Konvensi ini mengandung 16 pasal. Dari pasal-pasal ini dapat ditarik 5 prinsip berikut dibawah ini:

dokumen-dokumen yang mirip
HPI PEMAKAIAN HUKUM ASING PERTEMUAN XIII, XIV & XV. By Malahayati, SH, LLM

PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN. Karakteristik Pengadilan Negeri. Penyelesaian Sengketa Melalui Litigasi 11/8/2014

BAB V PENUTUP. A. Kesimpulan Berdasarkan uraian dan permasalahan yang dikemukakan pada bab-bab sebelumnya dapat disusun kesimpulan sebagai berikut:

PENYELESAIAN SENGKETA KASUS INVESTASI AMCO VS INDONESIA MELALUI ICSID

BAB IV PENUTUP. yang dikemukakakan sebelumnya maka Penulis memberikan kesimpulan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. Dalam berbagai perjanjian penanaman modal asing, investor asing cenderung memilih

Arbitrase a. Pengantar Arbitrase adalah penyerahan sengketa secara sukarela kepada pihak ketiga yang netral serta putusan yang dikeluarkan sifatnya

HUKUM PERDAGANGAN BEBAS MULTILATERAL Penyelesaian Sengketa Dagang Melalui Arbitrase

BAB I PENDAHULUAN. melalui negosiasi, mediasi, dan arbitrase. Pengertian arbitrase termuat dalam

PENOLAKAN EKSEKUSI PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DI PENGADILAN NASIONAL INDONESIA. Oleh: Ida Bagus Gde Ajanta Luwih I Ketut Suardita

KONFERENSI PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA MENGENAI ARBITRASE KOMERSIAL INTERNASIONAL KONVENSI MENGENAI PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING

Pokok-Pokok Masalah Pelaksanaan Putusan Arbitrase Internasional di Indonesia oleh: M. Husseyn Umar *)

TINJAUAN YURIDIS TERHADAP PENYELESAIAN SENGKETA DALAM KONTRAK DAGANG INTERNASIONAL

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PERANAN PENGADILAN DALAM PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL

BAB III UPAYA HUKUM YANG DAPAT DILAKUKAN PEKERJA KONTRAK YANG DI PHK SEBELUM MASA KONTRAK BERAKHIR

Arbitrase. Miko Kamal. Principal, Miko Kamal & Associates 28/06/12 1

PELAKSANAAN PUTUSAN ARBITRASE ASING BERKAITAN DENGAN ASAS KETERTIBAN UMUM DI INDONESIA MENURUT KONVENSI NEW YORK 1958

BAB II PUTUSAN ARBITRASE INTERNASIONAL DALAM PERSPEKTIF HUKUM INTERNASIONAL DAN HUKUM NASIONAL. A. Batasan-Batasan Putusan Arbitrase Internasional

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 19/PUU-XIII/2015 Batas Waktu Penyerahan/Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional

PPHI H. Perburuhan by DR. Agusmidah, SH, M.Hum

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 19/PUU-XIII/2015 Batas Waktu Penyerahan/Pendaftaran Putusan Arbitrase Internasional

BAB I PENDAHULUAN. khususnya di Indonesia mau tidak mau akan menghadapi situasi baru dalam dunia

PROSES PEMBATALAN PUTUSAN ARBITRASE DITINJAU DARI UU No. 30 TAHUN 1999 (Studi Putusan No. 86/PDT.G/2002/PN.JKT.PST)

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG 14 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL A.

DESAIN TATA LETAK SIRKUIT TERPADU. Perhatikan desain-desain handphone berikut:

PROSEDUR PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

UNIVERSITAS MARITIM RAJA ALI HAJI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

BAB III PENGAKUAN DAN PELAKSANAAN PUTUSAN PENGADILAN ATAU ARBITRASE ASING DI INDONESIA

PENYELESAIAN SENGKETA INVESTASI ASING DALAM BIDANG PERTAMBANGAN MELALUI ARBITRASE INTERNASIONAL 1 Oleh : Dadang A. Van Gobel 2

PILIHAN HUKUM DALAM KONTRAK BISNIS I.

DAFTAR ISI PERATURAN MEDIASI KLRCA SKEMA UU MEDIASI 2012 PANDUAN PERATURAN MEDIASI KLRCA. Peraturan Mediasi KLRCA. Bagian I. Bagian II.

