BAB III METODOLOGI. Ms = 1.33 Mb (3.1) Mw = 1.10 Ms 0.64 (3.2)

dokumen-dokumen yang mirip
Soil Ln (PGA) = M ln (R e 0.617M ) h Zt (2.8) Dimana: R = jarak terdekat ke bidang patahan (km)

Bab IV Parameter Seismik

Hasil Penelitian Dan Analisis Resiko Gempa

DEAGREGASI SEISMIC HAZARD KOTA SURAKARTA`

BAB III METODOLOGI. Pada bab ini membahas metodologi yang secara garis besar digambarkan pada bagan di bawah ini:

BAB II STUDI PUSTAKA

Analisa Resiko Gempa Kasus : Proyek Pengeboran Minyak Di Tiaka Field. Helmy Darjanto, Ir, MT

DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL HALAMAN PENGESAHAN HALAMA PERNYATAAN KATAPENGANTAR ABSTRAK ABSTRACT DAFTAR ISI DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL BAB I.

ANALISA RESIKO GEMPA DENGAN TEOREMA PROBABILITAS TOTAL UNTUK KOTA-KOTA DI INDONESIA YANG AKTIFITAS SEISMIKNYA TINGGI

Bab I Pendahuluan. I.1 Latar Belakang

BAB III PROGRAM ANALISIS RESIKO GEMPA

STUDI KARAKTERISTIK GETARAN GEMPA DI YOGYAKARTA UNTUK MENGEMBANGKAN KRITERIA DESAIN SEISMIK DI YOGYAKARTA

PENGUKURAN RESPONS SPEKTRA KOTA PADANG MENGGUNAKAN METODA PROBABILITAS ABSTRAK

BAB IV ANALISIS SEISMIC HAZARD

HALAMAN PERSETUJUAN TESIS PETA DEAGREGASI HAZARD GEMPA WILAYAH JAWA DAN REKOMENDASI GROUND MOTION DI EMPAT DAERAH

MIKROZONASI GEMPA UNTUK KOTA SEMARANG TESIS MAGISTER. Oleh : OKKY AHMAD PURWANA

ANALISIS RESIKO GEMPA KOTA LARANTUKA DI FLORES DENGAN MENGGUNAKAN METODE PROBABILISTIC SEISMIC HAZARD

Deagregasi Hazard Kegempaan Provinsi Sumatera Barat

Time Histories Dari Ground Motion 1000 Tahun Periode Ulang Untuk Kota Surabaya

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Analisis Bahaya Kegempaan di Wilayah Malang Menggunakan Pendekatan Probabilistik

RESPONS SPEKTRA WILAYAH BUKITTINGGI UNTUK STUDI PERENCANAAN JEMBATAN CABLE STAYED NGARAI SIANOK

BAB III METODOLOGI PENELITIAN. dari katalog gempa BMKG Bandung, tetapi dikarenakan data gempa yang

RESPONS SPEKTRUM WILAYAH KOTA PADANG UNTUK PERENCANAAN BANGUNAN GEDUNG TAHAN GEMPA

Oleh : DAMAR KURNIA Dosen Konsultasi : Tavio, ST., M.T., Ph.D Ir. Iman Wimbadi, M.S

PENGEMBANGAN PROGRAM ANALISIS SEISMIC HAZARD DENGAN TEOREMA PROBABILITAS TOTAL TUGAS AKHIR

RIWAYAT WAKTU PERCEPATAN SINTETIK SUMBER GEMPA SUBDUKSI UNTUK KOTA PADANG DENGAN PERIODE ULANG DESAIN GEMPA 500 TAHUN.

PEMETAAN DAERAH RENTAN GEMPA BUMI SEBAGAI DASAR PERENCANAAN TATA RUANG DAN WILAYAH DI PROVINSI SULAWESI BARAT

Peta Respons Spektrum Provinsi Sumatera Barat untuk Perencanaan Bangunan Gedung Tahan Gempa

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia, lingkungan dan metode yang dapat digunakan untuk mengurangi

BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN

RESPONS SPEKTRA GEMPA BUMI DI BATUAN DASAR KOTA BITUNG SULAWESI UTARA PADA PERIODE ULANG 2500 TAHUN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PENENTUAN KURVA RESPON SPECTRA GEMPA UNTUK WILAYAH JAKARTA. Abstract

PEMETAAN GROUND ACCELERATION MENGGUNAKAN METODE PROBABILISTIC SEISMIC HAZARD ANALYSIS DI PROPINSI NUSA TENGGARA BARATPADA ZONA MEGATHRUST

ANALISIS HAZARD GEMPA DKI JAKARTA METODE PROBABILISTIK DENGAN PEMODELAN SUMBER GEMPA 3 DIMENSI

Kajian Literatur II-1

USULAN GROUND MOTION UNTUK EMPAT KOTA BESAR DI WILAYAH SUMATERA BERDASARKAN HASIL ANALISIS SEISMIC HAZARD MENGGUNAKAN MODEL SUMBER GEMPA 3 DIMENSI

DEAGREGASI BAHAYA GEMPABUMI UNTUK DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

Ground Motion Modeling Wilayah Sumatera Selatan Berdasarkan Analisis Bahaya Gempa Probabilistik

Analisis Hazard Gempa dan Usulan Ground Motion pada Batuan Dasar untuk Kota Jakarta

SEISMIC HAZARD UNTUK INDONESIA

TUGAS AKHIR SEBAGAI SALAH SATU SYARAT UNTUK MENYELESAIKAN PENDIDIKAN SARJANA TEKNIK DI PROGRAM STUDI TEKNIK SIPIL. Oleh : NIM NIM.

