10 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Landasan Teori Adapun teori yang dapat mendukung dengan masalah yang sedang di teliti adalah: 1. Teori Keagenan (Agency Theory) Teori keagenan merupakan teori yang menjelaskan bahwa terdapat pemisahan kepentingan antara pemilik dari perusahaan dan pengelola dari perusahaan (Bodroastuti, 2009). Menurut Agency Theory, konflik dapat timbul karena adanya pemisahan antara kepemilikan dan juga pengelolaan perusahaan. Jika pihak yang terkait yaitu principal (yang memberikan kontrak atau sebagai pemegang saham) dan agen (yang menerima kontrak dan sebagai pengelola dana dari principal) mempunyai kepentingan yang bertentangan maka akan terjadi agency conflict (Laurenzia dan Sufiyati, 2015). Asimetri informasi (Asymmetric Information) adalah adanya informasi yang tidak seimbang dikarenakan informasi principal dan agen tidak sama, yang mana dapat menimbulkan permasalahan principal untuk melakukan monitoring kepada agen atas tindakan yang dilakukan. Asimetri informasi merupakan salah satu penyebab dari agency problem atau agency conflict.dari asimetri informasi tersebut terdapat dua permasalahan yang timbul yaitu adverse selection dan juga moral hazard.dapat dikatakan adverse selection terjadi karena kelalaian dalam
11 melaksanakan tugas, karena keputusan yang diambil oleh agen tidak diketahui secara pasti oleh pihak principal apakah sesuai dengan informasi yang telah diperolehnya. Sedangkan Moral hazard adalah timbulnya permasalahan antara principal dan agen, saat agen tidak melaksanakan segala hal pada kontrak kerja yang telah disetujui (Hanifah dan Purwanto, 2013). Demi pengelolaan perusahaan, principal maupun agen bekerjasama namun keduanya menjalankan tugas masing-masing karena memiliki motivasi sendiri.untuk mencapai kejayaan perusahaan, pihak principal memberikan instruksi ke agen untuk mengelola perusahaan.namun sering kali pihak manajemen sebagai pihak agen melakukan kegiatan atau tindakan yang tidak sesuai dengan instruksi dari principal dan lebih mengutamakan pencapaian hasilnya yang lebih baik, dari pada taat oleh perintah yang diberikan principal (Mayangsari dan Andayani, 2015). 2. Financial distress Saat keuangan perusahaan mengalami keadaan yang tidak sehat, ini merupakan kondisi financial distress.dengan kata lain kondisi financial distress merupakan kondisi perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan untuk memenuhi segala kewajibannya (Platt dan Platt, 2002). Menurut Mayangsari dan Andayani (2015), financial distress adalah kondisi yang terjadi saat perusahaan sedang mengalami masalah pada kesulitan keuangan. Kondisi ini terlihat pada tidak tersedianya dana ataupun ketidakmampuan perusahaan untuk membayar kewajibannya pada
12 saat jatuh tempo. Sebelum adanya kebangkrutan, kondisi financial distress ini terjadi. Serta kondisi ini yang memicu keuangan perusahaan akan menjadi semakin buruk (Widyasaputri, 2012). 3. Kepemilikan institusional Kepemilikan institusional adalah institusi, badan usaha ataupun organisasi yang memiliki saham perusahaan. Walaupun pengawasan dilakukan oleh investor sebagai pemilik dari perusahaan dilakukan dari luar perusahaan, namun fungsi monitoring pemilik institusional tersebut akan menjadikan perusahaan lebih efisien dalam penggunaan asetnya sebagai sumber daya perusahaan dalam operasi. Sehingga dengan adanya kegiatan pengawasan seperti ini akan menghindarkan suatu perusahaan dari kesalahan pemilihan strategi yang kemungkinan dapat menimbulkan kerugian bagi perusahaan karena keputusan manajemen senantiasa menjadi lebih rapi, bertanggung jawab, serta berpihak kepada kepentingan pemilik (Mayangsari dan Andayani, 2015). 4. Ukuran Dewan Direksi Menurut Triwahyuningtias (2012), dewan direksi penting karena keberadaanya yang menentukan kinerja perusahaan, maka dewan direksi adalah salah satu yang terpenting dalam corporate governance. Menurut Mayangsari dan Andayani (2015) kebijakan atau strategi suatu perusahaan secara jangka pendek ataupun jangka panjang yang menentukan adalah dewan direksi didalam perusahaan. Akan tetapi terdapat masalah yang timbul dalam hal komunikasi serta hal koordinasi yang dilakukan dengan
