BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB 1 PENDAHULUAN. mempengaruhi kesembuhan penyakit dan komplikasi yang mungkin timbul.

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Penyakit infeksi masih menjadi masalah kesehatan masyarakat. Diare,

BAB I PENDAHULUAN. terbanyak. Pemberian antibiotik merupakan pengobatan yang utama dalam

BAB 1 PENDAHULUAN. berkontribusi terhadap terjadinya resistensi akibat pemakaian yang irasional

BAB 1 PENDAHULUAN. yang penting khususnya di negara berkembang (Kemenkes, 2011). Di Indonesia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. sering terjadi pada penggunaan antibiotik, baik dengan menggunakan resep

BAB I PENDAHULUAN. anak-anak dan dewasa muda. Penyakit ini mencapai lebih dari 13 juta kematian per

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode zaman penjajahan sampai perang kemerdekaaan tonggak sejarah. apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. 1. Periode Zaman Penjajahan sampai Perang Kemerdekaaan Tonggak sejarah. asisten apoteker semasa pemerintahan Hindia Belanda.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. infeksi bakteri. Resistensi antibiotik terjadi ketika bakteri berubah dalam

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Pharmaceutical care atau asuhan kefarmasian merupakan bentuk optimalisasi peran yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. yang semula hanya berfokus kepada pengelolaan obat (drug oriented)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai Apoteker dan telah mengucapkan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

HUBUNGAN PEMBERIAN INFORMASI OBAT DENGAN KEPATUHAN MINUM OBAT ANTIBIOTIK PADA PASIEN RAWAT JALAN DI PUSKESMAS REMAJA SAMARINDA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Mewujudkan suatu negara yang lebih baik dengan generasi yang baik adalah tujuan dibangunnya suatu negara dimana

Landasan Pelaksanaan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Indonesia Dra. R. Dettie Yuliati, M.Si., Apt Direktur Pelayanan Kefarmasian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

2017, No Indonesia Nomor 5062); 3. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 144

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sarana pelayanan kefarmasian oleh apoteker (Menkes, RI., 2014). tenaga teknis kefarmasian (Presiden, RI., 2009).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. masyarakat yang penting, khususnya di negara berkembang. Obat-obat andalan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

Landasan Pelaksanaan Program Pengendalian Resistensi Antimikroba di Indonesia Dra. R. Dettie Yuliati, M.Si., Apt Direktur Pelayanan Kefarmasian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

INTISARI STUDI DESKRIPTIF PEMBERIAN INFORMASI OBAT ANTIBIOTIK KEPADA PASIEN DI PUSKESMAS SUNGAI MESA BANJARMASIN

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. diperkirakan kasus per penduduk per tahun, atau kurang lebih

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. pencegahan dan pengobatan penyakit (Depkes RI, 2009). yang tidak rasional bisa disebabkan beberapa kriteria sebagai berikut :

MAKALAH FARMASI SOSIAL

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Penelitian ini dilakukan di apotek Mega Farma Kota Gorontalo pada tanggal

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN Latar Belakang

PENGARUH PELAYANAN TERHADAP TINGKAT KEPUASAN DAN LOYALITAS KONSUMEN DI APOTEK BUNDA SURAKARTA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Peningkatan kualitas (quality improvement) pelayanan di fasilitas pelayanan kesehatan mutlak diperlukan untuk

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pokok yang harus selalu tersedia dan tidak tergantikan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

TINGKAT PENGETAHUAN MASYARAKAT DESA BASAWANG KECAMATAN TELUK SAMPIT TENTANG PENGGUNAAN ANTIBIOTIK SEBAGAI PENGOBATAN INFEKSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Menurut PP 51 pasal 1 ayat 4 tahun 2009 tentang Pelayanan Kefarmasian yaitu suatu pelayanan langsung dan bertanggung jawab kepada pasien yang

UKDW BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Upaya dari seseorang untuk mengobati dirinya sendiri dapat diartikan