RELOKASI DAN KLASIFIKASI GEMPABUMI UNTUK DATABASE STRONG GROUND MOTION DI WILAYAH JAWA TIMUR

ANALISIS RESIKO GEMPA BUMI DI KABUPATEN BANTUL

ANALISIS SEISMIC MENGGUNAKAN PROGRAM SHAKE UNTUK TANAH LUNAK, SEDANG DAN KERAS

ANALISIS HAZARD GEMPA DAN ISOSEISMAL UNTUK WILAYAH JAWA-BALI-NTB

RESIKO GEMPA PULAU SUMATRA DENGAN METODA PROBABILISTIC SEISMIC HAZARD ANAL YSIS (PSHA) THESIS MAGISTER OLEH: D. PRAHERDIAN PUTRA

Berkala Fisika ISSN : Vol. 18, No. 1, Januari 2015, hal 25-42

ANALISIS NILAI PGA (PEAK GROUND ACCELERATION) UNTUK SELURUH WILAYAH KABUPATEN DAN KOTA DI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN. tembok bangunan maupun atap bangunan merupakan salah satu faktor yang dapat

Edy Santoso, Sri Widiyantoro, I Nyoman Sukanta Bidang Seismologi Teknik BMKG, Jl Angkasa 1 No.2 Kemayoran Jakarta Pusat 10720

BAB I PENDAHULUAN. lempeng Indo-Australia dan lempeng Pasifik, serta lempeng mikro yakni lempeng

STUDI PENGEMBANGAN PETA ZONA GEMPA UNTUK WILAYAH PULAU KALIMANTAN, NUSA TENGGARA, MALUKU, SULAWESI DAN IRIAN JAYA (INDONESIA BAGIAN TIMUR)

ANALISIS RESIKO GEMPA BUMI WILAYAH LENGAN UTARA SULAWESI MENGGUNAKAN DATA HIPOSENTER RESOLUSI TINGGI SEBAGAI UPAYA MITIGASI BENCANA

Pengembangan Ground Motion Synthetic Berdasarkan Metode Probabilistic Seismic Hazard Analysis Model Sumber Gempa 3D Teluk Bayur, Padang (Indonesia)

Bab II Tinjauan Pustaka

Sulawesi. Dari pencatatan yang ada selama satu abad ini rata-rata sepuluh gempa

STUDI HAZARD KEGEMPAAN WILAYAH PROPINSI BANTEN DAN DKI JAKARTA

PEMODELAN SUMBER GEMPA DI WILAYAH SULAWESI UTARA SEBAGAI UPAYA MITIGASI BENCANA GEMPA BUMI 1)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ek SIPIL MESIN ARSITEKTUR ELEKTRO

ANALISIS RISIKO GEMPA DI KOTA SURAKARTA DENGAN PENDEKATAN METODE GUMBEL

PERATURAN KEPALA BADAN PENGAWAS TENAGA NUKLIR NOMOR... TAHUN... TENTANG EVALUASI TAPAK INSTALASI NUKLIR UNTUK ASPEK KEGEMPAAN

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepulauan Indonesia terletak pada daerah yang merupakan pertemuan dua

Implikasi Sesar Kendeng terhadap Bahaya Gempa dan Pemodelan Percepatan Tanah di Permukaan di Wilayah Surabaya

DAFTAR ISI. BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Rumusan Masalah Batasan Masalah Tujuan Sistematika Penulisan...

BAB I PENDAHULUAN. Gambar 1.1 Sebaran episenter gempa di wilayah Indonesia (Irsyam dkk, 2010). P. Lombok

tektonik utama yaitu Lempeng Eurasia di sebelah Utara, Lempeng Pasifik di

PENENTUAN KELAS SITUS GEMPA, PERCEPATAN TANAH MAKSIMUM DAN ANALISIS POTENSI RESIKO KEGEMPAAN KOTA SURAKARTA `

BAB 1 PENDAHULUAN. Kepulauan Indonesia terletak pada daerah yang merupakan pertemuan dua

BAB 2 STUDI PUSTAKA Teori Pergerakan Benua dan Lempeng Tektonik. Teori yang membahas perihal pergerakan benua diajukan pada awal abad dua

Bab I PENDAHULUAN. Bab II METODOLOGI

PETA RAWAN KEGEMPAAN PULAU SUMATERA BERDASARKAN ANALISA PROBABILISTIK

Implikasi Sesar Kendeng Terhadap Bahya Gempa dan Pemodelan Percepatan Tanah di Permukaan di Wilayah Surabaya

INTERPRETASI EPISENTER DAN HIPOSENTER SESAR LEMBANG. Stasiun Geofisika klas I BMKG Bandung, INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

HALAMAN JUDUL ANALISIS BAHAYA KEGEMPAAN DI WILAYAH MALANG MENGGUNAKAN PENDEKATAN PROBABILISTIK

Analisis Seismotektonik dan Periode Ulang Gempabumi.. Bambang Sunardi dkk

BAB I PENDAHULUAN I.1. Judul Penelitian I.2. Latar Belakang Masalah

PENGARUH PEMILIHAN TARGET SPEKTRA PADA ANALISIS RESIKO GEMPA BENDUNGAN LEUWIKERIS, PROVINSI JAWA BARAT

MIKROZONASI GEMPA KOTA BONTANG KALIMANTAN TIMUR TESIS MAGISTER. Oleh: MOHAMAD WAHYONO

Estimasi Nilai Percepatan Tanah Maksimum Provinsi Aceh Berdasarkan Data Gempa Segmen Tripa Tahun Dengan Menggunakan Rumusan Mcguire

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat tinggi. Hal ini karena Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng

Percepatan Tanah Sintetis Kota Yogyakarta Berdasarkan Deagregasi Bahaya Gempa

PELAYANAN INFORMASI SEISMOLOGI TEKNIK BADAN METEOROLOGI KLIMATOLOGI DAN GEOFISIKA

S e l a m a t m e m p e r h a t i k a n!!!

ANALISIS TINGKAT SEISMISITAS DAN TINGKAT KERAPUHAN BATUAN DI MALUKU UTARA ANALYSIS OF SEISMICITY LEVEL AND ROCKS FRAGILITY LEVEL IN NORTH MALUKU

BAB 1 PENDAHULUAN. Dosen pembimbing : Tavio, ST.,M.T.,Ph.D. : Ir.Iman Wimbadi, M.S : Ir.Kurdian Suprapto MS.

