BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Kesehatan kerja diartikan sebagai ilmu kesehatan dan penerapan yang bertujuan mewujudkan tenaga kerja sehat, produktif dalam bekerja, yang berada dalam keseimbangan yang mantap antara kapasitas kerja, beban kerja dan keadaan lingkungan kerja serta terlindung dari penyakit yang disebabkan oleh pekerjaan dan lingkungan kerja (Suma mur, 2014). Kesehatan kerja mempunyai maksud memberikan perlindungan terhadap pekerja sekaligus melindungi aset perusahaan. Hal ini tercantum dalam Undang undang Nomor 1 tahun 1970 tentang keselamatan kerja bahwa setiap tenaga kerja berhak mendapatkan perlindungan atas keselamatan dalam melakukan pekerjaan, serta sumber produksi dipakai dan dipergunakan secara aman dan efisien sehingga proses produksi berjalan dengan lancar (UU RI N0. 1 Tahun 1970). Upaya kesehatan kerja meliputi pekerja disektor formal dan informal ditujukan untuk melindungi pekerja agar hidup sehat dan terbebas dari gangguan kesehatan serta pengaruh buruk yang diakibatkan oleh pekerjaan (UU RI No. 36 Tahun 2009). Tenaga kerja di sektor informal sebenarnya tidak berbeda prinsip dengan tenaga kerja di sektor formal, baik resiko untuk mendapatkan gangguan dan penyakit akibat pekerjaan maupun upaya penanggulangannya. Bahkan, tidak jarang, karena ketidaktahuan, tenaga kerja sector informal mempunyai resiko yang lebih tinggi dalam kaitannya dengan gangguan kesehatan yang diderita akibat dari pekerjaan (Anies, 2005). 1
Industri dan produknya baik formal maupun informal mempunyai dampak positif dan negatife kepada manusia, di satu pihak akan memberikan keuntungan, tetapi di pihak lain dapat menimbulkan dampak negatif karena paparan zat yang terjadi pada proses kerja maupun pada hasil kerja. Beberapa faktor yang dapat menimbulkan dampak negatif adalah faktor bahaya yang ada di tempat kerja yang meliputi faktor fisik, biologis, kimia, mental psikologis, hubungan antar manusia dan mesin maupun lingkungan kerja yang kurang ergonomis, gizi kerja yang kurang memadai dan faktor lain penyebab timbulnya penyakit akibat kerja dan kecelakaan kerja. Home Industri Salon atau suatu badan usaha yang bergerak dalam perawatan dan memperindah bagian-bagian tubuh bagi para wanita maupun pria, salah satunya yaitu perawatan kuku (manicure pedicure) telah beroperasi secara moderen memiliki berbagai faktor risiko potensi bahaya. Salah satunya berasal dari zat kimia yang digunakan sebagai pewarna kuku (nail polish). Bahan kimia yang terkandung dalam pewarna kuku yang mampu mengganggu kulit dan system pada tubuh lainnya diperiksa kandungannya setiap tahun, baik bahan kimia berupa organik maupun anorganik yang digunakan dalam industri termasuk produk natural, menyebabkan daftar bahan kimia berbahaya tidak akan berakhir. Penyakit kulit akibat kerja (occupational dermatoses) adalah suatu peradangan kulit diakibatkan oleh suatu pekerjaan seseorang. Dermatitis kontak merupakan 50% dari semua penyakit akibat kerja terbanyak yang bersifat nonalergi atau iritan. Penelitian survailance di Amerika menyebutkan bahwa 80% penyakit kulit akibat kerja adalah dermatitis kontak (Kosasih, 2004).
