I. PENDAHULUAN. kerap kali menjadi korban tindak pidana pencabulan atau perkosaan dan tak jarang

dokumen-dokumen yang mirip
I. PENDAHULUAN. berkaitan satu sama lainnya. Hukum merupakan wadah yang mengatur segala hal

I. PENDAHULUAN. dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu

BAB I PENDAHULUAN. hukuman yang maksimal, bahkan perlu adanya hukuman tambahan bagi

I. PENDAHULUAN. Anak sebagai bagian dari generasi muda merupakan penerus cita-cita perjuangan

I. PENDAHULUAN. Perkembangan masyarakat merupakan suatu gejala yang biasa dan bersifat umum

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Pidana. Bagaimanapun baiknya segala peraturan perundang-undangan yang siciptakan

I. PENDAHULUAN. terpuruknya sistem kesejahteraan material yang mengabaikan nilai-nilai

I. PENDAHULUAN. kebijakan sosial baik oleh lembaga eksekutif, legislatif dan yudikatif maupun

I. PENDAHULUAN. Perkembangan era globalisasi ditandai dengan semakin tingginya kemampuan

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA

ANALISIS PERTIMBANGAN HUKUM HAKIM TERHADAP TINDAK PIDANA PERKOSAAN YANG DILAKUKAN OLEH ORANG TUA KANDUNG (Studi Putusan No. 222/Pid.Sus/2014/PN.

I. PENDAHULUAN. Kekerasan dalam Rumah Tangga seperti yang tertuang dalam Undang-undang

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

BAB I PENDAHULUAN. Setiap tindak pidana kriminal di samping ada pelaku juga akan

I. PENDAHULUAN. Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Perubahan ke-4 Undang-Undang Dasar Hal ini. tindakan yang dilakukan oleh warga negara Indonesia.

I. PENDAHULUAN. Saat ini tindak pidana perkosaan merupakan kejahatan yang cukup mendapat

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian Tindak Pidana, Pelaku Tindak Pidana dan Tindak Pidana Pencurian

I. PENDAHULUAN. berlainan tetapi tetap saja modusnya dinilai sama. Semakin lama kejahatan di ibu

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

BAB I PENDAHULUAN. Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

Tindak pidana adalah kelakuan manusia yang dirumuskan dalam undang-undang, melawan

I. PENDAHULUAN. pemikiran bahwa perubahan pada lingkungan dapat mempengaruhi kehidupan

I. PENDAHULUAN. tidak sesuai dengan perundang-undangan. Sebagai suatu kenyataan sosial,

BAB II BATASAN PENGATURAN KEKERASAN FISIK TERHADAP ISTRI JIKA DIKAITKAN DENGAN TINDAK PIDANA PENGANIAYAAN MENURUT KETENTUAN HUKUM PIDANA DI INDONESIA

I. PENDAHULUAN. dengan aturan hukum yang berlaku, dengan demikian sudah seharusnya penegakan keadilan

ANALISIS PUTUSAN HAKIM TERHADAP KASUS ASUSILA PADA ANAK. Sulasmin Hudji. Pembimbing I : Dr. Fence M. Wantu, SH.,MH

I. PENDAHULUAN. berkembang sejalan dengan perkembangan tingkat peradaban. Berkaitan dengan

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah negara hukum ( rechtstaats), maka setiap orang yang

I. PENDAHULUAN. berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Anak yang menjadi

I. PENDAHULUAN. dalam Pembukaan UUD 1945 alinea ke-4 yang menyatakan sebagai berikut bahwa : Pemerintah

NASKAH PUBLIKASI SKRIPSI PERBANDINGAN PENJATUHAN SANKSI PIDANA TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PERTAMA DAN RESIDIVIS.

I. PENDAHULUAN. Kepolisian dalam mengemban tugasnya sebagai aparat penegak hukum

I. PENDAHULUAN. dalam rangka menjamin pertumbuhan dan perkembangan fisik, mental, dan sosial

II. TINJAUAN PUSTAKA. umur harus dipertanggungjawabkan. Dalam hukum pidana konsep responsibility

[

I. PENDAHULUAN. Pembunuhan berencana dalam KUHP diatur dalam pasal 340 adalah Barang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sekarang ini masyarakat sangat membutuhkan peran Polisi sebagai pelindung

I. PENDAHULUAN. masing-masing wilayah negara, contohnya di Indonesia. Indonesia memiliki Hukum

I. PENDAHULUAN. berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang 1945, diarahkan untuk meningkatkan hukum bagi