RYAN RANTE D

STUDI PERCEPATAN GEMPA MAKSIMUM PETA GEMPA INDONESIA DI DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA. Nama Mahasiswa : Riski Purwana Putra NRP :

STUDI PENGEMBANGAN PETA ZONA GEMPA UNTUK WILAYAH PULAU SUMATRA,JAWA DAN BALI (INDONESIA BAGIAN BARAT)

Pemodelan Tinggi dan Waktu Tempuh Gelombang Tsunami Berdasarkan Data Historis Gempa Bumi Bengkulu 4 Juni 2000 di Pesisir Pantai Bengkulu

Analisis Tingkat Resiko Gempa Bumi Tektonik

Teknik, 36 (1), 2015, PERSEPSI PENGEMBANGAN PETA RAWAN GEMPA KOTA SEMARANG MELALUI PENELITIAN HAZARD GEMPA DETERMINISTIK

PEMBUATAN PETA HAZARD GEMPA DENGAN SOFTWARE USGS DAN PEMODELAN SUMBER BACKGROUND M. ASRURIFAK

ANALISIS PROBABILITAS GEMPABUMI DAERAH BALI DENGAN DISTRIBUSI POISSON

ANALISIS PERBANDINGAN MODEL RESPON SPEKTRA DESAIN SNI , RSNI 2010 DAN METODE PSHA. Suyadi 1)

ANALISIS PERCEPATAN TANAH MAKSIMUM DENGAN MENGGUNAKAN RUMUSAN ESTEVA DAN DONOVAN (Studi Kasus Pada Semenanjung Utara Pulau Sulawesi)

STUDI BAHAYA GUNCANGAN TANAH MENGGUNAKAN METODE PROBABILISTIK SEBAGAI UPAYA MITIGASI BENCANA GEMPA BUMI DI PESISIR PROPINSI SUMATERA BARAT

Transkripsi:

BAB III METODOLOGI 3.1 PENGUMPULAN DATA GEMPA Penghitungan analisis resiko gempa pada daerah Yogyakarta membutuhkan rekaman data gempa yang pernah terjadi pada daerah tersebut. Pada studi ini, sejarah kegempaaan yang mempengaruhi Yogyakarta dikumpulkan dari berbagai sumber seperti data gempa dari U.S. Geological Survei (USGS), National Earthquake Information Center (NEIC) yang dilengkapi dengan katalog-katalog dari berbagai sumber seperti Engdahl dan lain sebagainya. Data gempa yang dikumpulkan yaitu data gempa yang meliputi area dari radius 500 km dari kota Yogyakarta dengan minimum magnitude 5.0 dam maksimum kedalaman 200 km. 3.2 PENGOLAHAN DATA GEMPA 3.2.1 Konversi Magnitude Kejadian gempa di Indonesia direkam oleh beberapa instrumen yang mempunyai perbedaan metode dalam penentuan ukuran gempa. Ada katalog yang menggunakan ukuran surface wave magnitude (M s ), sedangkan yang lainnya ada pula menggunakan skala seperti Richter local magnitude (M l ), body wave magnitude (M b ) atau moment magnitude (M w ) untuk menentukan ukuran gempa. Oleh karena itu, diperlukan konversi skala magnitude ke dalam suatu skala magnitude yang sama sebelum menggunakan data gempa tersebut di dalam analisis hazard gempa. Untuk kejadian gempa yang ada di Indonesia, Firmansyah (1999) telah menemukan korelasi antara M s dengan M b dan antara M s dengan M w sebagai berikut (Rochim,2007): Ms = 1.33 Mb - 1.98 (3.1) Mw = 1.10 Ms 0.64 (3.2) 3.2.2 Pemisahan Gempa Utama dan Gempa Ikutan Analisis resiko gempa dengan metode PSHA didasarkan pada kejadian gempa yang independen atau gempa utama. Kejadian-kejadian dependen atau gempa ikutan, seperti foreshocks dan aftershocks yang terjadi dalam suatu rangkaian kejadian gempa harus diidentifikasi sebelum menghitung rate gempa. Memasukkan gempa ikutan dalam analisis akan menyebabkan hasil perhitungan resiko gempa menjadi underestimate. 31

Beberapa kriteria empiris telah diajukan oleh beberapa peneliti untuk mengidentifikasi gempa-gempa ikutan seperti Arabasz & Robinson (1976), Gardner & Knopoff (1974), Uhrhammer (1986), dan Firmansyah (1999). Kriteria ini didasarkan atas suatu rentang waktu dan jarak tertentu di sekitar kejadian terbesar dalam suatu rangkaian gempa. Suatu rangkaian gempa dikatakan gempa ikutan jika berada dalam rentang waktu dan jarak yang dihitung menurut kriteria empiris untuk suatu magnitude gempa utama tertentu. Dalam studi ini, pemisahan antara gempa utama dan ikutan digunakan kriteria Uhrhammer. Gambar 3.1 Kriteria Time and Distance Windows dari Beberapa Peneliti (Rochim,2007) 3.2.3 Kelengkapan Data Gempa Penghitungan hazard gempa memerlukan suatu kurun waktu dimana kejadian gempa dalam suatu rentang magnitude tertentu dapat dikatakan lengkap dalam suatu katalog. Rekaman gempa biasanya lebih lengkap untuk gempa besar dibandingkan dengan gempa kecil. Stepp (1973) mendiskusikan penggunaan waktu observasi yang tidak sama untuk 32

magnitude tertentu dan mengajukan sebuah kriteria untuk menguji kelengkapan suatu katalog gempa (Purwana,2001). Pengujian ini dilakukan dengan memplot frekuensi kejadian gempa independen terhadap waktu yang dihitung dari pengamatan waktu terakhir ke belakang. Frekuensi kejadian gempa (λ) dapat dihitung dengan membagi jumlah kejadian gempa (N) dengan waktu tertentu (T). Karena rate gempa diasumsikan konstan untuk suatu periode tertentu, maka waktu saat rate gempa mulai menurun secara signifikan menyatakan suatu batas waktu dimana katalog gempa sebelumnya tidak lengkap. Untuk memudahkan penentuan waktu tersebut, maka pemakaian variance (σ) sebagai ordinat lebih dipilih dibandingkan dengan pemakaian frekuensi (λ). Variance dihitung sebagai akar dari frekuensi kejadian gempa (λ) dibagi dengan waktu pengamatan (T). 10 Analisis Kompleteness 1 Varians 0.1 0.01 0.001 1 10 100 Tahun 5-5.9 6-6.9 >7 Gambar 3.2 Hasil Analisis Kelengkapan Data Hasil analisis kelengkapan data untuk sumber gemoa di radius 500 km Yogyakarta menunjukkan bahwa interval magnitud 5-6 dan 6-7 memiliki kelengkapan data 44 tahun sedangkan interval magnitud lebih besar 7 lengkap selama masa pengamatan. Hasil 33

