internal diyakini individu didapatkan atas usaha (effort), kemampuan (ability) dan keterampilan (skills). Sedangkan sebagai eksternal diyakini individu bahwa penentuan hasil didapatkan dari faktor lingkungan seperti nasib, takdir dan keberuntungan. Locus of control dapat membantu pemahaman resolusi tambahan akuntan dari munculnya konflik etis serta memberikan keyakinan akuntan

30 atas pentingnya etika sebagai bimbingan yang berefek pada kepatutan profesi akuntan dan audit. 2.1.8 Pengalaman Bekerja Knoers dan Haditoni (1999) menyatakan bahwa pengalaman adalah proses pembelajaran dan pertambahan potensi tingkah laku yang diperoleh dari pendidikan formal maupun non formal. Pengalaman kerja adalah proses pembentukan pengetahuan atau keterampilan tentang metode suatu pekerjaan karena keterlibatan karyawan tersebut dalam pelaksanaan tugas pekerjaan (Manulang, 1984). Pengetahuan atau keterampilan yang telah diketahui dan dikuasai seseorang akibat dari perbuatan atau pekerjaan yang telah dilakukan selama beberapa waktu tertentu disebut juga pengalaman bekerja (Trijoko, 1980). Selain itu, menurut Ranupandojo (1984) mengemukakan bahwa pengalaman kerja adalah ukuran tentang lama waktu atau masa kerja yang telah ditempuh seseorang dapat memahami tugastugas suatu pekerjaan dan telah melaksanakan dengan baik. Semakin luas pengalaman kerja seseorang maka semakin terampil seseorang dalam melakukan pekerjaan dan semakin sempurna pula pola berpikir dan sikap dalam bertindak untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Puspaningsih, 2004). Dari beberapa pendapat diatas dapat disimpulkan bahwa pengalaman kerja adalah tingkat penguasaan pengetahuan serta keterampilan seseorang dalam pekerjaannya yang dapat diukur dari masa kerja dan tingkat

31 pengetahuan dan keterampilan yang dimilikinya. Pengalaman kerja seseorang sangat ditentukan rentan waktu lama seseorang dalam menjalani pekerjaan tertentu dengan melihat pada banyaknya tahun, yaitu sejak pertama kali diangkat menjadi karyawan atau staf pada suatu lapangan kerja tertentu. Pada penelitian Richmond (2003) dalam (Christmastuti dan Purnamasari, 2006) menemukan bahwa variabel status mempunyai pengaruh pada pembentukan sikap etis yang berarti bahwa faktor pengalaman membentuk dan mengubah sifat dan sikap dalam menanggapi kondisi yang dilematis dari sudut pandang etis. Dengan adanya pengalaman menjadikan cara pembelajaran yang baik bagi Mahasiswa sebagai calon akuntan untuk menjadikan kemampuannya dalam menguasai tugas dan aktivitas yang berkaitan dengan tindakan professionalnya. Pengalaman akan membentuk kemampuan akuntan dalam menghadapi dan menyeleseikan hambatan maupun persoalan dalam pelaksanaan tugasnya, serta mampu mengendalikan kecenderungan emosional terhadap pihak lain. Dengan demikian, pengalaman mampu memberi kontribusi yang relevan dalam peningkatan kompetensi akuntan.

32 2.2 Pengembangan Hipotesis 2.2.1 Perbedaan Sensitivitas Etis antara Mahasiswa Strata 1 (S1) dan Mahasiswa Pendidikan Profesi Akuntansi (PPAK) Sensitivitas etis adalah kemampuan individu dalam menafsirkan situasi yang terjadi dengan tetap mempertimbangkan situasi tersebut etis atau tidak etis. Kemampuan seorang profesional dapat dipengaruhi oleh sensitivitas individu itu sendiri. Individu sebagai pelaku moral dianggap memiliki kesadaran yang dinilai melalui kemampuan untuk menyadari adanya nilai etis dalam suatu keputusan yang disebut sebagai sensitivitas etika (Velasquez dan Rostankowski, 1985). Etika profesi akuntan berguna bagi akuntan dalam mengambil keputusan dan perilaku etis mereka. Kemampuan memahami sifat dasar etika dari keputusan dinamakan sensitivitas etika sehingga profesi akuntan harus paham mengenai skema moral yang mengarah pada masalah etis (Jones, 1991). Pendidikan etika akuntansi penting diberikan di Perguruan Tinggi sehingga akan meningkatkan perilaku etis mahasiswa sebagai akuntan di kemudian hari. Namun, pada kenyataannya sebagian besar pendidikan etika secara penuh baru didapatkan ketika seorang akuntan harus menempuh pendidikan profesi akuntan selama satu tahun. Mahasiswa PPAK yang sudah pasti mendapatkan pendidikan etika akan lebih mampu menilai perilaku etis atau tidak etis dibandingkan dengan mahasiswa akuntansi S1. Alasan dari penilaian tersebut adalah ketika seorang akuntan yang sudah menjadi anggota dalam suatu profesi harus

