BAB II ATURAN HUKUM YANG MENGATUR MENGENAI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. A. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana

dokumen-dokumen yang mirip
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN KERJASAMA PEMULIHAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN KERJA SAMA PEMULIHAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4 TAHUN 2006 TENTANG PENYELENGGARAAN DAN KERJA SAMA PEMULIHAN KORBAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

Kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf a adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit, atau luka berat.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKA BARAT

Naskah ini telah diproses oleh Pusat Studi Hukum & Kebijakan Indonesia dan ditampilkan di

LEMBARAN DAERAH NOMOR 2 TAHUN 2013 PERATURAN DAERAH KABUPATEN KUDUS NOMOR 2 TAHUN TENTANG

BAB III DESKRIPSI PASAL 44 AYAT 4 UU NOMOR 23 TAHUN 2004 TENTANG KETENTUAN PIDANA KEKERASAN SUAMI KEPADA ISTERI DALAM RUMAH TANGGA

BUPATI SUKOHARJO PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUKOHARJO NOMOR 6 TAHUN 2011 TENTANG

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan UU Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

I. TINJAUAN PUSTAKA. kekerasan itu tidak jauh dari kebiasaan kita. Berdasarkan Undang-undang (UU) No. 23 Tahun

- Secara psikologis sang istri mempunyai ikatan bathin yang sudah diputuskan dengan terjadinya suatu perkawinan

Vol 13 No. 2 Oktober 2017 ISSN

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH

Wajib Lapor Tindak KDRT 1

Bab XIV : Kejahatan Terhadap Kesusilaan

BAB III KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PRESPEKTIF HUKUM POSITIF (UNDANG-UNDANG R.I NOMOR 23 TAHUN 2004)

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI DEMAK,

PEMERINTAH PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH PROVINSI JAWA TENGAH NOMOR 3 TAHUN 2009 TENTANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI SUKOHARJO,

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KEKERASAN YANG DILAKUKAN OLEH SUAMI TERHADAP ISTRI. A.Kajian Hukum Mengenai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004

Daftar Isi TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Penyusun: Justice for the Poor Project. Desain Cover: Rachman SAGA. Foto: Luthfi Ashari

BUPATI PATI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI PATI,

PERATURAN DAERAH PROVINSI SUMATERA SELATAN NOMOR 16 TAHUN 2010 TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA (UU) NOMOR 23 TAHUN 2004 (23/2004) TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEBUMEN NOMOR 1 TAHUN 2013 TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN KORBAN KEKERASAN BERBASIS GENDER

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN WONOGIRI

BUPATI SINTANG PROVINSI KALIMANTAN BARAT

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

BUPATI BLORA PROVINSI JAWA TENGAH RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN NOMOR TAHUN 2016 TENTANG

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN BUPATI TANGERANG NOMOR 122 TAHUN 2015 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN OGAN KOMERING ULU

BUPATI PENAJAM PASER UTARA PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PENAJAM PASER UTARA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN POSO

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. pidana. Dalam hal penulisan penelitian tentang penerapan pidana rehabilitasi

BUPATI BADUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG NOMOR 15 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

RANCANGAN KESIMPULAN/KEPUTUSAN

BUPATI PURBALINGGA PROVINSI JAWA TENGAH

PEMERINTAH KABUPATEN MADIUN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANGKA BARAT PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANGKA BARAT NOMOR 13 TAHUN 2013 PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

BUPATI POLEWALI MANDAR

BUPATI BULUNGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUNGAN NOMOR 09 TAHUN 2012 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK TERHADAP TINDAK KEKERASAN

KEJAHATAN DAN PELANGGARAN TERHADAP NYAWA DAN TUBUH ORANG

Tindak Pidana KEKERASAN Dalam RUMAH TANGGA

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

BUPATI BANGKA SELATAN PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG

QANUN KOTA LANGSA NOMOR 5 TAHUN 2015 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

BUPATI PEKALONGAN PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN PEKALONGAN NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN KENDAL NOMOR 6 TAHUN 2017 TENTANG PENGHAPUSAN KEKERASAN BERBASIS GENDER DAN ANAK DI KABUPATEN KENDAL

Lex Et Societatis Vol. V/No. 9/Nov/2017

BERITA DAERAH KABUPATEN BANTUL

BAB II PENGATURAN HAK RESTITUSI TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG DI INDONESIA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

JAWA TIMUR MEMUTUSKAN : PERATURAN DAERAH PROPINSI JAWA TIMUR TENTANG PENYELENGGARAAN PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

PEMERINTAH KOTA BATU

PEMERINTAH KABUPATEN JEMBER PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN KABUPATEN JEMBER

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung

PEMERINTAH KABUPATEN SUMENEP

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LEBAK PERATURAN DAERAH KABUPATEN LEBAK NOMOR 8 TAHUN 2013 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

GUBERNUR JAWA TENGAH PERATURAN GUBERNUR JAWA TENGAH NOMOR 74 TAHUN 2014 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN MALANG

PERATURAN DAERAH PROVINSI PAPUA

BAB IV ANALISIS HUKUM PIDANA ISLAM TERHADAP PEMENJARAAN BAGI PELAKU TINDAK PIDANA KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA PUTUSAN NO.203/PID.SUS/2011/PN.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PEREMPUAN DAN KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA. Oleh: Chandra Dewi Puspitasari