analisis kelengkapan data tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.1. Tabel 3.1 Hasil Analisis Kelengkapan Data Gempa Periode 1903-2006 Magnitude Tahun Interval Waktu 5-6 44 1963-2006 6-7 44 1963-2006 >7 103 1903-2006 3.3 PEMODELAN SUMBER GEMPA Pemodelan sumber gempa memberikan gambaran potensi di masa yang akan datang dalam bentuk distribusi pusat-pusat gempa, bidang patahan, dan frekuensi kejadian gempa. Identifikasi sumber gempa didasarkan atas dasar data geologi, seismologi dan geofisika. Suatu zona gempa dapat diidentifikasi dengan delineasi seismisitas suatu wilayah gempa berdasarkan data distribusi episenter gempa di wilayah tersebut. Berdasarkan fakta bahwa fungsi atenuasi menghilang secara signifikan pada jarak kirakira lebih dari 500 km, maka sumber gempa yang digunakan berada dalam 500 km dari Yogyakarta meliputi sumber gempa subduksi dan shallow crustal di Jawa.. Daerahdaerah di luar radius tersebut secara signifikan tidak akan mempengaruhi kemungkinan percepatan puncak. Pemodelan sumber gempa pada studi ini menggunakan pemodelan sumber gempa dari Kertapati(2000) seperti terlihat pada Gambar 3.3 dengan melakukan modifikasi yaitu menambahkan patahan Opak sebagai sumber gempa. Patahan ini dimasukkan karena kejadian gempa pada tanggal 27 Mei 2006 telah mengubah tatanan kondisi seismotektonik yang selama ini ada di Yogyakarta. Pada studi ini, hasil plotting sumbersumber gempa tersebut diidentifikasi terhadap pemodelan gempa Kertapati (2000) apakah termasuk gempa subduksi atau gempa shallow crustal. 34

Gambar 3.3 Pemodelan Sumber Gempa Indonesia (Kertapati,2000) 35

Gambar 3.4 Sumber Gempa Utama Gambar 3.5 Pemodelan Sumber Gempa 36

Pada studi ini gempa-gempa subduksi dengan kedalaman 0-50 km dimodelkan sebagai gempa megatrust sementara gempa-gempa subduksi dengan kedalaman lebih besar 50 km dimodelkan sebagai gempa benioff. Sedangkan untuk gempa-gempa dangkal sampai kedalaman 50 km di luar jalur subduksi dimodelkan sebagai gempa shallow crustal seperti Sukabumi, Bumiayu, Lasem dan Opak. Sementara itu untuk mengakomodasi aktifitas sesar-sesar lain yang tidak diketahui di sekitar Yogyakarta maka ditambahkan gempa background di sekitar kota Yogyakarta. Dalam program EZ-FRISK gempa background dimodelkan pada wilayah dengan radius 25 km x 25 km dengan M maks 6,5. Profil hiposentar gempa subduksi pada setiap zona dapat dilihat pada Gambar 3.6-3.8. hasil dari plotting kejadian gempa menunjukkan sudut penunjaman jalur subduksi Jawa yaitu berkisar 10-13 0 untuk zona megatrust dan 43-55 0 untuk zona benioff. Pada penampang melintang arah utara tersebut, gempa-gempa shallow crustal telah dipisahkan dari gempa-gempa subduksi. Dari gambar tersebut menunjukkan bahwa seismisitas di Jawa bagian tengah lebih rendah dibandingkan dengan yang lainnya. 0-50 0 100 200 Jarak(km) 300 400 500 13 0 41 0-100 -150-200 Gambar 3.6 Profil Hiposenter Sub Zona I-1 37

Jarak(km) 0 0 100 200 300 400 500 11 0-50 55 0-100 -150-200 Gambar 3.7 Profil Hiposenter Sub Zona I-2 0-50 Jarak(km) 0 100 200 300 400 500 10 0 44 0-100 -150-200 3.4 FUNGSI ATENUASI Gambar 3.8 Profil Hiposenter Sub Zona I-3 Pada umumnya, peak ground aceletation diplot sebagai fungsi dari jarak untuk suatu magnitude dan kondisi tanah tertentu. Fungsi atenuasi dapat diturunkan dari hasil regresi data percepatan gempa maupun percepatan gempa sintetis yang diperoleh dari model 38

numerik. Fungsi atenuasi yang diturunkan dari data percepatan di suatu wilayah mungkin tidak dapat digunakan di wilayah lain meskipun keduanya sama secara tektonik maupun geologi. Fungsi atenuasi merupakan suatu faktor yang cukup kritis dalam analisis hazard gempa. Pemakaian fungsi atenuasi yang berbeda dapat menghasilkan perbedaan yang signifikan dalam nilai percepatan yang dihasilkan. Karena tidak adanya cukup data untuk menurunkan suatu fungsi atenuasi untuk wilyah Indonesia, pemakaian fungsi atenuasi yang diturunkan di wilayah lain tidak dapat dihindari. LAPI ITB pada tahun 2000 telah melakukan penelitian untuk memilih fungsi atenuasi yang paling cocok digunakan di Indonesia. Dalam penelitian tesebut, untuk suatu mekanisme gempa, fungsi atenuasi gempa lalu dibandingkan dalam beberapa rentang magnitude. Fungsi atenuasi yang akan digunakan dalam penelitian tersebut dikelompokkan ke dalam kategori sebagai berikut: Tabel 3.2 Fungsi Atenuasi yang Dibandingkan LAPI ITB (Purwana,2001) Gempa Shallow Crustal Gempa Subduksi Fukushima, Tanaka (1992) Crouse (1991) Sadigh (1997) Fukushima, Tanaka (1992) Boore, Joyner, Fumal (1997) Youngs (1997) Campbell (1997) McVery (1998) Midorikawa (2000) Midorikawa (2000) Besarnya variabilitas dari suatu fungsi atenuasi terhadap suatu database direpresentasikan oleh suatu nilai standar error. Standar error fungsi atenuasi terhadap suatu set database gempa dengan mekanisme dan rentang magnitude tertentu dapat dilihat pada Tabel 3.3-3.4. Fungsi atenuasi dengan standar error yang relatif rendah untuk setiap mekanisme gempa akan digunakan dalam perhitungan hazard gempa. Nilai standar error merupakan akar dari residual mean square, σ2 (yaitu jumlah kuadrat selisih antara data observasi dan data hasil perhitungan ln PGA atau log PGA dibagi dengan derajat kebebasan persamaan) yang diberikan dalam persamaan berikut: (log y log yˆ) n 1 (3.3) 39