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian sudah seharusnya penegakan

I. PENDAHULUAN. mampu melakukan penyaringan terhadap kebudayaan asing yang bersifat liberal. Para remaja

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum, maka

I. PENDAHULUAN. harkat dan martabat sebagai manusia seutuhnya. Setiap anak mempunyai harkat

BAB II PENGATURAN TINDAK PIDANA ANAK TURUT SERTA DENGAN SENGAJA MEMBUJUK ANAK MELAKUKAN PERSETUBUHAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK

JAKARTA 14 FEBRUARI 2018

II. TINJAUAN PUSTAKA. bentuk kejahatan terhadap nyawa manusia, diatur dalam Pasal 340 yang

I. PENDAHULUAN. Sebagaimana telah diketahui bahwa penegakkan hukum merupakan salah satu

BAB I PENDAHUULUAN. terjadi tindak pidana perkosaan. Jika mempelajari sejarah, sebenarnya jenis tindak

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (trafficking) merupakan salah satu bentuk perlakuan terburuk

I. PENDAHULUAN. Disparitas pidana tidak hanya terjadi di Indonesia. Hampir seluruh Negara di

I. PENDAHULUAN. harus dilindungi. Anak tidak dapat melindungi diri sendiri hak-haknya, berkepentingan untuk mengusahakan perlindungan hak-hak anak.

Kekuatan Keterangan Saksi Anak Dibawah Umur dalam Pembuktian Perkara Pidana

BAB I PENDAHULUAN. kurang atau tidak memperoleh kasih sayang, asuhan bimbingan dan

Kata kunci : Kebijakan Hukum Pidana, perlindungan, korban perkosaan

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Pidana. hukum yang berlaku disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturanaturan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Di dalam pelaksanaan administrasi pertanahan data pendaftaran tanah yang

I. PENDAHULUAN. Penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia

BAB II PENGATURAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENCABULAN YANG DILAKUKAN OLEH ANAK. 1. Ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

I. PENDAHULUAN. Hakim memiliki peranan penting dalam suatu proses persidangan yaitu. mengambil suatu keputusan hukum dalam suatu perkara dengan

BAB I PENDAHULUAN. faktor sumber daya manusia yang berpotensi dan sebagai generasi penerus citacita

I. PENDAHULUAN. Perhatian terhadap diri dan hakikat anak sudah dimulai pada akhir abad ke- 19, dimana anak

II. TINJAUAN PUSTAKA. dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya. Untuk adanya pertanggungjawaban

2016, No c. bahwa Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

1. PENDAHULUAN. Tindak Pidana pembunuhan termasuk dalam tindak pidana materiil ( Materiale

BAB II. PENGATURAN TINDAK PIDANA KEKERASAN TERHADAP ANAK DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA A. Tindak Pidana Kekerasan Dalam Hukum Pidana

BAB I PENDAHULUAN. suatu perkara disandarkan pada intelektual, moral dan integritas hakim terhadap

I. TINJAUAN PUSTAKA. suatu pengertian yuridis, lain halnya dengan istilah perbuatan jahat atau kejahatan. Secara yuridis

I. PENDAHULUAN. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Selanjutnya disebut KUHP), dan secara

BAB I PENDAHULUAN. tertib, keamanan dan ketentraman dalam masyarakat, baik itu merupakan

II. TINJAUAN PUSTAKA. dimana keturunan tersebut secara biologis berasal dari sel telur laki-laki yang kemudian

BAB I PENDAHULUAN. yang bertujuan mengatur tata tertib dalam kehidupan masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum sebagaimana diatur dalam. Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia Tahun 1945

BAB I PENDAHULUAN. kekerasan. Tindak kekerasan merupakan suatu tindakan kejahatan yang. yang berlaku terutama norma hukum pidana.

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2

PENDAHULUAN. penyalahgunaan, tetapi juga berdampak sosial, ekonomi dan keamanan nasional,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan hukum akan selalu berkembang seiring dengan perkembangan

I. PENDAHULUAN. kaya, tua, muda, dan bahkan anak-anak. Saat ini penyalahgunaan narkotika tidak

I.PENDAHULUAN. Fenomena yang aktual saat ini yang dialami negara-negara yang sedang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Berkembangnya arus modernisasi serta cepatnya perkembangan

PELAKSANAAN PERLINDUNGAN KHUSUS TERHADAP ANAK SEBAGAI KORBAN PENCABULAN MENURUT UU NO. 23 TAHUN 2002

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG ANAK PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN. 1. Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun,