BAB I PENDAHULUAN. ciptaan makhluk hidup lainnya, Hal tersebut dikarenakan manusia diciptakan dengan disertai

BAB II PENGATURAN HUKUM MENGENAI KORBAN KEKERASAN SEKSUAL TERHADAP ANAK DIBAWAH UMUR. A. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

PEMERINTAH KABUPATEN BOJONEGORO

Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya

PEMERINTAH KABUPATEN BANGKALAN

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

WALIKOTA DENPASAR PERATURAN DAERAH KOTA DENPASAR NOMOR 4 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN PEREMPUAN DAN ANAK KORBAN KEKERASAN

UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG [LN 2007/58, TLN 4720 ]

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN LOMBOK TENGAH TAHUN 2009 NOMOR 3

BAB IV ANALISIS FIQH JINAYAH TERHADAP PIDANA CABUL KEPADA ANAK DI BAWAH UMUR

KETENTUAN-KETENTUAN HUKUM PIDANA YANG ADA KAITANNYA DENGAN MEDIA MASSA. I. Pembocoran Rahasia Negara. Pasal 112. II. Pembocoran Rahasia Hankam Negara

PERLINDUNGAN TERHADAP KELOMPOK RENTAN PEREMPUAN DAN ANAK DALAM KONTEKS HAK ASASI MANUSIA

Transkripsi:

BAB II ATURAN HUKUM YANG MENGATUR MENGENAI KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA A. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana Anggapan perilaku kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) hanyalah masalah domestik rumah tangga semata ternyata menimbulkan masalah yang serius dalam menjaga keutuhan sebuah biduk rumah tangga. Ketidakharmonisan dalam rumah tangga sedikit banyak dapat mempengaruhi kehidupan sosial bermasyarakat. Para korban tidak seharusnya berkecil hati karena penderitaan yang dialami. Pemerintah telah memberikan perlindungan kepada korban melalui Undang-undang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) serta PP No 4 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga bahkan dalam KUHP ada beberapa Pasal yang dapat digunakan oleh korban kekerasan untuk mengadukan pelaku kepada pihak yang berwajib. Kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya dilakukan terhadap pasangan suami isteri saja tetapi juga memiliki ruang lingkup yang lebih besar, ruang lingkup rumah tangga menurut Undang-undang meliputi : a. Suami, istri dan anak. Termasuk juga anak angkat dan anak tiri. b. Orang-orang yang mempunyai hubungsn keluarga dengan orang karena hubungan darah, perkawinan, pesusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga. Hubungan perkawinan misalnya mertua, menantu, ipar dan besan. dan / atau c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut. Orang yang bekerja dipandang sebagai Badriyah Khaleed, Op.Cit., hlm.17. 22

anggota keluarga dalam jangka waktu selama berada dalam rumah tangga yang bersangkutan. Untuk mencegah atau melindungi korban dan menindak pelaku kekerasan dalam rumah tangga, masyarakat dan negara wajib melaksanakan pencegahan, perlindungan dan penindakan pelaku sesuai dengan falsafah Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. Negara berpandangan bahwa segala bentuk kekerasan, penindasan diskriminasi terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat manusia. Pandangan negara tersebut didasarkan pada Pasal 28 Undang Undang Dasar 1945, beserta perubahannya Pasal 28 G (ayat 1) UUD 1945 menentukan bahwa setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang dibawah kekuasaanya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman kekuatan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak azazi. Pasal 28 H (Ayat 2) UUD 1945 menentukan bahwa setiap orang berhak atas kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan Adapun Pasal Pasal dalam kitab Undang-Undang Hukum Pidana tidak ada yang membicarakan tentang kekerasan secara eksplisit, namun ada beberapa Ibid., hal.12. 23

Pasal yang dapat digunakan oleh korban kekerasan untuk mengadukan pelaku kepada pihak yang berwajib. Pasal-Pasal tersebut adalah : 1. Kejahatan kesusilaan, Bab XIV Pasal 281-297. 2. Pelanggaran kesusilaan, Bab VI, Buku III, Pasal 523-535 3. Penganiayaan, Bab XII, Pasal 351-356. 4. Kejahatan terhadap nyawa, Bab XIX. Pasal 338-340. 5. Kejahatan terhadap Kemerdekaan orang, Bab XVIII Pasal 328,330 dan 332. 6. Pemerasan dan pengancaman, Bab XIII Pasal 368 Sebelum disahkannya Undang-undang No.23 Tahun 2004 yang secara khusus mengatur Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga, maka secara umum kekerasan fisik yang lazim disebut dengan penganiayaan yang telah diatur dalam KUHP yaitu: ******** Pasal 351 KUHP: 1) Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda sebanyak banyaknya Rp 4500, 2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah dihukum penjara selama-lamanya lima tahun 3) Jika mengakibatkan mati, diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun Pasal 352 KUHP Yaitu : 1) Selain dari pada dalam Pasal 353 dan 356, maka penganiayaan yang tidak menjadikan sakit atau halangan untuk melakukan jabatan atau pekerjaan sebagai penganiayaan ringan, dihukum penjara selama-lamanya tiga bulan atau denda, sebanyak-banyaknya Rp.4500, Hukuman ini boleh ditambah dengan sepertiganya, bila, kejahatan itu dilakukan terhadap orang yang bekerja padanya atau yang ada dibawah perintahnya. 2) Percobaan melakukan kejahatan ini tidak dapat dihukum Pasal 353 KUHP yaitu : Nurul Anisa. 2016. Tinjauan Yuridis Terhadap Tindak Pidana Kekerasan Fisik Yang Dilakukan oleh Suami Terhadap Isteri (Studi Kasus Putusan Nomor 53/Pid.B/2015/PN. Mrs). Makassar: Universitas Hasanuddin. ******** Ibid. Ibid. 24