13 turunnya kemampuan untuk mengendalikan manajemen serta meningkatnya jumlah dewan yang akan memunculkan masalah agensi dari adanya pemisahan manajemen dan kontrol. 5. Ukuran Dewan Komisaris Agar kinerja yang dihasilkan sesuai dengan kepentingan pemegang saham maka dewan komisaris seharusnya mengawasi kinerja dewan direksi.dewan komisaris memiliki tanggung jawab untuk mengawasi tindakan dan memberikan nasihat kepada dewan direksi.pengambilan keputusan secara efektif, tepat dan cepat serta dapat bertindak secara independen yang artinya tidak memiliki kepentingan yang dapat mengganggu kemampuannya dalam melakukan tugas maka komposisi dewan komisaris harus tepat.jumlah dari dewan komisaris memiliki pengaruh terhadap fungsi dari monitoring yang dijalankan perusahaan, maka jika semakin kecil ukuran dewan komisaris maka menyebabkan kurangnya fungsi monitoring yang berdampak pada perusahaan kemungkinan mengalami kondisi financial distress (Wardhani, 2006). 6. Likuiditas Likuiditas adalah kesanggupan suatu perusahaan dalam membayar kewajiban finansial yang bersifat jangka pendek, dimana harus dilunasi oleh perusahaan tersebut (Putri dan Merkusiwati, 2014).Menurut Weygandt dkk (2012) rasio likuiditas digunakan dalam mengukur kemampuan suatu perusahaan dalam jangka pendek yang harus segera dipenuhi untuk membayar kewajiban perusahaan saat ditagih atau saat
14 berada pada masa jatuh tempo.rasio Likuiditas dihitung menggunakan current ratio, yaitu dengan membandingkan jumlah aset lancar pada suatu perusahaan dengan kewajiban jangka pendek yang perusahaan miliki.semakin besarnya likuiditas pada perusahaan, maka semakin kuat pula kondisi dari keuangan perusahaan tersebut (Kurniasari, 2009). 7. Leverage Leverage merupakan sumber dana eksternal karena leverage mewakili hutang yang ada pada perusahaan. Leverage adalah perbandingan antara total hutang dengan total asset pada suatu perusahaan. Perusahaan memiliki konsekuensi harus membayar beban bunga dengan lebih besar jika semakin besar rasio leverage perusahaan. Karena semakin tinggi leverage perusahaan maka semakin tinggi nilai hutang perusahaan tersebut, sehingga semakin besarnya investasi yang didanai dari pinjaman (Mayangsari dan Andayani, 2015). Menurut Triwahyuningtias dan Muharam (2012), perusahaan akan beresiko terjadi kesulitan keuangan di masa yang akan datang jika suatu perusahaan tersebut dalam pembiayaannya banyak menggunakan hutang, yang dapat berpotensi terjadinya financial distress semakin besar jika keadaan ini tidak dapat segera diatasi.
15 B. Hasil Penelitian Terdahulu Widyasaputri (2012) meneliti tentang analisis mekanisme corporate governance pada perusahaan yang mengalami kondisi financial distress dengan jumlah 48 sampel yang terdiri dari variabel kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, ukuran dewan direksi dan ukuran dewan komisaris. Variabel dewan direksi berpengaruh signifikan terhadap financial distress, karna suatu perusahaan membutuhkan pertimbangan keputusan dari para direksi tentang kondisi keuangan saat perusahaan tersebut mengalami tekanan. Hanifah dan Purwanto (2013) meneliti tentang pengaruh struktur corporate governance dan financial indicatiors terhadap kondisi financial distress dengan menggunakan sebanyak 135 sampel, terdiri dari 41 perusahaan yang mengalami kondisi kesulitan keuangan dan 94 perusahaan tidak kesulitan keuangan yang menunjukkan hasil bahwa ukuran dewan direksi, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, leverage dan operating capacity berpengaruh terhadap financial distress. Namun variabel ukuran dewan komisaris, komisaris independen, ukuran komite audit, likuiditas, serta profitabilitas tidak berpengaruh terhadap kondisi financial distress. Putri dan Merkusiwati (2014) meneliti tentang pengaruh mekanisme corporate governance, likuiditas, leverage, dan ukuran perusahaan pada financial distress yang menunjukkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh terhadap financial distress, sedangkan variabel kepemilikan institusional,