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

satu sarana kesehatan yang memiliki peran penting di masyarakat adalah apotek. Menurut Peraturan Pemerintah No. 35 tahun 2014, tenaga kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. masalah besar yang harus benar-benar diperhatikan oleh setiap orang tua. Upaya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Profesi adalah kelompok disiplin individu yang mematuhi standar etika dan mampu

BAB I PENDAHULUAN I.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus sebagai apoteker dan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. kesejahteraan, pemerintah telah menetapkan pola dasar pembangunan yaitu. pembangunan mutu sumberdayamanusia(sdm) di berbagai

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

TINGKAT PENGETAHUAN PASIEN TENTANG PEMAKAIAN ANTIBIOTIKA AMOXICILLIN DI RUMAH SAKIT UMUM Dr. H. KOESNADI BONDOWOSO TAHUN 2014

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

2 Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4844); 3. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkot

BAB I PENDAHULUAN. Penyakit infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. Pneumonia adalah penyebab utama kematian anak di. seluruh dunia. Pneumonia menyebabkan 1,1 juta kematian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan,

I. PENDAHULUAN. besar di Indonesia, kasus tersangka tifoid menunjukkan kecenderungan

BAB I PENDAHULUAN. Antibiotik merupakan obat yang sering diberikan dalam menangani

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tingginya angka kematian dan kesakitan karena ISPA. Penyakit infeksi saluran

J. Ind. Soc. Integ. Chem., 2013, Volume 5, Nomor 2 UJI KESERAGAMAN VOLUME SUSPENSI AMOKSISILIN YANG DIREKONSTITUSI APOTEK DI KOTA JAMBI.

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. perbekalan kesehatan adalah pelayanan obat dan perbekalan kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. satu penyebab kematian utama di dunia. Berdasarkan. kematian tertinggi di dunia. Menurut WHO 2002,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. kehilangan cairan tubuh sehingga menyebabkan dehidrasi tubuh, hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pharmaceutical care menggeser paradigma praktik kefarmasian dari drug

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 51 TAHUN 2009 TENTANG PEKERJAAN KEFARMASIAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit Infeksi masih merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat khususnya di negara berkembang. Salah satu obat andalan untuk mengatasi masalah tersebut adalah antimikroba antara lain antibakteri/antibiotika, antijamur, antivirus, antiprotozoa. Antibiotika merupakan obat yang paling banyak digunakan pada infeksi yang disebabkan oleh bakteri. Berbagai studi menemukan bahwa sekitar 40-62% antibiotika digunakan secara tidak tepat antara lain untuk penyakit-penyakit yang sebenarnya tidak memerlukan antibiotika. Intensitas penggunaan antibiotika yang relatif tinggi menimbulkan berbagai permasalahan dan merupakan ancaman global bagi kesehatan terutama resistensi bakteri terhadap antibiotika. Selain berdampak pada morbiditas dan mortalitas, juga memberi dampak negatif terhadap ekonomi dan sosial yang sangat tinggi (Kementerian Kesehatan RI, 2011d). Regulasi yang mengatur tentang penyerahan antibiotika sudah diatur dengan Undang-undang obat keras St Nomor. 419 tanggal 22 Desember 1949, pada pasal 3 ayat (1). Penyerahan persediaan untuk penyerahan dan penawaran untuk penjualan dari bahan-bahan G, demikian pula memiliki bahan-bahan ini dalam jumlah sedemikian rupa sehingga secara normal tidak dapat diterima bahwa bahanbahan ini hanya diperuntukkan pemakaian pribadi, adalah dilarang. Larangan ini tidak berlaku untuk pedagang-pedagang besar yang diakui. Apoteker-apoteker, yang memimpin Apotek dan Dokter Hewan. Ayat (2). Penyerahan dari bahanbahan G, yang menyimpang dari resep Dokter, Dokter Gigi, Dokter Hewan dilarang, larangan ini tidak berlaku bagi penyerahan-penyerahan kepada pedagang pedagang besar yang diakui, Apoteker-apoteker, Dokter-dokter Gigi dan Dokterdokter Hewan demikian juga tidak terhadap penyerahan-penyerahan menurut ketentuan pada Pasal 7 ayat 5. (Pemerintah RI, 1949). Berdasarkan Undang undang Kesehatan Nomor 36 Tahun 2009, Tentang Kesehatan dalam Pasal 107 ada ketentuan lebih lanjut mengenai pengamanan sediaan farmasi seperti obat antibiotika dan alat kesehatan dilaksanakan sesuai