Tabel 3.3 Standar Error Fungsi Atenuasi untuk Mekanisme Reverse Slip (Purwana,2001) Σlog y reverse slip Mw Fukushima Campbell Midorikawa Boore et al. Sadigh 5.3-5.7 0.31 0.39 0.33 0.30 0.35 5.8-6.2 0.29 0.28 0.28 0.26 0.27 6.3-6.7 0.26 0.22 0.26 0.22 0.23 6.8-7.2 0.20 0.21 0.21 0.21 0.19 Tabel 3.4 Standar Error Fungsi Atenuasi untuk Mekanisme Strike Slip (Purwana,2001) σlog y strike slip Mw Fukushima Campbell Midorikawa Boore et al. Sadigh 5.3-5.7 0.30 0.31 0.28 0.26 0.29 5.8-6.2 0.29 0.28 0.27 0.27 0.27 6.3-6.7 0.24 0.24 0.25 0.25 0.23 6.8-7.2 0.21 0.19 0.22 0.22 0.19 7.3-7.7 0.26 0.19 0.29 0.18 0.18 Tabel 3.5 Standar Error Fungsi Atenuasi untuk Mekanisme Subduksi (Purwana,2001) σlog y subduksi Mw Fukushima Midorikawa Youngs Crouse McVerry 5.3-5.7 0.25 0.29 0.28 0.30 0.25 5.8-6.2 0.27 0.27 0.28 0.28 0.29 6.3-6.7 0.37 0.37 0.37 0.37 0.37 40

6.8-7.2 0.40 0.36 0.37 0.34 0.32 7.3-7.7 0.54 0.44 0.34 0.33 0.42 7.8-8.2 0.40 0.36 0.37 0.35 0.41 Dari hasil analisis data dapat dilihat bahwa untuk gempa shallow crustal, fungsi atenuasi dari Boore et al. dan Sadigh mempunyai standar error yang relatif rendah dibandingkan dengan fungsi lain. Sementara untuk gempa subduksi, fungsi atenuasi Youngs dan Crouse juga mempunyai standar error yang relatif kecil. Namun, fungsi atenuasi Youngs dapat membedakan gempa megathrust dan benioff sehingga fungsi atenuasi ini lebih dipilih untuk mekanisme subduksi. Fungsi atenuasi Youngs, Boore et al, dan Sadigh yang akan digunakan dalam analisis resiko gempa ini adalah sebagai berikut: 3.4.1 Boore, Joyner, Fumal Boore, Joyner dan Fumal (1997) mempublikasikan model atenuasi terbaru untuk gempa dengan mekanisme strike-slip, reverse-slip dan untuk mekanisme yang tidak ditentukan. Model ini digunakan untuk M 5.5 7.5 dan r < 80 km (Purwana,2001). Persamaannya adalah: ln Y = b 1 + b 2 (M-6) + b 3 (M-6) 2 Vs + b 5 ln R + b v ln Va (3.4) dimana, R 2 = r 2 jb + h 2 b 1 = b 1ss untuk strike slip = b 1RS untuk reverse slip = b 1ALL untuk mekanisme yang tidak ditentukan M = Momen magnitude (Mw) R jb = jarak terdekat dengan bidang patahan (km) Vs = kecepatan gelombang geser (m/s) Y = nilai PGA dalam g. 41

Tabel 3.6 Nilai-nilai Konstanta Fungsi Atenuasi Boore Period (s) b 1SS b 1RV b 1ALL b 2 b 3 b 5 b V V A (m/s) h (km) PGA -0.313-0.117-0.242 0,527 0.000-0.778-0.371 1396 5.57 0.10 1.006 1.087 1.059 0.753-0.226-0.934-0.212 1112 6.27 0.20 0.999 1.170 1.089 0.711-0.207-0.924-0.292 2118 7.02 0.30 0.598 0.803 0.700 0.769-0.161-0.893-0.401 2133 5.94 0.40 0.212 0.423 0.311 0.831-0.120-0.867-0.487 1954 4.91 0.50-0.112 0.087-0.025 0.884-0.090-0.846-0.553 1782 4.13 0.75-0.737-0.562-0.661 0.979-0.046-0.813-0.653 1507 3.07 1.00-1.133-1.009-1.080 1.036-0.032-0.798-0.698 1406 2.9 1.50-1.552-1.538-1.550 1.085-0.044-0.796-0.704 1479 3.92 2.00-1.699-1.801-1.743 1.085-0.085-0.812-0.655 1795 5.85 Persamaan ini menggunakan ukuran kuantitatif (kecepatan geser pada 30 m lapisan teratas) untuk merepresentasikan kondisi tanah lokal dan merekomendasikan penggunaannya seperti pada Tabel 3.7. Tabel 3.7 Rekomendasi Nilai Kecepatan Geser Rata-rata untuk Digunakan dalam Fungsi Atenuasi Boore et al. Klas site Kecepatan Geser NEHRP klas site B NEHRP klas site C NEHRP klas site D Rock Soil 1070 m/det 520 m/det 250 m/det 620 m/det 310 m/det 42

