BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Jalan Raya

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Keselamatan pada Perlintasan Sebidang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

Kata kunci : Jalan Sorowajan Baru, Inspeksi Keselamatan, Perlintasan Sebidang, Geometrik jalan, dan Metode Pavement Condition Index

NASKAH SEMINAR TUGAS AKHIR 1 INSPEKSI KESELAMATAN PADA PERLINTASAN SEBIDANG

BAB V ANALISA DATA DAN PEMBAHASAN. A. Data Survei. 1. Kelengkapan Infrastruktur Perlintasan Sebidang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

INSPEKSI KESELAMATAN DI PERLINTASAN SEBIDANG PADA JPL 734 KM JALAN TATA BUMI SELATAN, YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. Bertambahnya penduduk seiring dengan berjalannya waktu, berdampak

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. A. Tahapan Penelitian

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. biasanya orang yang mengevaluasi mengambil keputusan tentang nilai atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. manfaatnya (

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Transportasi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. terbaru (2008), Evaluasi adalah penilaian. pelayanan adalah kemampuan ruas jalan dan/atau persimpangan untuk

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. : Jalan yang diperuntukkan bagi lalu lintas umum. (Suryadharma, H. & Susanto, B.,1999)

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

di kota. Persimpangan ini memiliki ketinggian atau elevasi yang sama.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Keselamatan Jalan

BAB V ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN. A. Perlintasan Sebidang

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. Mulai. Studi Pustaka. Survai Pendahuluan (Observasi) Pengumpulan Data

BAB IV METODOLOGI PENELITIAN. A. Bagan Alir

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. jalan. Ketika berkendara di dalam kota, orang dapat melihat bahwa kebanyakan

BAB III LANDASAN TEORI. A. Perlintasan Sebidang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Peraturan Menteri Perhubungan nomor KM 14 tahun 2006,

BAB I PENDAHULUAN. pemandangan sehari-hari dikota-kota besar di Indonesia. Dalam suatu sistem jaringan

PENGARUH PERLINTASAN KERETA API TERHADAP KINERJA JALAN RAYA CITAYAM (169T)

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. atau jalan rel atau jalan bagi pejalan kaki.(

BAB I PENDAHULUAN. Dengan semakin bertambahnya jumlah penduduk, maka semakin banyak

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Perencanaan Geometrik & Perkerasan Jalan PENDAHULUAN

BAB III METODOLOGI III - 1

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. berpotongan/bersilangan. Faktor faktor yang digunakan dalam perancangan suatu

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. entah jabatan strukturalnya atau lebih rendah keahliannya.

BAB I PENDAHULUAN. Pertambahan jumlah kepemilikan kendaraan dewasa ini sangat pesat.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kata evaluasi berasal dari bahasa Inggris evaluation yang berarti penilaian atau

BAB II TINJAUAN PUSTAKA Peranan Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORI

BAB III LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kebutuhan pengguna jalan dalam berlalu lintas. Menurut peranan pelayanan jasa

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Persimpangan Sistem jaringan jalan terdiri dari 2 (dua) komponen utama yaitu ruas (link) dan persimpangan (node).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 TINJAUAN UMUM

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

WALIKOTA TEGAL PERATURAN WALIKOTA TEGAL NOMOR 6 TAHUN 2008 TENTANG KETERTIBAN LALU LINTAS DI KOTA TEGAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Gambar 2.1 Rambu yield

EVALUASI KINERJA RUAS JALAN DI JALAN SUMPAH PEMUDA KOTA SURAKARTA (Study kasus : Kampus UNISRI sampai dengan Kantor Kelurahan Mojosongo) Sumina

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. sebelumnya, maka dengan ini penulis mengambil referensi dari beberapa buku dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kendaraan dengan pejalan kaki (Abubakar I, 1995).