16 komisaris independen, kompetensi komite audit, likuiditas, dan leverage tidak berpengaruh terhadap financial distress. Yayanti dan Yanti (2015) meneliti tentang analisis pengaruh likuiditas, efisiensi operasi, dan corporate governance terhadap financial distress pada perusahaan manufaktur dengan jumlah sampel sebanyak 114 perusahaan, menunjukkan bahwa total asset turnover dan kepemilikan institusional berpengaruh terhadap financial distress perusahaan. Laurenzia dan Sufiyati (2015) meneliti tentang pengaruh kepemilikan institusional, ukuran dewan komisaris, likuiditas, aktivitas dan leverage terhadap financial distress perusahaan dengan menggunakan 124 sampel yang menunjukkan kepemilikan institusional berpengaruh terhadap kondisi financial distress perusahaan, sedangkan variabel ukuran dewan komisaris, likuiditas, aktivitas dan leverage tidak berpengaruh terhadap financial distress perusahaan. Hasil signifikannya kepemilikan institusional ini dapat membuktikan bahwa variabel tersebut sudah dapat menjadi mekanisme yang efektif untuk memprediksi suatu perusahaan apakan mengalami financial distress atau tidak. C. Hipotesis 1. Kepemilikan Institusional dan Prediksi Financial Distress Perusahaan Menurut Emrinaldi (2007) Pemegang saham yang dimiliki oleh institusional akan membantu dalam mengawasi suatu perusahaan terhadap kinerja manajemen. Dengan adanya pemegang saham institusional, manajemen dalam melakukan pekerjaannya tidak akan bertindak
17 merugikan bagi pemegang saham, sehingga kepemilikan institusional akan mengurangi masalah keagenan. Kepemilikan institusional yang lebih dari 5%, maka untuk memonitor manajemen akan lebih baik. Penelitian Laurenzia dan Sufiyati (2015) menyatakan kepemilikan intitusional berpengaruh signifikan terhadap financial distress.penelitian yang dilakukan oleh Hanifah dan Purwanto (2013) menyatakan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap financial distress.namun Widyasaputri (2012) menyatakan bahwa kepemilikan institusional tidak berpengaruh signifikan terhadap financial distress perusahaan, yang mana menunjukkan seberapapun besar persentase kepemilikan institusional mampu membuktikan kemungkinan terjadinya kondisi financial distress pada perusahaan. Besarnya kepemilikan institusional akan menjadikan semakin besarnya dorongan institusi dalam mengawasi kinerja manajemen yang dapat mengoptimalkan nilai dari perusahaan. Sehingga kinerja dari perusahaan akan mengalami peningkatan serta dapat meminimalkan kemungkinan perusahaan menghadapi kondisi kesulitan keuangan. Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti menurunkan hipotesis sebagai berikut: H 1 : Kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap prediksifinancial distress perusahaan. 2. Ukuran Dewan Direksi dan Prediksi Financial Distress Perusahaan Dalam mekanisme corporate governance, dewan direksi adalah salah satu yang diperlukan agar dapat mengurangi adanya agency problem
18 sehingga nantinya dapat timbul persamaan kepentingan yang terjadi antara pemilik perusahaan dan juga manajer perusahaan (Mayangsari dan Andayani, 2015). Penelitian yang dilakukan oleh Widyasaputri (2012) menunjukkan hasil bahwa terdapat pengaruh ukuran dewan direksi terhadap kondisi financial distress.sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hanifah dan Purwanto (2013) bahwa dewan direksi berpengaruh terhadap financial distress. Hasil dari penelitian Emrinaldi (2007), mengungkapkan bahwa jika semakin banyaknya jumlah dewan direksi yang terdapat pada perusahaan maka potensi dari terjadinya kesulitan dalam keuangan yang terjadi di perusahaan akan semakin kecil. Namun berbeda dengan hasil dari penelitian Wardhani (2006) bahwa semakin tingginya perusahaan mengalami kemungkinan kondisi tekanan keuangan disebabkan semakin besar atau banyaknya jumlah direksi pada perusahaan.perbedaan dari hasil tersebut kemungkinan berdasarkan karakteristik yang terdapat dari setiap perusahaan karena adanya pengaruh dewan direksi terhadap kinerja perusahaan. Dewan Direksi sangat penting dalam corporate governance karena dewan direksi yang menentukan kinerja di dalam perusahaan. Banyaknya jumlah dewan direksi pada perusahaan mampu menentukan kinerja seperti apa yang baik karena dengan banyaknya dewan direksi mampu mempertimbangkan kinerja yang layak untuk perusahaan. Sehingga
19 dengan kinerja perusahaan yang baik maka kemungkinan terjadinya financial distress pada perusahaan kecil. Berdasarkan penjelasan diatas, peneliti menurunkan hipotesis sebagai berikut: H 2 : Ukuran dewan direksi berpengaruh negatif terhadap prediksifinancial distress perusahaan. 