BAB I PENDAHULUAN. umum pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Friastuti, 2012) adalah contoh

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. Menurut Tuanakotta (2010: 106) terdapat tiga sikap dan tindak-pikir yang selalu

BAB I PENDAHULUAN. Sistematika penulisan menjelaskan mengenai tahapan-tahapan penulisan laporan

BAB I PENDAHULUAN. Selama dua dekade ini, kecurangan pelaporan keuangan menjadi isu yang

BAB I PENDAHULUAN. pers pada tanggal 30 Juni 2011 seperti terdapat di Website BPK

BAB I PENDAHULUAN. Tindak kecurangan ini berkembang pesat ditengah-tengah perkembangan

BAB 1 PENDAHULUAN. Fraud merupakan topik yang hangat dibicarakan di kalangan praktisi maupun

BAB I PENDAHULUAN. manajemen atas penggunaan sumber daya yang dipercayakan kepada entitas

BAB I PENDAHULUAN. menyatakan bahwa setiap perusahaan yang berbentuk perseroan terbuka, bidang

BAB I PENDAHULUAN. kuantitas untuk setiap tahunnya. Seiring dengan berkembangnya dunia bisnis dan

BAB I PENDAHULUAN. menemukan temuan yang memuat permasalahan, yang meliputi

BAB I PENDAHULUAN. menjelaskan fenomena yang terjadi dan faktor-faktor yang mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN. Korupsi merupakan salah satu bentuk fraud yang berarti penyalahgunaan

BAB I PENDAHULUAN. Audit laporan keuangan berperan untuk mengurangi risiko informasi yang terkandung

BAB I PENDAHULUAN. seorang auditor adalah melakukan pemeriksaan atau audit dan memberikan

BAB I PENDAHULUAN. Tuntutan pelaksanaan akuntabilitas sektor publik terhadap terwujudnya

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan paradigma administrasi publik dari public administration

BAB 1 PENDAHULUAN. dan menunjukkan buruknya pengelolaan (bad governance) dan buruknya birokrasi di

BAB I PENDAHULUAN. mengeluarkan laporan keuangan kecurangan Report To The Nation : On

BAB I PENDAHULUAN. Isu tentang sistem pengendalian internal pemerintahan (SPIP) mendapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Laporan keuangan menyediakan berbagai informasi keuangan yang bersifat

BAB 1 PENDAHULUAN. Auditor bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit

BAB I PENDAHULUAN. Lembaga Teknis Daerah Provinsi Sumatera Barat. Diumumkan dalam Lembaran

BAB I PENDAHULUAN. Semakin berkembangnya perusahaan-perusahaan go public membuat

BAB 1 PENDAHULUAN. dua kelompok; jasa assurance dan jasa nonassurance. Jasa assurance adalah jasa

BAB I PENDAHULUAN. kronis bangsa. Hampir disemua lini pemerintahan terjadi perilaku korupsi, dan

DAFTAR PUSTAKA. Albrecht, W. Steve, Albrecht, Conan C., Albrecht Chad O., dan Zimbelman M. F Fraud Examination. Connecticut: Cengage Learning.

I. PENDAHULUAN. Reformasi di bidang kinerja pemerintahan tidak akan membuahkan hasil optimal

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. karena karena terjadinya krisis ekonomi di Indonesia serta maraknya tingkat

BAB I PENDAHULUAN. mengalami peningkatan yang sesuai dengan perkembangan bisnis dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Perhatian utama masyarakat pada sektor publik atau pemerintahan adalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar belakang masalah. untuk mengaudit laporan keuangan perusahaan. Selain digunakan oleh

BAB I PENDAHULUAN. kinerja dengan pendekatan good governance. Semua aspek pemerintahan dalam

BAB I PENDAHULUAN. yang telah diaudit oleh akuntan publik. Selain itu, kondisi perekonomian domestik

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Berbagai kasus pelanggaran etika di bidang akuntansi yang melibatkan

BAB I PENDAHULUAN. keterpurukan karena buruknya pengelolaan keuangan (Ariyantini dkk,2014).

BAB I PENDAHULUAN. Kecurangan telah berkembang di berbagai negara, termasuk di Indonesia.