33 mengikuti aturan dalam standar profesionalnya karena standar profesi meliputi norma, nilai dan tujuan yang ingin dicapai profesi (Smith dan Hall, 2008). Jadi, selain pengetahuan yang dimiliki, seorang akuntan perlu memiliki etika yang baik. H 1 : Sensitivitas etis mahasiswa PPAK lebih tinggi daripada mahasiswa Akuntansi S1. 2.2.2 Penalaran Etis dan Sensitivitas Etis Penalaran etis mengacu pada pemikiran individu untuk menggunakan persepsi mereka dalam menilai suatu kegiatan sebagai etika atau bukan dengan menunjukkan cara individu dalam mengidentifikasi perilaku yang mengarah apakah perilaku tersebut masuk ke dalam perilaku bermoral atau tidak. Penalaran etis berhubungan secara moderat dengan sensitivitas etis (Rest, 1986). Hal tersebut dikarenakan individu dengan penalaran etis yang baik pada akhirnya akan memposisikan diri bertindak secara moral sehingga akan mampu melihat persoalan etika atau dapat dikatakan memiliki sensitivitas etis yang baik. Penelitian yang telah dilakukan Arnold dan Ponemon (1991) menunjukkan terdapat hubungan antara penalaran etis dengan persepsi adanya whistle-blowing. Yang mana dilaporkan bahwa auditor intern dengan tingkat penalaran etis lebih baik dapat mengetahui dan mengidentifikasi perilaku yang kurang pantas.

34 H 2 : Penalaran etis memiliki pengaruh positif dengan sensitivitas etis Mahasiswa Akuntansi. 2.2.3 Idealisme dan Sensitivitas Etis Mahasiswa Idealisme adalah suatu sikap yang menganggap bahwa tindakan yang tepat atau benar akan menimbulkan konsekuensi yang atau hasil yang diinginkan (Forsyth, 1992). Individu yang idealis memiliki prinsip bahwa tindakan yang mereka lakukan tidak mengarah pada tindakan yang berkonsekuensi negatif sehingga tidak merugikan individu lain. Sehingga, apabila individu berada dipilihan yang dapat berakibat negatif terhadap individu lain maka sebisa mungkin seorang idealis akan mengambil pilihan yang paling sedikit mengakibatkan akibat buruk pada individu lain. Individu yang idealis akan sangat memegang teguh perilaku etis dalam profesi yang dijalankannya. Dengan bersikap idealis maka profesi akuntan diartikan memiliki sikap tidak memihak dan terhindar dari berbagai kepentingan serta mampu untuk menafsirkan situasi yang sedang terjadi dengan tetap mempertimbangkan apakah situasi tersebut etis atau tidak etis. H 3 : Idealisme memiliki pengaruh positif dengan sensitivitas etis Mahasiswa Akuntansi. 2.2.4 Relativisme dan Sensitivitas Etis Mahasiswa Relativisme adalah model cara berpikir pragmatis yang beralasan bahwa aturan etika sifatnya tidak universal karena dilatarbelakangi oleh

