BAB II KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA. Istilah dialek berasal dari bahasa Yunani dialektos. Pada mulanya istilah

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA TEORETIS. Dialek merupakan khazanah kebudayaan suatu bangsa yang perlu dipelajari, dikaji, serta

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Ada beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ada di luar bahasa yang digunakan oleh akal budi untuk memahami hal-hal lain

BAB II KONSEP PENELITIAN DAN LANDASAN TEORI. isoglos, mutual intelligibility, sinkronis, dan diakronis, serta inovasi dan retensi.

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. Berikut beberapa konsep yang digunakan dalam penelitian ini.

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat yang tinggal pada daerah tertentu (lih. Sumarsono, 2010:21).

Review Buku. Dialektologi Sebuah Pengantar oleh Ayat Rohaedi. Dialectology oleh J. K. Chambers dan Peter Trudgill

BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI. Kajian pustaka yang dikerjakan di sini terbatas pada hasil-hasil penelitian

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. manusia. Dengan adanya bahasa, manusia bisa berintekrasi dengan manusia lainnya

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

BAB I PENDAHULUAN. merupakan salah satu daerah di Indonesia dan suku Simalungun menjadikan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Setiap bahasa memiliki wilayah pemakaiannya masing-masing. Setiap wilayah

PEMETAAN PERBEDAAN Isolek di KABUPATEN INDRAMAYU. Oleh

BAB 2 LANDASAN TEORI. 10 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. banyak di antara bahasa-bahasa daerah di Indonesia. Bahasa Jawa digunakan oleh

T. H GEOGRAFI DIALEK BAHASA SIMALUNGUN DALAM PENGEMBANGAN LEKSIKON BAHASA INDONESIA

PERBEDAAN STATUS DIALEK GEOGRAFIS BAHASA JAWA SOLO-YOGYA (KAJIAN DIALEKTOLOGI)

Pemetaan Bahasa di Wilayah Cagar Budaya Betawi Condet: Sebuah Kajian Dialektologi

PENDAHULUAN. Bahasa adalah salah alat komunikasi yang sangat penting bagi setiap manusia

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa sangat penting digunakan oleh masyarakat di suatu daerah tertentu

BAB 1 PENDAHULUAN. biasanya dalam wilayah yang multilingual, dipertentangkan dengan bahasa

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa merupakan sarana berkomunikasi dan mengidentifikasikan diri

ANALISIS MAKNA DALAM RAGAM DIALEK LOKAL ACEH BESAR DALAM BAHASA ACEH

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pulau Jawa maupun di Pulau Bali, Pulau Sumatra, Pulau Kalimantan, dan pulaupulau

BAB I PENDAHULUAN. Manusia dan lingkungan, baik lingkungan alam maupun lingkungan sosialbudaya,

BAB I PENDAHULUAN. proses pemunculan variasi bahasa. Dalam kajian variasi bahasa diperlukan

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat pendukungnya. Dalam perubahan masyarakat Indonesia telah terjadi

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. berkomunikasi dalam aktivitas sehari-hari, termasuk dalam aktivitas di sekolah, di

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Seminar Tahunan Linguistik 2015

BAB 1 PENDAHULUAN. kajian yang luas. Salah satu bidang kajian tersebut merupakan variasi fonologis. Penelitianpenelitian

BAB I PENDAHULUAN. diapit oleh dua bahasa dan budaya yang berbeda, yaitu Jawa dan Sunda, sedikit

VARIASI DIALEKTAL DALAM MUATAN LOKAL BAHASA MADURA DI JAWA TIMUR. Agusniar Dian Savitri 1 Universitas Negeri Surabaya

BAB I PENDAHULUAN. sampai pada bentuknya yang sekarang sudah pasti bahasa-bahasa itu mengalami

ANALISIS MAKNA DALAM RAGAM DIALEK LOKAL ACEH BESAR DALAM BAHASA ACEH

BAHASA JAWA DI KABUPATEN PURBALINGGA (KAJIAN GEOGRAFI DIALEK)

ANALISIS FONOLOGI DAN LEKSIKOLOGI BAHASA JAWA DI DESAPAKEM KECAMATAN GEBANGKABUPATEN PURWOREJO

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR

BAB I PENDAHULUAN. penggunaan bahasa, terdapat aturan-aturan pemakaian bahasa yang dapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa dapat didefinisikan sebagai alat bantu antara anggota atau

ISOGLOS LEKSIKAL KATA SIFAT BAHASA JAWA DI PERBATASAN ZONA TENGAH DAN ZONA SELATAN KABUPATEN GUNUNGKIDUL SKRIPSI

BAB III METODE PENELITIAN. metode wawancara dengan teknik cakap, catat, dan rekam (Sudaryanto, 1988:7).

I. PENDAHULUAN. berkomunikasi, dalam arti alat untuk menyampaikan pikiran, gagasan, konsep atau

DIALEKTOLOGI BAHASA MELAYU DI BAGIAN TENGAH ALIRAN SUNGAI KAPUAS MELIPUTI KABUPATEN SANGGAU DAN SEKADAU KALIMANTAN BARAT

BAB 3 METODE DAN TEKNIK PENELITIAN. Senada dengan tujuan yang akan dicapai dari penelitian ini, yakni berusaha

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia.

