DAMPAK PIDANA BERSYARAT BAGI TERPIDANA DAN MASYARAKAT KETUT ABDIASA I GUSTI KETUT ADNYA WIBAWA Fakultas Hukum Universitas Tabanan ABSTRAK Secara yuridis pengertian pidana atau pemidanaan adalah merupakan reaksi terhadap delik, berupa penderitaan yang dikenakan terhadap orang yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum pidana. Namun dikalangan masyarakat pada umumnya pengertian pidana tersebut sering diidentikkan dengan hukuman atau penghukuman. Pidana bersyarat pada dasarnya merupakan salah satu bentuk pidana yang dijatuhkan oleh Hakim dalam putusannya, disamping bentuk pidana yang lainnya seperti pidana mati, pidana penjara, pidana denda dan lain-lain, sebagaimana yang terdapat dalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Dilihat dari latar belakangnya, penerapan pidana terhadap orang-orang yang melanggar ketentuan-ketentuan hukum pidana tidak dapat dilepaskan dengan dasar-dasar teori tentang pemidanaan, dan dalam hukum pidana dikenal dengan dikenal tiga (3) teori tentang tujuan pemidanaan, antara lain: 1. Teori Absolut, teori ini pada dasarnya melihat pidana sebagai suatu pembalasan (Vergelding) terhadap perbuatan yang dilakukan. 2. Teori Relatif atau teori tujuan, dimana pidana pada dasarnya bertujuan untuk mencegah dilakukannya tindak pidana serta memperbaiki terpidana agar tidak melakukan tindak pidana lagi, dan 3. Teori Gabungan, merupakan gabungan dari kedua teori tersebut diatas yang berisikan pidana pertujuan tidak hanya berisikan pembatasan atas perbuatan yang dilakukan tetapi juga mencegah dan memperbaiki terpidana agar tidak melakukan tindak pidana lagi. Pidana bersyarat pada dasarnya tidak sesuai dengan teori absolute yang menghendaki adanya pembalasan yang setimpal atas perbuatan yang dilakukan, karena tujuan pidana bersyarat adalah untuk mendidik, membina serta memasyarakatkan terpidana dengan jalan mengadakan resosialisasi terpidana. Karena kurang memasyarakatnya jenis pidana ini maka dalam perapannya sering disalah artikan tidak hanya oleh terpidana itu sendiri termasuk juga oleh masyarakat pada umumnya, yang memandang pidana bersyarat ini bukan merupakan hukuman, karena unsur penderitaan (nestapa) tidak dirasakan oleh terpidana, hal yang demikian oleh masyarakat dianggap kurang mencerminkan rasa keadilan. Kata kunci : Pidana bersyarat, Hukum Pidana PENDAHULUAN Istilah pidana atau pemidanaan dikalangan masyarakat pada umumnya belum begitu dikenal, akan tetapi yang lebih sering dikenal adalah istilah hukuman atau penghukuman. Bila orang yang awam terhadap hukum begitu ia mendengar seseorang dijatuhi hukuman oleh hakim, maka secara otomatis asosiasi penjara atau Lembaga permasyarakat an, namun anggapan yang demikian akan sirna pada kalangan orang yang mengerti tentang hukum seperti para praktisi dan teoritisi, karena mereka telah mengenal jenis-jenis pidana sebagaimana yang telah ditentukan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP). Pidana bersyarat (Voorwardeljike Verordering) atau sering juga disebut sebagai pidana percobaan merupakan salah satu jenis pidana yang terdapat dalam KUHP, namun jenis pidana ini tidak begitu dikenal dikalangan masyarakat secara luas, sehingga masyarakat kurang mengerti dan memahami tentang maksud serta tujuan pidana tersebut. Kurang memasyarakatnya jenis pidana ini dikalangan masyarakat sudah tentu akan 87