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

I. PENDAHULUAN. pada kerugian keuangan dan perekonomian negara. Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UUPTPK) disebutkan:

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Tindak pidana merupakan pengertian dasar dalam hukum pidana ( yuridis normatif ). Kejahatan

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

I. PENDAHULUAN. Manusia didalam pergaulan sehari-hari tidak dapat terlepas dari interaksi dengan

Perbedaan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dengan Undang Undang Perlindungan Anak

BAB I PENDAHULUAN. baik. Perilaku warga negara yang menyimpang dari tata hukum yang harus

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tindak kejahatan yang menjadi fenomena akhir-akhir ini

I. PENDAHULUAN. sebutan Hindia Belanda (Tri Andrisman, 2009: 18). Sejarah masa lalu Indonesia

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

BAB I PENDAHULUAN. yang berbeda. Itu sebabnya dalam keseharian kita dapat menangkap berbagai komentar

2016, No c. bahwa Presiden telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan norma serta

I. PENDAHULUAN. Perdagangan orang (traficking) terutama terhadap perempuan merupakan pengingkaran terhadap

Transkripsi:

1 I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak adalah generasi penerus bangsa yang harus dilindungi dari kejahatan. Anak kerap kali menjadi korban tindak pidana pencabulan atau perkosaan dan tak jarang pula yang menjadi pelakunya adalah orang dekat dari korban itu sendiri. Anak memiliki hak untuk mendapatkan perlindungan, perhatian, kasih sayang, dan pendidikan demi kesejahteraan anak tersebut. Anak harus mendapat perlindungan khusus terhadap kepentingan fisik dan mentalnya. Hal ini diharapkan agar anak dapat bertumbuh kembang dengan baik dan anak terlindungi dari ancaman kejahatan yang membahayakan dirinya. Perlindungan hak-hak anak pada hakikatnya menyangkut langsung pengaturan dalam peraturan perundangundangan, kebijaksanaan, usaha dan kegiatan yang menjamin terwujudnya perlindungan hak-hak anak. 1 Tindakan perkosaan merupakan tindakan yang melanggar hukum. Tindakan perkosaan tersebut telah merugikan orang lain yaitu orang yang telah diperkosa tersebut. Sebagaimana diatur dalam Pasal 285 KUHP yang menyatakan bahwa: Barangsiapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita 1 Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak, (Bandung: Refika Aditama, 2006), hlm. 35.

2 bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun. 2 Selain diatur dalam KUHP, tindak pidana perkosaan khusus terhadap anak diatur secara khusus dalam Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Pasal 76D Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak menyatakan bahwa Setiap Orang dilarang melakukan Kekerasan atau ancaman Kekerasan memaksa Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. Ancaman pidana terhadap seseorang yang melanggar ketentuan Pasal 76D Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak diatur dalam Pasal 81 Pasal 76D Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak yang menentukan sebagai berikut: 1. Setiap orang yang melangggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76D dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah). 2. Ketentuan pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku pula bagi Setiap Orang yang dengan sengaja melakukan tipu muslihat, serangkaian 2 Moeljatno, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, (Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm. 106

3 kebohongan, atau membujuk anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain. 3. Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Orang Tua, Wali, pengasuh Anak, pendidik, atau tenaga kependidikan, maka pidananya ditambah 1/3 (sepertiga) dari ancaman pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1). Tindak pidana perkosaan yang dialami oleh korban terutama yang masih di bawah umur tidak semuanya dilaporkan oleh korban ke aparat penegak hukum. Alasanalasan kasus perkosaan tidak dilaporkan oleh korban kepada aparat penegak hukum untuk diproses ke pengadilan karena beberapa faktor, diantaranya korban merasa malu dan tidak ingin aib yang menimpa dirinya diketahui oleh orang lain atau korban merasa takut karena telah diancam oleh pelaku bahwa dirinya akan dibunuh jika melaporkan kejadian tersebut kepada polisi. Hal ini tentu saja mempengaruhi perkembangan mental/kejiwaan dari para korban dan juga berpengaruh pada proses penegakan hukum itu sendiri untuk mewujudkan rasa keadilan bagi korban dan masyarakat. Faktor korban berperan penting untuk dapat mengatasi atau menyelesaikan kasus perkosaan ini, hal ini memerlukan keberanian dari korban untuk melaporkan kejadian yang menimpanya kepada polisi, karena pada umumnya korban mengalami ancaman dari pelaku. 3 Korban perkosaan khususnya yang dialami oleh anak dapat mengalami akibat yang sangat serius baik secara fisik maupun secara kejiwaan (psikologis). Akibat fisik yang dapat dialami oleh korban antara lain: (1) kerusakan organ tubuh seperti 3 Dikdik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan- Antara Norma dan Realita, (Jakarta, PT. RadjaGrafindo Persada, 2007), hlm. 53