BAB I PENDAHULUAN. bermunculan perusahaan-perusahaan besar yang menjual sahamnya kepada

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. berkualitas, mewujudkan pemerintahan yang good governance, dan menciptakan

BAB I PENDAHULUAN. pula praktik kejahatan dalam bentuk kecurangan (fraud) ekonomi. Jenis fraud

BAB I PENDAHULUAN. semakin terbukanya peluang usaha, maka menyebabkan risiko terjadinya

BAB 1 PENDAHULUAN. halnya dengan kejahatan yang terjadi di bidang ekonomi salah satunya adalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. keuangan yang telah diaudit oleh akuntan publik kewajarannya lebih dapat

BAB I PENDAHULUAN. masalah kualitas audit (Grant et. al., 1996). Dengan kata lain, pengguna. audit dapat memberi penilaian atas kualitas audit.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pada era globalisasi ini dunia bisnis sudah tidak asing lagi bagi para pelaku

BAB I PENDAHULUAN. yang akurat dan dapat dipercaya untuk pengambilan keputusan. Laporan

BAB I PENDAHULUAN. good governance dan clean governance di Indonesia semakin meningkat. Melihat

BAB I PENDAHULUAN. persaingan diantara para pelaku bisnis. Berbagai usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. Bab ini menjelaskan tentang pentingnya penelitian dilakukan. Bab ini meliputi

BAB 1 PENDAHULUAN. Laporan keuangan pemerintah daerah mempunyai dua tujuan utama yaitu untuk

BAB I PENDAHULUAN. Dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 8 Tahun 2006

BAB I PENDAHULUAN. suatu perusahaan digunakan untuk menjamin kelangsungan hidup perusahaan dan

BAB I PENDAHULUAN. hukum, melaksanakan good governance, tetapi jika moral tidak berubah dan sikap

BAB I PENDAHULUAN. perusahaan dalam laporan keuangan. Pemeriksaan laporan keuangan yang

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam era masa kini banyak bermunculan perusahaan-perusahaan yang

PENDAHULUAN. dunia, termasuk Pemerintah Indonesia. The Association of Certified Fraud

BAB I PENDAHULUAN. (error) dan kecurangan (fraud). Fraud diterjemahkan dengan kecurangan sesuai

BAB 1 PENDAHULUAN. dalam rangka menciptakan pemerintahan yang bersih dan berwibawa.

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi pengelolaan negara diawali dengan bergulirnya Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. dihasilkan juga akan berkualitas tinggi. etik profesi. Dalam Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) guna

BAB II LANDASAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. tentang aktivitas perusahaan selama periode waktu tertentu. Pemakai internal

BAB I PENDAHULUAN. Undang-undang Nomor 15 Tahun 2006 tentang Badan Pemeriksa. Keuangan pasal 6 ayat (1) menyebutkan bahwa Badan Pemeriksa Keuangan

PERSEPSI MAHASISWA AKUNTANSI TERHADAP AUDITOR DALAM MENDETEKSI KECURANGAN PENYAJIAN LAPORAN KEUANGAN

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. pemberian informasi kepada publik dalam rangka pemenuhan hak publik.

BAB I PENDAHULUAN. sebagai pengelola anggaran, bahkan legislatif dan yudikatif yang memiliki peran

BAB I PENDAHULUAN. pemerintah memerlukan seorang Pemeriksa Keuangan. Pemeriksa Keuangan

BAB I PENDAHULUAN. keuangan negara yang diatur dalam UU No. 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan

BAB I PENDAHULUAN. bervariasi. Persaingan antara perusahaan semakin meningkat dengan dibarengi

BAB I PENDAHULUAN. Negara mengelola dana yang sangat besar dalam penyelenggaraan pemerintahannya.

BAB I PENDAHULUAN UKDW. menjalankan suatu profesi juga dikenal adanya etika profesi.

I. PENDAHULUAN. pengukuran kinerja pada capacity building yang mengikuti pola reinventing

BAB I PENDAHULUAN. salah satu contoh kecurangan tersebut adalah tindakan perbuatan korupsi yang

BAB I PENDAHULUAN. Dari profesi akuntan publik, masyarakat mengharapkan penilaian yang bebas

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. mengamanatkan bahwa setiap kepala daerah wajib menyampaikan laporan

BAB I PENDAHULUAN. diaudit dapat dihandalkan dan manajemen juga akan mendapat keyakinan dan. melaporkan pelanggaran dalam sistem akuntansi klien.