Dermatitis kontak adalah dermatitis disebabkan bahan atau substansi yang menempel pada kulit. Dikenal dua jenis dermatitis kontak, yaitu dermatitis kontak iritan yang merupakan respon nonimunologi dan dermatitis kontak alergik yang diakibatkan oleh mekanisme imunologik spesifik. Keduanya dapat bersifat akut maupun kronis (Djuanda, 2007). Penyakit ini ditandai dengan peradangan kulit polimorfik yang mempunyai ciri-ciri yang luas, meliputi: rasa gatal, eritema (kemerahan), endema (bengkak), papul (tonjolan padat diameter kurang dari 55mm), vesikel (tonjolan berisi cairan diameter lebih dari 55mm) (Freedberg, 2003). Bila dihubungkan dengan jenis pekerjaan, dermatitis kontak dapat terjadi pada hampir semua pekerjaan. Biasanya penyakit ini menyerang pada orang-orang yang sering berkontak dengan bahan-bahan yang bersifat toksik maupun alergik, misalnya ibu rumah tangga, petani dan pekerja yang berhubungan dengan bahan bahan kimia dan lain-lain (Orton, 2004). Terjadinya dermatitis kontak akibat kerja pada umumnya dapat disebabkan oleh tiga faktor yaitu faktor kimiawi, faktor mekanis/fisik, faktor biologis. Dari faktor-faktor tersebut yang paling banyak disebabkan karea faktor kimiawi. Berdasarkan penelitian di United Kingdom (UK), ditemukan bahwa agen dengan jumlah tertinggi untuk kasus dermatitis kontak alergen adalah karet (23,4% kasus alergi dilaporkan oleh ahli kulit), nikel (18,2), epoxies dan resin lainnya (15,6%), amina aromatic (8,6%), krom dan kromat (8,1%), pewangi dan kosmetik (8,0%), dan pengawet (7,3%). Sedangkan sabun (22,0% kasus), pekerjaan basah (19,8%), produk minyak bumi (8,7%), pelarut/solvent (8,0%), cutting oil dan pendingin
(7,8%) adalah agen yang paling sering ditemukan dalam kasus dermatitis iritan (Meyer, 2000). Biro statistik Amerika Serikat (1988) menyatakan bahwa kulit penyakit kulit menduduki 24% dari seluruh penyakit kulit akibat kerja yang dilaporkan. Health and Safety Executive menyatakan bahwa anatara tahun 2001 sampai 2002 terdapat 39.000 orang di Inggris terkena penyakit kulit yang disebabkan oleh pekerjaan atau sekitar 80% dari seluruh penyakit akibat kerja (Lestari, 2007). Di Negara maju, penyakit dermatitis kontak ditemukan lebih dari 90% dari seluruh kasus penyakit kulit akibat kerja (Harrianto, 2013). Penyakit dermatitis, telah menjadi salah satu dari sepuluh besar penyakit akibat kerja. Hasil studi Departemen Kesehatan RI pada tahun 2004 di 8 Provinsi pada pekerja informal didapatkan 23,2% perajin baru onix mengalami gangguan dermatitis kontak dengan faktor-faktor yang berhubungan yaitu riwayat penyakit kulit dan riwayat alergi (Lestari, 2007). Data mengenai insidensi dan prevalensi penyakit kulit akibat kerja di Indonesia sukat didapat. Peloporan umumnya tiak lengkap karena tidak terdiagnosis atau tidak terlaporkan. Pelaporkan insiden dermatitis kontak akibat kerja sebanyak 50 kasus pertahun atau 11,9 % dari seluruh kasus dermatitis kontak yang didiagnosis di Poliklinik Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin FK UI- RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta (Lestari, 2007). Kosmetika sudah dikenal sejak jaman dahulu yaitu 3500 sebelum Masehi, orang Mesir sudah menggunakan kosmetik yang berasal dari bahan alami tumbuhan, hewan dan tanah liat. Sejarah kosmetika di Indonesia telah dimulai
sebelum penjajahan Belanda. Saat ini, kosmetika sudah berkembang begitu pesat seiring dengan meningkatnya kebutuhan akan kosmetik. Hal ini dapat dibuktikan dengan banyaknya industri kosmetika dan produk-produk yang beredar (Harjanti, 2009). Definisi kosmetika menurut The Federal Food, Drugs, and Cosmetics Act adalah bahan yang digosokkan, dipercikkan, disemprotkan, dimasukkan kedalam, atau dipergunakan pada tubuh atau bagian tubuh manusia untuk membersihkan, memelihara, menambah daya tarik atau mengubah penampilan tanpa mempengaruhi struktur dan fungsi tubuh (Harjanti, 2009). Kuku merupakan alat tambahan kulit yang mempunyai fungsi fisiologis untuk melindungi ujung jari dan fungsi estetis untuk menunjang penampilan. Secara estetis kriteria kuku sehat adalah: 1) Ukuran kuku (rasio panjang dan lebar lebih dari satu kecuali ibu jari), 2) Tekstur permukaan kuku (lempeng kuku ideal halus dan mengkilat tanpa permukaan yang ireguler), 3) Warna kuku (lempeng kuku yang menarik adalah transparan, yang mencerminkan warna struktur bawahnya; pink dari nail bed dan putih dari matriks pada lunula dan dari udara dibawah kuku pada tepi bebas kuku), 4) Integritas perionikia (jaringan sekitar kuku yaitu kutikula, lipatan kuku proksimal, dan hiponikia). Kuku ideal berbentuk oval, panjang, dan nail plate melengkung tranversal. Meningkatnya kebutuhan untuk mendapatkan kuku yang ideal, membuat kosmetika kuku makin berkembang untuk menyamarkan kondisi kuku yang sebenarnya dan memperbaiki penampilan kuku (Harjanti, 2009).