BAB 1 PENDAHULUAN. Bahasa merupakan alat komunikasi yang digunakan untuk berinteraksi,

BAB I PENDAHULUAN. pula bahasa Jawa juga mengalami perkembangan. Dari bahasa Jawa kuno

BAB II KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA. bidang waktu serta perubahan-perubahan unsur bahasa yang terjadi dalam waktu tersebut (Keraf

VARIASI DIALEK BAHASA JAWA DI WILAYAH KABUPATEN NGAWI: KAJIAN DIALEKTOLOGI. Ika Mamik Rahayu

BAB I PENDAHULUAN. Tanpa bahasa manusia tidak dapat saling berinteraksi baik antar individu maupun

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN TINJAUAN PUSTAKA. ada di luar bahasa yang digunakan akal budi memahami hal-hal lain (KBBI,

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. bahwa di Wakatobi terdapat dua kelompok bahasa yaitu kelompok Wangi-Wangi

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Bahasa adalah suatu alat komunikasi pada manusia untuk menyatakan

BAB 1 PENDAHULUAN. Keanekaragaman bahasa merupakan kekayaan bangsa Indonesia yang tak

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. kecamatan yang berbeda bisa ditemukan hal-hal yang menunjukkan bahasa itu

KLASIFIKASI LEKSIKOSTATISTIK BAHASA MELAYU LANGKAT, BAHASA MELAYU DELI, DAN BAHASA DAIRI PAKPAK

BAB 3 METODE DAN TEKNIK PENELITIAN. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode

PERBEDAAN KOSAKATA BAHASA JAWA DI KABUPATEN NGAWI DAN BAHASA JAWA DI KABUPATEN MAGETAN (SUATU TINJAUAN DIALEKTOLOGI) SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. tertarik pada penelitian bahasa-bahasa Austronesia (AN), padahal telah lama

BAB I PENDAHULUAN. Yogyakarta (DIY), dan Jawa Timur. Anggota masyarakat bahasa biasanya

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB II KAJIAN PUSTAKA. pernah diteliti. Tetapi penelitian yang relevan sudah pernah ada, yakni sebagai

BAB II KERANGKA TEORI DAN KAJIAN PUSTAKA. Konsep dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sosiolinguistik

OBJEK LINGUISTIK = BAHASA

Bahasa sebagai realisasi budaya manusia mengalami perubahan dan. dan perkembangan pola kehidupan manusia sebagai pemilik dan pengguna

GEOGRAFI DIALEK BAHASA JAWA PESISIRAN DI DESA PACIRAN KABUPATEN LAMONGAN

PEMAKAIAN ISTILAH-ISTILAH DALAM BAHASA JAWA DIALEK SURABAYA PADA BERITA POJOK KAMPUNG JTV YANG MELANGGAR KESOPAN-SANTUNAN BERBAHASA SKRIPSI

GEOGRAFI DIALEK BAHASA SUNDA DI KECAMATAN PARUNGPANJANG, KABUPATEN BOGOR (KAJIAN DIALEKTOLOGI SINKRONIS)

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. tujuan yang berbeda dan lain-lain. Perbedaan dari latar belakang etnis yang berbeda

BAB III METODOLOGI PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Penginventarisasian dan pendokumentasian bahasa merupakan kegiatan yang

BAB 5 SIMPULAN. Studi kasus..., Kartika, FIB UI, 2010.

BAB 5 SIMPULAN DAN SARAN. 1) Berdasarkan bentuk perbedaan penggunaan bahasa Sunda di Kecamatan Bojong,

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik, semantik adalah bidang yang fokus mempelajari tentang makna baik yang berupa text

DAERAH ASAL DAN ARAH MIGRASI ORANG MINANGKABAU DI PROVINSI JAMBI BERDASARKAN KAJIAN VARIASI DIALEKTAL

BAB 1 PENDAHULUAN. Penelitian dalam bidang struktur atau kaidah bahasa-bahasa di Indonesia

BAB 1 PENDAHULUAN. dunia pendidikan. Anak sekolah di taman kanak-kanak hingga mahasiswa di

BAB II KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN KAJIAN TERDAHULU. Konsep berkaitan dengan definisi-definisi atau pengertian-pengertian yang

BAB I PENDAHULUAN. satu ciri paling khas yang manusiawi yang membedakannya dari makhlukmakhluk

PROGRAM KREATIVITAS MAHASISWA JUDUL PROGRAM WUJUD KEARIFAN LOKAL DIALEK BAHASA OSING BANYUWANGI JAWA TIMUR BIDANG KEGIATAN PKM PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri

BAB I PENDAHULUAN. semangat kebangsaan dan semangat perjuangan dalam mengantarkan rakyat

b. Untuk memperkenalkan bahasa Batak Toba kepada masyarakat sebagai salah satu bahasa daerah yang turut memperkaya kebudayaan nasional.