menimbulkan berbagai pandangan dan kesalah pahaman tentang arti, maksud serta tujuannya, lain halnya dengan jenis pidana yang lainnya seperti pidana mati, pidana penjara dan pidana denda yang telah umum dikenal oleh masyarakat. Kenyataan yang demikian akan menimbulkan berbagai tanda tanya dan beragam penapsiran dikalangan masyarakat, apalagi akhir-akhir ini kita sering mendengar dan membaca di masa media, adanya putusan hakim yang berbeda dalam kasus yang sama. Hal yang demikian mencerminkan tidak adanya kepastian hukum dan rasa keadilan dimata masyarakat. Dilihat dari latar belakang sejarah jenis pidana ini sudah ada sejak 1927, yang diperkenalkan oleh bapak pidana bersyarat yaitu Schepper berdasarkan Stb. No.251 yo 468 yang kemudian dimuat dalam ketentuan pasal 14a sampai dengan pasal 14f KUHP. Sedangkan di negeri Belanda jenis pidana ini sudah dikenal sejak 1915, hal ini disebabkan karena di negeri Belanda pada saat itu telah dibentuk lembaga Reclasering selaku lembaga pengawas bagi orang-orang yang dijatuhi pidana bersyarat. Dengan melihat latar belakang sejarah maka pidana bersyarat ini usainya sudah cukup tua, namun sepanjang perjalanannya jenis pidana ini masih belum mendapat kajian yang baik, berupa pendapat yang pro dan kontra dan didalam penerapannya selalu mengundang tanggapan yang beragam, baik dari aspek yuridis maupun sosiologis. Adanya anggapan bahwa pidana bersyarat, tidak dirasakan sebagai hukuman masih melekat dikalangan masyarakat pada umumnya. Sejalan dengan pandangan yang demikian menurut pendapat Wahyu Affandi dalam bukunya Berbagai Masalah Hukum Di Indonesia, menyatakan bahwa: mengenai anggapan bahwa pidana bersyarat dirasakan tidak sebagai hukuman memang bukan merupakan hasil penelitian ilmiah, akan tetapi didasarkan pada hasil pengamatannya sebagai praktisi hukum yang secara langsung mendengar reaksi masyarakat apabila hakim menjatuhkan pidana bersyarat dalam amar putusannya. Pandangan sarjana lainnya seperti Pompe dan Hoge Raad dalam putusannya no.298 tahun 1934 menyatakan bahwa Pidana bersyarat (Voorwardelijke Verordering) itu bukanlah hukuman. Dengan adanya berbagai pandangan yang berbeda dari berbagai kalangan baik itu teoritis, praktisi dan masyarakat pada umumnya terhadap pidana bersyarat ini, baik menyangkut teori maupun pelaksanaannya, sudah tentu akan menimbulkan problem yuridis dikalangan masyarakat, terlebih lagi terhadap terpidana yang sering keliru menapsirkan pidana bersyarat sebagai hukuman bebas, sekalipun hakim dalam putusannya sudah menjelaskan secara panjang lebar maksud dan tujuan dari pidana tersebut. Yang jelas bagi mereka dengan dijatuhkannya pidana bersyarat berarti ia bebas untuk tidak masuk penjara (Lembaga Permasyarakatan). Disamping itu pula pidana ini juga dirasakan tidak sebagai hukuman/ pidana, yang mempunyai ciri khas yaitu berupa penderitaan kepada terpidana. PERMASALAHAN Dengan adanya pandangan yang berbeda-beda antara para teoritis dan praktisi dengan anggapan masyarakat pada umunya terutama dalam penerapan pidana bersyarat dan juga dampak yang ditimbulkan dari penerapan pidana bersyarat ini, maka dalam tulisan ini, kami akan mencoba mengkaji beberapa permasalahan antara lain: 1. Bagaimana dampak yang ditimbulkan dengan adanya penjatuhan pidana bersyarat ini, baik terhadap terpidana maupun terhadap masyarakat pada umumnya? 2. Alasan-alasan apa saja yang dapat dipakai sebagai dasar pertimbangan oleh hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat, mengingat dalam Undang-Undang tidak dinyatakan secara tegas. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pengertian Pidana Bersyarat dan Teoriteori Pemidanaan Kalau kita lihat ketentuan yang terdapat didalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai dasar untuk mendapatkan pengertian tentang pidana bersyarat, dapat kita lihat dalam pasal 14a sampai dengan pasal 14f 88 Ketut Abdiasa, I Gusti Ketut Adnya Wibawa, Dampak Pidana Bersyarat Bagi Terpidana...