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. Pada saat ini kemacetan dan tundaan di daerah sering terjadi, terutama di

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: PM. 36 TAHUN 2011 TENTANG PERPOTONGAN DAN/ATAU PERSINGGUNGAN ANTARA JALUR KERETA API DENGAN BANGUNAN LAIN

KEPUTUSAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR : KM 53 TAHUN 2000 TENTANG PERPOTONGAN DAN/ATAU PERSINGGUNGAN ANTARA JALUR KERETA API DENGAN BANGUNAN LAIN

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KM 14 TAHUN 2006 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS DI JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN MENTERI PERHUBUNGAN NOMOR: KM 14 TAHUN 2006 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS DI JALAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EMIR RAUF NOVANDI YUSANDY ASWAD,ST,MT NIP

2018, No Perumahan Rakyat (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2015 Nomor 881) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Pekerjaan U

2.1 ANALISA JARINGAN JALAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

EVALUASI KORIDOR JALAN KARANGMENJANGAN JALAN RAYA NGINDEN SEBAGAI JALAN ARTERI SEKUNDER. Jalan Karangmenjangan Jalan Raya BAB I

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. yang berlangsung tanpa diduga atau diharapkan, pada umumnya ini terjadi dengan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. kendaraan satu dengan kendaraan lainnya ataupun dengan pejalan kaki.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. dari bahan khusus yang mempunyai kualitas yang lebih baik dan dapat

BAB II TINJAU PUSTAKA. jalan bergabung atau berpotongan/bersilangan. Faktor faktor yang digunakan

PENGANTAR TRANSPORTASI

Penempatan marka jalan

BAB 3 PARAMETER PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BUPATI PASURUAN PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN PASURUAN NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG MANAJEMEN DAN REKAYASA LALU LINTAS

Alternatif Pemecahan Masalah Transportasi Perkotaan

TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) tahun 1997, ruas jalan

M.Nurhadi,MM,MT PERSIMPANGAN

BAB 2 TINJAUAN TEORITIS

BAB III LANDASAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. (Direktorat Jendral Perhubungan Darat, 1998). Parkir merupakan suatu kebutuhan bagi pemilik kendaraan dan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

ANALISIS KINERJA JALINAN JALAN IMAM BONJOL-YOS SOEDARSO PADA BUNDARAN BESAR DI KOTA PALANGKA RAYA

BAB 2 TINJAUAN TEORI

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Tinjauan Umum

BAB II KERANGKA TEORITIS. NO.: 011/T/Bt/1995 Jalur Pejalan Kaki yang terdiri dari :

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN A. SEJARAH PERKEMBANGAN JALAN RAYA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN SIAK NOMOR 09 TAHUN 2011 TENTANG

PEDOMAN. Perencanaan Median Jalan DEPARTEMEN PERMUKIMAN DAN PRASARANA WILAYAH. Konstruksi dan Bangunan. Pd. T B

Transkripsi:

BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Jalan Raya Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2006 tentang jalan memuat bahwa jalan sebagai sarana transportasi darat yang meliputi segala bagian jalan, termasuk bangunan pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, di atas permukaan tanah, di bawah permukaan tanah dan/atau air, serta di permukaan air kecuali jalan kereta api dan jalan kabel. 1. Klasifikasi Berdasarkan Fungsi Jalan Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 34 tahun 2006 tentang jalan memuat bahwa fungsi jalan dibedakan menjadi empat jenis, yaitu: a. Jalan arteri Jalan arteri adalah jalan umum yang berfungsi untuk melayani angkutan utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rencana > 60 km/jam, lebar badan jalan > 11 m, kapasitas jalan lebih besar daripada volume lalu lintas rata-rata, tidak terganggu oleh kegiatan lokal, dan sebagainya. b. Jalan kolektor Jalan kolektor adalah jalan yang digunakan untuk melayani angkutan pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rencana > 40 km/jam, lebar badan jalan > 9 m, kapasitas jalan lebih besar atau sama dengan volume lalu lintas rata-rata, tidak terganggu oleh kegiatan lokal, dan sebagainya. c. Jalan lokal Jalan lokal adalah jalan umum yang digunakan untuk melayani angkutan setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rencana > 20 km/jam, lebar badan jalan > 7 m. d. Jalan lingkungan 6