4 robeknya selaput dara, pingsan, meninggal; (2) korban sangat mungkin terkena penyakit menular seksual (PMS); (3) kehamilan tidak dikehendaki. 4 Perkosaan dapat menimbulkan dampat negatif bagi masa depan korbannya terlebih apabila korbanya masih di bawah umur (anak-anak) baik secara sosial maupun psikologis. Perkosaan sebagai salah satu bentuk kekerasan jelas dilakukan dengan adanya paksaan baik secara halus maupun kasar. Hal ini akan menimbulkan dampak sosial bagi perempuan yang menjadi korban perkosaan tersebut. Hubungan seksual seharusnya dilakukan dengan adanya berbagai persiapan baik fisik maupun psikis dari pasangan yang akan melakukannya. Hubungan yang dilakukan dengan cara tidak wajar, apalagi dengan cara paksaan akan menyebabkan gangguan pada perilaku seksual. 5 Sementara itu, korban perkosaan berpotensi untuk mengalami trauma yang cukup parah karena peristiwa perkosaan tersebut merupakan suatu hal yang membuat shock bagi korban. Goncangan kejiwaan dapat dialami pada saat perkosaan maupun sesudahnya. Goncangan kejiwaan dapat disertai dengan reaksi-reaksi fisik. Secara umum peristiwa tersebut dapat menimbulkan dampak jangka pendek maupun jangka panjang. Keduanya merupakan suatu proses adaptasi setelah seseorang mengalami peristiwa traumatis. Korban perkosaan dapat menjadi murung, menangis, mengucilkan diri, menyesali diri, merasa takut, dan sebagainya. Trauma yang dialami oleh korban perkosaan ini tidak sama antara satu korban dengan korban yang lain. Hal tersebut disebabkan oleh bermacammacam hal seperti pengalaman hidup mereka, tingkat religiusitas yang berbeda, 4 Haryanto. Dampak Sosio-Psikologis Korban Tindak Perkosaan Terhadap Wanita. (Yogyakarta: Pusat Studi Wanita Universitas Gadjah Mada, 1997), hlm. 13 5 Koesnadi. Seksualitas dan Alat Kontrasepsi. (Surabaya: Usaha Nasional, 2001), hlm. 38

5 perlakuan saat perkosaan, situasi saat perkosaan, maupun hubungan antara pelaku dengan korban. 6 Dampak psikologis yang dialami oleh korban berkaitan dengan upaya korban untuk menghilangkan pengalaman buruk dari alam bawah sadar mereka sering tidak berhasil. Selain kemungkinan untuk terserang depresi, fobia, dan mimpi buruk, korban juga dapat menaruh kecurigaan terhadap orang lain dalam waktu yang cukup lama. Ada pula yang merasa terbatasi di dalam berhubungan dengan orang lain, berhubungan seksual dan disertai dengan ketakutan akan munculnya kehamilan akibat dari perkosaan. Bagi korban perkosaan yang mengalami trauma psikologis yang sangat hebat, ada kemungkinan akan merasakan dorongan yang kuat untuk bunuh diri. 7 Pelaku perkosaan saat ini tidak hanya berasal dari orang jauh, akan tetapi sudah banyak dilakukan oleh orang dekat atau keluarga korban. Seperti yang terjadi di wilayah hukum Kabupaten Tanggamus pada perkara dengan Tersangka Zakarsih bin Sobirin. Tersangka Zakarsih dihadapkan ke pengadilan dengan tuduhan telah melakukan tindak pidana memaksa anak melakukan persetubuhan dengannya atau memaksa atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul sebagaimana diatur dalam Pasal 81 dan atau Pasal 82 Undang- Undang No. 23 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Dimana korban merupakan anak kandung tersangka Zakarsih yang masih berumur 16 tahun sebagaimana dijelaskan dalam putusan No. 222/Pid.Sus/2014/PN. Kot. 6 Hayati, E. N. Panduan Untuk Pendamping Perempuan Korban Kekerasan Konseling Berwawasan Gender. (Yogyakarta: Rifka Annisa, 2000), hlm. 29 7 Ibid.