Berbagai macam perawatan kuku tersedia sampai saat ini seperti manikur, pedikur dan produk perawatannya, sampai pada pemakaian kuku buatan. Namun demikian, dengan makin berkembangnya kosmetika kuku, efek samping juga sering dilaporkan kejadiannya. Gangguan akibat kosmetika kuku ini dapat terjadi pada area yang dekat dan jauh diluar pemakaian kosmetika, risiko infeksi, bahkan efek sistemik (Harjanti, 2009). Suatu penelitian dilakukan terhadap 215 individu yang menderita dermatitis kelopak mata dalam kurun waktu 2001 2003, 18 pekerja (8%) diantaranya merupakan DKI saat pemasangan kuku buatan dan atau cat kuku. Selain itu, cat kuku yang lepas, tertempel pada kuku pekerja (Manicurist)yang digunakan lebih dari 4 hari dapat meningkatkan jumlah bakteri yang kembali pada ujung jari setelah cuci tangan (Guin, 2004). Menurut penelitian Tye Arbuckle, seorang ahli epidemiologi dan ahli kesehatan lingkungan di Kanada bahwa paparan zat kimia yang terus menerus dalam jangka waktu yang lama akan terjadi kerusakan di bagian tubuh tertentu. Hal ini terjadi walaupun tubuh kecil namun tumbuh dari penelitian yang telah dieksplorasi kemungkinan kaitan antara pekerja kecantikan kuku (Manicurist) dan dampaknya terhadap pernapasan, dermatologis, neurologis, dan kesehatan reproduksi (Ford, 2014). Persiapan area kerja, alat, bahan, dan kosmetika merupakan kegiatan sehari-hari yang dilakukan oleh para pekerja, hal pertama persiapan area kerja manicure: Letakkan bantal di atas meja yang telah dialasi taplak putih dan tutup bantal dengan handuk putih kecil. Kemudian atur peralatan manicure dan letakkan
disebelah kanan, dan waskom untuk merendam tangan disebelah kiri. Atur kursi berhadapan dan ketinggian kursi harus sesuai dengan ketinggian meja, sehingga pelanggan dan pelaksana tidak membungkuk dan ini yang juga perlu diperhatikan dalam sikap kerja. Kedua persiapan alat: yaitu waskom kecil untuk merendam tangan, handuk putih kecil, waslap, bantal kecil/busa, cawan, perangkat manicure (untuk merawat kuku dan kutikula) yang telah disterilkan, kikir, gunting kutikula, nail buffer dan orangewood stick. Selanjutnya Persiapan Bahan: sabun mandi cair, Alkohol 70 %, dan kapas lembab bentuk segi empat. Dan persiapkan kosmetika yang akan digunakan. Persiapan pribadi para pekerja (Manicurist): Mengenakan baju kerja, melepas perhiasan, dan sanitasi tangan. Pelaksanaan perawatan tangan, Pekerja (Manicurist) mengapus semua sisa cat kuku lama dengan membasahi kapas dengan penghapus cat kuku (aceton). Tekan pada kuku dan tahan beberapa detik, lalu hapus kearah ujung kuku. Cat kuku berwarna gelap paling sulit dihapus, dan cat kuku lama mungkin kena kulit atau bagian dibawah ujung kuku. Dalam hal ini, balutlah orange stick dengan sedikit kapas diujungnya, basahi dengan penghapus cat kuku, dan bersihkan cat kuku yang terdapat di garis kutikula dan dibawah ujung kuku. Kemudian pekerjan menggunakan bilah kayu pengikir (kikir) yang kasar untuk memendekkan kuku atau untuk menyempurnakan ujung kuku dengan mengikirnya dari sudut luar ke tengah kuku. Untuk mendempul ujung kuku, gunakan ampelas (nail buffer) dengan macam tekstur. Ampelas hitam untuk menghaluskan, ampelas putih untuk mengkilapkan, dan ampelas abu-abu untuk sentuhan akhir. Para pekerja
mengoleskan pelembut kutikula (krim, minyak atau lotion) disekitar daerah kutikula. Lalu rendam kuku dalam waskom selama kurang lebih 3 menit. Keluarkan tangan dari Waskom. Dengan memegang orange stick, doronglah kulit kutikula dari permukaan lempeng kuku kearah jaringan kuku yang hidup. pengguntingan kulit kutikula yang mengelupas, dengan orange stick bersihkan kotoran pada bagian hyponychium dan ujung kuku. Ratakan diantara kedua telapak tangan, lalu pijatkan ke telapak tangan dan jari-jari. Perlakukan punggung tangan dengan lembut. Pijat beberapa menit saja, lalu bilaslah atau hapus dengan handuk basah dan keringkan. Oleskan tangan dengan lotion atau pelembap, dan pijat-pijatlah ke dalam kulit hingga benar-benar terserap. Pemberian pasta polish pada kulit kutikula, lalu pijat para konsumen. Setelah itu dilakukan buffing. Jika tidak ada, dapat menggunakan talk. mengeringkan dengan handuk tangan/tissue, dilanjutkkan dengan mengoleskan cat pelindung kuku (base coat), mengoleskan cat kuku berwarna dan terakhir mengoleskan cat pelindung cat berwarna serta mengkilapkan (Top Coat). Itulah hal hal yang dipersiapkan dan dikerjakan oleh para pekerja (Manicurist) kepada setiap konsumen yang hendak mempercantik kuku mereka. Berdasarkan survei awal yang telah dilakukan terdapat 31 jumlah karyawan di salon The Nail Shop Cabang Kota Medan yaitu di Sun Plaza dan Center Point Mall. Jam kerja di setiap cabang salonnya sama yaitu mulai pukul 10.00 21.00 WIB. Jumlah pelanggan yang dilayani para pekerja (Manicurist) tiap orangnya berbeda-beda setiap harinya.