BAB III KEKUATAN PUTUSAN BADAN PENYELESAIAN SENGKETA KONSUMEN DALAM PRAKTEK

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL

Oleh : Komang Eky Saputra Ida Bagus Wyasa Putra I Gusti Ngurah Parikesit Widiatedja

I. UMUM. 1. Latar Belakang Pengesahan

PENYELESAIAN SENGKETA TERHADAP INVESTOR ASING JIKA TERJADI SENGKETA HUKUM DALAM PENANAMAN MODAL

DAFTAR ISI Peraturan Mediasi KLRCA

BAB I PENDAHULUAN. Pada masa sekarang ini banyak terjadi sengketa baik dalam kegiatan di

Upaya Penyelesaian Sengketa Di Bidang HEI RANAH PUBLIK PENYELESAIAN SENGKETA INTERNASIONAL PADA UMUMNYA 20/05/2017

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. 1. Pendapat Awam Mengenai Proses Litigasi vs Arbitrase

BAB IV PENUTUP. (perkara Nomor: 305/Pdt.G/BANI/ 2014/PNJkt.Utr) adalah sebagai berikut:

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. setiap negara modern. Hukum memiliki peran yang dominan dalam. ekonomi dan budaya pada masa pembangunan suatu negara.

PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2012 TENTANG

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DAFTAR ISI UNDANG-UNDANG ARBITRASE TAHUN Undang-undang Arbitrase Tahun (Direvisi tahun 2011)

PENEGAKAN HUKUM PENYELESAIAN SENGKETA KETENAGAKERJAAN MELALUI PERADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. Yati Nurhayati ABSTRAK

BAHAN KULIAH ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA DAGANG Match Day 9 ARBITRASE (2)

Lex et Societatis, Vol. IV/No. 1/Jan/2016

RINGKASAN PERBAIKAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 20/PUU-X/2012 Tentang Peralihan Saham Melalui Surat Kesepakatan Bersama

PENYELESAIAN SENGKETA INVESTASI ASING DI SEKTOR PERTAMBANGAN MINERBA DI INDONESIA DALAM KAITANNYA DENGAN HUKUM PERDATA INTERNASIONAL

ARBITRASE. Diunduh dari :

Arbitrase. Pengertian arbitrase

II. OBJEK PERMOHONAN Pengujian materiil Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU 2/2004).

KONSEKUENSI HUKUM BAGI SEORANG ARBITER DALAM MEMUTUS SUATU PERKARA BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NO. 30 TAHUN 1999

DAFTAR ISI. Peraturan Arbitrase Proses Acara Cepat KLRCA PERATURAN ARBITRASE SKEMA IMBALAN DAN BIAYA ADMINISTRASI PEDOMAN UNTUK PERATURAN ARBITRASE

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA PERATURAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA NOMOR 78 TAHUN 2014 TENTANG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 1968 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN ANTARA NEGARA DAN WARGA NEGARA ASING MENGENAI PENANAMAN MODAL

2 melalui pemberian kuasa kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Keuangan, Menteri Energi Dan Su

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

TRANSAKSI BISNIS INTERNASIONAL JOINT VENTURE AGREEMENT

ARBITRASE SEBAGAI ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA Firda Zulfa Fahriani

BAB IV PENUTUP. sebelumnya, penulis menyimpulkan beberapa hal sebagai berikut:

DAFTAR ISI Undang-undang Arbitrase Tahun 2005

: Treaties Under Indonesian Law: A Comparative Study Penulis buku : Dr. iur. Damos Dumoli Agusman : PT. Remaja Rosda Karya

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 88/PUU-XII/2014 Pengadaan Tanah Untuk Kepentingan Umum

MEDIASI. Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Indonesian translation of the 2005 Choice of Court Convention

LAMPIRAN II UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1961 TENTANG PERSETUJUAN ATAS TIGA KONVENSI JENEWA TAHUN 1958 MENGENAI HUKUM LAUT

SUMBER HUKUM INTERNASIONAL

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Arbiter Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa

Undang Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2000 Tentang Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu

Beberapa Cara Penyelesaian Sengketa Perburuhan Di dalam Dan Di Luar Pengadilan

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAHAN KULIAH HUKUM PERNIAGAAN/PERDAGANGAN INTERNASIONAL MATCH DAY 12 METODE PENYELESAIAN SENGKETA PERDAGANGAN INTERNASIONAL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 30 TAHUN 2000 TENTANG RAHASIA DAGANG DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Lex Privatum, Vol. III/No. 4/Okt/2015

Business Law PENYELESAIAN SENGKETA BISNIS (ALTERNATIF DISPUTE RESOLUTION (ADR) DAN ARBITRASE) ANDRI HELMI M, SE., MM 1

KUASA HUKUM Muhammad Sholeh, S.H., dkk, berdasarkan surat kuasa khusus tanggal 20 Oktober 2014.