3.4.2 Sadigh Fungsi atenuasi ini didapat berdasarkan data gempa-gempa kuat di California. Fungsi ini dapat digunakan untuk gempa dengan mekanisme strike-slip dan reverse-fault. Momen magnitude antara 4 sampai dengan 8, dan jarak pusat gempa hingga 100 km. Persamaannya: Ln (Y) = C 1 + C 2 M + C 3 M (8.5 M) 2.5 + C 4 ln (r rup + exp(c 5 + C 6 M)) + C 7 ln(r rup + 2) (3.5) Dimana, Y = PGA dalam g M = momen magnitude (M W ) r rup = jarak terdekat dengan bidang patahan (km) C 2 = 1 untuk M < 6.5 = 1.1 untuk M > 6.5 C 5 = 1.29649 untuk M < 6.5 = -0.48451 untuk M > 6.5 C 6 = 0.25 untuk M < 6.5 = 0.524 untuk M >6.5 Untuk mendapatkan nilai PGA dari gempa dengan mekanisme reverse-fault adalah dengan mengalikan hasil dari strike-slip diatas dengan faktor 1.2. Nilai koefisienkoefisien pada fungsi atenuasi ini dapat dilihat pada Tabel 3.8-3.9. Tabel 3.8 Koefisien yang Digunakan dalam Fungsi Atenuasi Sadigh untuk Menghitung Pseudo Acceleration Response dengan 5% Damping untuk Rock Site (M 6.5) Periode (s) C1 C3 C4 C7 PGA -0.624 0-2.1 0 0.05-0.09 0.006-2.128-0.082 0.075 0.1355 0.006-2.131-0.0745 0.1 0.275 0.006-2.148-0.041 0.12 0.348 0.005-2.162-0.014 0.15 0.285 0.002-2.13 0 0.17 0.239 0-2.11 0 0.2 0.153-0.004-2.08 0 0.24 0.06-0.011-2.053 0 0.3-0.057-0.017-2.028 0 0.4-0.298-0.028-1.99 0 0.5-0.588-0.04-1.945 0 0.75-1.208-0.05-1.865 0 1-1.705-0.055-1.8 0 1.5-2.407-0.065-1.725 0 2-2.945-0.07-1.67 0 3-3.7-0.08-1.615 0 4-4.23-0.1-1.57 0 5-4.714-0.1-1.54 0 7.5-5.53-0.11-1.51 0 43

Tabel 3.9 Koefisien yang Digunakan dalam Fungsi Atenuasi Sadigh untuk Menghitung Pseudo Acceleration Response dengan 5% Damping untuk Rock Site (M 6.5) > 3.4.3 Youngs et al. Periode (s) C1 C3 C4 C7 PGA -1.274 0-2.1 0 0.05-0.74 0.006-2.128-0.082 0.075-0.5145 0.006-2.131-0.0745 0.1-0.375 0.006-2.148-0.041 0.12-0.302 0.005-2.162-0.014 0.15-0.365 0.002-2.13 0 0.17-0.411 0-2.11 0 0.2-0.497-0.004-2.08 0 0.24-0.59-0.011-2.053 0 0.3-0.707-0.017-2.028 0 0.4-0.948-0.028-1.99 0 0.5-1.238-0.04-1.945 0 0.75-1.858-0.05-1.865 0 1-2.355-0.055-1.8 0 1.5-3.057-0.065-1.725 0 2-3.595-0.07-1.67 0 3-4.35-0.08-1.615 0 4-4.88-0.1-1.57 0 5-5.364-0.1-1.54 0 7.5-6.18-0.11-1.51 0 Persamaan ini membedakan 2 tipe gempa subduksi, yaitu gempa interface (Megathrust) dan intraslab (Benioff). Gempa subduksi interface adalah gempa dengan sudut penunjaman landai yang terjadi pada batas antara lempeng subduksi dan lempeng di atasnya, sedangkan gempa intraslab terjadi pada lempeng subduksi dengan sudut tajam, normal fault akibat tegangan tarik ke bawah pada lempeng tersebut. Fungsi atenuasi untuk kondisi site rock diberikan oleh persamaan berikut: ln(y) =0.2418 + 1.414M + C 1 + C 2 (10-M) 3 + C 3. ln(r rup + 1.7818. e 0.554M ) + 0.00607h + 0.3846 Zt (3.6) σ ln y = C 4 C 5 (3.7) Tabel 3.10 Koefisien yang Digunakan dalam Fungsi Atenuasi Youngs untuk Menghitung Pseudo Acceleration Response dengan 5% Damping untuk Rock Site Periode (T) C 1 C 2 C 3 C 4 C 5 PGA 0 0-2.552 1.45-0.1 0.075 1.275 0-2.707 1.45-0.1 0.1 1.188-0.0011-2.655 1.45-0.1 0.2 0.722-0.0027-2.528 1.45-0.1 44

0.3 0.246-0.0036-2.454 1.45-0.1 0.4-0.115-0.0043-2.401 1.45-0.1 0.5-0.4-0.0048-2.36 1.45-0.1 0.75-1.149-0.0057-2.286 1.45-0.1 1-1.736-0.0064-2.234 1.45-0.1 1.5-2.634-0.0073-2.16 1.5-0.1 2-3.328-0.008-2.107 1.55-0.1 3-4.511-0.0089-2.033 1.65-0.1 3.5 PERHITUNGAN HAZARD GEMPA DENGAN PSHA 3.5.1 Model Probabilistik Analisis probabilitas mempunyai nilai kemungkinan lebih besar, karena ketidak pastian besar, lokasi dan kecepatan perulangan diperhitungkan dalam analisis ini. Analisis ini lebih mengarah pada nilai ekonomis dari struktur yang didesain. Metode ini sering juga dikenal dengan Probability Seismic Hazard Analysis (PSHA), dengan berdasarkan teori probabilitas total. Metode PSHA ini pertama kali diperkenalkan oleh Cornell pada tahun1968 dan Algermissen pada tahun 1982. Yang digunakan dalam studi ini adalah analisis dengan metode probabilitas. Tahapan standar analisis resiko gempa dengan metode ini dapat dideskripsikan sebagai berikut (Hendarto,2005): 1. Tahap pertama ialah identifikasi dan karakterisasi sumber gempa, termasuk karakterisasi distribusi probabilitas dari lokasi rupture yang berpotensi dalam sumber. Dalam kebanyakan kasus, diterapkan distribusi probabilitas yang sama untuk masing-masing zona sumber. Hal ini secara tidak langsung menyatakan bahwa gempa mungkin akan sama-sama terjadi pada setiap titik dalam zona sumber gempa. Disribusi ini dikombinasikan dengan bentuk geometri sumber untuk mendapatkan distribusi probabilitas yang sesuai dengan jarak sumber ke lokasi. Tahap pertama ini disebut juga tahapan probabilitas jarak sumber gempa. 2. Langkah berikutnya, karakterisasi dari seismisitas atau distribusi sementara dari perulangan kejadian gempa. Hubungan empiris perulangan kejadian gempa, yang mengekspresikan kecepatan rata-rata dari suatu gempa dengan besar yang berbeda akan terlampaui, digunakan untuk mengkarakterisasikan seismisitas dari masingmasing zona sumber gempa. Hubungan empiris ini dapat mengakomodasi besarnya 45