2 dengan ketentuan peraturan perundang undangan. Pasal 108 (1) mengatur praktik kefarmasian yang meliputi pembuatan termasuk pengendalian mutu sediaan farmasi, pengamanan, pengadaan, penyimpanan, dan pendistribusian obat, pelayanan obat atas resep dokter, pelayanan informasi obat serta pengembangan obat, bahan obat dan obat tradisional harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Ayat (2) Ketentuan mengenai pelaksanaan praktik kefarmasian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Di dalam Peraturan Pemerintah Nomor. 51 Tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian pada pasal 24 huruf c disebutkan pula bahwa dalam melakukan pekerjaan kefarmasian pada fasilitas pelayanan kefarmasian, apoteker dapat menyerahkan obat keras, narkotika dan psikotropika kepada masyarakat atas resep dari dokter sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dengan kata lain seorang apoteker hanya bisa menyerahkan obat keras dengan resep dokter (Kemeterian Kesehatan RI, 2009). Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 2406/Menkes/Per/XII/2011, tentang pedoman umum penggunaan antibiotika, Pengaturan Pedoman Umum Penggunaan Antibiotika bertujuan untuk memberikan acuan bagi tenaga kesehatan menggunakan antibiotika dalam pemberian pelayanan kesehatan, fasilitas pelayanan kesehatan dalam penggunaan antibiotika, serta pemerintah dalam kebijakan penggunaan antibiotika. Pelayanan apotek pada saat ini telah bergeser orientasinya dari obat kepada pasien yang mengacu kepada pharmaceutical care. Kegiatan apotek yang semula hanya berfokus pada pengelolaan obat sebagai komoditi menjadi pelayanan komprehensif yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas hidup pasien. Sebagai upaya agar para apoteker dapat melaksanakan praktik kefarmasian dengan baik, Direktorat Jenderal Kefarmasian dan Alat Kesehatan Kementrian Kesehatan menyusun Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek (SPKA) yang bertujuan untuk: Meningkatkan mutu pelayanan kefarmasian, Menjamin kepastian hukum bagi tenaga kefarmasian dan Melindungi pasien dan masyarakat dari penggunaan

3 obat yang tidak rasional dalam rangka keselamatan pasien (patient safety) (Kementerian Kesehatan RI, 2014). Hasil penelitian Antimicrobial Resistant in Indonesia (AMRIN-Study) terbukti dari 2494 individu di masyarakat, 43% Escherichia coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotika antara lain: ampisilin (34%), kotrimoksazol (29%) dan kloramfenikol (25%). Hasil penelitian 781 pasien yang dirawat di rumah sakit didapatkan 81% Escherichia coli resisten terhadap berbagai jenis antibiotika, yaitu ampisilin (73%), kotrimoksazol (56%), kloramfenikol (43%), siprofloksasin (22%), dan gentamisin (18%) (Kementerian Kesehatan RI, 2011c). Permasalahan penggunaan antibiotika yang tidak rasional ini tidak lepas dari kontribusi tenaga kesehatan terkait. Sebuah penelitian dikota Yogyakarta mengungkapkan bahwa informasi mengenai antibiotika dan penggunaanya termasuk saran untuk menggunakan antibiotika tanpa resep untuk pengobatan mandiri diperoleh terutama dari tenaga kesehatan dan orang-orang yang mempunyai latar belakang pendidikan kesehatan (Widayati, et al, 2012). Antibiotika merupakan golongan obat keras yang hanya bisa didapatkan dengan resep dokter dan diperoleh di apotek. Jika dalam menggunakan antibiotika tidak memperhatikan dosis, pemakaian dan peringatan maka dapat menimbulkan efek yang berbahaya bagi tubuh, Center for Disease Control and Prevention in USA menyebutkan bahwa sekitar 50 juta peresapan antibiotika yang tidak diperlukan dari 150 juta peresepan setiap tahun. Menurut penelitian, 92% masyarakat Indonesia tidak menggunakan antibiotika secara tepat. Penggunaan antibiotika dapat mengguntungkan dan memberikan efek bila diresepkan dan dikonsumsi sesuai dengan aturan. Namun, sekarang ini antibiotika telah digunakan secara bebas dan luas oleh masyarakat tanpa mengetahui dampak dari pemakaian tanpa aturan. Penggunaan tanpa aturan mengakibatkan keefektifan dari antibiotika berkurang (Yarza & Irawati, 2015). Sejalan dengan program World Health Organization (WHO), Indonesia sebagai bagian dari komunitas dunia berkomitmen untuk mengamankan antibiotika untuk generasi selanjutnya. Pertumbuhan resistensi dan multipel resistensi mikroba terhadap antibiotika berdampak pada meningkatnya morbiditas, mortalitas dan