1) Penganiayaan yang dilakukan dengan direncanakan terlebih dahulu dihukum penjara selama-lamanya empat tahun. 2) Jika perbuatan itu menjadikan luka berat, sitersalah dihukum penjara selama-lamanya tujuh tahun 3) Jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya ia dihukum penjara selama-lamanya Sembilan tahun Pasal 354 KUHP yaitu : 1) Barangsiapa dengan sengaja melukai berat orang lain, dihukum karena penganiayaan berat, dengan hukuman penjara selama-lamanya delapan tahun 2) Jika perbuatan itu menjadikan kematian orangnya sitersalah dihukum penjara selama-lamanya sepuluh tahun. Pasal 355 KUHP yaitu : ********* 1) Penganiayaan berat yang dilakukan terencana terlebih dahulu, dihukum penjara selama-lamanya dua belas tahun 2) Jika perbuatan itu menyebabkan kematian orangnya, sitersalah dihukum penjara selama-lamanya lima belas tahun. Pasal 356 KUHP yaitu : Hukuman yang ditentukan dalam Pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah dengan sepertiganya : 1. Juga sitersalah melakukan kejahatan itu kepada ibunya, bapanya yang sah, isterinya (suaminya ) atau anaknya. 2. Jika kejahatan itu dilakukan kepada seseorang pegawai negeri pada waktu atau sebab ia menjalankan pekerjaan yang sah. 3. jika kejahatan itu dilakukan dengan memakai bahan yang merusakkan jiwa atau kesehatan orang. B. Dalam Undang-undang No 23 Tahun 2004 Terlebih dahulu akan dikemukakan bahwa Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, Sebagaimana halnya undang-undang khusus yang lain, mempunyai Ibid Ibid ********* Ibid Ibid 25

hubungan yang erat dengan kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Hubungan tersebut terletak pada Buku I KUHP tentang Aturan Umum, yang terdiri atas pasal 1 sampai dengan Pasal 103 KUHP. Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 menetapkan sanksi pidana bagi barang siapa yang melanggarnya. Oleh karena itu, ketentuan yang tercantum dalam Bab 1 KUHP, juga berlaku bagi Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 Misalnya Pasal 1 ayat (1) KUHP yang berbunyi : Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada, sebelum perbuatan dilakukan. Pasal 1 ayat (1) KUHP tersebut mengandung makna, bahwa suatu perbuatan baru dapat dijatuhi pidana, setelah ada undang-undang yang mengaturnya terlebih dahulu. Berarti dalam menjatuhkan pidana, harus berpedoman pada undang-undang yang tertulis. Hal ini diperjelas oleh Pasal 1 KUHP yang menganut asas legalitas (principles of legality) yakni asas yang menentukan bahwa tiap-tiap perbuatan pidana harus ditentukan sebagai demikian oleh suatu aturan undang-undang. Dalam bahasa latin:nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali (tidak ada delik, tiada pidana tanpa terlebih dahulu diadakan ketentuan pidana). Selanjutnya ditentukan barang siapa melakukan perbuatan pidana diancam dengan pidana. Akan tetapi, tidak setiap orang yang melakukan perbuatan pidana tersebut meski dipidana. Karena untuk menjatuhkan pidana pada seseorang, dikenal asas yang berbunyi : tidak dipidana jika tidak ada kesalahan Jadi, dalam Moerti,Op.Cit.,hal.154. Ibid. 26

hal ini harus dibuktikan dulu ada tidaknya kesalahan seseorang. Hal ini berkaitan dengan masalah dapat dipertanggungjawabkannya seseorang atas perbuatan yang telah dilakukan. Jadi mengenal criminal responsibility. Adapun bentuk kesalahan ada dua, yaitu kesengajaan dan kealpaan. kesengajaan dilakukan dengan dilandasi adanya niat untuk melakukan suatu perbuatan pidana, sedangkan dalam kealpaan tidak terdapat unsur unsur niat tersebut. Misalnya dalam kasus kekerasan dalam rumah tangga, harus dibuktikan dulu adanya kesalahan dari pelaku, yaitu kesengajaan atau kealpaan. Karena hal ini berkaitan juga dengan masalah pertanggungjawaban dan kemampuan bertanggungjawab dari si pelaku. Pasal lain yang berkaitan dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah pasal 10 KUHP tentang jenis-jenis pidana. Pasal 10 KUHP ini masih relevan diterapkan pada kasus kekerasan dalam rumah tangga. ********** Pidana yang dijatukan pada pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah pidana penjara atau denda, sedangkan pidana tambahan, berbeda dengan Pasal 10 KUHP. Dalam Pasal 50 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 disebutkan pidana tambahan bagi pelaku kekerasan dalam rumah tangga adalah sebagai berikut : a. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku. b. Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu. Pembatasan gerak pelaku selain bertujuan menjauhkan pelaku dari korban, juga bertujuan ntuk melindungi korban, karena dari beberapa kasus yang pernah ********** Ibid.,hal.155. Ibid. 27