7 Jalan lingkungan adalah jalan umum yang digunakan untuk melayani angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat, dan kecepatan ratarata rendah. 2. Klasifikasi Berdasarkan Muatan Sumbu Menurut Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan memuat bahwa jalan dikelompokkan dalam beberapa kelas jalan yang dapat dilihat pada Tabel 2.1 berikut ini. Kelas Jalan Tabel 2.1 Klasifikasi menurut kelas jalan dan daya dukung beban Muatan Sumbu Terberat Karakteristik Kendaraan Fungsi Jalan Panjang Lebar Tinggi (m) (m) (m) (MST) I Arteri/Kolektor 18 2,5 4,2 10 Ton II III Arteri/Kolektor /Lokal/Lingkungan 12 2,5 4,2 8 Ton Arteri/Kolektor /Lokal/Lingkungan 9 2,1 3,5 8 Ton Khusus Arteri 18 2,5 4,2 >10 Ton Sumber: Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 B. Jalan Rel Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 60 tahun 2012 tentang persyaratan teknis jalur kereta api memuat bahwa jalan rel adalah satu kesatuan konstruksi yang terbuat dari baja, beton, atau konstruksi lain yang terletak di permukaan, di bawah, dan di atas tanah atau bergantung beserta perangkatnya yang mengarahkan jalannya kereta api. Jalan rel harus dibangun sesuai dengan persyaratan teknik jalur kereta api dan berfungsi sesuai peruntukkannya serta dapat memiliki keandalan yang tinggi, mudah dirawat, dan dioperasikan. Di Indonesia menggunakan lebar sepur (track) 1067 mm yang tergolong pada sepur sempit (Utomo, 2013). C. Perlintasan

8 Menurut Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 36 tahun 2011 tentang perpotongan dan/atau persinggungan antara jalur kereta api dengan bangunan lain memuat bahwa perpotongan antara jalur kereta api dengan jalan disebut perlintasan, yang terdiri dari perlintasan sebidang dan perlintasan tidak sebidang. Persimpangan sebidang merupakan pertemuan dari dua ruas jalan atau lebih yang berbasis sama seperti jalan raya dengan jalan raya, sedangkan perlintasan sebidang diartikan sebagai pertemuan jalan raya dan jalan rel. Untuk pengaturan persimpangan sebidang umumnya dilakukan dengan marka, rambu, pulau jalan, bundaran dan lampu lalu lintas. Pengaturan untuk perlintasan sebidang jalan raya dan jalan rel lebih sulit dilakukan dibandingkan dengan pengaturan untuk persimpangan sebidang karena melibatkan arus kendaraan bermotor pada satu sisi dan arus kereta api pada sisi lain. Kendaraan bermotor lebih unggul dibandingkan dengan kereta api dari segi akselerasi dan sitem pengereman, dimana kendaraan bermotor memiliki waktu dan jarak pengereman yang lebih pendek dibandingkan dengan kereta api. Maka perlintasan kereta api dengan jalan raya menganut sistem prioritas untuk kereta api dimana arus kendaraan harus berhenti dahulu ketika kereta api melewati perlintasan (Aswad, 2010). Ilustrasi gambar perlintasan sebidang antara jalan raya dengan jalan rel dapat dilihat pada Gambar 2.1 berikut ini. Gambar 2.1 Perlintasan sebidang Sumber: Peraturan Direktur Jendral Perhubungan Darat Nomor SK.770/KA.401/DRJD/2005