4 biaya kesehatan. Sebagai bagian dari pelayanan kesehatan, pelayanan kefarmasian turut berkontribusi dalam usaha menghambat resistensi. Disamping itu pemilihan antibiotika yang tidak tepat, kesalahan penggunaan merupakan komponen utama yang memicu penggunaan antibiotika yang tidak rasional. Pelayanan Kefarmasian yang dilakukan oleh Apoteker terkait terapi Antibiotik, dalam mewujudkan terapi antibiotik yang bijak dan pencegahan resistensi, hendaknya dilakukan secara bertanggung jawab sehingga kualitas hidup pasien meningkat. Untuk dapat meningkatkan kualitas pelayanan kefarmasian, Apoteker perlu meningkatkan ketrampilan, sikap dan pengetahuan secara berkesinambungan sejalan dengan perkembangan terkini (Kementerian Kesehatan RI, 2011c). Pada awalnya resistensi hanya terjadi di tingkat rumah sakit, tetapi lambat laun juga berkembang di lingkungan masyarakat. Tim Program Pengendalian Resistensi Antimikroba (PPRA) merupakan kepanitiaan di rumah sakit yang berperan dalam menetapkan kebijakan penggunaan antibiotika, pencegahan dan penyebaran bakteri yang resisten serta pengendalian resistensi bakteri terhadap antibiotika. Pada setiap kepanitiaan tersebut, apoteker berperan penting dalam meningkatkan penggunaan antibiotika yang bijak (Kementrian Kesehatan RI, 2011). Data Riskesdas 2013 menyebutkan secara nasional proporsi Rumah Tangga yang menyimpan obat keras 35.7% dan antibiotika 27.8%. Dari 35.7% rumah tangga yang menyimpan obat, 81.9% rumah tangga menyimpan obat keras yang diperoleh tanpa resep dokter. Demikian halnya dengan antibiotika, 86% rumah tangga menyimpan antibiotika tanpa resep. Proporsi rumah tangga yang menyimpan antibiotika dan obat keras tanpa resep ini cukup tinggi. Provinsi Jambi proporsi rumah tangga yang menyimpan antibiotika tanpa resep dokter 87.9 % lebih tinggi dari proporsi angka nasional. Secara nasional menunjukkan apotek 41.1% dan toko obat/warung 37.2% merupakan sumber utama mendapatkan obat rumah tangga. Berdasarkan tempat tinggal, proporsi rumah tangga yang memperoleh obat di apotek lebih tinggi di perkotaan, sebaliknya proporsi rumah tangga yang memperoleh obat di toko obat/warung lebih tinggi di perdesaan (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, 2013).