terjadi, pelaku sering melakukan terror kepada korban. Bentuk terror tersebut dapat melalui telepon, surat atau sms. Upaya lain untuk menjauhkan pelaku dari korban adalah menempatkan korban di rumah aman di suatu tempat yang tidak diketahui oleh pelaku. Adapun penetapan pelaku untuk mengikuti program konseling, merupakan suatu upaya untuk mengubah sikap atau perangai dari pelaku, agar tidak melakukan tindak kekerasan lagi. Keberhasilan upaya ini sebagian juga tergantung pada karakter dan latar belakang keluarga pelaku. Selanjutnya akan diuraikan beberapa Pasal dari Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) yang lain, namun perlu diuraikan lagi tentang pengertian kekerasan yang terdapat dalam pasal 89 KUHP yang berbunyi : membuat orang pingsan atau tidak berdaya, disamakan dengan menggunakan kekerasan Akan tetapi, selanjtunya tidak diperjelas bagaimana cara membuat orang tidak berdaya tersebut. Karena dalam kenyataanya membuat orang tidak berdaya bisa dilakukan dengan 2 (dua) cara, secara fisik, misalnya dipukul dan secara nonfisik, misalnya dibius. Tindak pidana yang dapat terjadi dalam ruang lingkup rumah tangga, secara umum merupakan tindak kekerasan terhadap perempuan. Perbuatan ini misalnya, dapat berupa : tindak pidana perkosaan (Pasal 285 KUHP ), Karena tindak pidana tersebut selalu dilakukan dengan kekerasan. Jenis tindak pidana perkosaan adalah tindak perkosaan terhadap perempuan yang sedang pingsan (pasal 286 KUHP), Perkosaan terhadap istri dibawah umur (Pasal 288 Ibid., hal.156. 28

(KUHP), Perbuatan cabul/ pelecehan seksual (Pasal 294 KUHP), tindak pidana pidana pembunuhan (Pasal 388 KUHP ) dan tindak pidana penganiayaan (pasal 351,353,354,355, dan Pasal 356 KUHP ) Tindak pidana yang telah disebutkan di muka, menurut ketentuan Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 merupakan kekerasan fisik. pasal 6 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 menyebutkan bahwa, kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit atau luka berat. Selanjutnya, perlu dikemukakan di sini bunyi pasal 285 KUHP sebagai berikut : *********** Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan, dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. Dari bunyi pasal tersebut, dapat diuraikan unsur- unsur Pasal 285 KUHP tentang perkosaan sebagai berikut : a. Barang siapa, artinya pelaku adalah semua orang, laki-laik, dari segala usia, tidak dibatasi dalam derajad dan kedudukan sosialnya. b. Dengan kekerasan atau ancaman kekerasan, di sini tidak disebutkan bagaimana kekerasan itu dilakukan, sedangkan ancaman kekerasan dapat dikategorikan di dalam perbuatan nonfisik. c. Memaksa seorang wanita berarti perbuatan tersebut dilakukan terhadap perempuan, bukan terhadap laki-laki dan perbuatan tersebut dilakukan dengan paksaan. d. Bersetubuh diluar perkawinan. Artinya tujuan yang ingin dicapai oleh pelaku adalah terjadinya persetubuhan, yang dilakukan diluar perkawinan. Jadi, dalam hal ini tindak perkosaan tidak dapat dilakukan dalam sebuah perkawinan. Dengan perkataan lain dalam kitab undang undang Hukum pidana Ibid. *********** Ibid.,hal.157. Ibid 29

tidak dikenal adanyatindak perkosaan dalam perkawinan, sehingga untuk dapat disebut tindak pidana perkosaan, perbuatan tersebut harus dillakukan di luar perkawinan. Masalah tindak perkosaan dalam perkawinan merupakan bahan perbincangan yang menarik, karena pada kekerasan dalam rumah tangga, dapat terjadi pemaksaan hubungan seksual oleh suami terhadap istri. Namun tentang hal ini, meskipun telah diatur secara khusus dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, tetapi tidak menyebutkan apakah kekerasan seksual dilakukan terhadap istri. Selain itu juga tidak diadakan perincian apakah perkosaan (tindak kekerasan) tersebut dilakukan terhadap perempuan yang sedang pingsan atau tidak berdaya (Pasal 286 KUHP ), Tehadap perempuan yang belum berumur lima belas tahun (pasal 287 KUHP) atau persetubuhan dengan seorang perempuan dalam perkawinan yang sepatutnya dapat diduga belum waktunya dinikahi (Pasal 288 KUHP ) Atau dilakukan perbuatan cabul terhadap anaknya, anak tiri, anak angkatatau anak di bawah asuhannya (Pasal 294 KUHP ). Dalam Pasal 8 butir a Undang undang Nomor 23 Tahun 2004 hanya disebutkan : Pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga. Demikian pula pasal 46 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, tidak menjelaskan kekerasan seksual tersebut ditujukan kepada siapa. Apakah ditujukan kepada istri, anak, atau orang lain yang tinggal serumah. ************ Ibid.,hal.158. Ibid.,hal.158. ************ Ibid.,hal.159. 30