FENOMENA DIFUSI LEKSIKAL UNSUR BAHASA *) Oleh Wahya

2/27/2017. Kemunculan AK; Kuliah 1 Sejarah Perkembangan, Konsep dan Teori Analisis Bezaan

BAB I PENDAHULUAN. Bahasa Jawa merupakan salah satu dari empat ratus bahasa daerah dan dialek yang

BENTUK FONOLOGI DAN LEKSIKON DIALEK BAHASA JAWA DESA JOGOPATEN KECAMATAN BULUSPESANTREN KABUPATEN KEBUMEN

BAB I PENDAHULUAN. Linguistik adalah ilmu tentang bahasa; penyelidikan bahasa secara ilmiah (Kridalaksana,

RPKPS RENCANA PROGRAM DAN KEGIATAN PEMBELAJARAN SEMESTER

Transkripsi:

BAB II KERANGKA TEORI DAN TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Dialek Istilah dialek berasal dari bahasa Yunani dialektos. Pada mulanya istilah tersebut dipergunakan dalam hubungan bahasa. Di Yunani terdapat perbedaanperbedaan kecil dalam bahasa yang dipergunakan oleh pendukung masingmasing, tetapi sedemikian jauh hal tersebut tidak menyebabkan mereka merasa mempunyai bahasa yang berbeda. Perbedaan tersebut tidak mencegah mereka untuk secara keseluruhan merasa memiliki satu bahasa yang sama. Oleh karena itu ciri utama dialek adalah perbedaan dalam kesatuan, dan kesatuan dalam perbedaan (Meillet, 1967:69). Dialek merupakan ciri-ciri bahasa yang dimiliki suatu kelompok masyarakat baik ciri-ciri dalam tata bunyi, kosakata, morfologi maupun sintaksis. Kajian sistematik tentang semua bentuk-bentuk dialek, khususnya dialek regional disebut dialektologi atau geografi dialek (Crystal, 1980). Pertama-tama, dari definisi ini dapat dimengerti bahwa kajian-kajian bentuk dialek bersifat ilmiah. Kedua, dialektologi menyangkut pemetaan dialek. Dengan demikian, dialektologi mengkaji perbedaan-perbedaan dialek di daerah, baik dari segi kata, frasa, makna maupun struktur. Ayatrohaedi, (1983:2) menyatakan adanya dua ciri dalam dialek, yaitu: 1) dialek memiliki ciri umum dan masing-masing lebih mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran lain dari bahasa yang sama, dan

2) dialek tidak harus mengambil semua bentuk ujaran dari sebuah bahasa. Itulah sebabnya Meillet dalam Ayatrohaedi, (1983:2) menyatakan ciri utama dialek adalah perbedaan dalam kesatuan, dan kesatuan dalam perbedaan. Ciri utama dialek adalah perbedaan dalam kesatuan dan kesatuan dalam perbedaan. Dengan demikian, peneliti geografi dialek suatu bahasa harus menemukan perbedaan-perbedaan unsur bahasa dalam bahasa yang diteliti. Dialektologi adalah cabang ilmu bahasa yang secara sistematis mengkaji yang berhubungan dengan dialek atau variasi dalam bahasa, baik variasi bahasa yang ditimbulkan perbedaan strata sosial, variasi bahasa berdasarkan perbedaan wilayah, dan variasi bahasa berdasarkan perbedaan waktu. Kridalaksana, (2008:48) mendefinisikan dialek sebagai variasi bahasa yang berbeda-beda menurut pemakai. Menurut Chambers dan Trudgill, (2004:5) dialek mengacu pada variasi atau perbedaan bahasa secara gramatikal (mungkin juga leksikal) maupun fonologi. Nadra, (2009:2) menyatakan bahwa kelompok pemakainya dialek dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu: dialek regional, dialek sosial, dan dialek temporal. Dialek regional adalah dialek yang dituturkan berdasarkan perbedaan lokal (tempat) dalam suatu wilayah bahasa atau dibatasi oleh tempat, misalnya dialek Manado, atau dialek Jawa Banyumas. Dialek sosial adalah dialek yang dituturkan oleh kelompok sosial tertentu seperti dialek wanita dalam Bahasa Jepang. Selanjutnya dialek temporal yakni dialek yang dituturkan oleh bahasawan yang hidup pada waktu tertentu, dalam hal ini dicontohkan seperti Bahasa Melayu Klasik, atau Bahasa Melayu Modern yang merupakan dialek temporal dari Bahasa Melayu.