magnitude maksimum dari gempa. Tahap kedua ini disebut juga tahapan probabilitas magnitude gempa. 3. Gerakan tanah yang terjadi di suatu lokasi akibat adanya gempa dengan besar gempa berapapun dan lokasi kejadian dimanapun dalam maisng-masing zona sumber gempa, dapat ditentukan menggunakan predictive relationship. Ketidakpastian dari predictive relationship juga diperhitungkan. Tahap ketiga ini disebut juga tahapan probabilitas percepatan gempa. 4. Langkah terakhir ini adalah mengkombinasikan ketidakpastian dari lokasi gempa, besarnya gempa dan prediksi parameter goncangan tanah (percepatan gempa) untuk memperoleh suatu angka probabilitas terlampauinya suatu parameter goncangan tanh selama suatu periode waktu. Metodologi analisa hazard gempa dengan metoda probabilistik ini dapat dilihat pada Gambar 3.7. Gambar 3.9 Tahapan Analisa Hazard Gempa Dengan Metoda PSHA (Kramer,1996) Model matematika yang digunakan dalam analisis probabilitas hazard gempa dikembangkan oleh USGS. Teorema probabilitas yang dikembangkan oleh USGS ini mengambil asumsi harga kekuatan gempa (M) dan letak hiposenter sebagai variabel acak bebas yang menerus. Teori ini mempunyai bentuk persamaan sebagai berikut: P[I>i] = P [ I i m, r] f f dmdr (3.8) r m m r 46

Dimana, P[m] = probabilitas dari magnitude P[r] = probabilitas dari jarak pusat gempa P[ I i m, r] = probabilitas berkondisi intensitas I yang sama atau lebih besar dari intensitas i di suatu lokasi, akibat kekuatan gempa m dan jarak pusat gempa r. Nilai intensitas i untuk kekuatan gempa m dan jarak ke lokasi r ditentukan berdasarkan rumusan atenuasi yang dipakai. Nilai P[ I i m, r] dapat juga dihubungkan dengan nilai Cumulative Distribution Function (CDF) FI(i) dari intensitas I pada magnitude m dan jarak r: P[ I i m, r] = 1- F I (i) (3.9) Pada dasarnya nilai F I (i) tergantung pada distribusi probabilitas yang digunakan. Pada umumnya parameter pergerakan tanah diasumsikan terdistribusi log normal. 3.5.2 Parameter Hazard Gempa Analisis hazard gempa dengan menggunakan metode probabilistik memerlukan parameter a dan b untuk menentukan frekuensi kejadian gempa menurut persamaan Guttenberg-Richter log N(m) = a b.m. Di samping itu diperlukan juga magnitude maksimum yang ditentukan berdasarkan kejadian gempa histories maupun secara geologi. Dalam studi ini, parameter a-b ditentukan dengan menggunakan model Metode Least Square, Weichert (1980) dan Kijko & Sellevol(1989). Secara singkat, ketiga model tersebut diterangkan sebagai berikut: 3.5.2.1 Metode Least Square Metode ini digunakan dengan membuat hubungan linear antara log jumlah kejadian gempa rata-rata dan magnitude gempa. Metode yang paling sederhana untuk mendapatkan harga b adalah dengan metoda least square (LS). Metode ini diperkenalkan pertama kali oleh Gutenberg dan Richter 1954. Metoda standard Gutenberg-Richter ini mencakup gempa-gempa dengan rentang magnitude yang tak berhingga (- < m < + ). 47

Gambar 3.10 Hubungan Linear antara Jumlah Kejadian Gempa dan Magnitude Dalam bidang rekayasa, gempa-gempa kecil umumnya diabaikan dalam analisis karena tidak menimbulkan kerusakan yang signifikan. Sehingga penggunaan persamaan G-R tersebut umumnya dilakukan dengan memberikan batas minimum magnitude yang digunakan dalam analisis. Batas minimum yang umum digunakan adalah 4.0 atau 5.0, karena gempa-gempa dengan magnitude di bawah batas minimum tersebut sangat jarang menimbulkan kerusakan yang signifikan [Kramer, 1996]. Selain batas bawah magnitude, pemakaian persamaan G-R juga dilakukan dengan menggunakan batas atas magnitude, M max. Hal ini dikarenakan kondisi tektonik yang membatasi besarnya magnitude gempa yang mungkin terjadi di suatu lokasi tidak diperhitungkan dalam persamaan tersebut. Selanjutnya mean annual rate of exceedance dapat dihitung dengan menggunakan persamaan McGuire dan Arabasz berikut : N(m) exp( β(m mo )) exp( β(mmax mo )) ν 1 exp( β(mmax mo )) = ( 3.10) Pada persamaan di atas ν = exp(α-βmo) dan magnitude yang digunakan berada pada rentang mo < m < m maks. Kelemahan dari metoda LS dalam penentuan parameter a-b adalah metoda ini tidak memperhitungkan kemungkinan digunakannya gabungan data dari sumber-sumber yang berbeda, misalnya data dari sejarah kegempaan yang digabungkan dengan data dari informasi geologi. Nilai b yang didapat dengan menggunakan metoda ini juga umumnya overestimated yang mengakibatkan rate dari gempa-gempa besar akan underestimated. 3.5.2.2 Metode Weichert (1980) Prosedur ini sangat baik digunakan untuk sumber gempa dengan jumlah kejadian yang cukup banyak (lebih dari 100) dimana estimasi parameter a-b yang cukup stabil dapat 48