Hal ini berbeda dengan apa yang telah diatur dalam Pasal 44 dan Pasal 45 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004, yang secara tegas menyebutkan bahwa kekerasan fisik dan psikis dapat dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya, oleh istri terhadap suami. Dalam hal kekerasan fisik mengakibatkan matinya korban (Pasal 44 ayat (3) Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 ), ditentukan adanya pemberatan pidana (hukuman). jadi tidak diatur dalam pasal tersendiri seperti pada Kitab Undang undang Hukum Pidana, yaitu dalam Pasal 338 KUHP yang berbunyi barang siapa menghilangkan nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan. Dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana kekerasan fisik digolongkan pada tindak pidana penganiayaan dan dikelompokkan ke dalam beberapa jenis,seperti penganiayaan biasa, penganiayaan berat, penganiayaan sampai korban meninggal atau penganiayaan yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu dan penganiayaan terhadap ibu, bapak, istri dan anak (pasal 351 sampai dengan Pasal 356 KUHP,) Adapun kekerasan psikis, diatur dalam pasal 7 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 yang menyebutkan bahwa : Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak,rasa tidak bahagia dan penderitaan psikis berat pada seseorang. Hal ini berbeda dengan apa yang diatur dalam pasal 310 sampai dengan 318 KUHP, yang hanya menyebutkan dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang atau melakukan penghinaan (penghinaan dapat dikategorikan sebagai kekerasan psikis bunyi pasal 310 KUHP adalah : Ibid. 31

(1) Barang siapa dengan sengaja menyerang kehormatan atau nama baik seseorang, dengan menuduh sesuatu hal, yang maksudnya terang supaya hal itu diketahui umum, diancam, karena pencemaran, dengan pidana penjara paling lama Sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. (2) Jika hal itu dilakukan dengan tulisan atau gambaran yang disiarkan,dipertunjukkan atau ditempelkan di muka umum, maka ditentukan, karena pencemaran tertulis, pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah. (3) Tidak merupakan pencemaran atau pencemaran tertulis, jika perbuatan terang dilakukan demi kepentingan umum atau karena terpaksa untuk bela diri. Jadi akibat dari perbuatan pelaku terhadap korban, tidak disebutkan secara rinci seperti yang tercantum dalam Pasal 7 Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tersebut. Berikut ini akan diuraikan Pasal 335 KUHP, yang dapat dikategorikan ke dalam kekerasan fisik dan psikis. Bunyi Pasal 335 KUHP : (1) Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak tiga ratus ribu rupiah : Ke-1 : barang siapa secara hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tidak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakukan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain. Ke-2 : Barang siap memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis. (2) Dalam hal diterangkan ke-2 kejahatan hanya dituntut atas pengaduan orang yang terkena. Masalah pencemaran dan perbuatan tidak menyenangkan, dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana dapat dilakukan secara fisik (dengan kekerasan) dan psikis (dengan ancaman kekerasan), berlaku untuk semua orang. Sedangkan kalau perbuatan tersebut terjadi dalam lingkup rumah tangga, hanya ditujukan pada orang tertentu saja, yaitu istri, anak, dan orang yang tinggal dalam rumah tersebut. Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 juga merumuskan ketentuan pidana sebagai bagian penegakan hukum atas UU no. 23 Tahun 2004.rumusan ketentuan pidana dimaksud tertuang dalam Pasal 44, Pasal 45, Pasal 46, Pasal 47, Ibid.,hal.160. 32

Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51, Pasal 52, Pasal 53 UU No. 23 Tahun 2004. Ketentuan Pasal 44 ayat (1), (2), (3),(4), UU no 23 Tahun 2004 berbunyi sebagai berikut: (1)Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan fisik dalam lingkup rumah tangga sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 5 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 5(lima ) tahun atau denda paling banyak Rp 15000.000,00 (lima belas juta rupiah ). (2) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mengakibatkan korban mendapatkan jatuh sakit atau luka berat, dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh ) tahun atau denda paling banyak Rp30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah ). (3) Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengakibatkan matinya korban, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas ) tahun atau denda paling banyak Rp45.000.000,00 (empat puluh lima juta rupiah ). (4) Dalam hal perbuatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencarian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4(empat) bulan atau denda paling banyak Rp5.00.000.00(lima juta rupiah). Kemudian pasal ini perlu dikaitkan dengan Pasal 51 dari undang undang yang sama, yang berbunyi : ************* Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan. Ketentuan Pasal 45 ayat (1) dan (2) UU No.23 Tahun 2004 berbunyi sebagai berikut :. (1) Setiap orang yang melakukan perbuatan huruf b dipidana dengan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaiman dimaksud dalam pasal 5 huruf b dipidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp9000.000,00 (Sembilan juta rupiah). Aziz Syamsuddin, Op.Cit, hal.106. ************* Ibid. 33