KUHP, dimana pasal 14a menyatakan : Jika dijatuhkan hukuman penjara yang selamalamanya satu tahun dan bila dijatuhkan hukuman kurungan diantaranya tidak termasuk hukuman pengganti denda, maka hakim boleh memerintahkan bahwa hukuman itu tidak akan dijalankan, kecuali jikalau dikemudian hari ada perintah lain dalam putusan hakim, oleh karena terhukum sebelum lalu tempo percobaan yang akan ditentukan dalam perintah pertama, membuat perbuatan yang boleh dihukum atau dalam tempo percobaan itu tidak memenuhi suatu perjanjian yang istimewa, yang sekiranya diadakan dalam perintah itu. Dari ketentuan tersebut diatas, maka hakim apabila menjatuhkan pidana penjara kepada seseorang paling lama satu tahun atau kurungan tidak termasuk kurungan pengganti, maka hakim dalam putusannya dapat memerintahkan bahwa pidana tidak usah dijalankan, kecuali terpidana melakukan tindak pidana lain sebelum masa percobaan habis, atau selama masa percobaan terpidana tidak memenuhi syarat-syarat khusus yang ditentukan dalam putusan tersebut. Jadi putusan menghukum/memidana pada dasarnya tetap ada, hanya saja pelaksanaan hukuman/pidana itu yang tidak dilakukan. Adapun maksud dan tujuan dari pidana bersyarat ini pada dasarnya adalah untuk memberikan kesempatan kepada terpidana agar dalam masa percobaan yang telah ditentukan tersebut ia mau memperbaiki dirinya dengan tidak lagi melakukan perbuatan pidana. Dari ketentuan tersebut diatas maka dapat ditarik unsur-unsur pidana bersyarat (Percobaan) tersebut antara lain: 1. Harus ada putusan hakim berupa pidana penjara paling lama satu tahun atau pidana kurungan bukan pengganti. 2. Pidana yang dijatuhkan oleh hakim tersebut tidak usah dijalani oleh terpidana atas perintah hakim. 3. Adanya tenggang waktu untuk tidak menjalani hukuman tersebut. 4. Adanya syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh terpidana dalam tenggang waktu yang telah ditentukan tersebut. Dalam penjatuhan pidana bersyarat (Pidana Percobaan), ada dua (2) jenis syarat yang harus dipenuhi dan tidak boleh dilanggar oleh terpidana yaitu: 1. Syarat Umum, yaitu syarat dimana hakim memerintahkan kepada terpidana, selama masa percobaan yang telah ditentukan tersebut terpidana tidak boleh melakukan tindak pidana baik kejahatan maupun pelanggaran. 2. Syarat Khusus Syarat ini pada prinsipnya terdiri dari apa saja mengenai kelakuan dan sepak terjang dari terpidana, sepeti misalnya tidak boleh mabuk-mabukan, berjudi dan lain-lain, asalkan tidak mengurangi kebebasan beragama dan berpolitik. Kalau kita kaji lebih jauh tentang syaratsyarat yang dapat dipakai sebagai dasar bagi hakim dalam menjatuhkan pidan bersyarat saja tetapi juga terlihat pada setiap jenis pidana yang dijatuhkan, seperti dalam hal memberikan alasan-alasan berat ringannya suatu putusan yang dijatuhkan oleh hakim, seperti misalnya terdakwa masih muda dan bersikap sopan didepan sidang pengadilan, terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana dan lain-lain. Subjektivitas yang dimiliki oleh hakim dalam setiap putusannya sangat dominan, hal ini sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam undang-undang Pokok Kekuasaan Kehakiman (Undang-Undang No. 14 tahun 1970 jo undang-undang no. 35 tahun 1999) dimana pasal 1 menyatakan : Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan Negara yang merdeka dalam menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila demi terselenggaranya Negara hukum di Republik Indonesia. Pasal 1 tersebut diatas berkaitan dengan pasal 27 ayat (2) yang menyatakan : Dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana, hakim wajib mempertimbangkan pula sifat-sifat yang baik dan yang jahat dari terdakwa. Kalau kedua ketentuan tersebut diatas kita kaitkan dengan kewenangan hakim dalam menentukan syarat umum dan syarat khusus dalam penjatuhan putusan pidana bersyarat, serta jenis-jenis pidana lainnya maka akan terlihat begitu besar subjektifitas yang dimiliki oleh hakim dalam setiap putusannya. 89