9 D. Inspeksi Keselamatan Pada Perlintasan Sebidang Keselamatan lalu lintas menurut Undang-Undang Nomor 22 tahun 2009 adalah suatu keadaan terhindarnya seseorang dari risiko kecelakaan selama berlalu lintas yang disebabkan oleh manusia, kendaraan, dan/atau lingkungan, sedangkan menurut Hasan (2009) Faktor-faktor yang mempengaruhi kecelakaan pada perlintasan jalan raya dan jalan rel adalah kendaraan, pengemudi, kondisi alam atau cuaca, kelengkapan rambu atau marka, desain ruas perpotongan jalan raya dengan jalan rel, serta kondisi kerusakan struktur perkerasan jalan. Fungsi keselamatan adalah untuk menerapkan tempat dan menentukan kesalahan operasional yang mendorong terjadinya kecelakaan. Fungsi ini pada umumnya dilakukan dengan menganalisis akar penyebab kecelakaan terjadi, kemudian mengevaluasi langkah-langkah pencegahan yang telah dilakukan. Fungsi keselamatan bukanlah reaksi ataupun tindakan untuk mengatasi kecelakaan yang terjadi dan juga bukan untuk mencari kesalahan orang tetapi untuk meneliti dan mengevaluasi pada bagian manajemen mana yang memungkinkan terjadinya suatu kecelakaan (Yulisetianto, 2008). Inspeksi keselamatan pada perlintasan sebidang merupakan pemeriksaan sistematis terhadap jalan raya serta jalan rel pada perlintasan sebidang untuk mengidentifikasi bahaya, kesalahan serta kekurangan yang dapat meyebabkan kecelakaan. Kegiatan pemeriksaan tersebut biasanya dilakukan oleh PT. Kereta Api Indonesia maupun Dinas Perhubungan atau Departemen Perhubungan. E. Arus Lalu Lintas Kendaraan Pada Perlintasan Sebidang Arus lalu lintas menurut Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia Tahun 2014 adalah jumlah kendaraan-kendaraan yang melalui suatu garis tak terganggu di hulu pendekat per satuan waktu. Permasalahan yang timbul pada perlintasan sebidang apabila volume kendaraan pada pendekat lintasan sedemikian banyak, maka akan menimbulkan tundaan dan panjang antrian yang cukup berarti.

10 1. Tundaan Menurut Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia Tahun 2014 memuat bahwa tundaan diartikan sebagai waktu tempuh tambahan yang diperlukan untuk melalui simpang apabila dibandingkan lintasan tanpa melalui simpang. Tundaan terdiri dari tundaan lalu lintas dan tundaan geometrik. Tundaan lalu lintas (Vehicle Interaction Delay) adalah waktu menunggu yang disebabkan oleh interaksi lalu lintas dengan gerakan lalu lintas yang bertentangan. Tundaan geometrik (Geometrik Delay) adalah disebabkan oleh perlambatan dan percepatan kendaraan yang membelok pada simpang dan yang terhenti oleh lampu merah. Beberapa definisi tentang tundaan yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai berikut: a. Tundaan berhenti (stopped delay) adalah waktu saat kendaraan berada dalam kondisi mesin masih hidup (idling) akibat adanya aktifitas pada persimpangan. b. Tundaan kemacetan (congestion delay) adalah tundaan akibat antrian yang disebabkan oleh kendaraan yang mengurangi kecepatan karena interaksi dengan kendaraan lainnya. Tundaan akan mengakibatkan selisih waktu antara kecepatan perjalanan dan kecepatan bergerak. Dalam kondisi kemacetan, waktu yang hilang akibat tundaan dan panjang antrian kendaraan merupakan parameter yang sangat esensial dan merupakan hal yang sangat penting untuk ditangani. Sampai saat ini yang dapat dilakukan adalah upaya-upaya menekan terjadinya tundaan tetapi belum dapat sampai meghilangkan tundaan tersebut. 2. Panjang Antrian Menurut Pedoman Kapasitas Jalan Indonesia Tahun 2014 memuat bahwa antrian didefinisikan sebagai jumlah kendaraan yang antri dalam suatu pendekat simpang, sedangkan panjang antrian didefinisikan sebagai panjang antrian kendaraan dalam suatu pendekat. Gerakan kendaraan yang berada dalam antrian