(2) Dalam hal perbuatan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencarian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4(empat) bulan atau denda paling banyak Rp.3000.000.00 ( tiga juta rupiah ). berbunyi : Pasal 44 berkaitan dengan Pasal 52 dari Undang-undang yang sama yang Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan. Ketentuan pasal 46 UU No. 23 Tahun 2004 berbunyi sebagai berikut. Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 8 huruf a dipidana dengan pidana penjara paling lama 12(dua belas ) tahun atau denda paling banyak Rp36.000.000,00 ( tiga puluh enam juta rupiah). Pasal 46 tersebut berkaitan dengan pasal 53 dari undang-undang yang sama yang berbunyi : Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana dimaksud dalam pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya merupakan delik aduan. Ketentuan pasal 47 UU No. 23 Tahun 2004 berbunyi sebagai berikut. Setiap orang yang memaksa menetap dalam rumah tangganya melakukan hubungan seksual sebagaiman dimaksud dalam Pasal 8 huruf b dipidana penjara paling lama 15 (lima belas ) tahun atau denda paling sedikit Rp12.000.000.00 ( dua belas juta rupiah ) atau denda paling banyak Rp300.000.000,00 ( Tiga ratus juta rupiah ). Ketentuan Pasal 48 UU No. 23 Tahun 2004 Berbunyi sebagai berikut. Dalam hal perbuatan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 46 dan Pasal 47 mengakibatkan korban mendapat luka yang tidak memberi harapan akan sembuh sama sekali, mengalami gangguan daya pikir atau kejiwaan sekurang kurangnya selam 4 (empat) minggu terus menerus atau 1 (satu) tahun tidak berturut turut, gugur atau matinya janin dalam kandungan, atau mengakibatkan tidak berfungsinya alat refroduksi, dipidana penjara paling singkat 5(lima) tahun Ibid. Ibid.,hal.107. Ibid. 34

dan pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun atau denda paling sedikit Rp25000.000,00 (dua puluh lima juta rupiah )dan denda paling banyak Rp500.000.000,00 (Lima ratus juta rupiah). Ketentuan Pasal 49 UU N0. 23 tahun 2004 berbunyi sebagai berikut. Dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp15.000.000,00 (lima belas juta rupiah), setiap orang yang : a. Menelantarkan orang lain dalam lingkup rumah tangganya sebagaimana dimaksud dalam pasal 9 ayat (1); b. Menelantarkan orang lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (2). Ketentuan pasal 50 UU No. 23 Tahun 2004 berbunyi sebagai berikut. Selain pidana yang dimaksud dalam bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa : a. Pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku; b. Penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu Ketentuan Pasal 51 UU No. 23 tahun 2004 berbunyi sebagai berikut. Tindak pidana kekerasan fisik sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 44 ayat (4) merupakan delik aduan. Ketentuan pasal 52 UU No. 23 tahun 2004 berbunyi sebagai berikut. Tindak pidana kekerasan psikis sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 45 ayat (2) merupakan delik aduan. Ketentuan pasal 53 UU No. 23 tahun 2004 berbunyi sebagai berikut. Tindak pidana kekerasan seksual sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 46 yang dilakukan oleh suami terhadap istri atau sebaliknya merupakan delik aduan. : ************** ************** Ibid.,hal.108. 35

C. Dalam Peraturan pemerintah No.4 Tahun 2006 Tentang Penyelenggaraan dan Kerja Sama Pemulihan Korban Kekerasan Dalam Rumah Tangga Setelah diketahui korban mengalami kekerasan, maka korban berhak mendapatkan upaya pemulihan dari pemerintah. Upaya pemulihan Korban adalah segala upaya untuk penguatan korban kekerasan dalam rumah tangga agar lebih berdaya, baik secara fisik maupun psikis. Upaya pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga perlu terus dilakukan, yang pelaksanaanya dilakukan secara terkoordinasi dan terpadu antarlintas sector baik pada tingkat pusat, provinsi, maupun kabupaten/kota. Untuk kelancaran pelaksanaan pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga, perlu peraturan perundang-undangan yang Penyelenggaraan dan kerja sama antarinstansi pemerintahan dengan melibatkan masyarakat. Upaya pemulihan tersebut merupakan amanat dari Pasal 43 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 Tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Guna menunjang pelaksanaan tersebut, perlu pengaturan mengenai penyelenggaraan dan kerja sama pemulihan korban dengan menentukan tugas dan fungsi masing0masing dan kewajiban serta tanggung-jawab tenaga kesehatan, pekerja social, pembimbing rohani dan relawan pendamping. Pendampingan adalah segala tindakan berupa konseling, terapi psikologis, advokasi, dan bimbingan rohani, guna penguatan diri, korban kekerasan dalam rumah tangga untuk menyelesaikan permasalahan yang dihadapi.kerjasama adalah cara yang sistematis dan terpadu antar penyelenggara pemulihan dan Badriyah Khaleed,Op.Cit.,hal.35-36. 36