35 budaya yang mana masing-masing budaya memiliki aturan yang berbeda. Relativisme mengacu pada sejauh mana seorang individu menolak aturan moral yang universal untuk memandu perilaku mereka. Relativisme etis sendiri merupakan teori atas tindakan yang dapat dikatakan etis atau tidak, benar atau salah, yang mana tergantung pada pandangan masyarakat itu (Forsyth, 1992). Jadi, relativis individu terkait mengenai tindakan yang akan dilakukan individu pada dasarnya tidak mempedulikan konsekuensi yang muncul atas tindakan yang dilakukannya sehingga individu tidak peduli apakah tindakannya etis atau tidak etis. H 4 : Relativisme memiliki pengaruh negatif dengan sensitivitas etis Mahasiswa Akuntansi. 2.2.5 Locus of control dan Sensitivitas Etis Mahasiswa Locus of control adalah keyakinan individu mengenai tindakan individu menghubungkan peristiwa dalam kehidupannya dengan tindakan di luar kendalinya (Rotter, 1966). Locus of control sebagai kendali individu atas pekerjaan dan kepercayaan terhadap keberhasilan diri sehingga (Tsui dan Gul, 1996) dapat diartikan sejauh mana seseorang dapat merasakan hubungan kontinjensi antara tindakan dan hasil yang diperoleh. Locus of control dapat membantu pemahaman akuntan atas munculnya konflik etis serta memberikan keyakinan akuntan atas pentingnya etika sebagai bimbingan yang berpengaruh pada kepatutan profesi akuntan dan audit.

36 Locus of control dapat berasal dari internal maupun eksternal individu. Yang paling membedakan dari keduanya adalah hasil dari tindakan individu tersebut. Seseorang yang dicirikan sebagai eksternal percaya bahwa dia adalah korban dari nasib, kesempatan, kekuasaan yang lain dan bahwa dia sedikit memiliki kontrol mengenai nasib baik atau keuntungan pada dirinya (Iswarini dan Mutmainah, 2013). Hal ini diharapkan bahwa mahasiswa yang internal lebih mengetahui masalah etika daripada mahasiswa yang eksternal yang menerima setiap kejadian berasal dari tingkah laku di luar dirinya. H 5 : Locus of control berpengaruh terhadap sensitivitas etis Mahasiswa Akuntansi. 2.2.6 Perbedaan Sensitivitas Etis antara Mahasiswa Akuntansi yang telah mempunyai pengalaman kerja dan yang belum mempunyai pengalaman kerja Sensitivitas etis dianggap sebagai kemampuan individu untuk mengetahui situasi disekitarnya apakah etis atau tidak etis. Dengan kemampuan tersebut akan dapat mempengaruhi cara individu tersebut berperilaku etis untuk dirinya sendiri maupun lingkungan disekitarnya. Hal ini menjadi penting bagi mahasiswa akuntansi sebagai calon akuntan untuk memiliki kemampuan mengetahui situasi di lingkungan kerjanya sebagai profesional. Pengalaman kerja dianggap penting untuk meningkatkan sensitivitas etis karena semakin lama bekerja maka auditor lebih konservatif dalam menghadapi dilema etika (Larkin, 2000).

37 Perilaku etis mahasiswa dan faktor-faktor yang diduga mempengaruhinya yaitu usia, jenis kelamin, dan pengalaman kerja telah diteliti oleh Borkowski and Ugras (1992). Penelitian ini membandingkan antara mahasiswa akuntansi yang belum bekerja dan mahasiswa MBA yang telah memiliki pengalaman kerja, diperoleh hasil bahwa mahasiswa akuntansi bertindak lebih etis daripada mahasiswa MBA. Mahasiswa akuntansi cenderung justice-oriented daripada mahasiswa yang telah memiliki pengalaman kerja. Selain itu, Glover (2002) juga menyatakan bahwa individu yang memiliki lebih banyak pengalaman kerja akan cenderung mempunyai tanggapan etis yang lebih baik. H 6 : Terdapat perbedaan sensitivitas etis antara mahasiswa akuntansi yang belum mempunyai pengalaman kerja dengan mahasiswa akuntansi yang telah mempunyai pengalaman kerja. 2.3 Penelitian Terdahulu Penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan faktor-faktor yang terkait dengan sensitivitas etis Mahasiswa Akuntansi untuk dapat berperilaku etis telah dilakukan. Shaub et al. (1993) melakukan penelitian tentang pengujian empiris terkait faktor-faktor dari sensitivitas etis auditor. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengevaluasi efek dari orientasi etika individu, komitmen profesional, dan komitmen organisasi pada kemampuan mereka untuk