Ada dua ciri lain yang dimiliki dialek, yaitu (1) dialek adalah seperangkat bentuk ujaran setempat yang berbeda yang memiliki ciri-ciri umum dan masingmasing lebih mirip sesamanya dibandingkan dengan bentuk ujaran yang berbeda dari bahasa yang sama, dan (2) dialek tidak harus mengambil semua ujaran dari sebuah bahasa (Meillet, 1967:69). Trask, (2000:89) mendefinisikan dialek merupakan setiap perbedaan ragam bahasa yang dituturkan sejumlah kelompok masyarakat di wilayah geografis tertentu. Ayatrohaedi (1985:30) mengatakan bahwa istilah dialek berasal dari bahasa Yunani dialektos. Pada mulanya dialektos ini dinyatakan dalam bahasa Yunani yang mempunyai sedikit perbedaan saja. Geografi dialek adalah cabang dialektologi yang mempelajari hubungan yang terdapat di dalam ragam-ragam bahasa. Keraf (1991) menyatakan bahwa geografi dialek mempelajari variasivariasi bahasa berdasarkan perbedaan lokal dalam suatu wilayah bahasa. Selanjutnya dia mengatakan bahwa hasil akhir dari seluruh kegiatan penelitian geografi dialek adalah penyusunan peta mengenai dialek-dialek itu setelah melakukan prosedur penelitian lapangan. Dalam pengertian ini, disamping mengkaji variasi dialek, sangat perlu mempersiapkan peta dialek-dialek itu. Fernandez dalam Nadra, (2006:29) mengemukakan bahwa semua dialek dalam suatu bahasa mempunyai kedudukan yang sederajat, statusnya sama tidak ada dialek yang lebih daripada dialek yang lain, tidak ada dialek yang berprestise dan dialek yang tidak berpretise. Dialek juga sering disebut sebagai

beberapa jenis penyimpangan dari satu norma- sebagai penyimpangan dari suatu bahasa yang benar atau yang baku. Nadra dan Reniwati (2009:4) menyatakan bahwa dialektologi adalah cabang linguistik yang mempelajari variasi bahasa. Variasi bahasa yang dimaksud adalah perbedaan- perbedaan bentuk yang terdapat dalam suatu bahasa. Perbedaan tersebut mencakup semua unsur kebahasaan, yaitu fonologi, morfologi, leksikon, sintaksis dan semantik. Kajian dialektologi yang mengamati kajian bahasa adalah variasi regional, variasi sosial, dan varasi historis. Berbeda dengan kajian sosiolinguistik yang mengkaji yang mengkaji variasi bahasa berdasarkan medium atau pokok pembicaraan yang dikenal sebagai ragam atau register. Dialek yaitu variasi bahasa yang terjadi karena perbedaan pemakai bahasa, tetapi register terjadi karena adanya perbedaan pemakaiannya. Variasi regional yaitu varasi bahasa berdasarkan perbedaan tempat atau daerah. Variasi sosial yaitu variasi bahasa berdasarkan perbedaan sosial penutur seperti etnis, pendidikan, jenis kelamin, usia, pekerjaan, kebangsawanan dan keadaan sosial ekonomi. Kajian dialek berdasarkan pada tempat yang berbeda-beda disebut geografi dialek. Geografi dialek adalah istilah yang dipergunakan mendiskripsikan usaha pembuatan peta pada distribusi ciri-ciri variasi linguistik yang asal lokasi bahasa tersebut. Sehingga, variasi-variasi linguistik yang muncul dapat dipetakan sebagaimana langkah akhir dari penelitian geografi dialek.

2.2 Pembeda Dialek Dialek dapat dibedakan menjadi lima bahagian, kelima bahagian perbedaan itu adalah: 1) Perbedaan fonetik. Perbedaan di bidang fonologi, dan biasanya si pemakai dialek atau bahasa yang bersangkutan tidak menyadari adanya perbedaan tersebut. 2) Perbedaan semantik, yaitu terciptanya kata-kata baru, berdasarkan perubahan fonologi dan pergeseran bentuk. Dalam peristiwa tersebut biasanya terjadi pergeseran makna. 3) Perbedaan onomasiologis yang menunjukan nama yang berbeda berdasarkan satu konsep yang diberikan di beberapa tempat yang berbeda. 4) Perbedaan semasiologis yang merupakan kebalikan dari perbedaan onomasiologis yaitu pemberian nama yang sama untuk beberapa konsep yang berbeda (Guiraud, 1970:18). 5) Perbedaan morfologis yang dibatasi oleh adanya sistem tata bahasa yang bersangkutan, frekuensi morfem-morfem yang berbeda, kegunaan yang berkerabat, wujud fonetisnya, daya rasanya, dan sejumlah faktor lainnya lagi (Guiraud, 1970:18). Setiap bahasa dipergunkan di suatu daerah tertentu, dan lambat laun terbentuklah unsur kebahasaan yang berbeda-beda pula, seperti dalam lafal, tata bahasa, dan tata arti, dan setiap ragam mempergunakan salah satu bentuk khusus (Ayatrohaedi, 1983:3).