11 akan dikontrol oleh gerakan yang didepannya atau kendaraan tersebut dihentikan oleh komponen lain dari sistem lalu lintas. Terdapat dua aturan dalam antrian, yaitu first in, first out (FIFO) dan last in, first out (LIFO). Dalam analisa pengaruh penutupan pintu perlintasan kereta api ini digunakan aturan antrian yang pertama, yaitu first in, first out hal ini disebabkan penyesuaian dengan kenyataan di lapangan dan kondisi pendekat lintasan. Dalam melakukan pengukuran panjang antrian, didalamnya harus meliputi pencacahan dari jumlah kendaraan yang berada dalam sistem antrian pada suatu waktu tertentu. Hal tersebut dapat dilakukan dengan perhitungan fisik kendaraan atau dengan memberi tanda (placing mark along the road lenght) pada jalan, sehingga mengindikasikan bahwa jumlah kendaraan yang berada dalam antrian akan dinyatakan dalam satuan panjang. F. Kondisi Perkerasan Jalan Lentur (Flexible Pavement) Lapisan perkerasan jalan akan mengalami penurunan tingkat pelayanan seiring dengan berjalannya waktu. Penurunan tersebut ditandai dengan adanya kerusakan pada lapisan perkerasan jalan, kerusakan yang terjadipun bervariasi pada tiap segmen di sepanjang ruas jalan. Jika kerusakan tersebut dibiarkan dalam waktu yang lama, maka akan dapat memperburuk kondisi lapisan perkerasan sehingga dapat mempengaruhi keamanan, kenyamanan, serta kelancaran berlalu lintas, sehingga perlu diadakan program pemeliharaan dan rehabilitasi. Evaluasi kondisi kerusakan jalan untuk menentukan jenis pemeliharaan dan penanganan apa yang tepat untuk dilaksanakan sangat diperlukan karena mengingat biaya yang tidak sedikit untuk melakukan pemeliharaan dan rehabilitasi kerusakan jalan (Manurung, 2010). Menurut Departemen Pekerjaan Umum tahun 2007 tentang pedoman survei kondisi jalan tanah dan atau kerikil dan kondisi rinci jalan beraspal untuk jalan antar kota memuat bahwa kerusakan pada konstruksi jalan dapat disebabkan oleh beberapa faktor yaitu:

12 a. Air, yang dapat berasal dari hujan, sistem drainase jalan yang tidak baik, atau naiknya air berdasarkan sifat kapilaritas air bawah tanah. b. Iklim, di Indonesia yang termasuk beriklim tropis dimana suhu dan curah hujan yang umumnya tinggi. c. Lalu lintas, yang diakibatkan dari peningkatan beban (sumbu kendaraan) yang melebihi beban rencana, atau juga repetisi beban (volume kendaraan) yang melebihi volume rencana sehingga umur rencana jalan tersebut tidak tercapai. d. Material konstruksi perkerasan, yang dapat disebabkan baik oleh sifat/ mutu material yang digunakan ataupun dapat juga akibat cara pelaksanaan yang tidak sesuai. e. Kondisi tanah dasar yang tidak stabil, yang mungkin disebabkan karena cara pemadatan tanah dasar yang kurang baik, ataupun juga memang sifat tanah dasarnya yang memang jelek. Menurut Shahin (1994 dalam Hardiyatmo, 2015) menyatakan bahwa Pavement Condotion Index (PCI) adalah salah satu sistem penilaian kondisi perkerasan jalan berdasarkan jenis, tingkat kerusakan yang terjadi, dan dapat digunakan sebagai acuan dalam usaha pemeliharaan. Kinerja perkerasan merupakan fungsi dari kemampuan perkerasan untuk melayani lalu lintas dalam suatu waktu tertentu. Untuk mengukur kinerja perkerasan jalan, maka dilakukan evaluasi nilai kondisi jalan. Metode PCI berfungsi untuk memberikan informasi kondisi struktur perkerasan hanya pada saat survei dilakukan, tetapi tidak dapat memberikan gambaran prediksi dimasa datang. Namun demikian, dengan melakukan survei kondisi secara periodik, informasi kondisi struktur perkerasan jalan dapat berguna untuk prediksi kinerja dimasa mendatang, selain itu juga dapat digunakan sebagai masukan pengukuran yang lebih detail, serta dapat memberikan informasi untuk perbaikan atau pemeliharaan kondisi struktur struktur perkerasan jalan.

