INTENSITAS SERANGAN PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum sp) PADA VIETAS/GALUR DAN HASIL SORGUM Soenartiningsih dan A. Haris Talanca Balai Penelitian Tanaman Serealia Maros ABSTRAK Penyakit antraknosa yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum sp merupakan salah satu penyakit utama pada sorgum dan dapat menurunkan produksi hingga mencapai 5%. Penyakit ini mempunyai tanaman inang cukup banyak sehingga agak sulit untuk dikendalikan. Penelitian bertujuan untuk mengetahui ketahanan dan penurunan hasil apabila tanaman sorgum terserang penyakit antraknosa, penelitian menggunakan rancangan acak lengkap dengan tiga ulangan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas serangan yang tertinggi adalah pada Varietas Watar Hammu putih dengan intensitas serangan 8,8%, sedangkan galur 4-183 A, dan 5-193C mempunyai intensitas serangan masing-masing mencapai 45,7% dan 47,2%. Selanjutnya pada galur 15131 B, 152A, dan galur 1521 A mempunyai intensitas serangan masing-masing 45,6%, 5,75%, dan 4,2%. Penurunan hasil akibat penyakit antraknosa pada varietas Watar Hammu putih, galur 4-183A, galur 5-193 B, galur 15131 B, dan galur 152 A, serta galur 1521 A, masing-masing 62,78%, 36,92%, 42,73%, 43,9%, dan 41,89%, serta 48,24%. Serangan penyakit antraknosa pada tanaman sorgum dapat menurunkan hasil panen sekitar 36,92% 62,78%. Kata kunci: Sorgum, Antraknosa, Colletotrichum sp, dan Galur PENDAHULUAN Sorgum (Sorghum bicolor L) merupakan tanaman serealia yang cukup baik untuk dikembangkan di Indonesia karena mempunyai adaptasi lingkungan yang cukup luas, khususnya pada lahan marginal. Sorgum merupakan komoditas alternatif untuk pangan, pakan dan industri. Produksi sorgum di Indonesia masih sangat rendah dengan rata-rata produksi,72 ton/ha, tetapi untuk daerah di Jawa timur, Nusa tenggara barat dan Nusa tenggara timur produksi sorgum bisa mencapai 1,5 ton/ha (Sirappa, 23). Salah satu penyebab rendahnya produksi sorgum karena adanya serangan hama dan penyakit. Penyakit yang banyak menyerang tanaman sorgum adalah penyakit Antraknosa disebabkan oleh cendawan Colletotrichum sp. Penyakit ini merupakan salah satu penyakit utama pada sorgum. dan pertama kali ditemukan di Italia pada tahun 1852 pada pertanaman jagung, sedang di Amerika Serikat pada tahun 1855, dan di texas pada tahun 1912 (Frederiksen, 1986). Penyakit antraknosa juga menyebabkan benih mengalami damping off, dan di awal infeksi pada tanaman dapat menimbulkan luka kecil yang berbentuk bulat panjang tetapi tidak menimbulkan jelaga, dapat mengurangi pertumbuhan dan perkembangan lebih lanjut, dalam kasus yang parah tanaman mati sebelum mereka mencapai kedewasaan. Menurut Casela et al., (21) pada minggu ke 6, hifa cendawan ini ditemukan menyelubungi permukaan akar dan menyerang epidermis, korteks, dan jaringan pembuluh. Setelah 6 minggu terjadi Infeksi cendawan Collectrotichum sp. dapat menyebabkan terjadi pengkerdilan tanaman, nekrosis akar lebih cepat contohnya pada kematian tanaman stroberi dapat mencapai 1% (Wharton dan Uribeondo, 24) 134
Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan, 27 Mei 21 Penyakit ini berkembang baik pada tempat-tempat yang mempunyai kondisi panas dan lembab. Cendawan ini memiliki beberapa inang alternatif selain sorghum yaitu jagung, gandum, tebu, dan sekelompok jenis rumput-rumputan tertentu. Kehilangan hasil bisa mencapai 5% tetapi hal ini tergantung pada varietas dan waktu tanaman sorgum. Penyakit Antraknosa selain menyebabkan kerugian serius pada sorgum juga menyebabkan kerugian yang besar pada gandum. Menurut Chala, et al., 29 bahwa tinggi rendahnya intensitas serangan penyakit antraknosa dipengaruhi oleh temperatur, kelembaban sekitar pertanaman, dan curah hujan. BAHAN DAN METODE Daun sorgum yang terinfeksi cendawan Colletotrichum sp. dipotong kecil-kecil (,25 cm 2 ) lalu diisolasi pada media PDA sampai didapatkan biakan murni, kemudian diinkubasi selama 14 hari di dalam inkubator, hasil pemurnian tersebut kemudian diperbanyak di media PDA. Penelitian ini dilaksanakan di rumah kaca dengan perlakuan enam varietas/galur sorgum, yaitu 1. Watar Hammu Putih, 2. A-4-183, 3. C-5-193, 4. B-15131, 5. A-52, 6. A-5921, dan tiga ulangan. Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap. Penanaman 4 biji sorgum dilakukan pada setiap polybag yang berisikan tanah 5 kg, pupuk kompos, Urea, Ponskha, SP36, dan KCl. Setelah tumbuh diperjarang dengan menyisakan 2 tanaman pada setiap polybag. Inokulasi dilakukan pada tanaman sorgum umur 3 hst dengan menyemprotkan suspensi inokulum cendawan Colletotrichum, sp. Pengamatan intensitas serangan penyakit antraknosa dilakukan pada 2, 4 dan 6 minggu setelah inokulasi, dan pengamatan hasil dilakukan setelah panen. Intensitas serangan penyakit antraknosa dihitung dengan menggunakan rumus menurut Mayee dan Datar (1986) : (n x V) I = ------------- x 1% ZN Keterangan : I = Intensitas serangan N = Jumlah pelepah yang terserang pada setiap kategori untuk setiap tanaman V = Nilai skor pada setiap pelepah yang terserang Z = Nilai skor yang tertinggi N = Jumlah pelepah yang diamati pada setiap serangan HASIL DAN PEMBAHASAN Gejala umum penyakit antraknosa pada tanaman gandum menurut Corrales and Frederiksen, (1978) adalah pada awal infeksi terjadi bintik-bintik kecil dan mengalami pelukaan sampai 5 mm. Bintikbintik kecil ini makin lama membesar dan menyatu sehingga daun menjadi layu. Infeksi pertama terjadi di bawah lalu menyebar diatas daun maupun batangnya. Bercak daun berbentuk bulat panjang dengan warna ungu sampai kemerah-merahan. Jika terjadi infeksi lebih awal maka tanaman akan mengalami kematian lebih cepat dan tidak mengalami kedewasaan. Pada Varietas yang peka penyakit ini dapat menyebabkan tanaman kerdil dan juga bisa mengalami damping off (Gambar 1) Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas serangan penyakit antraknosa pada setiap varietas/galur sorgum bervariasi, dan terus berkembang dengan meningkatnya umur tanaman. (Tabel 1). Pada Tabel 1. terlihat bahwa pada pengamatan pertama yaitu 4 minggu setelah inokulasi, intensitas serangan berkisar 6,95 15,5%. Selanjutnya pada 6 minggu setelah tanam terjadi peningkatan 135
intensitas serangan penyakit, dimana varietas Watar hammu Putih mencapai 42,8%, sementara galur 1521-A persentase serangan hanya 19,4%. Pada pengamatan 8 minggu setelah inokulasi masih terjadi peningkatan intensitas serangan pada semua perlakuan dibandingkan dengan intesitas serangan pada pengamatan sebelumnya, yaitu Watar hammu putih, 4-183 A, 5-193 C, 15131 B, 152 A, dan 1521 A masing-masing 8,8, 45,7, 47,2, 45,6, 5,75, dan 4,2%. Berdasarkan pada kriteria tingkat ketahanan, maka varietas Watar hammu putih mempunyai kategori Rentan, dan yang lainnya adalah Agak Rentan. Gambar 1. Gejala penyakit antraknosa (Colletotrichum, sp) pada tanaman sorgum Tabel 1. Rata-rata intensitas penyakit antraknosa pada 6 varietas/galur sorgum Varietas/galur Diinokulasi antraknosa 1. Watar Hammu Putih 2. 4-183 A 3. 5-193 C 4. 15131 B 5. 152 A 6. 1521 A Kontrol (Tanpa diinokulasi) 7. Watar Hammu Putih 8. 4-183 A 9. 5-193 C 1. 15131 B 11. 152 A 12. 1521 A Intensitas serangan (%) 4MSI 6MSI 8MSI 15,5 1,5 6,95 7,2 8,4 7,7 42,8 23,8 25,5 2,6 23,2 19,4 8,8 45,7 47,2 45,6 5,75 4,2 Kriteria Ketahanan R Pengamatan hasil panen sorgum pada setiap perlakuan menunjukkan bahwa perlakuan kontrol (tanpa inokulasi cendawan Colletotrichum, sp.) hasilnya lebih tinggi dibanding dengan perlakuan yang diinokulasi (Tabel 2). Berdasarkan data pada Tabel 2 bahwa semua varietas/galur yaitu Varietas Watar Hammu putih, dan galur 4-183A, 5-193 C, 15131 B, 152 A, serta 1521 A penurunan hasilnya masing-masing 136
Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XX Komisariat Daerah Sulawesi Selatan, 27 Mei 21 mencapai 62,78%, dan 36,92%, 42,73%, 43,9%, 41,89%, serta 48,24%. Adanya penurunan hasil disebabkan oleh terganggunya system fotosintesis pada daun, karena gejala nekrosis. Untuk melihat lebih jelas hasil panen sorgum pada perlakuan tanpa inokulasi dan yang diinokulasi cendawan Colletotrichum, sp. pada setiap varietas/galur dapat dilihat pada (Gambar 2). Tabel 2. Rata-rata produksi dari 6 varietas/galur sorgum Varietas/galur sorgum Diinokulasi antraknosa 1. Watar Hammu Putih 2. 4-183 A 3. 5-193 C 4. 15131 B 5. 152 A 6. 1521 A Kontrol (Tanpa diinokulasi) 7. Watar Hammu Putih 8. 4-183 A 9. 5-193 C 1. 15131 B 11. 152 A 12. 1521 A Rata-rata hasil panen Varietas/galur sorgum (gram) 1,85 13,75 15,26 17,45 13,25 15,5 29,15 21,8 26,65 3,75 22,8 29,95 35 Rata rata hasil panen Varietas/galur sorgum (g) 3 25 2 15 1 Kontrol Terinfeksi antraknosa 5 Watar Hammu Putih 4 183 A 5 193 C 15131 B 152 A 1521 A Gambar 1. Rata-rata hasil panen pada tanaman sorgum dengan perlakuan tanpa inokulasi dan diinokulasi cendawan Colletotrichum sp. Pada Gambar 2 terlihat varietas Watar Hammu Putih, 15131-B, dan 1521A merupakan hasil lebih tinggi dibanding lainnya masing-masing 29,15; 3,75; dan 29,95 g, adanya perbedaan hasil panen sorgum yang disebabkan karena adanya gangguan penyakit antraknosa, sehingga dalam pengembangan sorgum hendaknya memperhatikan penyakit ini sebagai masalah dalam upaya peningkatan hasil panen. 137
KESIMPULAN Beberapa varietas/galur sorgum yang diuji terhadap penyakit antraknosa, tidak satu pun yang memperlihatkan tingkat ketahanan yang tinggi. Varietas Watar hammu putih mempunyai tingkat ketahanan dengan kategori rentan dan galur-galur lainnya dengan kategori agak rentan. Intensitas serangan penyakit antraknosa berpengaruh terhadap penurunan hasil tanaman sorgum. Makin tinggi intensitas serangan penyakit antraknosa pada tanaman sorgum, maka penurunan hasil juga tinggi. DAFT PUSTAKA Casela, C.R., F.G. Santos and A.S. Ferreira, 21. Reaction of sorghum genotypes to the anthracnose fungus Colletotrichum graminicola. Fitopathologia Bra., 26: 197-2. Chala, A., T. Alemu, L.K. Prom and A.M. Tronsmo, 29. Effect of host genotypes and Weather variables on the severity and temporal dynamics of sorghum anthracnose in Ethiopia. Plant Pathol.J.,9:39-46. Corrales, M.A., and Frederiksen, R.A.1978. Sorghum anthcnose. Proceedings of the Internstionsl Workshop on sorghum Disease. Hyderabad, India. Frederiksen, R. A. 1986. Compendium of Sorghum disease. Published by The American Phytopathological Society. St. Paul, Minnesota. USA. 82 p. Sirappa, M. P. 23. Prospek Pengembangan Sorgum di Indonesia Sebagai Komoditas Alternatif untuk Pangan, Pakan dan Industri. Jurnal Litbang Pertanian. 22 (4). Wharton, P.S. and J.D. Uribeondo. 24. Biology Colletotrichum acutatum. An. Jard. Bot. Madr. 61:3-22. Mayee, C.F. and V.V. Datar. 1986. Phytopathometry. Departement of Plant Pathology. Maratwada Agricultural Univ. India. 146 pp. 138