Teori-Teori Pemidanaan. Dalam hukum pidana pada umunya dikenal tiga (3) teori tentang tujuan pemidanaan, antara lain: 1. Teori Absolut (Mutlak), terori ini sering juga disebut sebagai teori pembalasan (Vergelding teori). Menurut teori ini setiap tindak pidana (kejahatan) harus diikuti dengan pidana karena tujuan pidana ada pada tindak pidana tersebut. Pidana adalah sebagai akibat mutlak dari adanya perbuatan pidana yang dilakukan. Pidana (hukuman) merupakan pembalasan atas perbutan yang dilakukannnya, dalam arti harus setimpal dengan perbuatan yang dilakukannya. 2. Teori Relatif atau sering juga disebut sebagai Teori Tujuan (Doel Teori), teori ini melihat tujuan penjatuhan pidana pada halhal yang lebih bermanfaat, yang dibagi menjadi dua (2) yaitu: a. Teori menakut-nakuti atau mencegah agar terpidana tidak lagi melakukan tindak pidana (Prevensi Spesial) dan menakut-nakuti atau mencegah agar masyarakat tidak melakukan tindak pidana (Prevensi General). b. Teori memperbaiki agar terpidana menjadi anggota masyarakat yang baik, dengan melakukan resosialisasi terpdiana dalam masyarakat. c. Teori Ganbungan, teori ini melihat tujuan pidana mengandung dau unsur yang dimiliki oleh kedua teori tersebut diatas, yaitu disatu sisi mengandung unsur pembalasan (Vergelding) maupun unsur menakut-nakuti atau memperbaiki terpidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik. Kalau kita kaitkan teori-teori tersebut diatas dengan pidana bersyarat, maka pidana bersyarat tidaklah mendapat tempat atau senapas dengan teori pembalasan yang ada. Pidana bersyarat pada prinsipnya menentang teori pembalasan, karena tujuan dijatuhkannya pidana bersyarat adalah untuk mendidik, membina dan memperbaiki terpidana agar menjadi anggota masyarakat yang baik. Hal ini sesuai dengan tujuan hukum pidana yang tertuang dalam rancangan KUHP baru tahun1993, pasal 51 rancangan KUHP 1993, menyatakan tujuan pemidanaan adalah: 1. Pemidanaan bertujuan untuk (a) mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat (b) memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguana (c) menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat (d) membebaskan rasa bersalah pada terpidana. 2. Pemidanaan tidak termasuk untuk menderitakan dan tidak diperkenankan merendahkan martabat manusia Indonesia. Hal ini sejalan dengan aliran defence sosiale yang secara aktif hendak menghilangkan bahaya terhadap masyarakat dengan jalan mengadakan resosialisasi terpidana. Pidana bukan lagi harus disetimpalkan dengan perbuatan yang dilakukan, akan tetapi diarahkan kepada pembinaan dan pembinaan itu sendiri merupakan suatu bentuk umum untuk perlindungan masyarakat, dan sekaligus merupakan unsur yang fundamental dalam menanggulangi kejahatan. 2. Dampak Pidana Bermasyarakat Bagi Terpidana Dan Masyarakat Dalam membahas dampak pidana bermasyarakat yang paling utama kita kaji adalah dampaknya terhadap terpidana itu sendiri, kemudaian baru kita kaji dampaknya terhadap masyarakat pada umumnya. Penjatuhan pidana bersyarat secara langsung akan dirasakan oleh terpidana itu sendiri dan mempunyai sifat yang sangat subyektif, dalam arti berhasil tidaknya dalam penerapan pidana ini sangat ditentukan dari sikap mental dan moral terpidana itu sendiri, disamping dipengaruhi pula oleh faktor-faktor dari luar seperti aparat yang berwenang mengawasinya. Dari hasil pengamatan, pengawasan terhadap terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat ini dalam prakteknya tidak maksimal, hal ini disebabkan karena pengawasan yang dilakukan oleh jaksa selaku badan yang diberi wewenang untuk mengawasi pelaksanaan putusan hakim 90 Ketut Abdiasa, I Gusti Ketut Adnya Wibawa, Dampak Pidana Bersyarat Bagi Terpidana...