6 Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri, atau suami istri dan anaknya, atau ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya, atau keluarga sedarah dalam garis lurus ke atas atau ke bawah sampai dengan derajat ketiga. Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat. Seorang anak memiliki hak tertentu yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara. Sebagai orang tua sudah tentu memiliki kewajiban dan tanggung jawab memberikan perlindungan terhadap anaknya. Kewajiban dan tanggung jawab tersebut diatur dalam Pasal 20 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menyatakan negara, pemerintah, masyarakat, keluarga, dan orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab terhadap penyelenggaraan perlindungan anak. Kewajiban dan tanggung jawab keluarga/orang tua lebih rinci diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, yaitu mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak; menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya; dan mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. Orangtua khususnya seorang ayah memiliki tugas yang besar dalam melindungi anaknya, bukan sebaliknya menjadi orang yang menyakiti apalagi sampai melakukan tindakan pemerkosaan terhadap anak kandung sendiri. Hal ini tentunya sangat berdampak negatif bagi anak dan merusakan masa depan anak tersebut. Maka dari itu sudah sepantasnya orangtua pelaku pemerkosaan anak harus mendapatkan hukuman yang setimpal oleh hakim.

7 Hakim dalam membuat putusan harus memperhatikan segala aspek di dalamnya, mulai dari perlunya kehati-hatian, dihindari sekecil mungkin ketidakcermatan, baik yang bersifat formal maupun materiil sampai dengan adanya kecakapan teknik membuatnya. 8 Oleh karena itu hakim tidak berarti dapat berbuat sesuka hatinya, melainkan hakim juga harus mempertanggungjawabkan putusannya. Dimana dalam pertimbangan-pertimbangan itu dapat dibaca motivasi yang jelas dari tujuan putusan diambil, yaitu menegakkan hukum dan memberikan keadilan. 9 Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dalam bentuk skripsi dengan judul: Analisis Pertimbangan Hukum Hakim Terhadap Tindak Pidana Perkosaan Yang Dilakukan Oleh Orang Tua Kandung (Studi Putusan No. 222/Pid.Sus/2014/PN. Kot). B. Permasalahan dan Ruang Lingkup 1. Permasalahan Berdasarkan latar belakang masalah di atas yang diuraikan sebelumnya maka peneliti merumuskan masalah sebagai berikut: a. Bagaimanakah pertimbangan hukum hakim terhadap tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh orang tua kandung? b. Apakah putusan hakim kepada orang tua pelaku tindak pidana perkosaan terhadap anak kandung sudah memenuhi rasa keadilan? 8 Ahmad Rifai, Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 94. 9 Nanda Agung Dewantara. Masalah Kebebasan Hakim Dalam Menangani Suatu Masalah Perkara Pidana. (Jakarta: Aksara Persada Indonesia, 1987), hlm. 50.

8 2. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup dari penelitian ini adalah kajian kepustakaan bidang Hukum Pidana pada umumnya dan khususnya mengenai pertimbangan hukum hakim terhadap tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh orang tua kandung. Penelitian akan dilakukan di Kejaksaan Negeri Kota Agung dan Pengadilan Negeri Kota Agung pada tahun 2015. C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian 1. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah untuk: a. Mengetahui pertimbangan hukum hakim terhadap tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh orang tua kandung. b. Mengetahui apakah putusan hakim kepada orang tua pelaku tindak pidana perkosaan terhadap anak kandung sudah memenuhi rasa keadilan. 2. Kegunaan Penelitian Sesuai dengan permasalahan yang akan dibahas, kegunaan penelitian skripsi ini adalah: a. Secara teoritis, yaitu berguna sebagai sumbangan pemikiran dalam upaya pemahaman wawasan di bidang ilmu hukum pidana mengenai pertimbangan hukum hakim terhadap tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh orang tua kandung.

9 b. Kegunaan praktis, yaitu memberikan masukan kepada aparat penegak hukum mengenai langkah-langkah yang perlu dilakukan dalam menyelesaikan kasus pidana perkosaan yang dilakukan oleh orang tua terhadap anak kandung. D. Kerangka Teoritis dan Konseptual 1. Kerangka Teoritis Kerangka teoritis adalah konsep-konsep yang sebenarnya merupakan abstraksi dari hasil pemikiran atau kerangka acuan pada dasarnya bertujuan untuk mengadakan kesimpulan terhadap dimensi-dimensi sosial yang dianggap relevan untuk peneliti. 10 Hakim dalam memberikan pertimbangan untuk memutuskan suatu perkara pidana diharapkan hakim tidak menilai dari satu pihak saja sehingga dengan demikian ada hal-hal yang patut dalam penjatuhan putusan hakim apakah pertimbangan tersebut memberatkan ataupun meringankan pidana, yang melandasi pemikiran hakim, sehingga hakim sampai pada putusannya. Pertimbangan hakim sebenarnya tidak kalah pentingnya dibandingkan dengan bagian amar putusan hakim dan justru bagian pertimbangan itulah yang menjadi roh dari seluruh materi isi putusan, bahkan putusan yang tidak memuat pertimbangan yang cukup dapat menjadi alasan untuk diajukannya suatu upaya hukum baik itu banding maupun kasasi, yang dapat menimbulkan potensi putusan tersebut akan dapat dibatalkan oleh pengadilan yang lebih tinggi. 11 10 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 125 11 Ahmad Rifai, Op.Cit. hlm. 111