BAB I PENDAHULUAN. diantara pelaku bisnis semakin meningkat. Para pelaku bisnis melakukan berbagai

BAB 1 PENDAHULUAN. investor maupun kreditor untuk melakukan penanaman saham. meningkatnya kebutuhan investor atas laporan keuangan.

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Indonesia. T Pengaruh faktor..., Oktina Nugraheni, FE UI, 2009.

BAB I PENDAHULUAN. pertimbangan hukum dan perundang-undangan. peluang, dan rasionalisasi yang disebut sebagai fraud triangle.

BAB I PENDAHULUAN. khususya di tingkat Pemerintah Daerah. Korupsi sebenarnya termasuk salah

BAB 1 PENDAHULUAN. gandum, emas, dan aset lainnya yang dimililiki oleh raja. Mereka yang menjadi orang

ABSTRAK. Kata kunci : Independesi, Tekanan Anggaran Waktu, Risiko Audit, Gender, Kualitas Audit. vii

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Audit yang berkualitas dapat membantu mengurangi penyalahgunaan dana

BAB I PENDAHULUAN. meyakini kualitas pekerjaannya. Dalam penyelenggaraanya good governance

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Permasalahan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Dalam perkembangan dunia bisnis yang semakin meningkat dari tahun ke

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu entitas usaha berdasarkan standar yang telah ditentukan.

BAB V PENUTUP. Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan tentang Faktor-Faktor yang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut DeAngelo (1981) dalam Lauw dan Elyzabeth (2012), kualitas audit adalah

BAB I PENDAHULUAN. orde baru menyebabkan ketimpangan pembangunan di daerah-daerah lain di

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan jaman dan era globalisasi yang begitu pesat menjadi suatu

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka mewujudkan tata kelola yang baik (good governance),

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Kasus kecurangan korporasi telah menjadi sorotan bagi semua kalangan di

BAB 1 PENDAHULUAN. perwujudan tata kelola pemerintahan yang baik (good governance). Melalui

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masyarakat akhir-akhir ini mempertanyakan makna sesungguhnya dari opini WTP (Wajar Tanpa Pengecualian) pada suatu instansi pemerintah. Instansi pemerintah dengan predikat WTP ternyata tidak serta merta bersih dari permasalahan fraud. Kasus dugaan korupsi kitab suci di lingkungan Kementerian Agama (Andi, 2012) dan dugaan kebocoran anggaran fasilitas sosial dan fasilitas umum pada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta (Friastuti, 2012) adalah contoh permasalahan fraud yang muncul pada instansi pemerintah dengan opini laporan keuangan WTP. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dalam siaran pers pada tanggal 30 Juni 2011 menyatakan bahwa opini WTP tidak menjamin pada suatu instansi pemerintah tidak ada korupsi karena pemeriksaan laporan keuangan tidak ditujukan secara khusus untuk mendeteksi adanya korupsi. Namun demikian, BPK wajib mengungkapkan apabila menemukan ketidakpatuhan atau ketidakpatutan baik yang berpengaruh atau tidak berpengaruh terhadap opini atas laporan keuangan (BPK, 2011). Kondisi tersebut menunjukkan adanya kesenjangan harapan (expectation gap) antara masyarakat yang berharap agar auditor dapat mengungkapkan semua fraud, namun auditor memiliki keterbatasan dalam mendeteksi fraud pada saat melaksanakan pemeriksaan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa fenomena audit expectation gap muncul baik di sektor publik (Chowdhury et al., 2005), maupun sektor bisnis (Sidani, 2007). Chowdhury et al. (2005) melakukan 1