3. Ukuran Dewan Komisaris dan Prediksi Financial Distress Perusahaan Menurut Wardhani (2006), agar kinerja yang dihasilkan oleh dewan direksi sesuai kepentingan dari pihak pemegang saham maka kinerja dari direksi seharusnya diawasi oleh dewan komisaris, selain itu pengawasan atas tindakan yang dilakukan serta nasihat kepada dewan direksi merupakan tanggung jawab dari dewan komisaris. Pada penelitian Laurenzia dan Sufiyati (2015) menyatakan bahwa ukuran dewan komisaris tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kondisi financial distress.hasil penelitian Widyasaputri (2012) menyatakan bahwa tidak terdapat pengaruh antara ukuran dewan komisaris terhadap financial distress perusahaan.sedangkan penelitian Hanifah dan Purwanto (2013) yang menyatakan bahwa jumlah dari dewan komisaris berpengaruh negatif terhadap financial distress.dimana pada kondisi ini kemungkinan perusahaan mengalami kesulitan keuangan tidak mampu dihindari dengan seberapa besar jumlah dewan komisaris. Dalam perusahaan, jumlah atau besarnya dewan komisaris berpengaruh terhadap fungsi monitoring. Apabila ukuran dewan komisaris kecil, yang berdampak pada lemahnya fungsi monitoring maka dalam
20 perusahaan kemungkinan untuk mengalami kesulitan keuangan akan semakin besar. Berdasarkan penjelasan di atas peneliti menurunkan hipotesis sebagai berikut: H 3 : Ukuran dewan komisaris berpengaruh negatif terhadap prediksi financial distress perusahaan. 4. Likuiditas dan prediksi Financial Distress Perusahaan Menurut Laurenzia dan Sufiyati (2015) Likuiditas memperlihatkan kemampuan perusahaan untuk melunasi kewajiban jangka pendek perusahaan.serta likuiditas untuk mendanai segala kegiatan operasional perusahaan tersebut. Penelitian yang dilakukan oleh Yayanti dan Yanti (2015) menyatakan bahwa likuiditas tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap financial distress.sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hanifah dan Purwanto (2013) bahwa likuiditas tidak berpengaruh terhadap financial distress perusahaan.penelitian yang dilakukan Hapsari (2012) menyatakan bahwa likuiditas tidak berpengaruh signifikan terhadap kondisi financial distress.berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Almilia dan Kristijadi (2003) yang menyatakan bahwa rasio likuiditas perusahaan memiliki pengaruh yang negatif dan juga signifikan untuk memprediksi financial distress. Hasil ini menunjukkan bahwa kemungkinan suatu perusahaan mengalami terjadinya financial distressakan kecil jika perusahaan memiliki kemampuan yang besar dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya.
21 Kemampuan dari perusahaan untuk dapat memenuhi kewajiban jangka pendeknya dan memiliki kemampuan bagi perusahaan dalam mendanai segala bentuk operasionalnya ditunjukan dari likuiditas.dimana jika perusahaan memiliki kemampuan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya dan dapat mendanai kegiatan operasionalnya secara baik maka perusahaaan tersebut kecil kemungkinan memiliki potensi mengalami financial distress. Berdasarkan penjelasan diatas peneliti menurunkan hipotesis sebagai berikut: H 4 : Likuiditas berpengaruh negatif terhadap prediksifinancial distress perusahaan. 5. Leverage dan Prediksi Financial Distress Perusahaan Menurut Almilia dan Kristijadi (2003) dalam mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar utang jangka pendek maupun jangka panjang diperlukan analisis leverage. Resiko terjadinya kesulitan pembayaran pada masa yang akan datang merupakan akibat dari hutang perusahaan lebih besar dari pada aset yang telah dimiliki oleh perusahaan yang disebabkan karena perusahaan dalam pembiayaannya lebih banyak menggunakan utang. Potensi terjadinya financial distress pada perusahaan akan semakin besar jika di dalam perusahaan kejadian ini tidak dapat diatasi dengan baik. Penelitian yang dilakukan oleh Hanifah dan Purwanto (2013) serta Triwahyuningtias dan Muharam (2012) menyatakan bahwa leverage
22 berpengaruh terhadap financial distress. Penelitian ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Kurniasari (2009) yang juga memberikan hasil dalam penelitiannya bahwa leverage berpengaruh positif dan signifikan terhadap financial distress. Timbulnya leverage yaitu dari penggunaan dana perusahaan dalam bentuk utang yang berasal dari pihak ke tiga. Dapat disimpulkan jika leverage perusahaan tinggi maka potensi terjadinya kondisi financial distress perusahaan akan menjadi semakin tinggi. Berdasarkan penjelasan diatas peneliti menurunkan hipotesis sebagai berikut: H 5 : Leverage berpengaruh positif terhadap prediksifinancial distress perusahaan.
23 A. Model Penelitian Model dalam penelitian ini sebagai berikut: Kepemilikan Ukuran Dewan Direksi Ukuran Dewan Komisaris Likuiditas Leverage - - - - + Financial distress Gambar 2.1 Model Penelitian Hubungan Antar Variabel Penelitian