5 Kota Jambi dengan jumlah penduduk 750.857 jiwa adalah salah satu dari 11 Kab/Kota yang ada di Provinsi Jambi. Jumlah apotek di Kota Jambi meningkat dari tahun ke tahun. Saat ini keberadaan apotek sejumlah 153 (seratus lima puluh tiga) buah. Tahun 2013 berjumlah 123 apotek, tahun 2014 berjumlah 138 apotek, tahun 2015 berjumlah 146 apotek, dan tahun 2016 berjumlah 153 apotek yang terdistribusi pada 8 Kecamatan. Dari 153 apotek, 9 apotek merupakan milik apoteker sendiri, 3 apotek franchise, 6 apotek BUMN, 135 apotek swasta. Setiap apotek hanya memiliki satu apoteker pengelola apotek dan belum memiliki apoteker pendamping. Distribusi ketenagaan apoteker terdiri dari 48 % Pegawai Negeri Sipil di Dinas Kesehatan, BPOM, Rumah Sakit, Puskesmas dan Akademi Farmasi dan 52% Non Pegawai Negeri Sipil. Keberadaan apoteker menjadi hal yang sulit ditemukan pada saat jam pelayanan apotek, hanya sebagian kecil apoteker yang berpraktik pada saat jam buka apotek. Hal ini karena hampir separuh apoteker pengelola apotek adalah PNS yang tidak bisa berpraktik pada pagi hari, dan apoteker non PNS pun banyak yang berperilaku sama dengan berpraktik hanya pada hari dan jam tertentu saja. Sehingga fungsi dan peran apoteker banyak dilaksanakan oleh tenaga teknis kefarmasian/tenaga lainnya, tentunya pendapat mereka berbeda terhadap pelaksanaaan pelayanan kefarmasian. Apotek yang ada di Kota Jambi, sebagian besar awalnya toko obat yang menjual obat daftar G (antibiotika) secara bebas. Sesuai peraturan yang berlaku dimana toko obat hanya boleh menjual obat bebas dan bebas terbatas. Badan Pengawas Obat dan Makanan Provinsi Jambi menindak tegas toko obat tersebut dan menyarankan toko obat menjadi apotek agar penyaluran obat bebas, bebas terbatas dan obat keras jelas sesuai aturan. Dalam wawancara dan survei awal penulis pada bulan Juni 2016 ke apotek-apotek dalam Kota Jambi, penulis melihat aktifitas apotek juga lebih banyak berorientasi tidak lebih sebagai tempat jual beli/toko yang berisi obat bebas, obat bebas terbatas, obat keras, dan pelayanan kefarmasian yang dilakukan juga tidak sesuai dengan kaidah-kaidah peraturan penyaluran obat yang benar di apotek. Pada pengamatan awal ini penulis lebih memfokuskan pelayanan kefarmasian di apotek terkait pelayanan pembelian obat antibiotika tanpa resep dokter.

6 Meskipun peraturan yang mengatur mengenai penjualan obat keras termasuk antibiotika tanpa resep dokter sangat tegas, namun kenyataan praktik yang terjadi tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Penulis melihat bahwa apotek menjual obat antibiotika kepada konsumen tanpa resep dokter. Pelayanan kefarmasian dilakukan bukan oleh apoteker melainkan oleh tenaga yang bukan dibidang kefarmasian. Selain itu, penggunaan antibiotika yang tidak tepat oleh pasien meliputi ketidak patuhan pada regimen terapi dan swamedikasi antibiotika dapat memicu terjadinya resistensi. Apoteker diharapkan dapat berperan aktif dalam memberikan informasi, konseling dan edukasi kepada pasien secara individual ataupun kepada masyarakat secara umum. Sebagian besar apotek cenderung menjual obat antibiotika tanpa resep dokter. Menurut peraturan yang berlaku, apoteker hanya boleh menjual obat antibiotika dengan resep dokter. Namun, untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dalam menolong dirinya sendiri guna mengatasi masalah kesehatan dirasa perlu ditunjang dengan sarana yang dapat meningkatkan pengobatan sendiri secara tepat, aman dan rasional. Atas dasar ini maka, penulis ingin mengetahui bagaimana peran apoteker dalam Pencegahan Penyerahan Antibiotika Tanpa Resep Dokter Di Apotek Kota Jambi. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan diatas maka dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana peran apoteker dalam pencegahan penyerahan antibiotika tanpa resep dokter di apotek Kota Jambi? 2. Alasan apa yang mendasari apoteker dalam penyerahan antibiotika tanpa resep dokter di apotek Kota Jambi? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Untuk Mengetahui peran apoteker dalam pencegahan penyerahan antibiotika tanpa resep dokter di apotek Kota Jambi