2 penelitian terhadap fenomena audit expectation gap yang berkaitan dengan sektor publik dan kemudian menguji kerangka akuntabilitas dalam konteks negara Bangladesh. Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan yang signifikan antara persepsi auditor dengan persepsi masing-masing kelompok pengguna laporan keuangan. Temuan ini menunjukkan adanya audit expectation gap terkait permasalahan pelaporan, akuntabilitas, independensi auditor, kompetensi auditor, bukti audit, dan audit kinerja. Sidani (2007) melakukan penilaian atas sikap dan persepsi akuntan dan nonakuntan tentang profesi audit dalam rangka mengungkap kemungkinan adanya expectation gap di Lebanon. Hasil penelitian menjelaskan bahwa expectation gap ditemukan terutama dalam hal peran dan tanggung jawab auditor, yang mencerminkan kenyataan bahwa banyak pengguna laporan tidak memiliki pemahaman yang tepat tentang profesi audit. Auditor dipekerjakan untuk memenuhi ketentuan hukum semata dan bukan karena adanya pemahaman akan peran auditor dalam rangka mewujudkan transparansi dan pengembangan perusahaan. Dengan demikian, kesenjangan muncul karena adanya perbedaan pandangan antara kewajiban yang harus dilakukan oleh auditor dan harapan yang dinginkan oleh masyarakat untuk dilakukan oleh auditor. Dalam konteks Indonesia, tindakan fraud seolah telah menjadi hal yang lazim terjadi di berbagai bidang kehidupan. Sistem birokrasi pemerintahan yang panjang dan berbelit-belit menjadi salah satu kondisi yang mendukung tindakan fraud pada lingkungan pemerintahan. Sistem desentralisasi telah memberikan kesempatan bagi daerah untuk melakukan tata kelola pemerintahan dan

3 pembangunan secara mandiri tanpa campur tangan pemerintah pusat yang terlalu besar. Namun, hal ini tidak didukung dengan mekanisme pengendalian yang kuat sehingga pada akhirnya hanya memindahkan berbagai bentuk tindakan fraud dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Masyarakat sudah terlalu sering disuguhi informasi tentang berbagai kasus fraud dan korupsi yang ada pada berbagai instansi pemerintah, sehingga menciptakan ketidakpedulian dari sebagian masyarakat. Hal ini telah melemahkan mekanisme kontrol sosial yang merupakan hal penting pada pengelolaan sektor publik. Belkaoui dan Picur (2000) menyatakan bahwa situasi disorganisasi sosial secara umum dan kegagalan untuk menerapkan kontrol sosial dapat memunculkan tindakan fraud. Bentuk tindakan korupsi, kolusi, dan nepotisme yang dilakukan oleh pejabat pemerintah merupakan salah satu bentuk kejahatan kerah putih (white-collar crime). Istilah ini diperkenalkan oleh Edwin H. Sutherland pada Desember 1939. Sutherland menjelaskan istilah kejahatan kerah putih sebagai kejahatan kelas atas, kelas manusia berkerah putih yang terdiri atas orang-orang bisnis dan profesional terhormat, atau paling tidak, dihormati (Tuanakotta, 2010). Semakin banyaknya kasus korupsi, suap, dan gratifikasi yang terungkap menunjukkan bahwa praktik fraud seakan telah menjadi budaya yang lazim terjadi di sektor publik. Praktik korupsi dalam pemerintahan telah menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara paling korup di kawasan Asia Tenggara. Tabel 1.1 menunjukkan posisi Indonesia pada peringkat 114 dari 177 negara yang disurvei. Di kawasan Asia Tenggara, Indonesia hanya sedikit lebih baik dari Vietnam, Laos, Myanmar, dan Kamboja. Kondisi ini menunjukkan bahwa

4 pengelolaan keuangan negara masih jauh dari pencapaian efektivitas dan efisiensi karena masih banyaknya kebocoran melalui praktik korupsi. Tabel 1.1 Daftar Peringkat Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Beberapa Negara Asia Tenggara Peringkat Negara Skor IPK* 5 Singapura 86 38 Brunei 60 53 Malaysia 50 94 Filipina 36 102 Thailand 35 114 Indonesia 32 116 Vietnam 31 140 Laos 26 157 Myanmar 21 160 Kamboja 20 Sumber: Data diolah dari Corruption Perceptions Index 2013 dari www.transparency.org. Jumlah negara yang disurvei adalah 177 negara. * Rentang skor antara 0 (sangat korup) sampai dengan 100 (sangat bersih). Jika berbicara pada lingkup sektor publik, praktik fraud yang antara lain dalam bentuk korupsi, suap, dan gratifikasi seakan telah membudaya dan berimplikasi kepada penurunan kualitas pelayanan publik yang diberikan kepada masyarakat. Hal ini tercermin pada pelaksanaan pembangunan yang belum mampu menyentuh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Salah satu outcome yang dapat dijadikan sebagai indikator kualitas pelayanan publik adalah Indeks Pembangunan Manusia (IPM). Indeks ini merupakan suatu ukuran yang mencerminkan angka harapan hidup, melek huruf (literacy), pendidikan, dan standar hidup. Pada laporan Human Development Report 2013 yang diterbitkan United Nations Development Programme (UNDP), Indonesia berada pada posisi ke-121 dari 187 negara yang masuk ke dalam daftar tersebut.