memberikan pelayanan untuk memulihkan korban kekerasan dalam rumah tangga.petugas penyelenggara pemulihan adalah tenaga kesehatan, relawan, pendamping, dan /atau pembimbing rohani. Penyelenggaraan pemulihan terhadap korban dilaksanakan oleh instansi pemerintah dan pemerintah daerah serta lembaga sosial sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing, termasuk menyediakan fasilitas yang diperlukan untuk pemulihan korban. Fasilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi : a. Ruang pelayanan khusus dijajaran kepolisian b. Tenaga yang ahli dan propesional c. Pusat pelayanan dan rumah aman; dan d. Sarana dan prasarana lain yang diperlukan untuk pemulihan korban. Menteri dapat melakukan kordinasi dengan instansi terkait dalam melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat ((2). Menteri juga menetapkan pedoman pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga yang sensitive gender berdasarkan standard pelayanan minimal, sesuai dengan peraturan perundang-undangan. *************** Penyelenggaraan kegiatan pemulihan korban meliputi : 1. Pelayanan kesehatan 2. Pendampingan korban 3. Konseling 4. Bimbingan rohani dan 5. Resosialisasi. Pelayanan kesehatan dilakukan oleh tenaga kesehatan disarana kesehatan milik pemerintah, pemerintah daerah dan masyarakat, termasuk swasta dengan Lihat Pasal 1 PP No 4 tahun 2006. Lihat Pasal 2 PP No 4 tahun 2006. *************** Lihat Pasal 3 PP No 4 tahun 2006. Lihat Pasal 4 PP No 5 tahun 2006. 37

cara memberikan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan korban. Pendampingan korban dilakukan oleh tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan/ atau pembimbing rohani dengan cara memberikan konseling, terapi, bimbingan rohani dan advokasi guna penguatan dan pemulihan diri korban. Pemberian konseling dilakukan oleh pekerja sosial relawan pendamping dengan mendengarkan secara empati dan menggali permasalahan untuk penguatan psikologis korban. Bimbingan rohani dilakukan oleh pembimbing rohani dengan cara memberikan penjelasan mengenai hak dan kewajibannya, serta penguatan iman dan takwa sesuai dengan agama dan kepercayaan yang dianutnya. Resosialisasi korban dilaksanakan oleh instansi sosial dan lembaga sosial agar korban dapat kembali melaksanakan fungsi sosialnya dalam masyarakat. Untuk kepentingan pemulihan, korban berhak mendapatkan pelayanan dari tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan /atau pembimbing rohani. Tenaga kesehatan harus memberikan pelayanan pengobatan dan pemulihan kesehatan korban sesuai dengan standard profesi, standard prosedur operasional. Dan kebutuhan medis korban. Pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan disarana kesehatan dasar dan sarana kesehatan rujukan milik pemerintah, pemerintah daerah atau masyarakat termasuk swasta. Ketentuan lebih lanjut sebagaimana yang dimaksud Pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan menteri kesehatan. **************** Lihat Pasal 5 PP No 56 tahun 2006. Lihat Pasal 6 PP No 4 Tahun 2006. **************** Lihat Pasal 7 PP No 4 Tahun 2006. 38

Dalam memberikan pelayanan kepada korban, tenaga kesehatan melakukan upaya : a. Anamnesis kepada korban b. Pemeriksaan kepada korban c. Pengobatan penyakit d. Pemulihan kesehatan, baik fisik maupun psikis e. Konseling ; dan/ atau f. Merujuk kesarana kesehatan yang lebih memadai bila diperlukan. Selain upaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk kasus tertentu, tenaga kesehatan dapat melakukan : a. pelayanan keluarga berencana darurat untuk korban perkosaan ; dan b. pelayanan kesehatan reproduksi lainnya sesuai dengan kebutuhan medis Dalam memberikan pelayanan sebagaimana dimaksud pada ayat 1 dan 2 tenaga kesehatan harus membuat rekam medis sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk setiap tindakan medis yang akan dilakukan oleh tenaga kesehatan harus ada persetujuan tindakan medis (informed consent) dari korban atau keluarganya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Untuk keperluan penyidikan, tenaga kesehatan yang berwenang harus membuat visum et revertum psichiatricum atau membuat surat keterangan medis. Ketentuan lebih lanjut sebagaiman yang dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan peraturan menteri kesehatan. Pekerja sosial dalam memberikan pelayanan kepada korban, dapat dilakukan dirumah aman, pusat pelayanan atau tempat tinggal alternative milik pemerintah, pemerintah daerah, atau masyarakat. Dalam hal diperlukan dan atas persetujuan korban, korban dapat ditempatkan oleh pekerja sosial dirumah aman, Lihat Pasal 8 PP No 4 tahun 2006. 39

pusat pelayanan, atau tempat tinggal alternative yang aman untuk melindungi korban dari ancaman. Pengadaan rumah aman, pusat pelayanan, atau tempat tinggal alternative yang dilakukan masyarakat dapat difasilitasi oleh pemerintah dan/ atau pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan pelayanan pada rumah aman, atau tempat tinggal alternative milik pemerintah, diatur dengan peraturan menteri sosial. Menteri sosial dan menteri kesehatan, setelah memperhatikan saran dan pertimbangan menteri, dapat menyelenggarakan pusat pelayanan milik pemerintah. Dalam memberikan pelayanan pemulihan kepada korban, pekerja social melakukan upaya : a. Menggali permasalahan korban untuk membantu pemecahan masalahnya b. Memulihkan korban dari kondisi traumatis melalui terapi psikososial c. Melakukan rujukan kerumah sakit atau rumah aman atau dengan pelayanan atau tempat alternative lainnya sesuai dengan kebutuhan korban d. Mendampingi korban dalam upaya pemulihan melalui pendampingan dan konseling dan /atau e. Melakukan resosialisasi agar korban dapat kembali melaksanakan fungsi sosialnya didalam masyarakat. ***************** Dalam memberikan pelayanan pemulihan kepada korban, relawan pendamping melakukan upaya : a. Membangun hubungan yang setara dengan korban agar bersedia membuka diri dalam mengemukakan persoalannya b. Berempati dan tidak menyalahkan korban mengenai atau yang terkait dengan permasalahannya Lihat Pasal 9 PP No 4 tahun 2006. Lihat Pasal 10 PP No 4 tahun 2006. ***************** Lihat Pasal 11 PP No 4 tahun 2006. Lihat Pasal 12 PP No 4 tahun 2006. 40

