BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Rokok merupakan benda yang terbuat dari tembakau yang berbahaya untuk kesehatan. Kandungan rokok adalah zat-zat kimiawi beracun seperti mikrobiologikal (bakteri dan jamur berbahaya), nikotin dan tar. Zat tar merupakan zat racun yang bersifat karsinogen yang memicu kanker. Sedangkan nikotin adalah racun yang menyebabkan seseorang menjadi ketagihan untuk mengkonsumsi rokok. Kandungan berbahaya tersebut menjadi faktor pemicu munculnya penyakit terkait rokok seperti kanker, serangan jantung, impotensi, stroke, gangguan kehamilan dan janin (MENKES RI, 2012). Konsumsi rokok menyebabkan hampir 6 juta orang meninggal setiap tahun. Lima juta diantaranya merupakan perokok aktif, sedangkan sisanya sekitar 600.000 orang merupakan perokok pasif. Setidaknya ada satu orang meninggal setiap 6 detik dikarenakan mengkonsumsi rokok. Satu dari dua orang perokok meninggal dikarenakan penyakit terkait dengan konsumsi rokok. Selain kematian, tembakau juga penyebab utama penyakit dan kemiskinan (WHO, 2014). Di Indonesia konsumsi rokok mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Di tahun 2007, WHO mencatat Indonesia menempati peringkat kelima untuk konsumsi rokok terbesar di dunia. Di tahun selanjutnya, Indonesia naik peringkat ketiga setelah negara China dan India. Pada tahun 2011 menurut WHO data prevalensi perokok di Indonesia adalah sebesar 36.1 % dari total penduduk Indonesia setara dengan 61.4 1
juta orang. Perokok tersebut terdiri dari perokok laki-laki sebesar 67.4% dan perokok perempuan 4.5% (WHO, 2011). Asap rokok yang keluar dari pembakaran rokok mengadung 4000 macam racun yang merusak tubuh jika dihirup. Kandungan tersebut merugikan kesehatan bagi perokok sendiri dan orang lain di sekitarnya yang ikut menghirup asapnya. Orang yang tidak merokok namun terpapar asap rokok (perokok pasif) memiliki resiko terkena penyakit jantung koroner 2-4 kali lipat dan beresiko lebih tinggi terjadi kematian mendadak (MENKES RI, 2012). Sebuah penelitian dari WHO Global Adult Tobacco Survey pada tahun 2011 tentang perokok pasif, menemukan hasil bahwa di Indonesia setidaknya 51.3% (14.6 juta orang dewasa) terpapar asap rokok di kantor, 78.4% (133.3 juta orang) terpapar asap rokok di rumah dan 85.4% (44.0 juta orang dewasa) terpapar asap rokok di warung makan. Angka tersebut ikut meningkatkan jumlah masyarakat yang beresiko terkena dampak bahaya rokok (WHO, 2011). Prevalensi perokok yang meningkat membuat generasi muda yang perokok juga semakin meningkat. Hal itu terlihat dari hasil Riset Kesehatan Dasar yang menunjukkan peningkatan konsumsi rokok penduduk usia di atas 15 tahun dalam rentang 2007-2013. Hasil riset menunjukkan terjadi peningkatan konsumsi rokok dari angka 34,7 % menjadi 36,3 % di tahun 2013. Sedangkan di Daerah Istimewa Yogyakarta data menunjukkan penduduk dengan usia diatas 10 tahun sebesar 21.2% merokok setiap hari, dan 5.7% merokok kadang-kadang. Rata-rata mereka 2
menghabiskan 10 batang rokok setiap harinya (KEMENKES RI, 2013). Prevalensi tersebut mengikutkan usia anak-anak usia pelajar. Tingginya angka prevalensi perokok di Indonesia menciptakan lingkungan tidak sehat dan mendidik perilaku hidup tidak sehat kepada generasi muda. Berdasarkan survei pada tahun 1990 oleh Yayasan Jantung Indonesia menunjukkan data pada anak-anak usia 10-16 tahun sudah mulai merokok. Pada usia kurang dari 10 tahun angka perokok sebesar 9%, usia 12 tahun sebesar 18%, usia 13 tahun sebesar 23%, dan usia 15-16 tahun sebesar 28%. Mereka menjadi perokok karena terpengaruh oleh teman-temannya atau sekedar coba-coba (ct. Azwar, 1997). Angka tersebut besar kemungkinan ikut meningkat seiring dengan naiknya angka prevalensi perokok Indonesia setiap tahunnya. Paparan asap rokok perlu dikendalikan karena selain membahayakan kesehatan individu, masyarakat, dan lingkungan, juga perlu sebagai langkah menekan angka perokok pemula. Langkah pemerintah untuk melindungi masyarakat dari bahaya asap rokok adalah dengan menyediakan ruang dan lingkungan yang bersih dan sehat bebas asap rokok. Upaya tersebut tertuang di dalam peraturan bersama oleh Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri Nomor 188/MENKES/PB/I/2011 Nomor 7 tentang pedoman pelaksanaan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Di dalam peraturan tersebut perokok tidak boleh merokok sembarangan, karena telah diatur dalam Kawasan Tanpa Rokok. Kawasan Tanpa Rokok meliputi fasilitas pelayanan 3
