BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Era perdagangan bebas telah dimulai. Berlakunya ACFTA (Asean China Free Trade Area) pada 1 Januari 2010 lalu kemudian berlaku AFTA (Asean Free Trade Area) pada tahun 2015. Hal ini dapat memicu persaingan tidak hanya pada perusahaan domestik, namun juga dengan perusahaan di seluruh dunia. Bagi perusahaan yang telah memiliki bisnis yang kuat dan berpengalaman akan mendapatkan keuntungan dari perdagangan bebas ini. Perusahaan yang masih berskala kecil atau berskala nasional kemungkinan akan mengalami kesulitan jika tidak memiliki strategi untuk bersaing dengan perusahaan asing, sehingga resiko mengalami financial distress akan semakin besar. Financial distress adalah suatu kondisi dimana perusahaan menghadapi masalah kesulitan keuangan. Menurut Platt dan Platt (2002), financial distress didefinisikan sebagai tahap penurunan kondisi keuangan yang terjadi sebelum terjadinya kebangkrutan ataupun likuidasi. Financial distress dapat dimulai dari kesulitan likuiditas (jangka pendek) sebagai indikasi financial distress yang paling ringan, sampai kebangkrutan yang merupakan financial distress yang paling berat (Triwahyuningtias, 2012). Masalah keuangan yang dibiarkan berlarut-larut akan mengakibatkan 1
2 terjadinya kebangkrutan. Ada banyak pihak yang akan terkena dampak dari permasalahan keuangan ini. Tidak hanya dari pihak perusahaan, tetapi juga dari pihak stakeholders dan shareholders perusahaan. Salah satu penyebab kondisi financial distress yaitu ketika perusahaan memiliki susunan asset yang tepat dan struktur keuangan yang baik namun demikian, dikelola dengan buruk. Pengelolaan yang buruk tersebut dapat disebabkan karena adanya konflik keagenan antara manajer dan pemegang saham (Fuad, 2014). Good Corporate Governance merupakan salah satu elemen kunci meningkatkan efisiensi ekonomis, yang meliputi hubungan antara manajemen perusahaan, dewan direksi, para pemegang saham dan stakeholders lainnya (Achmad dan Deviacita, 2012). Pemegang saham sebagai pemilik tentunya mengharapkan agar manajer bertindak secara profesional dalam mengelola perusahaan, dan setiap keputusan yang diambil hendaknya memperhatikan kepentingan para pemegang saham. Salah satu cara yang digunakan untuk mengendalikan perilaku para manajer demi melindungi pemegang saham adalah dengan mekanisme corporate governance (Fuad, 2014). Penerapan mekanisme corporate governance yang baik akan meminimalkan resiko perusahaan mengalamai kondisi financial distress (kesulitan keuangan). Good Corporate Governance (GCG) atau yang lebih dikenal dengan tata kelola perusahaan yang baik merupakan wujud dari sistem yang baru di era globalisasi yang bertujuan dapat mewujudkan pengelolaan bisnis yang
3 sesuai dengan prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik. Jika tata kelola perusahaan baik, bisnis diharapkan dapat menjadi lebih berkembang dan dapat mengatasi persaingan yang semakin hari semakin ketat yang diharapkan akan berdampak secara langsung pada kelangsungan hidup perusahaan (Mayangsari, 2015). Menurut Organization for Economic Corporration and Development (OECD) tahun 2004, corporate governance adalah suatu struktur untuk menetapkan tujuan perusahaan, saran untuk mencapai tujuan tersebut serta menentukan pengawasan atas kinerja perusahaan. Menurut Bodroastuti (2009) mekanisme corporate governance dapat menciptakan nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan, sehingga konflik antara pihak agen dan principal yang berdampak pada agency cost dapat dihindari. Hadi (2014) mendefinisikan mekanisme good corporate governance merupakan tata kelola perusahaan yang menjelaskan hubungan antara berbagai partisipan dalam perusahaan yang menentukan arah dan kinerja perusahaan. Tata kelola perusahaan (Corporate Governance) menjadi sangat penting di Indonesia setelah adanya krisis finansial di negara Asia termasuk di Indonesia yaitu pada tahun 1997. Kelemahan dalam corporate governance merupakan salah satu sebab utama kerawanan ekonomi yang mengakibatkan memburuknya perekonomian di negara-negara Asia tahun 1997 dan 1998. Di Indonesia