RINGKASAN PERMOHONAN Perkara Nomor 129/PUU-XII/2014 Syarat Pengajuan Calon Kepala Daerah oleh Partai Politik dan Kedudukan Wakil Kepala Daerah

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. sengketa yang terjadi diantara para pihak yang terlibat pun tidak dapat dihindari.

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

06 ICC Publication ENG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Registrasi Nomor : 37/PUU-X/2012 Tentang Peraturan Perundang-Undangan Yang Tepat Bagi Pengaturan Hak-Hak Hakim

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 26/PUU-XV/2017 Pembatalan Putusan Arbitrase

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 2 TAHUN 2004 TENTANG PENYELESAIAN PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Volume 1, Number 2, December 2016 ISSN:

BAB I PENDAHULUAN. Sejalan dengan berdirinya lembaga-lembaga perekonomian yang menerapkan

PERSELISIHAN HUBUNGAN INDUSTRIAL. OLEH : Prof. Dr. H. Gunarto,SH,SE,Akt,M.Hum

Transkripsi:

NAMA: Catherine Claudia NIM: 2011-0500-256 PELAKSANAAN KEPUTUSAN BADAN ARBITRASE KOMERSIAL NTERNASIONAL MENURUT KONVENSI NEW YORK 1958 Salah satu fokus utama dalam Konvensi New York 1958, yakni Convetion on the Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards yang ditandatangani 10 Juni 1958 di kota New York. Ketika Konvensi ini lahir, para pakar arbitrase waktu itu mengakui bahwa Konvensi ini merupakan satu langakh perbaikan dalam hal pengakuan dan pelaksanaan suatu keputusan arbitrase yang dibuat di luar negeri, khusunya di antara negara anggota Konvensi. Konvensi New York mulai berlaku pada 2 Juni 1959. Konvensi ini hanya mensyaratkan tiga ratifikasi agar berlaku. Selanjutnya Konvensi akan berlaku tiga bulan sejak jumlah ratifikasi ketiga terpenuhi. Pada waktu meratifikasi atau mengikatkan diri (aksesi) terhadap konvensi, negara-negara dapat mengajukan persyaratan (reservasi) terhadap isi ketentuan Konvensi New York (pasal 1). Terdapat dua persyaratan yang diperkenankan, yang pertama adalah persyaratan resiprositas (reciprocity-reservation). Yang kedua adalah persyaratan komersial (commercialreservation). Konsekuensi dari diajukannya persyaratan pertma, yaitu bahwa negara yang bersangkutan baru akan menerapkan ketentuan Konvensi apabila keputusan arbitrase tersebut dibuat di negara yang juga adalah anggota Konvensi New York. Apabila keputusan tersebut ternyata dibuat di negara yang bukan anggota, maka negara tersebut tidak akan menerapkan ketentuan Konvensi. Persyaratan komersial berarti bahwa suatu negara yang telah meratifikasi Konvensi New York hanya akan menerapkan ketentuan Konvensi terhadap sengketa-sengketa?komersial? menurut hukum nasionalnya. Konvensi ini mengandung 16 pasal. Dari pasal-pasal ini dapat ditarik 5 prinsip berikut dibawah ini: Prinsip pertama, yakni Konvensi ini menerapkan prinsip pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase luar negeri dan menempatkan keputusan tersebut pada kedudukan yang