7 2. Tujuan Khusus Tujuan khusus dalam penelitian ini adalah untuk : a. Untuk Mengetahui alasan apoteker dalam penyerahan antibiotika tanpa resep dokter di apotek Kota Jambi. b. Untuk Mengetahui faktor yang mempengaruhi apoteker dalam penyerahan antibiotika tanpa resep di apotek Kota Jambi D. Manfaat Penelitian 1. Secara teoritis Penelitian ini diharapkan dapat membantu dalam upaya pencegahan penyerahan antibiotika tanpa resep dokter di apotek sehingga dapat meningkatkan pelayanan kefarmasian di apotek Kota Jambi 2. Secara praktis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan manfaat bagi: a. Dinas Kesehatan Kota Jambi dan Balai Pengawasan Obat dan Makanan Provinsi Jambi sebagai bahan masukan untuk membuat strategi dan pengembangan bentuk pengawasan, pembinaan dan evaluasi terhadap pelaksanaan pelayanan kefarmasian dalam mencegah penjualan obat daftar G (antibioika) tanpa resep dokter yang tidak sesuai dengan Undang-undang dan pedomam umum penggunaan antibiotika dan memberikan sangsi yang tegas terhadap pelanggarannya. b. Organisasi profesi sebagai masukan dalam melakukan pembinaan terhadap anggotanya untuk terus berpraktik di komunitas sesuai dengan peraturan yang berlaku sesuai dengan standar pelayananan kefarmasian. c. Kontribusi keilmuan penelitian ini dapat memberikan masukan pada apoteker dalam me-orientasi praktik kefarmasian di apotek serta peran apoteker dalam pencegahan pelayanan obat non resep daftar G (antibiotika) sehingga dapat menjalankan praktik kefarmasian sesuai dengan peraturan dan standar pelayanan kefarmasian di apotek.

8 E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang Peran Apoteker Dalam Pencegahan Penyerahan Antibiotika Tanpa Resep Dokter Di Apotek Kota Jambi. Sepengetahuan peneliti belum pernah dilakukan, tetapi sepanjang penelusuran penelitian, ada beberapa penelitian yang hampir serupa sudah pernah dilakukan oleh beberapa penelitian antara lain : 1. Ferolan dedy Koswara debateraja, 2005, meneliti Intervensi Edukasi Untuk Menurunkan Penggunaan Antibiotika Pada Penanganan Penderita Inpeksi Saluran Pernapasn Atas (ISPA) Akut Oleh Paramedis Di Puskesmas. Bertempat di Kab.Rejang Lebong Bengkulu. Rancangan penelitian berupa quasi ekperimental dengan rancangan pre-post dengan kelompok kontrol. Materi intervensi edukasi tentang Pemakaian Obat Rasional (POR) serta pedoman pengobatan Impeksi Saluran Pernapasn Atas ISPA. Hasilnya menyatakan bahwa intervensi edukasi dan pemberian umpan balik ada hubungan yang bermakna dalam menurunkan penggunaan antibiotika. Perbedaanya : intervensi yang dilakukan dan umpan balik dalam penurunan penggunaan antibiotika. Persamaan : sama-sama meneliti dalam pencegahan penggunaan antibiotika 2. Anki Aulia Rachmandani, 2010, meneliti Peran Ikatan Apoteker Indonesia (IAI) Dalam Upaya Pelaksanaan Standar Pelayanan Kefarmasian Diapotek Di Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian deskriptif kualitatif, data dikumpulkan melalui observasi model passive participation, dengan wawancara mendalam terhadap pengelola IAI DIY, kemudian dilakukan triangulasi terhadap Apoteker Pengelola Apotek di DIY, sampel penelitian adalah pengurus IAI DIY dan Apoteker Pengelola Apotek di DIY. Hasil penelitian mengenai peran pelayanan dalam tataran kebijakan, IAI berupaya memainkan peranannya dengan mengeluarkan gerakan No Pharmacist No Service namun dalam tatanan operasional gerakan ini belum seperti yang diharapkan. Perbedaan : Dalam penelitian ini peran Ikatan Apoteker Indonesia dalam menetapkan standar pelayanan kefarmasian di apotek dimana No Pharmacist No Service penelitian secara kualitatif.