Pekerja yang disurvei sebagian besar tidak menggunakan alat pelindung diri seperti, masker dan sarung tangan. Saat bekerja mereka hanya memakai baju seragam yang disediakan pihak pengusaha. Para pekerja (Manicurist) selalu menggunakan cat kuku untuk mewarnai kuku kemudian cat kuku yang menempel pada kulit sangat susah dibersihkan, alkohol ataupun aceton untuk melarutkan dan membersihkan cat kuku, pemotong kuku serta alat pembersih kuku lainnya yang tajam. Dari survei awal yang dilakukan ditemukan sebanyak 31 pekerja yang mengalami gejala dermatitis kontak iritan seperti merah, panas, gatal dan kulit bengkak. Berdasarkan pemaparan tersebut yang berkaitan dengan dermatitis kontak iritan dan gejala yang dialami pekerja kecantikan kuku (Manicurist), maka penulis tertarik untuk meneliti tentang faktor-faktor yang berhubungan dengan gejala dermatitis kontak pada pekerja kecantikan kuku. 1.2 Perumusan Masalah Dari latar belakang diatas yang menjadi permasalahan yaitu faktor faktor apa saja yang berhubungan dengan gejala penyakit dermatitis kontak iritan pada pada tangan pekerja kecantikan kuku (manicure pedicure) di Salon The Nail Shop Medan. 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum 1. Untuk mengetahui faktor faktor yang berhubungan dengan gejala dermatitis kontak iritan pada tangan pekerja kecantikan kuku (manicure pedicure).
1.3.2 Tujuan Khusus 1. Mengetahui faktor usia dengan gejala dermatitis kontak iritan pada pekerja kecantikan kuku. 2. Mengetahui faktor lama kerja dengan gejala dermatitis kontak pada pekerja kecantikan kuku. 3. Mengetahui faktor personal hygiene dengan gejala dermatitis kontak pada pekerja kecantikan kuku. 4. Mengetahui faktor penggunaan APD dengan gejala dermatitis kontak pada pekerja kecantikan kuku. 5. Mengetahui faktor masa kerja dengan gejala dermatitis kontak pada pekerja kecantikan kuku. 1.4 Hipotesis Penelitian 1. Ada hubungan antara faktor usia dengan gejala dermatitis kontak iritan pada pekerja kecantikan kuku. 2. Ada hubungan antara faktor lama kerja dengan gejala dermatitis kontak pada pekerja kecantikan kuku. 3. Ada hubungan antara personal hygiene dengan gejala dermatitis kontak pada pekerja kecantikan kuku. 4. Ada hubungan antara penggunaan APD dengan gejala dermatitis kontak pada pekerja kecantikan kuku. 5. Ada hubungan antara faktor masa kerja dengan gejala dermatitis kontak pada pekerja kecantikan kuku.
1.5 Manfaat Penelitian 1. Sebagai informasi dan masukkan kepada Pengusaha Home Industri lainnya dalam pengembangan pengetahuan dan pencegahan faktor-faktor yang berhubungan dengan gejala dermatitis kontak pada pekerjanya dan membantu dalam perbaikan sistem kerja. 2. Sebagai informasi dan masukkan bagi pengusaha disalon The Nail Shop Medan mengenai penyebab dan pencegahan faktor-faktor yang berhubungan dengan timbulnya gejala dermatitis kontak iritan. 3. Sebagai informasi dan masukkan bagi pekerja Home Industri lainnya mengenai penyebab dan pencegahan faktor-faktor yang berhubungan dengan timbulnya gejala dermatitis kontak iritan. 4. Sebagai wawasan dan pengetahuan penulis khususnya pada gejala dermatitis kontak iritan dalam penerapkan ilmu keselamtan dan kesehatan kerja (K3) yang diperoleh saat kuliah dalam praktek pada kondisi kerja sebelumnya. 5. Sebagai bahan referensi pada penelitian selanjutnya.