kesehatan, tempat proses belajar mengajar, tempat anak bermain, tempat ibadah, angkutan umum, tempat kerja, tempat umum, dan tempat lain yang ditetapkan. Sejak peraturan KTR dikeluarkan, berbagai kota di Indonesia mulai bertahap menerapkan KTR. Beberapa penelitian mengukur persepsi masyarakat tentang KTR. Penelitian yang dilakukan di Sumatera Barat meliputi 3 kota, Padang Panjang, Padang, dan Payakumbuh. Dalam penelitian tersebut ditemukan bahwa sebagian besar (60%) masyarakat kurang mendukung penerapan KTR, meskipun ada tanggapan positif dari 51% masyarakat yang menyatakan KTR cukup efektif untuk mengurangi jumlah perokok aktif. Keberhasilan KTR tergantung dari komitmen Kepala Daerah, DPR, Dinas Kesehatan, dan dinas terkait lainnya serta adanya pemberdayaan ke masyarakat. Penerapan KTR tanpa adanya dukungan dan komitmen dari semua pihak akan sulit untuk diterapkan (Azkha, 2013). Penelitian lain, di Dinas Kesehatan Kabupaten Langkat menyatakan setuju untuk dijadikan sebagai kawasan tanpa rokok karena memiliki dampak positif terutama dalam bidang kesehatan (Khairi, 2014). Di Kota Yogyakarta kebijakan pengendalian rokok sudah dibuat sejak tahun 2009. Peraturan tersebut tertuang dalam Peraturan Gubernur No 42 Tahun 2009 tentang Kawasan Dilarang Merokok. Kawasan dilarang merokok termasuk diantaranya meliputi tempat umum, sarana kesehatan, tempat kerja, dan tempat spesifik sebagai tempat belajar mengajar, area kegiatan anak, tempat ibadah, dan 4
angkutan umum. Sampai saat ini belum ada penelitian mengenai kepatuhan terhadap peraturan KTR yang diterapkan di Kota Yogyakarta. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia ikut mengambil langkah terkait upaya menekan perokok pemula yang merupakan usia pelajar dengan mengeluarkan surat edaran perihal Larangan Merokok di Sekolah. Dinas pendidikan yang berada dibawah Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan turut membantu menyelenggarakan kebijakan tersebut dengan meneruskan surat edaran Larangan Merokok di Sekolah ke sekolah-sekolah yang berada di bawah naungannya (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, 2014). Melihat lingkungan pendidikan memberi dukungan terhadap penerapan peraturan merokok. Peneliti tertarik meneliti Dinas Pendidikan di Kota Yogyakarta. Yogyakarta sendiri merupakan kota pelajar yang memiliki prevalensi perokok di atas usia 10 tahun sebesar 21.2 % dari total penduduk. Peneliti tertarik meneliti persepsi Pegawai Dinas Pendidikan terhadap peraturan merokok dan kepatuhannya terhadap peraturan tersebut. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijabarkan, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana persepsi pegawai Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta terhadap peraturan merokok dan kepatuhannya. 5
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran persepsi Pegawai Dinas Pendidikan tentang peraturan merokok dan kepatuhan dari kacamata pegawai dinas pendidikan terhadap peraturan merokok di Kota Yogyakarta. 2. Tujuan Khusus Tujuan khusus penelitian ini adalah untuk : a. Mengetahui persepsi Pegawai Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta terhadap peraturan rokok. b. Mengetahui persepsi Pegawai Dinas Pendidikan Kota Yogyakarta terhadap kepatuhan terkait peraturan merokok di Kota Yogyakarta. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan di bidang pendidikan keperawatan dengan mengetahui gambaran persepsi pegawai dinas pendidikan terhadap peraturan rokok dan kepatuhan dari pegawai dinas pendidikan terhadap peraturan rokok di Kota Yogyakarta. 2. Manfaat praktis 6