9 Persamaan : sama- sama mengukur peran apoteker dalam pelayanan di apotek 3. Laurensia Natalia Wuwur, 2012, meneliti Studi Penggunaan Antibiotik Tanpa Resep Dokter di Beberapa Apotek Kecamatan Rungkut Surabaya. Penelitian ini merupakan penelitian observasional (non eksperimental), yang bersifat prospektif dan dianalisa dengan metode deskriptif. Teknik pemilihan sampel bersifat non probability sampling secara quota sampling. Data yang dianalisis meliputi tingkat kesadaran terhadap penggunaan antibiotik, perilaku dan faktorfaktor yang mempengaruhi konsumsi antibiotik tanpa resep dokter. Dari hasil penelitian didapatkan semua (133) responden pernah menggunakan antibiotik tanpa resep sebelumnya, dan tingkat kesadaran responden masih rendah. Dari hasil wawancara singkat dengan responden ditemukan antibiotik yang paling sering diminta dalam pelayanan tanpa resep dokter adalah amoxicillin, jenis penyakit yang paling banyak diobati responden dengan antibiotik adalah radang tenggorokan. Alasan utama pasien menggunakan antibiotik tanpa resep adalah karena sudah pernah menggunakan antibiotik tersebut sebelumnya (81,9%), sedangkan ditinjau dari pertimbangan biaya 50,4% responden menjawab uang bukan masalah dan 30,1% menjawab karena masalah keuangan. Perbedaan : Dalam penelitian ini melihat alasan pasien menggunakan antibiotika tanpa resep dokter. Persamaan : Alasan pasien menggunakan antibiotika tanpa resep dokter. 4. Pratiwi Indah Rizky, Rustamadji, 2013, Penggunaan Antibiotika tanpa resep dokter dikalangan mahasiswa pendidikan dokter, ilmu keperawatan, gizi kesehatan, farmasi dan kedokteran gigi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, metoda penelitian : deskriptif analitik dengan rancangan cross sectional survey. Subjek penelitian mahasiswa pendidikaan dokter, gizi kesehatan, ilmu keperawatan, kedokteran gigi, dan farmasi UGM Yogyakarta. Hasil penelitian : dari 150 responden ditemukan 79 % yang mengenal antibiotika dan selebihnya tidak mengenal. Dari 119 responden yang mengenal antibiotika terdapat 11% yang melakukan swamedikasi antibiotika dalam kurun waktu 2 minggu terakhir. Perbedaan : sampel penelitian, waktu, dan tempat penelitian Persamaan : sama-sama meneliti penggunaan antibiotika tanpa resep dokter.

10 5. Khan et al., 2016, meneliti tentang Persepsi dan Praktik apoteker apotek dalam pelayanan Antimicrobial di Selangor, Malaysia, Rancangan penelitian crosssectional dengan menggunakan kiuesioner pada apoteker apotek. Hasil dari penelitian menyatakan bahwa program pelayanan antimikroba membantu profesional kesehatan (apoteker) untuk meningkatkan kualitas perawatan pasien. Perbedaanya : Tempat penelitian di Malaysia, hanya melihat persepsi dan praktek apoteker menuju pelayan antimikroba jika diterapkan diapotek. Persamaan : Sama-sama melihat peran apoteker dalam pelayanan antibiotika tanpa resep diapotek.