Pendekatan yang sistematis terhadap perbedaan dialek amat penting dalam dialektologi struktural. Dialektologi structural boleh dikatakan bermula pada tahun 1954, serta berpegang terhadap pendapat para ahli bahasa bahwa sesuatu system bahasa hendaklah dikaji secara bersaingan tanpa merujuk pada sistemsistem lain. System fonemik bagi suatu ragam bahasa dikaji dengan berdasarkan satu prinsip yang terkenal, yaitu penyebaran bunyi yang saling melengkapi, kesamaan bunyi dan wujud pasangan-pasangan minimal bagi ragam yang dikaji (Chambers.J.K.1990:52) 2.2.1 Perbedaan Fonetik Perbedaan ini berada di bidang fonologi, dan biasanya si pemakai dialek atau bahasa yang bersangkutan tidak menyadari adanya perbedaan tersebut. Adapun perbedan fonetik dalam penelitian dialektologi terdapat sedikit pembeda fonetik, seperti tampak pada beberapa contoh di bawah ini: BBDT BBDS BBDH BBDTU BBDTT BBDD Arti bah dɔh bɔh bah bah bah wah sian tian sian sian sian sian dari diŋkan tiŋkan duŋkan diŋkan siŋkan tiŋkan sebelah asa aso ase asa ase aso supaya marsogɔt marsogɔt marsogɔt marsogɔt marsogɔt marsogɔt besok inda indu indi nian nian nian disana amaŋ amoŋ bapa amoŋ bapa? apaŋ bapa ayah inaŋ inoŋ uma uma inaŋ oma ibu daŋ dope daŋ poso daŋ kede dang dope daŋ dope daŋ dope belum tu hu hu hu tu tu ke ate onten ake ate ate ake betulkan

2.2.2 Perbedaan Semantik Perbedaan semantik, yaitu dengan terciptanya kata-kata baru, berdasarkan perubahan fonologi dan pergeseran bentuk. Dalam peristiwa tersebut biasanya terjadi pergeseran makna kata itu. Pergeseran tersebut bertalian dengan dua corak yang menentukannya, yaitu: 1) Pemberian nama yang berbeda pada tempat yang berbeda. Pergeseran corak ini pada umumnya dikenal dengan istilah sinonim, padanan kata, atau sama waktu. Pada pemberian nama ini terjadi pada daerah yang berbeda oleh pengaruh pemakaian kosa kata untuk menyatakan sesuatu hal misalnya, untuk menyatakan keheranan di daerah Toba Samosir diucapkan dengan kosakata bah, di daerah Humbang Hasundutan diucapkan dengan kata boh dan di daerah Samosir diucapkan dengan kata doh. Pengucapan yang berbeda dalam suatu daerah termasuk suatu variasi bahasa yang dianggap unik dan membedakan. 2) Pemberian nama yang sama untuk hal yang berbeda di beberapa tempat yang berbeda. Misalnya, kata / porngis/ semut dan /porngis/ untuk menyatakan berisi penuh pada padi. Pemakaian kata porngis adalah pemakaian kata yang melihat terhadap lokasi atau situasi bicara. Kata porngis bisa berarti semut dan padi yang berisi penuh. Porngis bisa berarti binatang dan porngis bisa berarti biji padi yang baik yang biasanya dijadikan untuk bibit. Pemakaian kata ini harus disesuaikan dengan konteks bicara dalam masyarakat Batak Toba.

2.2.3 Perbedaan Morfologi Perbedaan morfologis dibatasi sistem tata bahasa yang bersangkutan, frekuensi morfem-morfem yang berbeda, kegunaan yang berkerabat, wujud fonetis, daya rasa, dan sejumlah faktor lainnya (Guiraud, dalam Ayat Rohaedi, 1983:5). Perubahan bahasa yang paling mudah diperhatikan adalah pada bidang kosakata. Perubahan kosakata bisa bertambah dengan masuknya kosakata baru dari bahasa lain dan bisa juga berkurang karena tidak dipakainya kosakata tersebut ataupun kalah bersaing dengan bahasa yang baru. Misalnya bahasa Indonesia dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI:edisi IV) memiliki sekitar 91.000 kosakata (dalam kamus Poerwadarminta hanya terdapat 23.000 kosakata) adalah juga berkat tambahan berbagai sumber, termasuk bahasa- bahasa asing dan bahasa-bahasa Nusantara. Peminjaman dan penyerapan itu berkaitan dengan perubahan budaya, ilmu pengetahuan, dan teknologi, bahkan perubahan lingkungan. Kata-kata yang diterima dari bahasa lain disebut kata pinjaman atau kata serapan. Proses penyerapan atau peminjaman ini yang dilakukan secara langsung dari bahasa sumbernya, tetapi ada juga melalui bahasa lain. 2.2.4 Isoglos, Heteroglos, atau Watas Kata Perkembangan suatu bahasa atau dialek sangat tergantung kepada sejarah daerah yang bersangkutan (Guiraud, 1970:19). Untuk menguji kebenaran anggapan tersebut, para ahli berhasil menemukan alat bantu yang sangat penting artinya dalam usaha memperjelas persoalan ini. Alat bantu ini disebut isoglos atau watas kata, yaitu garis yang memisahkan dua lingkungan dialek atau bahasa