5 Tabel 1.2 Daftar Peringkat Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Beberapa Negara Asia Tenggara Peringkat Negara Skor IPM* 26 Singapura 0,895 30 Brunei 0,855 64 Malaysia 0,769 103 Thailand 0,690 114 Filipina 0,654 121 Indonesia 0,629 127 Vietnam 0,617 138 Kamboja 0,543 138 Laos 0,543 149 Myanmar 0,498 Sumber: Data diolah dari Human Development Report 2013 dari http://hdr.undp.org/en/. Jumlah negara yang disurvei adalah 187 negara. * Rentang skor antara 0 (sangat rendah) sampai dengan 1 (sangat tinggi). Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa fraud merupakan masalah serius yang harus dihadapi baik dalam kerangka sektor bisnis maupun sektor publik. KPMG dalam laporan survei pada tahun 2012 tentang fraud, suap, dan korupsi di Australia dan Selandia Baru menyampaikan bahwa kerugian karena tindakan fraud mencapai $372 juta dengan rata-rata kerugian sebesar $3 juta pada setiap organisasi (KPMG, 2012). Sementara itu ACFE (Association of Certified Fraud Examiner) dalam Report to The Nations on Occupational Fraud and Abuse 2012 Global Fraud Study mengungkapkan bahwa responden survei menyatakan terdapat kehilangan sebesar 5% dari pendapatan pada organisasi yang disebabkan karena tindakan fraud. Lebih lanjut lagi ACFE menyatakan bahwa jika hal ini diperhitungkan terhadap Gross World Product (gabungan Gross National Product dari seluruh negara di dunia) tahun 2011, maka diproyeksikan pada tahun tersebut terdapat kerugian yang dikarenakan tindakan fraud sebesar lebih dari $3,5 miliar (ACFE, 2012).

6 Dalam konteks pengelolaan keuangan pada sektor publik, terutama di Indonesia, salah satu area yang paling sering mengalami kebocoran adalah proses pengadaan barang/jasa. Hal ini berkaitan dengan permasalahan pelaksanaan pengadaan barang/jasa yang tidak sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Pemerintah telah menyusun berbagai ketentuan perundangundangan untuk mengatur pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Peraturan Presiden Nomor 54 tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah sebagaimana telah dua kali diubah terakhir dengan Peraturan Presiden Nomor 70 Tahun 2012 adalah ketentuan perundangan yang saat ini berlaku sebagai panduan bagi pejabat pelaksana pengadaan barang/jasa di lingkungan pemerintah. Namun pada kenyataannya aturan tersebut belum mampu untuk menjadi kontrol yang efektif dalam mencegah terjadinya tindakan fraud pada setiap tahapan pelaksanaan pengadaan barang/jasa. Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) BPK untuk periode Semester 1 tahun 2013 menyatakan bahwa temuan pemeriksaan terkait dengan pengadaan barang/jasa adalah salah satu jenis temuan pemeriksaan yang sering terjadi dari tahun ke tahun dan memiliki nilai yang relatif besar. Permasalahan tersebut antara lain adalah kasus kerugian daerah akibat kekurangan volume pekerjaan dan/atau barang. Total kekurangan volume yang dilaporkan selama tiga semester (IHPS I Tahun 2012 sampai dengan IHPS I Tahun 2013) mencapai Rp851,90 miliar. Kasus-kasus kekurangan volume pekerjaan dan/atau barang selama periode tersebut lebih banyak terjadi pemerintah daerah dibandingkan dengan pemerintah pusat. Total temuan kekurangan volume di pusat mencapai 265 kasus senilai