a. Bagi dinas pendidikan Kota Yogyakarta, hasil penelitian ini dapat berguna sebagai bahan masukan bagi pelaksanaan peraturan merokok di lingkungan pendidikan khususnya di Dinas Pendidikan. b. Bagi perawat, hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai bahan bagi perawat untuk berperan serta dalam pengendalian dampak rokok dan menjadi referensi ilmu pengetahuan tentang peraturan rokok dan kepatuhannya di Kota Yogyakarta. c. Bagi peneliti, diharapkan dapat menambah kontribusi, pemahaman dan wawasan tentang peraturan rokok dan kepatuhannya dalam rangka pengendalian dampak rokok dan dapat menerapkan pengetahuan yang didapatkan. E. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai peraturan rokok telah banyak dilakukan, namun belum ada penelitian dengan judul serupa dengan penelitian ini. Beberapa penelitian yang pernah dilakukan mengenai peraturan rokok dan kepatuhan adalah sebagai berikut: 1. Suprantio, Agus (2010) melakukan penelitian yang bertujuan untuk mengetahui hubungan antara persepsi, sikap, status merokok dari pejabat pemda dan anggota DPRD dengan intensi terhadap area bebas rokok di tempat kerja. Metode yang digunakan dengan observasional dengan rancangan cross sectional. Variabel bebas yang digunakan adalah persepsi, sikap, status 7
merokok pegawai dan anggota DPRD di tempat kerja. Variabel terikatnya adalah intensi terhadap area bebas rokok. Hasilnya ada hubungan antara persepsi pejabat pemda dan anggota DPRD dengan intensi terhadap area bebas rokok. Tidak ada hubungan antara sikap dan status merokok pejabat pemda dan anggota DPRD dengan intensi terhadap area bebas rokok. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan penulis adalah pada responden yaitu pejabat pemda dan anggota DPRD. Sedangkan persamaan dengan variabel yang diukur yaitu berupa persepsi dan aturan merokok. 2. Ilanchelian, Selvandiran (2012) dengan judul Association between smoking regulation in school and pattern of smoking among teacher s in school compound: A survey in secondary schools of yogyakarta city. Penelitian ini berupa cross-sectional analitik. Data diambil dari data sekunder survey yang dilakukan oleh Quit Tobacco Indonesia kolaborasi dengan Bioetik dan Kesehatan Masyarakat UGM. Penelitian ini dilakukan di 60 SMP dan SMA di Kota Yogyakarta. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner selfadministered Survei Perilaku Guru di Lingkungan sekolah. Analisa data menggunakan Chi Square Test. Hasil penelitian ditemukan bahwa terdapat hubungan yang signifikan antara pelaksanaan peraturan rokok dengan perilaku merokok guru di lingkungan sekolah. 3. Devhy, Ni Luh Putu (2014) dengan judul pengaruh faktor pengelola terhadap kepatuhan pelaksanaan peraturan daerah tentang kawasan tanpa rokok pada 8
hotel berbintang di Kabupaten Badung. Penelitian berupa cross-sectional analitik. Data kepatuhan dikumpulkan melalui observasi menggunakan lembar observasi dan data faktor pengelola melalui wawancara terstruktur menggunakan kuesioner. Data dianalisis secara deskriptif, bivariat menggunakan Chi square test dan multivariat menggunakan Poisson regresi. Hasil penelitian faktor yang meningkatkan kepatuhan adalah pengetahuan yang baik, sikap yang baik, dukungan yang nyata terhadap perda KTR dan adanya himbauan organisasi. Sedangkan perilaku merokok pengelola berpengaruh menghambat kepatuhan. 4. Puswitasari, Amalia (2012) dengan judul faktor kepatuhan mahasiswa dan karyawan terhadap peraturan kawasan tanpa rokok di lingkungan kampus fakultas kedokteran Universitas Diponegoro. Penelitian observasional analitik dengan studi cross-sectional. Sampel didapatkan dengan simple random sampling. Analisa data secara deskriptif menggunakan uji chi-square. Hasil terdapat hubungan bermakna antara latar belakang perilaku merokok, pengetahuan peraturan kawasan tanpa rokok, pengaruh lingkungan terhadap tingkat kepatuhan. 5. Azkha, Nizwardi (2013) dengan judul studi efektifitas penerapan kebijakan perda kota tentang kawasan tanpa rokok (KTR) dalam upaya menurunkan perokok aktif di Sumatera Barat tahun 2013. Penelitian ini dilakukan dengan mix method yaitu berupa penelitian kuantitatif dan kualitatif dengan design 9
explanatory. Pengumpulan data dengan kuesioner dan wawancara mendalam. Analisis data kuantitatif melalui univariat dan kualitatif menggunakan content analysis. Hasilnya ditemukan jumlah perokok di tiga kabupaten di Sumatera Barat masih 59%. Terdapat komitmen dari Walikota dan dukungan dari Dinas Kesehatan berdasarkan Perda KTR No. 15/2011. Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan KTR adalah tergantung dari komitmen Kepala Daerah, DPR, Dinas Kesehatan, dan dinas terkait lainya serta adanya pemberdayaan masyarakat. Tanpa adanya komitmen dan dukungan dari semua pihak sulit untuk menerapkan KTR. Di samping Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dapat memberikan perlindungan kepada perokok pasif sekaligus KTR juga mungkin dapat menurunkan perokok aktif. 10