c. Meyakinkan kepada korban bahwa tidak seorang pun boleh melakukan tindakan kekerasan d. Menanyakan apa yang ingin dilakukan dan bantuan apa yang diperlukan e. Memberikan informasi dan menghubungkan dengan lembaga atau perorangan yang dapat membantu mengatasi persoalannya dan /atau f. Membantu memberikan informasi layanan konsultasi hukum. Dalam memberikan pelayanan pemulihan kepada korban, pembimbing rohani melakukan upaya: a. Menggali informasi dan mendengarkan keluah kesah dari korban b. Mempertebal keimanan dan ketakwaan korban serta mendorong untuk menjalankan ibadat menurut agama masing-masing korban dan kepercayaannya itu c. Menyarankan pemecahan masalah kekerasan dalam rumah tangga menurut agama masing-masing korban dan kepercayaannya itu d. Memberikan pemahaman mengenai kesetaraan laki-laki dan perempuan. Pelayanan sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dapat diberikan juga kepada pelaku dan anggota keluarganya. Kerja Sama Pemulihan Menteri dapat melakukan kordinasi mengenai pelaksanaan kerja sama dalam rangka pemulihan korban. Untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) menteri dapat membentuk forum kordinasi pusat yang keanggotaanya berasal dari instansi terkait dan masyarakat yang peduli terhadap penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kordinasi, syarat dan tata cara pembentukan forum kordinasi diatur dengan peraturan menteri. ****************** Lihat Pasal 13 PP No 4 tahun 2006. Lihat Pasal 14 PP No 4 tahun 2006. ****************** Lihat Pasal 15 PP No 4 tahun 2006. 41

Untuk melaksanakan kerja sama dalam rangka pemulihan korban. pemerintah daerah dapat melakukan kordinasi antar instansi terkait dengan masyarakat yang peduli terhadap penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Kordinasi sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suatu badan khusus membidangi pemberdayaan perempuan dan anak. Badan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dibentuk oleh gubernur. Tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping, dan pembimbing rohani dapat melakukan kerja sama dalam melaksanakan pemulihan korban.kerja sama sebagaimana yang dimaksud pada ayat (1) meliputi kegiatan sehari-hari sebagai berikut : a. Melakukan rujukan dalam pelaksanaan upaya pemulihan korban; dan b. Penyiapan fasilitas rumah aman atau tempat alternative bagi korban. Dalam hal tertentu, tenaga kesehatan, pekerja sosial, relawan pendamping dan/atau pembimbing rohani dapat menjalin kerja sama dengan : a. Kepolisian, untuk melaporkan dan memproses pelaku tindak pidana kekerasan dalam rumah tangga b. Advokat, untuk membantu korban dalam proses peradilan c. Penegak hukum lainnya, untuk membantu korban dalam proses disidang pengadilan d. Komisi Nasiaonal Anti Kekerasan terhadap perempuan; e. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) f. Pihak tertentu yang diinginkan demi kepentingan korban. Untuk penyelenggaraan pemulihan, pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan tugas dan fungsi masing-masing dapat melakukan kerjasama Lihat Pasal 16 PP No 4 tahun 2006. Lihat Pasal 17 PP No 4 tahun 2006. Lihat Pasal 18 PP No 4 tahun 2006. 42

dengan masyarakat atau lembaga sosial, baik nasional maupun internasioanl yang pelaksanaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan. ******************* Pemerintah dan pemerintah daerah : a. Menjamin terlaksananya kemudahan pelayanan kepada korban b. Mengupayakan efektivitas dan efisiensi bagi proses pemulihan korban dan c. Mengupayakan terciptanya kerjasama dan koordinasi dalam upaya pemulihan korban. Menteri melakukan pemantauan, evaluasi, dan peningkatan kinerja pelaksanaan kerjasama pemulihan korban kekerasan dalam rumah tangga secara transparan dan bertanggung jawab. Pembiayaan Segala biaya untuk pelaksanaan pemulihan yang dilakukan oleh pemerintah dan pemerintah daerah terhadap korban kekerasan dalam rumah tangga dibebankan pada : a. Anggaran pendapatan belanja negara b. Anggaran pendapatan belanja daerah; dan c. Sumber pendapatan lain yang sah yang perolehannya sesuai dengan peraturan perundang undangan. ******************* Lihat Pasal 19 PP No 4 tahun 2006. Lihat Pasal 20 PP No 4 tahun 2006. Lihat Pasal 21 PP No 4 tahun 2006. Lihat Pasal 22 PP No 4 tahun 2006. 43