berdasarkan wujud atau sistem kedua lingkungan yang berbeda, yang dinyatakan dalam peta bahasa (Dubois, 1973:270). Garis watas kata itu kadang disebut heteroglos (Kurath, 1972:24). Menurut Nababan, (1993:19) isoglos merupakan garis yang menghubungkan dua tempat yang menunjukkan ciri atau unsur yang sama, atau garis yang memisahkan dua tempat yang menunjukkan ciri atau unsur yang bebeda pada bidang fonologi, morfologi, sintaksis dan/atau leksis. Kridalaksana, (2008 :97) mendefinisikan isoglos sebagai garis pada peta bahasa atau peta dialek yang menandai batas pemakaian ciri atau unsur bahasa. Lauder (dalam Mahsun, 2005:163) menyebutkan bahwa isoglos pada dasarnya merupakan garis imajiner yang diterakan di atas peta. Oleh karena itu, tidak seorang pun dapat menentukan dengan pasti daerah-daerah mana yang dilalui garis-garis tersebut. Gambaran yang benar mengenai batas-batas dialek, harus dibuat watas kata yang merangkum segala segi kebahasaan (fonologi, semantik, leksikal, dan sintaksis). Chambers dan Trudgill, (2004:89) menyatakan, isoglos merupakan sebuah garis penanda yang membatasi antara dua daerah yang berbeda pada unsur-unsur lingusitik (misalnya pada unsur leksikal, atau pengucapan pada kata-kata tertentu). Gambar 1: Garis Isoglos

Dari gambar di atas, dapat dijelaskan bahwa garis isoglos A membedakan daerah-daerah pengamatan yang menggunakan lambang dengan daerah-daerah yang menggunakan lambang 0. Kridalaksana, (2008:34) berkas isoglos atau bundle of isogloses merupakan gabungan dari beberapa isoglos. Menurut Mahsun, (2006:14) berkas isoglos merupakan sebuah metode pemilah isolek sebagai dialek atau subdialek selain metode dialektometri. Metode ini dapat memberi gambaran secara visual mengenai daerah-derah pengamatan yang termasuk ke dalam kelompok dialek atau subdialek tertentu. Lauder, (2002:39) menjelaskan bahwa apabila puluhan atau ratusan peta bahasa yang sudah dibubuhi isoglos ditumpuk menjadi satu, maka akan menjadi sebuah berkas isoglos. Alur garis-garis berkas isoglos yang dominan merupakan alat bantu untuk menganalisis dan menginterpretasikan distribusi kebahasaan secara spasial. 2.2.5 Dialektometri Dialektometri adalah ukuran secara statistik yang dipergunakan untuk melihat berapa jauh perbedaan dan persamaan yang terdapat di tempat-tempat yang diteliti dengan membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul dari tempat yang diteliti tersebut. Dialektometri untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh ahli ilmu bahasa E. Bagby Atwood pada tahun 1995, sedangkan istilah dialectometrie, diperkenalkan oleh Jean Seguy dalam bukunya yang berjudul La Dialectometri dans l atlas Linguistique de la Gascogne. Teori itu kemudian dikembangkan oleh Louis Remacle, dan sekarang telah banyak diterapkan untuk penelitian geografi.

Menurut Revier (1975:424) dalam Mahsun (1995:118) dialektometri merupakan ukuran statistik yang dipergunakan untuk melihat berapa jauh perbedaan dan persamaan yang terdapat pada tempat-tempat yang diteliti dengan membandingkan sejumlah bahan yang terkumpul dari daerah pengamatan. yaitu: Kajian dalam geografi dialek dilakukan dengan melalui beberapa tahapan, 1) mengumpulkan kosakata dasar bahasa-bahasa yang akan diteliti dengan menggunakan suatu daftar kosakata, 2) memisahkan morfem-morfem terikat dari morfem-morfem bebas (morfemmorfem terikat tidak dianalisis), 3) mengeluarkan kata-kata jadian dan pinjaman, 4) mendaftarkan ragam dialek bahasa yang diteliti, 5) menentukan variasi unsur kosakata bahasa yang diteliti dengan rumus dialektometri, dan 6) membuat pemetaan variasi dialek bahasa yang diteliti. Analisis bahasa yang diperbandingkan antar tempat itu adalah analisis fonologi, morfologi, kosakata, sintaksis, morfosintaksis, dan morfonologi. Agar perhitungan lebih mudah dari setiap anasir disiapkan 100 buah peta. Dengan memperhitungkan jumlah bedanya masing-masing yang dikalikan dengan 100 lalu dibagi jumlah nyata peta yang dibandingkan. Dengan rumus sederhana, diperoleh persentase jarak antara dialek tersebut. Berdasarkan rumus tersebut perbedaan bidang leksikon yang lebih dari 81 % dianggap perbedaan bahasa, 51 80 % dianggap perbedaan dialek, 31 50 % dianggap perbedaan subdialek, 21 30 % dianggap perbedaan wicara atau parler, sedangkan perbedaan yang kurang dari 20