13 G. Hasil-Hasil Penelitian Terdahulu Hasil penelitian Tim Peneliti Balibang Provinsi Jateng (2007) di 23 Perlintasan di Kabupaten atau Kota Jawa Tengah, menunjukkan bahwa terdapat banyak perlintasan yang tidak dijaga yaitu sebanyak 299 perlintasan dan perlintasan yang tidak resmi sebanyak 541 perlintasan dari total 1036 perlintasan. Dari hasil Analisa sesuai peraturan perlintasan sebidang yang berlaku yaitu sesuai dengan Direktorat Jenderal Perhubungan Darat Departemen Perhubungan tahun 2005 menyimpulkan bahwa perlintasan sebidang di Jawa Tengah memiliki tingkat keamanan yang rendah, karena banyak perlintasan yang tidak memenuhi standar peraturan yang berlaku. Hasil penelitian Yulisetianto (2008) di Perlintasan JPL 349 Jalan Ipda Tut Harsono dan JPL 739 Jalan Hos. Cokroaminoto, menunjukkan bahwa hasil penelitian perlintasan JPL 349 jalan Ipda Tut Harsono diperoleh nilai kemungkinan adalah sebesar 152, nilai paparan adalah 95.700 smpk dan nilai konsekuensi adalah 3, sehingga nilai resikonya adalah sebesar 43.639.200, sedangkan untuk pelintasan JPL 739 jalan Hos Cokroaminoto diperoleh nilai kemungkinan adalah sebesar 110, nilai paparan adalah 73.455 smpk dan nilai konsekuensi adalah 2, sehingga nilai resiko adalah sebesar 16.160.100. Perlintasan sebidang dengan nilai resiko yang tertinggi merupakan perlintasan sebidang yang penanganannya mendapatkan prioritas tertinggi berdasarkan karakteristik resiko terjadinya kecelakaan. Hasil penelitian Hasan (2009) di Perlintasan Sebidang Patukan, Gamping, Sleman, Yogyakarta, menunjukkan bahwa arus lalu lintas terbesar dalam perlintasan ini adalah sebesar 1646 kend/jam atau 1494,2 smp/jam dengan derajat kejenuhan sebesar 0,66 berarti masih layak dalam melayani arus lalu lintas yang ada pada saat itu. Pada perlintasan sebidang ini mempunyai jarak pandang yang cukup baik dari jarak pandang yang diisyaratkan dt sebesar 160 m dan dh sebesar 76,3 m, maka keberadaan perlintasan Patukan cukup layak dan sudah sesuai dengan ketentuan teknis tentang perlintasan sebidang yang ada di Indonesia.

14 Hasil penelitian Aswad (2010) di Perlintasan Sebidang di Sumatera Utara, menunjukkan bahwa perlintasan sebidang yang ditinjau adalah layak karena memenuhi persyaratan menurut KEPMENHUB No. 53 tahun 2000 antara jalan raya dengan jalan kereta api. Dari analisis diperoleh pada penelitian ini adalah kecepatan kereta api yang melintas < 60 km/jam dengan selang waktu (headway) antara kereta api satu dengan kereta api berikutnya yang melintas pada lokasi melebihi 6 menit, jalan raya yang melintas adalah jalan kelas III A dan tidak terletak pada lengkungan jalan kereta api atas tikungan jalan. Hasil penelitian Wildan (2013) di Persilangan Sebidang Tirus, Kota Tegal, menunjukkan bahwa perlintasan sebidang Tirus berhimpit dengan persimpangan antara jalan arteri primer dan arteri sekunder yang memiliki karakteristik lalu lintas dengan volume cukup padat dan kecepatan tinggi dengan frekuensi kedatangan kereta yang padat yang memiliki selisih waktu yang sangat pendek. Perlintasan ini juga berada di dekat tikungan yang sangat tajam membentuk sudut 90 derajat dengan jarak pandang yang sangat minim bagi masinis maupun pengemudi kendaraan bermotor. Sudut perpotongan rel dengan jalan membentuk sudut 30 derajat yang berpotensi menyebabkan pengguna sepeda motor tergelincir. Perlintasan ini tidak memiliki fasilitas rambu, marka, dan fasilitas jalan lainnya serta memiliki gradien antara rel dengan permukaan jalan lebih dari 3%. Dari hasil penelitian ini yang ditinjau secara legal formal dengan mengacu kepada peraturan perundangan yang mengatur tentang persilangan antara kereta api dengan jalan maupun secara konsepsional dapat disimpulkan bahwa perlintasan sebidang Tirus di kota Tegal tidak memenuhi standar keselamatan dan berpotensi mengakibatkan kecelakaan baik antara kereta api dengan kendaraan bermotor maupun antar kendaraan bermotor itu sendiri.