4 masalah corporate governance menarik untuk dikaitkan dengan kesulitan keuangan sejak krisis finansial pada tahun 1997 (Bodroastuti, 2009). Komite Nasional Kebijakan Governance for Indonesia (KNKG) mengeluarkan Pedoman Umum Good Corporate Governance Indonesia untuk digunakan oleh perusahaan sebagai acuan dalam pengelolaan perusahaan yang baik, yang selanjutnya disebut Pedoman GCG (Mayangsari, 2015). Menurut KNKG fungsi penerapan good corporate governance bagi perusahaan adalah pertama mendorong tercapainya kesinambungan perusahaan melalui pengelolaan yang didasarkan asas transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi serta kewajaran dan kesetaraan. Kedua pemberdayaan fungsi dan kemandirian masing-masing organ perusahaan, yaitu dewan komisaris, direksi dan Rapat Umum Pemegang Saham. Ketiga mendorong pemegang saham, anggota dewan komisaris dan anggota direksi agar dalam membuat keputusan dan menjalankan tindakannya dilandasi oleh nilai moral yang tinggi dan kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan. Keempat mendorong timbulnya kesadaran dan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat dan kelestarian lingkungan terutama di sekitar perusahaan. Kelima mengoptimalkan nilai perusahaan bagi pemegang saham dengan tetap memperhatikan pemangku kepentingan lainnya. Keenam meningkatkan daya saing perusahaan secara nasional maupun internasional, sehingga meningkatkan kepercayaan pasar yang dapat mendorong arus
5 investasi dan pertumbuhan ekonomi nasional yang berkesinambungan. Menurut Muharam dan Triwahyuningtias (2012) masalah tentang keagenan biasanya berhubungan dengan struktur kepemilikan perusahaan yang bersangkutan. Struktur kepemilikan perusahaan terdiri dari kepemilikan manajerial dan kepemilikan institusional. Menurut Nur'aeni (2010) dalam Mayangsari (2015) kepemilikan manajerial adalah proporsi saham biasa yang dimiliki oleh pihak manajemen yang secara aktif terlibat dalam pengambilan keputusan perusahaan. Kepemilikan manajemen dalam sebuah perusahaan akan menimbulkan peningkatan efektivitas aktivitas monitoring perusahaan. Selain kepemilikan manajerial struktur kepemilikan yang lain adalah kepemilikan institusional. Kepemilikan institusional akan membuat manajer memfokuskan perhatian pada kinerja perusahaan, sehingga dapat mengurangi tindakan manajer perusahaan yang mementingkan diri sendiri (Merkusiwati dan Putri, 2014). Mekanisme corporate governance lain yang tidak kalah penting adalah dewan (board). Dalam konteks perusahaan di Indonesia, dewan terdiri dari dewan direksi dan dewan komisaris. Dewan direksi dalam suatu perusahaan akan menentukan kebijakan yang akan diambil perusahaan secara jangka pendek maupun jangka panjang. Sedangkan peran dewan komisaris lebih ditekankan pada fungsi monitoring dari implementasi kebijakan direksi.
6 Peran komisaris diharapkan akan meminimalisir permasalahan agensi yang timbul antara dewan direksi dan pemegang saham (Wardhani, 2006). Penelitian tentang analisis mekanisme good corporate governance terhadap financial distress, terkait dengan penggunaan variabel kepemilikan manajerial telah dibuktikan oleh beberapa peneliti, yaitu penelitian yang dilakukan oleh Purwanto dan Hanifah (2013) yang menemukan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap financial distress. Hal ini menunjukkan bahwa semakin besar kepemilikan manajerial maka semakin kecil kemungkinan terjadinya kondisi financial distress. Penelitian Fuad (2014) menunjukkan hasil yang sama bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap financial distress. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan Widyasaputri (2012) menunjukkan bahwa kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap financial distress. Penelitian ini menyatakan besar kecilnya kepemilikan manajerial tidak berpengaruh terhadap financial distress. Terkait dengan kepemilikan institusional ada beberapa penelitian yang menguji pengaruh kepemilikan institusional terhadap kondisi financial distress antara lain penelitian Purwanto dan Hanifah (2013) dalam penelitiannya menyatakan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap financial distress. Dari hasil ini menunjukkan bahwa semakin besar kepemilikan oleh lembaga institusi maka semakin kecil kemungkinan