ditentukan. Menurut metode ini, parameter β diperoleh secara iteratif dengan menggunakan metode Newton. i j t m exp( βm ) i t j i exp( βm ) j i = n m i N i = m (3.11) dimana, N = jumlah total kejadian gempa n i = jumlah kejadian gempa dalam suatu interval tertentu m i = magnitude sentral untuk suatu interval tertentu t i = periode observasi β = rate kejadian gempa tahunan. 3.5.2.3 Metode Kijko & Sellevoll (1989) Model ini menggunakan pendekatan yang berbeda sehingga mampu mengkombinasikan informasi makroseismik (gempa-gempa signifikan) dengan informasi gempa yang lebih lengkap (biasanya gempa-gempa yang tercatat selama 50 tahun terakhir) dalam suatu katalog. Persamaan umum untuk memperoleh parameter β dan λ adalah sebagai berikut, 1 = β 1 E C = φ1 + φ1 (3.12) λ E C E C X φ2 φ2 + λ φ 3 + φ3 (3.13) Untuk katalog lengkap, persamaan menjadi: 1 T = λ n (3.13) 1 = β X ( m max A 2 m min A ) /( A 1 2 A ) 1 (3.15) dimana, A 1 = exp(-βm o ) A 2 = exp(-βm max ) A (x) = exp(-βx) V 0 = λ[1-f(m 0 )] 49

Dalam studi ini, untuk mendapatkan parameter sumber gempa dan rate gempa yang cukup stabil, dilakukan pengelompokan data gempa yang memiliki mekanisme dan karakteristik yang sama. Sumber gempa megatrust dan benioff di Jawa masing-masing digabungkan, sementara itu pada sumber gempa shallow crustal, karena tidak mencukupi untuk menurunkan parameter seismisitas yang cukup stabil, masing-masing sumber gempa digabungkan. Kemudian setelah parameter seismisitas masing-masing gempa diperoleh, dilakukan pengalokasian nilai rate ke masing-masing zona dengan menggunakan metode Back Allocation menggunakan program WTBACK 7. Tabel 3.11 Parameter Seismisitas Gempa Subduksi Least Square Kijko-Sellevoll Weichert Source Zone b β rate b β rate b β rate Java Megatrust 0.939 2.241 3.252 0.81 1.91 2.18 0.905 2.084 2.78 I-1a 0.939 2.241 1.317 0.81 1.91 0.883 0.905 2.084 1.126 I-2a 0.939 2.241 0.649 0.81 1.91 0.435 0.905 2.084 0.555 I-3a 0.939 2.241 1.286 0.81 1.91 0.862 0.905 2.084 1.099 Java Benioff 1.276 2.939 2.757 0.81 1.92 1.24 1.077 2.479 1.866 I-1b 1.276 2.939 1.451 0.81 1.92 0.652 1.077 2.479 0.982 I-2b 1.276 2.939 0.790 0.81 1.92 0.355 1.077 2.479 0.535 I-3b 1.276 2.939 0.517 0.81 1.92 0.233 1.077 2.479 0.35 Tabel 3.12 Parameter Seismisitas Gempa Shallow Crustal (Petersen, 2008) Source Zone b β Shallow Crustal Sukabumi 1 2.303 Bumiayu 1 2.303 Opak 1 2.303 Lasem 1 2.303 Background Yogyakarta 0.9 2.072 3.5.3 Magnitude Maksimum Suatu analisis resiko gempa perlu memperhitungkan magnitude maksimum yang mungkin terjadi meskipun tidak mungkin menentukan magnitude itu secara pasti. Magnitude maksimum yang dapat terjadi di suatu wilayah dapat ditentukan secara geofisik dari struktur lempeng bumi. Magnitude maksimum untuk zona subduksi dapat diperkirakan dari momen seismik sebagai berikut, 50

M 0 = μad (3.15) dan kemudian dikombinasikan dengan rumus momen magnitude Kanamori, log M o M w = 10.7 (3.16) 1.5 dimana, μ A d = modulus rigiditas batuan yang runtuh = luas keruntuhan total = displacement rata-rata Tabel 3.13 Magnitude Maksimun dan Slip Rate Zona Subduksi (Komunikasi Langsung dengan Kertapati) No. Source Zone Slip rate (mm/thn) Mmax 1. Java Subduction Megathrust a. Java 1 Zone 77 8.45 b. Java 2 Zone 77 7.9 c. Java 3 Zone 77 8.3 2 Java Subduction Benioff a Java 1 Zone 77 7.8 b. Java 2 Zone 77 7.3 c. Java 3 Zone 77 8.1 Tabel 3.14 Magnitude Maksimun dan Slip Rate Zona Shallow Crustal (Komunikasi Langsung Kertapati) 3.7 LOGIC TREE No Source Zone Slip rate (mm/thn) Mmax 1 Lasem Fault 0.27 6.7 2 Bumiayu Fault 2 6.8 3 Sukabumi Fault 3 7 4 Opak Fault 0.2 6.3 5 Yogyakarta Background - 6.5 Untuk menghindari adanya ketidakpastian dalam penghitungan resiko gempa akibat dari penggunaan parameter gempa, magnitude maksimun, kedalaman dip serta pemakaian fungsi atenuasi maka digunakan model logic tree seperti pada Gambar 3.15. Dalam metode logic tree ini, model karakteristik menggunakan 2 kombinasi kedalaman dip yang berbeda dimana bobot masing-masing diberi 50 persen. Kemudian penggunaan fungsi atenuasi untuk mekanisme gempa shallow crustal yang menggunakan 3 jenis, masing-masingnya deberi bobot yang sama 33,33 persen. Penghitungan parameter yang menggunakan 3 metode diberi bobot yang berbeda yaitu 20 51

persen untuk Least Square, 30 persen Weichert dan 50 persen untuk Kijko Sellevol. Sementara untuk menghindari ketidakpastian penentuan nilai M maks, penggunaan nilai M maks yang berbeda ±0,25 diberi bobot yang berbeda yaitu 10 persen untuk M maks 0,25 dan 60 persen untuk nilai M maks dan 30 persen untuk M maks 0,25. Gambar 3.11 Model Logic Tree (Sengara,2006) 52