10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa hakim bebas dalam menjatuhkan putusan, namun Pasal 50 Undang- Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan hakim dalam memberikan putusan harus memuat alasan-alasan dan dasar-dasar putusan itu, juga harus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan-peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. Hakim sebelum menjatuhkan putusan, terlebih dahulu harus mempertimbangkan mengenai salah tidaknya seseorang atau benar atau tidaknya suatu peristiwa dan kemudian memberikan atau menentukan hukumannya. Menurut Sudarto, hakim memberikan keputusannya mengenai hal-hal sebagai berikut: a. keputusan mengenai peristiwa, ialah apakah terdakwa telah melakukan perbuatan yang dituduhkan kepadanya; b. keputusan mengenai hukumannya, ialah apakah perbuatan yang dilakukan terdakwa itu merupakan suatu tindak pidana dan apakah terdakwa bersalah dan dapat dipidana; c. keputusan mengenai pidananya, apabila terdakwa memang dapat dipidana. 12 Menurut pandangan utilities yang melihat pidana dari segi manfaat atau kegunaannya, pemidanaan harus mempunyai sifat prevensi, baik prevensi umum maupun prevensi khusus. Pandangan utilities menyatakan bahwa pidana yang dijatuhkan dimaksudkan untuk memperbaiki sikap dan perilaku pelaku tindak pidana agar tidak mengulang perbuatannya (prevensi khusus), di samping dimaksud juga untuk mencegah orang lain dari kemungkinan melakukan perbuatan yang serupa (prevensi umum). Sedangkan masalah pemidanaan pada 12 Sudarto, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat Kajian Terhadap Pembaharuan Hukum Pidana. (Bandung, Sinar Baru, 1986), hlm. 84

11 dasarnya dibagi atas dua teori yaitu teori retribution atau teori pembalasan dan teori utilitarian atau teori tujuan. 13 Teori retribution atau teori pembalasan ini menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk: 1. Tujuan pidana adalah semata-mata untuk pembalasan; 2. Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat; 3. Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana; 4. Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar; 5. Pidana melihat ke belakang, merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan kembali si pelanggar. 14 Teori utilitarian menyatakan bahwa pemidanan bertujuan untuk: 1. Pencegahan (prevention); 2. Pencegahan bukan tujuan akhir tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan manusia; 3. Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada pelaku saja (misalnya karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat untuk adanya pidana; 4. Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan; 5. Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif) pidana dapat mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat. 15 Teori retribution maupun teori utilitarian pada dasarnya adalah sama-sama memberikan sanksi pidana/hukuman terhadap penjahat atau pelanggar hukum, hanya saja sifat yang dimiliki antara kedua teori itu yang membedakannya. Tujuan pemidanaan atau penghukuman di sini dimaksudkan bukan hanya sekedar 13 Muladi dan Barda Nawawi Arif. Teori-teori dan Kebijakan Pidana, (Bandung: Alumni, 1998), hlm. 17 14 Ibid. hlm. 18 15 Ibid.