7 terjadinya kondisi financial distress pada perusahaan. Penelitian Achmad dan Deviacita (2012) menunjukkan bahwa kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap financial distress. Sedangkan penelitian menurut Hadi (2014) menunjukkan bahwa kepemilikan institusional tidak berpengaruh terhadap financial distress. Kemudian terkait dewan direksi, penelitian yang menguji ukuran dewan direksi terhadap financial distress antara lain yang dilakukan oleh Hadi (2014) bahwa ukuran dewan direksi tidak berpengaruh terhadap financial distress hal ini dikarenakan dengan ukuran dewan direksi yang kecil maka akan membuat keputusan dewan direksi menjadi semain efektif dan efisien. Hal yang sama juga disimpulkan dalam penelitian Widyasaputri (2012) yang menjelaskan bahwa ukuran dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap financial distress. Sedangkan Mayangsari (2015) meneliti bahwa ukuran dewan komisaris memiliki pengaruh negatif terhadap financial distress. Penelitian yang dilakukan Parulian (2007) menyatakan bahwa dewan komisaris mempunyai pengaruh negatif terhadap financial distress. Dari hasil ini menunjukkan bahwa semakin besar dewan komisaris maka semakin kecil kemungkinan terjadinya kondisi financial distress. Hasil yang berbeda ditunjukkan oleh penelitian Bodroastuti (2009) dimana dewan komisaris berpengaruh positif terhadap financial distress. Penelitian Bodroastuti (2009) menunjukkan bahwa jumlah dewan komisaris yang besar justru menjadikan
8 dewan komisaris tidak efektif dalam menjalankan tugas monitoringnya sehingga kinerjanya justru menurun, yang berakibat pada meningkatnya kemungkinan perusahaan mengalami financial distress. Sedangkan menurut Widyasaputri (2012) ukuran dewan komisaris tidak berpengaruh terhadap financial distresss. Penelitian ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Widyasaputri (2012) yaitu analisis mekanisme corporate governance pada perusahaan yang mengalami financial distress. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian sebelumnya adalah obyek penelitian terdahulu menggunakan seluruh perusahaan kecuali perbankan pada tahun 2008-2010 sedangkan penelitian ini menggunakan perusahaan manufaktur tahun 2013-2015 sebagai obyeknya. Alasan penggunaan perusahaan manufaktur dikarenakan perusahaan manufaktur adalah jenis usaha yang bergerak disektor riil dan memiliki jumlah perusahaan paling banyak dibandingkan jenis usaha lain, serta terdiri dari beberapa sektor. Meskipun terdiri dari berbagai macam sektor, perusahaan manufaktur memiliki karakteristik yang serupa yaitu samasama memproduksi dan menghasilkan produk. Selain itu pengukuran financial distress penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu. Pengukuran financial distress yang digunakan dalam penelitian ini adalah debt equity ratio. Debt equity ratio adalah perbandingan jumlah hutang suatu perusahaaan. Hutang yang besar dalam suatu perusahaan dapat berarti bahwa
9 perusahaan tersebut kurang mampu mengelola aset mereka sehingga membutuhkan pendanaan eksternal. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, maka permasalahan yang akan dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut 1. Apakah kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap financial distress? 2. Apakah kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap financial distress? 3. Apakan ukuran dewan direksi berpengaruh negatif terhadap financial distress? 4. Apakah ukuran dewan komisaris berpengaruh negatif terhadap financial distress? 1.3. Pembatasan Masalah Permasalahan penelitian ini dibatasi pada: 1. Objek penelitian adalah perusahaan manufaktur yang dipublikasikan periode 2013-2015. 2. Perusahaan yang menerbitkan laporan keuangan tahun 2013-2015. 3. Variabel corporate governance yang mempengaruhi financial distress dalam penelitian ini adalah: kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, dewan direksi, dewan komisaris
10 1.4. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah di atas dapat diketahui tujuan penelitian adalah untuk : 1. Menemukan bukti empiris bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap financial distress. 2. Menemukan bukti empiris bahwa kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap financial distress. 3. Menemukan bukti empiris bahwa ukuran dewan direksi berpengaruh negatif terhadap financial distress. 4. Menemukan bukti empiris bahwa ukuran dewan komisaris berpengaruh negatif terhadap financial distress. 1.5. Manfaat Penelitian 1.5.1. Bagi Peneliti Selanjutnya Penelitian ini diharapkan dapat membantu peneliti selanjutnya, sebagai referensi dalam penelitian tentang financial distress. 1.5.2. Bagi Akademik Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi berupa bukti empiris mengenai financial distress, kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, ukuran dewan direksi, dan ukuran dewan komisaris.
11 1.5.3. Bagi Peneliti Penelitian ini dapat menambah wawasan penulis karena penulis mendapat gambaran langsung mengenai financial distress dan faktorfaktor yang dapat menyebabkan financial distress.