sama dengan keputusan peradilan nasional. Prinsip kedua, yakni Konvensi ini mengakui prinsip keputusan arbitrase yang mengikat tanpa perlu ditarik dalam keputusannya. Prinsip ketiga, yaitu Konvensi ini menghindari proses pelaksanaan ganda (double enforcement process). Prinsip keempat, Konvensi New York mensyaratkan penyedrhanaan dokumentasi yang diberikan oleh pihak yang mencari pengakuan dan pelaksanaan Konvensi. Prinsip kelima, Konvensi New York lebih lengkap, lebih komprehensif daripada hukum nasional pada umumnya. Berbeda dengan hukum nasional pada umumnya yang hanya mengatur tentang pelaksanaan (enforcement) suatu keputusan pengadilan (termasuk arbitrase), Konvensi New York juga mengatur tentang pengakuan (recognition) terhadap suatu keputusan arbitrase. Ketentuan utama Konvensi terdapat dalam pasal I, III dan V. Menurut pasal I, Konvensi berlaku terhadap putusan-putusan arbitrase yang dibuat dalam wilayah suatu negara selain daripada negara di mana pengakuan dan pelaksanaan keputusan arbitrase itu diminta dan berlaku terhadap putusan-putusan arbitrase yang bukan domestic di suatu negara di mana pengakuan dan pelaksanaannya diminta. Pasal III mewajibkan setiap negara peserta untuk mengakui keputusan arbitrase yang dibuat di luar negeri mempunyai kekuatan hukum dan melaksanakannya sesuai dengan hukum (acara) nasional di mana keputusan tersebut akan dilaksanakan. Seperti telah dikemukakan diatas, ketentuan pasal ini hanya pokoknya saja tentang pelaksanaan keputusan arbitrase, tidak detail.? Konvensi hanya menyebutkan saja tentang daya mengikat suatu keputusan dan tentang bagaimana pelaksanaan atau eksekusinya. Konvensi tidak mengaturnya siapa pihak yang berwenang untuk mengeksekusi keputusan tersebut; Pengadilan Negeri, Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung. Pasal V memuat tentang alasan-alasan yang dapat diajukan oleh para pihak untuk menolak pengakuan dan pelaksanaan suatu keputusan arbitrase asing. Prinsipnya yaitu bahwa pihak yang mengajukan penolakan keputusan arbitrase harus mengajukan dan membuktikan alasanalasan penolakan tersebut. Pasal ini memuat 7 alasan penolakan pelaksanaan suatu keputusan arbitrase, yaitu: 1. Bahwa para pihak yang terikat dalam perjanjian tersebut ternyata menurut hukum nasionalnya tidak mampu atau menurut hukum yang mengatur perjanjian tersebut atau

menurut hukum negara di mana keputusan tersebut dibuat apabila tidak ada petunjuk hukum mana yang berlaku. 2. Pihak terhdap mana keputusan diminta tidak diberikan pemberitahuan yang sepatutnya tentang penunjukan arbitrator atau persidangan arbitrase atau tidak dapat mengajukan kasusnya. 3. Keputusan yang dikeluarkan tidak menyangkut hal-hal yang diserahkan untuk diputuskan oleh arbitrase, atau keputusan tersebut mengandung hal-hal yang berada di luar dari hal-hal yang seharusnya diputuskan, atau 4. Komposisi wewenang arbitrase atau prosedur arbitrase tidak sesuai dengan persetujuan para pihak, atau, tidak sesuai dengan hukum nasional tempat arbitrase berlangsung, atau 5. Keputusan tersebut belum mengikat terhadap para pihak atau dikesampingkan atau ditangguhkan oleh pejabat yang berwenang di negara di mana keputusan dibuat. KONVENSI WASHINGTON 1965 Konvensi mengandung 10 bab yang terbagi ke dalam 67 pasal. Bab 1 bagian 1 mengatur tentang berbagai aspek tentang arbitrase, yakni mulai dari pembentukan sampai organisasi arbitrase. Bab II mengatur tentang jurisdiksi centre, Bab III mengatur tentang Konsiliasi. Tentang arbitrase sendiri, yaitu tentang permohonan, konstitusi, wewenang dan fungsi arbitrase serta putusan, pengakuan putusan arbitrase diatur dalam Bab V. Tentang penggantian dan pendiskualifikasian arbitrator (dan konsiliator), biaya persidangan, tempat persidangan masing-masing diatur dalam bab V sampai dengan bab VII. Sengketa-sengketa para pihak, perubahan Konvensi serta ketentuan-ketentuan akhir diatur dalam Bab-bab terakhir, VIII, IX, dan X. Republik Indonesia meratifikasi Konvensi ICSID dengan UU no. 5 tahun 1968 (LN No.32 tahun 1968) yakni Undang-undang tentang persetujuan atas Konvensi tentang penyelesaian perselisihan antara negara dengan warga negara asing mengenai penanaman modal. Undangundang ini singkat saja hanya terdiri dari 5 pasal saja. Disebutkan bahwa sesuatu perselisihan tentang penanaman modal antara Republik Indonesia dan warga negara asing diputuskan menurut Konvensi ICSID dan Pemerintah mewakili Republik Indonesia dalam perselisihan tersebut untuk hak substitusi. (Pasal 2).