adalah bersifat pasif. Hal ini sesuai dengan pendapat Wahyu Affandi dalam bukunya Berbagai Masalah Hukum di Indonesia yang menyatakan: Didalam praktek saya belum pernah menemukan baik jaksa maupun pejabat lain yang melakukan pengawasan kepada para terhukum yang dijatuhi hukuman bersyarat, oleh karenanya tidaklah mengherankan jika siterhukum merasa dirinya seakan-akan tidak dihukum, padahal ia dihukum. Yang jelas terpidana yang dijatuhi pidana bersyarat, dengan pemidanaannya ini berarti ia bebas untuk tidak masuk penjara, dan akibat dari pidana itu sendiri dirasakan tidak sebagai hukuman, karena unsur derita atau nestapa tidak dirasakan. Dilain pihak yaitu masyarakat pada umumnya dengan penerapan pidana bersyarat akan menimbulkan suatu reaksi atau penilaian-penilaian yang negatife, apabila dalam suatu kasus tertentu penerapan pidana bersyarat dipandang kurang pantas. Menurut pendapat masyarakat sering penjatuhan pidana bersyarat dianggap kurang adil dan kurang mencerminkan rasa keadilan, hal ini disebabkan karena masyarakat umum kurang mengerti akan maksud dan tujuan dari pidana bersyarat tersebut atau dengan kata lain kurang memasyarakatnya jenis pidana bersyarat ini, sehingga kemudian masyarakat menganggap penerapan pidana ini bukan merupakan hukuman karena terpidana tidak meringkuk dilembaga permasyarakatan sebagaimana layaknya orang yang dijatuhi hukuman oleh pengadilan. Pentrapan jenis pidana bersyarat ini akan dapat menimbulkan citra yang kurang baik dikalangan masyarakat umum, yang secara langsung atau tidak langsung akan membawa pengaruh atau dampak yang kurang baik terhadap citra pengadilan sebagai suatu lembaga untuk mencari keadilan. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan. Sebagaimana telah diruaikan diatas mengenai pengertian, maksud dan tujuan dari pidana bersyarat serta dampak yang ditimbulkannya baik terhadap terpidana itu sendiri maupun masyarakat pada umumnya, maka diakhir tulisan ini dapat kami simpulkan sebagai berikut: 1. Di Indonesia Pidana bersyarat telah dikenal sejak 1927 dan pentrapan pidana ini pada dasarnya bertujuan untuk memberikan kesempatan terhadap terpidana untuk memperbaiki dirinya dengan jalan tidak melakukan perbuat pidana selama dalam masa percobaan. Pentrapan pidana bersyarat yang dilakukan oleh hakim mempunyai sifat yang subjektif sekali, hal ini disebabkan karena dasar hukum yang dipakai sebagai dasar pertimbangan tidak mengaturnya secara tegas dan terperinci baik yang terdapat dalam undang-undang maupun peraturan-peraturan lainnya. 2. Dampak pidana bersyarat terhadap terpidana dan masyarakat masih dianggap bahwa pidana bersyarat masih dipandang sebagai bukan hukuman, karena pidana ini tidak memberikan rasa derita kepada terpidana dan dilain pihak pidana ini kurang begitu dikenal oleh masyarakat. Saran. 1. Hakim dalam menjatuhkan pidana bersyarat hendaknya betul-betul memperhatikan dan mempertimbangkan jenis perbuatan pidana yang dilakukan sehingga kewibawaan pengadilan dapat ditegakkan. 2. Untuk menghindari adanya dampak yang kurang baik dari masyarakat, hendaknya jenis pidana bersyarat ini lebih disosialisasikan dimasyarakat sehingga masyarakat mengerti akan maksud dan tujuan pidana bersyarat tersebut. DAFTAR PUSTAKA Amirudin Hamzah, 1990, Suatu Tinjauan Ringkas System Pemidanaan di Indonesia, Akademika Pressindo, Jakarta Muladi, 2007,Lembaga Pidana Bersyarat, Penerbit Alumni Bandung Reoslan Saleh, 1984,Stelsel Pidana Di Indonesia, Penerbit Angkasa Baru Jakarta, Cetakan keempat. Soerdato, 1986, Hukum dan Hukum Pidana, Penerbit Alumni Bandung, Cetakan ketiga. Wahyu Affandi, 1986,Berbagai Masalah Hukum Di Indonesia, Penerbit Alumni, Bandung. Wirjono Projodikoro, 2009, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Penerbit PT. Eresco,Bandung. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,2008, pustaka yustisia, yogyakarta 91