% dianggap tidak ada perbedaan. Perbedaan bidang fonologi, 17% ke atas dianggap perbedaan bahasa, 12-16% dianggap perbedaaan dialek, 8-11% dianggap perbedaan subdialek, 4-7% dianggap perbedaan wicara, dan 0-3% dianggap tidak ada perbedaan ( Guiter dalam Mahsun 1995). Penghitungan dialektometri dilakukan untuk menentukan tingkat perbedaan dan persamaaan antarabahasa, dialek atau subdialek. Usaha untuk menemukan cara pemilahan bahasa masih terus dilakukan, namun sejauh ini nampaknya dialektometri dianggap masih mampu melakukan pemilahan bahasa secara objektif. Rumus yang dipakai untuk penghitungan adalah rumus yang diajukan oleh Séguy-Guiter yaitu: S x100 % d n Keterangan: s = Jumlah beda dengan daerah pengamatan lain n = Jumlah peta yang dibandingkan d = Jarak kosa kata dalam % Sebagai contoh, dengan memperhitungkan jumlah beda pemakaian kosakata di satu titik pengamatan dengan titik pengamatan lainnya yang dikalikan dengan 100 lalu dibagi dengan jumlah nyata banyaknya peta yang dibandingkan, diperoleh persentasi jarak kosakata di antara kedua titik pengamatan itu. Penghitungan dialektometri dilakukan dengan dua cara, yaitu: (a). segitiga antardaerah pengamatan dan (b). permutasian antardaerah pengamatan.

Untuk menghitung dengan segitiga antardaerah pengamatan dilakukan dengan ketentuan-ketentuan: 1) Daerah pengamatan yang diperbandingkan hanya daerah pengamatan yang berdasarkan letaknya masing-masing mungkin melakukan komunikasi; 2) Setiap daerah yang mungkin berkomunikasi secara langsung dihubungkan dengan sebuah garis, sehingga diperoleh segitiga yang beragam bentuknya; dan 3) Garis-garis segitiga pada segitiga dialektometri tidak boleh saling berpotongan. Pilih salah satu kemungkinan saja, dan sebaliknya dipilih yang berdasarkan letaknya lebih dekat satu sama lain. Selanjutnya, penerapan dialektometri baik dengan segitiga antardaerah pengamatan maupun dengan permutasian antar daerah pengamatan dilakukan dengan berpegang pada prinsip-prinsip umum. 1) Apabila pada daerah pengamatan dikenal lebih dari satu bentuk untuk satu makna dan salah satu di antaranya dikenal di daerah pengamatan lain yang diperbandingkan, maka perbandingan itu dianggap tidak ada; 2) Apabila di daerah pengamatan yang diperbandingkan itu, salah satu di antaranya tidak memiliki bentuk sebagai realisasi suatu makna tertentu, maka dianggap ada perbedaan; 3) Apabila daerah pengamatan yang diperbandingkan itu semua tidak memiliki bentuk sebagai realisasi dari satu makna tertentu, maka daerah pengamatan itu dianggap sama;

4) Dalam penghitungan dialektometri pada tataran leksikon, perbedaan fonologi, morfologi yang muncul harus dikesampingkan; dan 5) Hasil penghitungan itu dipetakan dengan sistem konstruksi polygons de Thiessen pada peta segitiga dialektometri. 6) Perbedaan kriteria persentase yang digunakan di daerah pengamatan sebagai kelompok bahasa, dialek, subdialek yang berbeda untuk bidang fonologi dengan bidang leksikon. Persentasi untuk bidang fonologi lebih kecil dibandingkan dengan persentase di bidang leksikon (Mahsun:1995). Menurut Guiter (1973), kecilnya persentasi untuk bidang fonologi itu dikarenakan satu perbedaan pada bidang fonologi dapat terefleksi pada perbedaan beberapa bentuk untuk beberapa makna. 2.2.6 Tinjauan Pustaka Beberapa penelitian terdahulu yang berkaitan dengan kebahasaan atau pemetaan maupun hubungan kekerabatan bahasa dapat disampaikan berikut ini. Girard, D dan Larmouth, D, (1987) dari university of Wisconisin Green Bay melakukan penelitian dialektologi dengan fokus Log-linear Statistikal Model: Explaining the Dynamics of Dialect Diffusion yaitu dengan cara menentukan bahwa dinamika difusi dialek secara signifikan adalah juga sosial dengan menggunakan log linear analysis. Ayatrohaedi, (1985) tentang Bahasa Sunda di Daerah Cirebon menemukan dan menggambarkan peta bahasa dan digambarkan pula garis batas dialek.