7 Rp317,56 miliar sedangkan di daerah sebanyak 1.568 kasus senilai Rp534,34 miliar (BPK, 2013). Meskipun BPK telah menemukan berbagai kasus pelanggaran ketentuan pada proses pengadaan barang/jasa, namun hal tersebut belum cukup untuk mengurangi hasrat para pejabat nakal untuk melakukan tindakan fraud. Banyaknya laporan pengaduan masyarakat terkait tindakan fraud pada pejabat publik menunjukkan bahwa praktik fraud masih merajalela. Di sisi lain, auditor juga memiliki keterbatasan untuk mampu mendeteksi seluruh tindakan fraud yang terjadi. Untuk mengatasi masalah tersebut, Bierstaker et al. (2006) menyatakan pentingnya peran keahlian khusus (akuntansi forensik) untuk mampu melakukan deteksi atas tindakan fraud. Namun, di sisi lain Hassink et al. (2010) mengungkapkan bahwa auditor tidak memiliki kesempatan yang cukup untuk membangun keahlian di bidang fraud, pelaporan dan penanganan fraud. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu cara yang efektif agar auditor mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Matsumura dan Tucker (1992) menyarankan bahwa salah satu cara untuk mengurangi fraud adalah dengan meningkatkan kualitas pengujian yang dilakukan oleh auditor. Rezaee (2004) menyarankan agar auditor menggunakan prosedur audit yang lebih efektif dan obyektif serta standar terkait untuk meningkatkan efektivitas audit. Moyes dan Hasan (1996) mengungkapkan bahwa kombinasi berbagai teknik audit dengan dukungan adanya peer review akan meningkatkan kemungkinan auditor untuk mampu mendeteksi adanya fraud.

8 Statement of Auditing Standard (SAS) No. 99 (AICPA, 2001) menyatakan bahwa auditor memiliki tanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit dalam rangka memperoleh keyakinan yang memadai bahwa laporan keuangan terbebas dari kesalahan material baik yang disebabkan oleh error maupun fraud. Dalam rangka memperoleh informasi yang dibutuhkan untuk mengidentifikasi adanya risiko kesalahan yang material, auditor harus mempertimbangkan risk factor atau yang dikenal dengan istilah red flags. Red flags adalah gejala atau keadaan yang memungkinkan terjadinya suatu tindakan fraud. Standar ini mengidentifikasi 42 risk factor yang dapat digunakan oleh auditor dalam pelaksanaan pemeriksaan pada sektor bisnis. Standar tersebut diadopsi Standar Profesional Akuntan Publik (SPAP) yang tertuang pada Standar Audit (SA) Seksi 316 Pertimbangan atas Kecurangan dalam Audit Laporan Keuangan. Paragraf 16 dan 17 pada SA ini memuat faktor risiko yang berkaitan dengan salah saji yang timbul dari kecurangan dalam pelaporan keuangan (IAI, 2011). Standar audit telah memuat daftar red flags yang dapat digunakan sebagai metode pendeteksian fraud. Namun standar audit tersebut tidak memberikan petunjuk yang mengatur secara detail tentang manakah red flags yang dapat secara efektif mendeteksi adanya fraud, sehingga memungkinkan adanya perbedaan persepsi dari masing-masing auditor dalam menilai tingkat efektivitas red flags dalam mendeteksi fraud. Beberapa penelitian menunjukkan hasil yang berbeda tentang red flags manakah yang dianggap paling penting untuk mendeteksi tindakan fraud