38 mengenali masalah etika dalam situasi profesional dan pada tingkat kognitif perkembangan moral. Variabel diukur dengan menggunakan kuesioner yang diberikan pada sampel dari 207 auditor di semua tingkat dari Delapan Besar Kantor Akuntan Publik di bagian barat daya. Temuan penelitian menunjukkan bahwa orientasi etika auditor pada saat memasuki perusahaan mempengaruhi tingkat komitmen, namun tidak satupun dari ketiga faktor ini yang mampu mempengaruhi etika. Dengan demikian, hasil studi ini menunjukkan kebutuhan KAP untuk menekankan lebih besar pada sensitivitas etis akuntan publik, program pendidikan serta untuk mengevaluasi orientasi etis auditor. Ustadi dan Ratnasari (2005) melakukan penelitian terkait analisis faktor-faktor individual terhadap persepsi perilaku etis mahasiswa. Tujuan dari penelitian ini adalah meneliti pengaruh perbedaan faktor individu mahasiswa terhadap perilaku etis mereka, yang mana faktor individu terdiri dari locus of control, disiplin ilmu, pengalaman kerja dan equity sensitivity. Data dikumpulkan dengan menyebarkan sampel penelitian sebanyak 500 responden program S1 Jurusan Akuntansi dan Manajemen di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) dan Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Surakarta. Temuan penelitian menunjukkan bahwa (a) locus of control internal mahasiswa akuntansi memiliki perilaku etis yang lebih baik dibandingkan locus of control eksternalnya (b) mahasiswa akuntansi memiliki perilaku lebih etis dibandingkan dengan mahasiswa manajemen (c) terdapat perbedaan signifikasi antara perilaku etis mahasiswa yang belum bekerja

39 dibandingkan dengan yang sudah bekerja (d) mahasiswa akuntansi yang termasuk dalam kategori menerima suatu keadaan atau benevolent cenderung lebih etis dibandingkan dengan mahasiswa dalam kategori lebih banyak menuntut atau entitleds. Chan dan Leung (2006) melakukan penelitian terkait pengaruh penalaran etis dan faktor pribadi mahasiswa dengan sensitivitas mereka. tujuan dari penelitian ini adalah ingin melihat perilaku etis individu dengan menggunakan empat model proses psikologi Rest dan lebih memfokuskannya pada satu komponen model tersebut yakni sensitivitas etis. Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan 156 kuesioner kepada mahasiswa akhir di dua Universitas besar di Hongkong, yang mana salah satunya tidak ada pelajaran etika sedangkan yang satunya ada. Temuan dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan t-test dan u- test yang menyatakan bahwa tidak ada hubungan signifikan antara penalaran etis mahasiswa dengan sensitivitas etisnya. Falah (2006) melakukan penelitian terkait pengaruh budaya etis organisasi dan orientasi etis terhadap sensitivitas etis dengan mengambil studi empiris dalam pemeriksaan internal. Tujuan dalam penelitian ini adalah untuk menguji pengaruh budaya etis organisasi dan orientasi etis (idealisme dan relativisme) terhadap sensitivitas etis. Pengumpulan data dengan mendistribusikan kuesioner sebanyak 201 kepada para aparatur Bawasda di Pemda Papua. Temuan penelitian ini dianalisis dengan analisis path dan dioperasikan dengan bantuan program AMOS 4.01 yang

40 menyatakan bahwa orientasi etis berpengaruh terhadap sensitivitas etis, khususnya relativisme. Marwanto (2007) melakukan penelitian terkait dengan pengaruh pemikiran moral, tingkat idealisme, tingkat relativisme, dan locus of control terhadap sensitivitas, pertimbangan, motivasi dan karakter mahasiswa akuntansi dengan mengambil studi eksperimental pada Politeknik Negeri Samarinda. Pengumpulan data dengan membagikan kuesioner secara langsung sebanyak 145 kuesioner sebagai sampel untuk analisis. Temuan penelitian ini dianalisis datanya dengan regresi berganda dalam SPSS ver. 13 dan menyatakan bahwa pemikiran moral, tingkat idealisme, tingkat relativisme, IPK B dan umur 22 keatas mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kecenderungan mahasiswa dalam berperilaku etis. Mahasiswa dengan karakter internal lebih dapat menemukan adanya masalah etis dalam skenario audit dibandingkan yang berkarakter eksternal. Dzakirin (2013) melakukan penelitian terkait orientasi idealisme, relativisme, tingkat pengetahuan dan gender yang mempengaruhi persepsi mahasiswa tentang krisis etika akuntan professional. Tujuan penelitian ini mengetahui persepsi mahasiswa akuntansi terkait dengan krisis etika yang melibatkan pelanggaran para akuntan. Pengumpulan data dilakukan dengan mendistribusikan kuesioner sebanyak 143 ke PTN dan PTS di Malang yang telah mengambil mata kuliah audit 1. Temuan dalam penelitian ini dianalisis dengan menggunakan multiple regression yang menunjukkan bahwa tingkat idealisme dan pengetahuan yang tinggi berpengaruh negatif atas opini