12 pemberian penderitaan dan efek jera kepada pelaku tindak pidana, agar menjadi takut atau merasa menderita akibat suatu pembalasan dendam terhadap konsekuensi perbuatannya, melainkan penderitaan yang diberikan itu harus dilihat secara luas, artinya penderitaan itu merupakan obat penyembuh bagi pelaku kejahatan agar dapat merenungkan segala kesalahannya dan segera bertobat dengan sepenuh keyakinan untuk tidak mengulangi perbuatannya lagi di masa yang akan datang. 16 Selain dua teori di atas terdapat pula teori integratif (teori gabungan). Teori ini didasarkan pada tujuan pembalasan dan mempertahankan ketertiban masyarakat. Sehubungan dengan masalah pidana sebagai sarana untuk mencapai tujuan, maka harus dirumuskan terlebih dahulu tujuan pemidanaan yang diharapkan dapat menunjang tercapainya tujuan tersebut, atas dasar itu kemudian baru dapat ditetapkan cara, sarana atau tindakan apa yang akan digunakan. Menurut Mackenzei, ada beberapa teori atau pendekatan yang dapat dipergunakan oleh hakim dalam mempertimbangkan penjatuhan putusan dalam suatu perkara, yaitu: 1. Teori keseimbangan Keseimbangan yang dimaksud adalah keseimbangan antara syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang dan kepentingan pihak-pihak yang berkaitan dengan perkara, yaitu antara lain seperti adanya keseimbangan dengan masyarakat, kepentingan terdakwa dan kepentingan korban. 2. Teori pendekatan seni dan intuisi Penjatuhan putusan oleh hakim merupakan diskresi atau kewenangan dari hakim. Sebagai diskresi, dalam penjatuhan putusan hakim menyesuaikan dengan keadaan dan pidana yang wajar bagi setiap pelaku tindak pidana, hakim akan melihat keadaan pihak terdakwa atau penuntut umum dalam perkara pidana. 16 Muladi dan Barda Nawawi Arif. Op.Cit. hlm. 19

13 3. Teori pendekatan keilmuan Titik tolak dari teori ini adalah pemikiran bahwa proses penjatuhan pidana harus dilakukan secara sistematik dan penuh kehati-hatian khususnya dalam kaitannya dengan putusan-putusan terdahulu dalam rangka menjamin konsistensi dari putusan hakim. Pendekatan keilmuan ini merupakan semacam peringatan bahwa dalam memutus suatu perkara, hakim tidak boleh semata-mata atas dasar intuisi semata, tetapi harus dilengkapi dengan ilmu pengetahuan hukum dan juga wawasan keilmuan hakim dalam menghadapi suatu perkara yang harus diputuskannya. 4. Teori Pendekatan Pengalaman Pengalaman dari seorang hakim merupakan hal yang dapat membantunya dalam menghadapi perkara-perkara yang dihadapinya sehari-hari, dengan pengalaman yang dimilikinya, seorang hakim dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan. 5. Teori Ratio Decidendi Teori ini didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar, yang mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara yang disengketakan, kemudian mencari peraturan perundang-undangan yang relevan dengan pokok perkara yang disengketakan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan, serta pertimbangan hakim harus didasarkan pada motivasi yang jelas untuk menegakkan hukum dan memberikan keadilan bagi para pihak yang berperkara. 17 Pasal 183 KUHAP mengatur tentang sistem pembuktian dalam perkara pidana, yaitu hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya ada dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana telah terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Ketentuan ini untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, kepastian hukum dan hak asasi manusia bagi seorang dan setiap warga negara yang didakwakan. Pasal 183 KUHAP di atas mengisyaratkan bahwa untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen, yaitu: 17 Ahmad Rifai. Penemuan Hukum oleh Hakim Dalam Persfektif Hukum Progresif, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hlm. 106

14 1. Pembuktian harus dilakukan menurut cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang; dan 2. Keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara yang sah menurut undang-undang. Untuk menjawab permasalahan yang kedua, Peneliti menggunakan teori keadilan restoratif. Pengertian umum keadilan restoratif pertama kali dikemukakan oleh Barnett ketika ia menunjuk pada prinsip-prinsip tertentu yang digunakan oleh para praktisi hukum di Amerika dalam melakukan mediasi antara korban dengan pelaku tindak pidana. Menurut Tony F. Marshall, keadilan restoratif adalah suatu pendekatan untuk memecahkan masalah kejahatan di antara para pihak, yaitu korban, pelaku, dan masyarakat, dalam suatu relasi yang aktif dengan aparat penegak hukum. Selanjutnya dikatakan bahwa untuk memecahkan masalah kejahatan tersebut, keadilan restoratif mempergunakan asumsi-asumsi sebagai berikut: a. Sumber dari kejahatan adalah kondisi dan relasi sosial dalam masyarakat; b. Pencegahan kejahatan tergantung pada tanggung jawab masyarakat (termasuk pemerintah lokal dan pemerintah pusat dalam kaitannya dengan kebijakan sosial pada umumnya) untuk menangani kondisikondisi sosial yang dapat menyebabkan terjadinya kejahatan; c. Kepentingan para pihak dalam penyelesaian kasus kejahatan tidak dapat diakomodasi tanpa disediakannya fasilitas untuk terjadinya keterlibatan secara personal; d. Ukuran keadilan harus bersifat fleksibel untuk merespon fakta-fakta penting, kebutuhan personal, dan penyelesaian dalam setiap kasus; e. Kerjasama di antara aparat penegak hukum serta antara aparat dengan masyarakat dianggap penting untuk mengoptimalkan efektifitas dan efisiensi cara penyelesaian kasusnya. f. Keadilan dicapai dengan prinsip keseimbangan kepentingan di antara para pihak. 18 18 G. Widiartana. Kekerasan Dalam Rumah Tangga: Kajian Restoratif terhadap Kebijakan Pidana dalam Penanggulangan Kekerasan dalam Rumah Tangga di Indonesia, (Yogyakarta: Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 2009), hlm. 33