9 (Heiman-Hoffman dan Morgan, 1996; Majid et al., 2001; Weisenborn dan Norris,1997; Smith et al., 2005). Heiman-Hoffman dan Morgan (1996) menemukan bahwa responden menganggap "faktor sikap" seperti jujur, bermusuhan, serta sikap manajemen yang agresif dan tidak masuk akal merupakan red flags yang lebih penting jika dibandingkan dengan "faktor situasional". Majid et al. (2001) menyimpulkan bahwa faktor-faktor situasional seperti "kesulitan untuk melakukan audit atas transaksi" dan "indikasi kelangsungan usaha" merupakan red flags yang penting. Weisenborn dan Norris (1997) menemukan bahwa "tidak jujur atau manajemen yang tidak etis" dan "pengendalian internal yang tidak memadai" dianggap sebagai indikator utama untuk sebagian besar kasus fraud. Smith et al. (2005) menemukan bahwa red flags yang berkaitan dengan karakteristik operasi dan finansial dinilai sebagai red flags yang paling penting dalam mendeteksi fraud. Penelitian-penelitian mengenai red flags ternyata menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Hal tersebut disebabkan adanya perbedaan persepsi dalam menilai red flags. Perbedaan karakteristik pribadi dapat mengakibatkan perbedaan persepsi (Robbins dan Judge, 2008). Persepsi tersebut dapat mempengaruhi keputusan dan langkah yang diambil oleh auditor dalam proses pelaksanaan audit. Persepsi auditor yang berbeda dapat mengakibatkan perbedaan dalam menilai tingkat efektivitas red flags dalam mendeteksi fraud. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh faktor demografis terhadap persepsi auditor atas red flags. Penelitian-penelitian tersebut menunjukkan hasil yang bervariasi. Smith et al. (2005) menyimpulkan bahwa

10 faktor demografis auditor secara umum tidak mempengaruhi persepsi auditor terhadap penggunaan red flags. Hasil penelitian Siboro (2006) menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan persepsi antara auditor yang bekerja pada KAP yang berafiliasi dengan tidak berafiliasi terhadap efektivitas metode-metode pendeteksian dan pencegahan kecurangan. Di sisi lain Robiyanto (2009) menyimpulkan bahwa persepsi auditor internal lebih baik dari auditor eksternal mengenai efektivitas metode pendeteksian dan pencegahan tindakan kecurangan. Berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang dilakukan pada sektor swasta dengan auditor internal perusahaan dan auditor independen yang bekerja pada KAP sebagai responden, penelitian ini dilakukan pada lingkungan sektor publik. Responden pada penelitian ini adalah auditor eksternal yang bekerja pada BPK. Penelitian ini berfokus pada persepsi auditor eksternal pemerintah terhadap red flags pada pemeriksaan pengadaan barang dan jasa, karena merupakan salah satu area yang paling sering mengalami kebocoran pengelolaan keuangan. Penelitian pada sektor publik penting untuk dilakukan karena belum ada penelitian empiris yang menguji persepsi auditor terhadap red flags pada sektor publik. Sebagian besar penelitian dilakukan pada sektor swasta dengan menggunakan sampel auditor internal perusahaan dan auditor independen yang bekerja pada KAP. Penelitian ini mengacu kepada penelitian Smith et al. (2005) yang melakukan penelitian dengan mengidentifikasi red flags yang dianggap paling penting oleh auditor, dan mengeksplorasi apakah faktor demografis auditor (jenis kelamin, masa kerja auditor, jabatan, jenis Kantor Akuntan Publik (KAP), dan

11 pengalaman terkait fraud) mungkin berdampak pada persepsi auditor tentang pentingnya red flags di Malaysia. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Smith et al. (2005) adalah item red flags yang digunakan sebagai instrumen penelitian. Berbeda dengan Smith et al. (2005) yang mengadopsi 25 red flags dari SAS No. 99 yang telah diadopsi oleh Malaysian Institute of Accountants (MIA) dalam Approved Standards on Auditing AI 240 Fraud and Error, penelitian ini mengadopsi red flags dari Keputusan BPK RI Nomor 9/K/I-XIII.2/10/2009 tentang Petunjuk Teknis Pemeriksaan atas Pengadaan Barang dan Jasa. Sejumlah 36 item red flags diadopsi untuk dijadikan sebagai instrumen penelitian. Penelitian ini menghilangkan faktor demografis jenis KAP karena tidak relevan dan menambahkan faktor kepemilikan sertifikasi auditor karena faktor ini diyakini merupakan salah satu karakteristik pribadi yang dapat mempengaruhi kualitas pekerjaan (Elias, 2004) dan dapat mempengaruhi persepsi dan tingkat keyakinan auditor (Law, 2008). Bukti yang berkaitan dengan persepsi atas efektivitas red flags menunjukkan hasil yang tidak konsisten, sementara yang berkaitan dengan faktor demografis auditor juga menunjukkan hasil yang berbeda-beda. Dengan latar belakang tersebut, menjadi penting untuk dilakukan penelitian lebih lanjut, terutama dalam konteks sektor publik khususnya pengadaan barang/jasa pada pemerintah.