41 mahasiswa terkait krisis etika akuntan professional, sedangkan yang memiliki relativisme tinggi masih memperhatikan nilai etika yang berlaku dalam merespon suatu masalah etis sehingga belum tentu memberikan persepsi positif. Iswarini dan Siti Mutmainah (2013) melakukan penelitian terkait dengan pengaruh penalaran etis dan faktor pribadi terhadap sensitivitas etis pada mahasiswa akuntansi. Tujuan penelitian ini adalah menganalisis pengaruh penalaran etis dan faktor pribadi yang dimiliki mahasiswa terhadap sensitivitas etisnya. Pengumpulan data dilakukan dengan mendistribusikan 200 kuesioner ke beberapa Universitas di Semarang untuk mahasiswa semester 6. Temuan penelitian ini dianalisis dengan menggunakan analisis multiple regression pada SPSS ver.17 yang menyatakan bahwa penalaran etis dan faktor pribadi mahasiswa memiliki pengaruh signifikan terhadap sensitivitas etis mereka. TABEL 2.1 Penelitian Terdahulu No. Nama Peneliti Tahun Operasional Variabel 1. Shaub et al 1993 - Locus of control - Demografis - Suasana etis organisasi - Moral reasoning 2. Ustadi dan 2005 - Perilaku etis Ratnasari - Locus of control - Equity sensitivity - Pengalaman kerja - Disiplin ilmu Data Analisis ANOVA t-test & ANOVA Hasil Penelitian Moral reasoning dipengaruhi oleh LOC, demografis dan suasana etis organisasi. Mahasiswa dengan LOC internal lebih berperilaku etis; mahasiswa akuntansi lebih berperilaku etis dibandingkan mahasiswa manajemen; mahasiswa yang belum bekerja lebih berperilaku etis

42 3. Chan dan Leung 2006 - Ethical sensitivity - Ethical reasoning - Ethical orientation - Locus of control - Demographic 4. Falah 2006 - Budaya etis organisasi - Idealisme - Relativisme - Sensitivitas etis 5. Marwanto 2007 - Pemikiran moral - Orientasi etis - Locus of control - Demografis - Sensitivitas moral - Perkembangan moral - Motivasi moral - Karakter moral 6. Dzakirin 2013 - Orientasi idealisme - Orientasi relativisme - Tingkat pengetahuan - Gender - Persepsi mahasiswa t-test & u-test Path Regresi Berganda Multiple Regression dibandingkan yang sudah bekerja. Tidak ada hubungan signifikan antara penalaran etis mahasiswa dengan sensitivitas etisnya. Orientasi etis yang paling berpengaruh terhadap sensitivitas etis khususnya ialah relativisme, sedangkan idealisme tidak signifikan. Pemikiran moral, idealisme, relativisme, demografis (IPK dan umur) memiliki pengaruh signifikan terhadap kecenderungan mahasiswa dalam berperilaku etis. Tingkat idealisme dan pengetahuan yang tinggi berpengaruh negatif atas opini mahasiswa terkait krisis etika akuntan professional. 7. Iswarini dan Siti Mutmainah 2013 - Penalaran etis - Idealisme - Relativisme - Locus of control - Demografis - Sensitivitas etis Regresi Berganda Hubungan penalaran etis dan faktor pribadi tersebut signifikan terhadap sensitivitas etis mahasiswa.

43 2.4 Kerangka Pemikiran Penalaran Etis Idealisme Relativisme Sensitivitas Etis LOC Pengalaman Kerja Gambar 1: Model Penelitian