Pasal utama penting lainnya adalah tentang pelaksanaan keputusan badan arbitrase ICSID. Dalam Pasal 3 disebutkan bahwa untuk melaksanakan putusan Mahkamah Arbitrase ICSID di wilayah Indonesia, maka diperlukan pernyataan Mahkamah Agung untuk melaksanakannya, terdapat PERMA No. 1 Tahun 1990 tanggal 1 Maret 1990 tentang tatacara pelaksanaan putusan arbitrase asing. Pasal 42 ayat (1) Konvensi ICSID menyatakan bahwa dalam penyelesaian perkara yang diserahkan kepada ICSID, hukum yang dipergunakan untuk menyelesaikan perkara yang bersangkutan pertama-tama adalah hukum yang disepakati oleh para pihak yang berselisih (pilihan hukum). Sehubungan dengan pilihan hukum ini, timbul persoalan, hukum manasajakah yang dapat dipilih oleh para pihak? Mengenai hal ini ada beberapa kemungkinan. Umumnya para pihak dapat memakai salah satu hukum nasional para pihak atau bahkan hukum nasional negara ketiga. Dengan demikian, mereka dapat melokalisasi atau menginternasionalisasi hubungan hukum mereka. Hal ini dilakukan dengan menunjuk kepada misalnya prinsip-prinsip umum hukum (general principles of laws) atau prinsip-prinsip hukum yang berlaku pada kelompok sistem hukum tertentu (principles of law common to a group of legal system) atau pada prinsipprinsip hukum internasional (principles of international law). Ada pula yang mengemukakan bahwa para pihak bebas menentukan bahwa hanya perjanjian mereka sajalah yang akan menentukan hubungan hukum mereka itu. Ini merupakan satusatunya hukum yang berlaku. Jadi, tidak perlu lagi menunjuk pada satu sistem hukum tertentu. Sudargo Gautama, lebih cenderung pada pendapat yang mengedepankan bahwa pilihan hukum yang dilakukan hanya pada hukum dari sistem hukum negara tertentu, bukan kepada prinsip-prinsip hukum yang agak kurang jelas dan dimaksudkan untuk menginternasionalisasi permasalahan tersebut. Kemudian, ia menambahkan lagi bahwa tidak pada tempatnya sekarang ini dalam rangka pilihan hukum memilih prinsip-prinsip hukum internasional. Kemudian Pasal 42 ayat (1) Konvensi tersebut di atas disebutkan juga bahwa apabila pilihan

hukum yang demikian tidak ada, maka hukum yang digunakan adalah hukum nasional (termasuk kaidah-kaidah HPI) negara peserta konvensi ICSID, dan hukum internasional. Hukum negara peserta disini tentunya adalah host state (negara penerima modal). Hukum nasional disini bukan hanya sachnorment yang dipakai, sistem hukum negara yang bersangkutan secara keseluruhan. Jadi, termasuk juga kollisionnorment-nya. Penunjukan kepada hukum negara peserta itu bukan merupakan suatu sachnormen-verweisung, tetapi adalah suatu gesamtverweisung. Adapun terhadap penggunaan hukum internasional ada beberapa kemungkinan, yaitu ; 1. Apabila para pihak menyetujuinya; 2. Apabila hukum negara peserta konvensi ini yang merupakan pihak dalam perselisihan tersebut menghendaki supaya hukum internasional yang dipakai; 3. Apabila pokok persoalan yang disengketakan itu secara langsung diatur oleh hukum internasional, atau 4. Apabila hukum negara peserta konvensi yang ikut serta dalam perselisihan tersebut ternyata telah melanggar ketentuan hukum internasional. Disamping itu, berdasarkan Pasal 42 (3) Konvensi ICSID itu arbiter dapat menjatuhkan putusan atas dasar ex aquo et bono, apabila para pihak menghendaki demikian. Lex arbitri Lex arbitri mengajarkan bahwa hukum yang berlaku terhadap arbitrase tersebut validitasnya (bukan hukum substansialnya) adalah ditentukan oleh hukum di mana arbitrase berlangsung (lex Loci Arbitri). Lex arbitri ini untuk menjamin ketepatan, integritas hukum, dan kewenangan dari arbitor. Akan tetapi, belakangan ini timbul pemikiran untuk melepaskan sama sekali suatu arbitrase dari lex arbitri, yaitu tidak lagi bersandar pada hukum setempat, tetapi semata-mata bersandar pada kontrak yang bersangkutan. Trend inilah yang disebut delokalisasi arbitrase, misalnya yang pernah diputus oleh arbitrase ICC dalam kasus yang sering menjadi rujukan, yaitu GOTAVERKEN yang diakui dan dijalankan oleh pengadilan Swedia (tempat kreditur), walaupun pengadilan banding Prancis (tempatnya arbitrase) atas

banding yang diajukan ole Libia (tempat debitur) menyatakan bahwa keputusan tersebut tidak tunduk pada hukum Prancis