12 1.2 Rumusan Masalah Auditor bertanggung jawab untuk merencanakan dan melaksanakan audit guna memperoleh keyakinan memadai bahwa tidak ada tindakan kecurangan (fraud) yang menyebabkan salah saji material. Auditor dapat menggunakan daftar red flags sebagai petunjuk awal untuk mengidentifikasi adanya fraud. Red flags adalah gejala atau keadaan yang memungkinkan terjadinya suatu tindakan fraud. Standar audit telah memuat daftar red flags yang dapat digunakan oleh auditor selama penugasan audit. Meskipun demikian, standar dan pedoman audit yang ada tidak memberikan petunjuk untuk mengukur efektivitas masing-masing item red flags, sehingga dapat mengakibatkan perbedaan persepsi masing-masing auditor terhadap efektivitas red flags dalam mendeteksi fraud. 1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, maka dirumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Manakah red flags yang dianggap efektif untuk mendeteksi fraud pada pengadaan barang dan jasa? 2. Apakah terdapat perbedaan persepsi di antara auditor yang memiliki perbedaan faktor demografis (jenis kelamin, sertifikasi, masa kerja, jabatan, dan pengalaman terkait fraud) mengenai efektivitas red flags pada pengadaan barang/jasa?

13 1.4 Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengidentifikasi red flags yang dianggap efektif untuk mendeteksi adanya fraud pada pemeriksaan pengadaan barang/jasa. 2. Membuktikan adanya perbedaan persepsi auditor yang memiliki perbedaan faktor demografis dalam menilai efektivitas red flags. 1.5 Motivasi Penelitian Penelitian ini perlu dilakukan untuk mengidentifikasi manakah red flags yang dianggap efektif untuk mendeteksi adanya tindakan fraud pada pengadaan barang/jasa. Pemahaman mengenai red flags yang efektif dalam mendeteksi fraud akan membantu auditor dalam merencanakan dan melaksanakan audit dalam rangka memperoleh keyakinan yang memadai atas hasil audit. Pemahaman mengenai pengaruh faktor demografis auditor akan dapat membantu dalam menentukan personil auditor yang tepat. 1.6 Kontribusi Penelitian Manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini antara lain: 1. Manfaat teoritis, dapat memberikan bukti empiris tentang persepsi auditor eksternal pemerintah terhadap red flags yang dianggap penting dan perlu diwaspadai dalam pengadaan barang dan jasa. Selain itu, penelitian ini juga memberikan bukti empiris terkait dengan pengaruh faktor demografis auditor terhadap persepsi atas red flags.

14 2. Manfaat praktis, dapat memberikan gambaran kepada auditor eksternal pemerintah mengenai red flags yang dianggap efektif untuk mendeteksi adanya tindakan fraud pada pengadaan barang dan jasa. Sehingga auditor dapat membuat pertimbangan untuk menentukan red flags yang perlu diwaspadai oleh auditor dalam melaksanakan audit. Pemahaman mengenai pengaruh faktor demografis auditor akan dapat membantu dalam menentukan personil auditor yang tepat. Diharapkan auditor akan mampu untuk memenuhi tanggung jawab dalam merencanakan dan melaksanakan audit guna memperoleh keyakinan yang memadai bahwa pengadaan barang dan/jasa terbebas dari fraud. 1.7 Sistematika Penulisan Laporan penelitian ini ditulis dan dipaparkan dengan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I: Pendahuluan Bab I memaparkan latar belakang, rumusan permasalahan, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, motivasi penelitian, kontribusi penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II: Landasan Teori Bab II memaparkan tinjauan pustaka yang terdiri dari landasan teori, telaah literatur, hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan penggunaan red flags, dan hipotesis penelitian.

15 Bab III: Metode Penelitian Bab III memaparkan mengenai jenis dan sumber data, populasi dan prosedur pengambilan sampel, pengukuran variabel, dan teknik analisis data. Bab IV: Analisis Data dan Pembahasan Bab IV memaparkan analisis yang dilakukan terhadap data atau analisis dari hasil pengumpulan data. Bab V : Simpulan dan Saran Bab V memaparkan simpulan, keterbatasan, implikasi penelitian dan saran.