15 2. Konseptual Menurut Soerjono Soekanto, kerangka konseptual adalah suatu kerangka yang menggambarkan hubungan antara konsep-konsep khusus yang merupakan kumpulan arti-arti yang berkaitan dengan istilah yang ingin diteliti, baik dalam penelitian normatif maupun empiris. 19 Hal ini dilakukan dan dimaksudkan agar tidak terjadi kesalahpahaman dalam melakukan penelitian, maka di sini akan dijelaskan tentang pengertian pokok yang dijadikan konsep dalam penelitian, sehingga akan memberikan batasan yang tetap dalam penafsiran terhadap beberapa istilah. Istilah-istilah yang dimaksud adalah sebagai berikut: a. Analisis adalah penyidikan suatu peristiwa (karangan, perbuatan dan sebagainya), untuk mengetahui keadaan yang sebenarnya sebab-musabab, duduk perkaranya dan sebagainya. 20 b. Pertimbangan hukum adalah suatu tahapan dimana majelis hakim mempertimbangkan fakta yang terungkap selama persidangan berlangsung, yang dihubungkan dengan alat bukti yang memenuhi syarat formil dan syarat materil, yang mencapai batas minimal pembuktian. 21 c. Tindak pidana adalah suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. 22 19 Soerjono Soekanto. Op.Cit. hlm. 124 20 Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Bahasa Indonesia, (Jakarta: Pusat Bahasa, 2008), hlm. 60 21 http://www.damang.web.id/2011/12/defenisi-pertimbangan-hukum_17.html?m=1, diakses tanggal 27 Maret 2015, pukul 19.00 WIB 22 Wirjono Prodjodikoro. Asas Hukum Pidana Di Indonesia. (Bandung: Rafika Aditama, 2002), hlm. 55

16 d. Perkosaan adalah seorang laki-laki yang memaksa seorang perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia, sehingga sedemikian rupa ia tidak dapat melawan, maka dengan terpaksa ia mau melakukan persetubuhan itu. 23 e. Orangtua berdasarkan Pasal 1 angka 4 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menyatakan orang tua adalah ayah dan/atau ibu kandung, atau ayah dan/atau ibu tiri, atau ayah dan/atau ibu angkat. E. Sistematika Penulisan Peneliti dalam melakukan penulisan skripsi ini, menggunakan sistematika sebagai berikut: I. PENDAHULUAN Bab ini menguraikan tentang latar belakang permasalahan, ruang lingkup dan perumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, kerangka teoritis dan konseptual serta sistematika penulisan. II. TINJAUAN PUSTAKA Bab ini menguraikan tentang landasan teori yang nantinya akan sangat membantu dalam analisis hasil-hasil penelitian yang mencakup: Pengertian Perkosaan, Jenis-Jenis Perkosaan, Tinjauan Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Menjatuhkan Putusan. 23 Wirdjono Prodjodikoro, Tindak-tindak Pidana Tertentu di Indonesia, (Bandung, Eresco, 1986), hlm. 117

17 III. METODE PENELITIAN Bab ini diuraikan metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, yaitu tentang langkah-langkah atau cara yang dipakai dalam penelitian yang memuat tentang pendekatan masalah, sumber dan jenis data, penentuan populasi dan sampel, prosedur pengumpulan dan pengolahan data, serta analisis data. IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Bab ini menguraikan analisis data dan pembahasan atas hasil pengolahan data. Pembahasan tersebut mengenai pertimbangan hukum hakim terhadap tindak pidana perkosaan yang dilakukan oleh orang tua kandung dan keadilan dalam putusan hakim terhadap orang tua pelaku tindak pidana perkosaan anak kandung. V. PENUTUP Bab ini berisikan kesimpulan dari penelitian yang dilakukan dan saran yang dianggap perlu sebagai masukan bagi pihak-pihak yang terkait.