Danie, (1991) tentang Kajian Geografi Dialek di Minahasa Timur Laut menggunakan 600 kosakata, 200 kosakata diantaranya terdapat dalam daftar kata Swadesh yang dihimpun dari 61 daerah pengamatan. Peneliti menggunakan metode dialektometri untuk pengelompokan antardaerah pengamatan yang dilandasi persentase kekognatan leksikal yang didukung variasi fonologi. Dengan cara tersebut akan diketahui persentase kekognatan leksikal. Untuk lebih jelas, misalnya dari penghitungan dialektometri diperoleh persentase perbedaan leksikal 45%, maka persentase kekognatan dapat ditentukan dengan cara 100% - 45% = 55%. Ada yang menarik dari kerangka konseptual yang diusulkannya, yaitu penghitungan persentase persamaan leksikal melalui metode dialektometri. Padahal, secara konseptual metodologis, dialektometri bukan mengidendentifikasi persamaan kebahasaan tetapi perbedaan unsur kebahasaan (leksikal). Lauder, (1993) dengan kajian penelitian Pemetaan dan Distribusi Bahasa- Bahasa di Tangerang menggunakan komputerisasi pemetaan bahasa. Pemetaan bahasa dengan menggunakan komputer dapat membantu mempercepat proses pemetaan bahasa di seluruh Indonesia. Penelitian tersebut dilakukan dengan penghitungan dialektometri pada semua peta leksikal (580 peta). Penelitiannya menunjukkan hasil di wilayah tangerang terdiri dari satu bahasa dan tiga dialek, yaitu bahasa Tangerang dialek Barat Laut, bahasa Tangerang dialek Timur, dan bahasa Tangerang dialek Selatan. Selain itu, ditemukan pula tiga daerah pakai kosakata, yaitu daerah-pakai kosakata Sunda, daerah-pakai kosakata Jawa, dan daerah-pakai kosakata Melayu dan dua daerahpengaruh,yakni daerah pengaruh Jawa dan daerah pengaruh Melayu.

Mahsun, (1994) dengan judul penelitian Dialek Geografi Bahasa Sumbawa, menemukan bahasa Sumbawa terdiri dari empat kelompok dialek, yaitu dialek Jereweh meliputi daerah pengamatan 3,4,6; dialek Taliwang melipiti daerah pengamatan 7,8,9,10,11, dan 12; dialek Togo terdapat pada daerah pengamatan 1,2,5,23,dan 25;serta dialek Sumba Besar meliputi daerah pengamatan 13-22,24,26-30. Keempat dialek mengalami dua fase historis, yaitu fase pertama dimulai dengan pecahnya prabahasa Sumbawa ke dalam dua dialek, yaitu dialek Jereweh, Taliwang, dan Tongo pada satu pihak serta dialek Sumba Besar dalam pihak lainnya. Kemudian, fase kedua adalah terpisahnya satu kelompok dialek Jereweh, dialek Taliwang, dan dialek Tongo. Dengan demikian, dialek Sumbawa Besar memiliki pengaruh yang cukup kuat terhadap ketiga dialek Sumbawa lainnya. Sibarani dan Hanafiah, (2000) melakukan penelitian dengan judul Geografi Dialek Bahasa Mandailing, penelitian tersebut memfokuskan pada variasi unsur kosakata bahasa Mandailing dengan pemetaan variasi dialek serta penafsiran peta dialek bahasa Mandailing. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa bahasa Mandailing masih tergolong dalam perbedaan dialek karena memiliki 53,13% perbedaan leksikal. Hasil tersebut diperoleh berdasarkan data bahwa dari 495 kosakata yang diajukan terdapat perbedaan sebanyak 263 kosakata. Kisyani-Laksono, (2001) dengan judul Bahasa Jawa di daerah Jawa Timur bagian Utara dan Blambangan: Kajian Dialektologis dalam penelitian tersebut bahasa Jawa di Jawa Timur bagian Utara dan Blambangan menjadi dua kelompok dialek, yaitu dialek Osing dan dialek Jawa Timur (bukan Osing).

Dalam kedua dialek tersebut banyak ditemukan leksikon bahasa Jawa Kuno yang masih dipergunakan dan diperthankan penuturnya sampai saat ini. Selain itu, bahasa Jawa di Jawa Timur bagian Utara dan Blambangan ternyata bersentuhan dan dipengaruhi oleh bahasa lain, seperti bahasa Madura,bahasa Bali, dan bahasa Melayu. Hal itu terbukti dari beberapa bentuk dan pola serapan dari bahasabahasa tersebut yang digunakan di daerah pengamatan. Selain itu, dikatakan bahwa daerah Tengger merupakan daerah cenderung terisolasi dan daerah inovatif meliputi subdialek Sidoarjo, Rowo Gempol, dan Dialek Osing. Putra, (2007) dengan judul Segmentasi Dialektal Bahasa Sumba di Pulau Sumba: Suatu Kajian Dialektologi hasil penelitian ini menunjukkan Dialek Bahasa di Pulau Sumba dapat dikelompokkan kedalam lima dialek, yaitu dialek Mauralewa-Kambera, dialek Wano Tana, dialek Waijewa-Louli, dialek Kodi, dan dialek Lamboya. Dialek dan subdialek Bahasa Sumba di Pulau Sumba ini menerapkan pengelompokan bahasa, yaitu menggunakan berkas isoglos, penghitungan dialektometri (leksikon dan fonologis), penghitungan dialektometi lesikal dan fonologis serta perhitungan permutasi. Pusat Bahasa Jakarta, (2008) tentang Hubungan Kekerabatan dan Pemetan Bahasa-Bahasa Daerah di Indonesia. Penelitian ini sebagai kajian dialektologi mencakupi hampir seluruh wilayah di Indonesia. Analisis penelitian difokuskan pada perbedaan fonologi dan leksikal. Pengumpulan data dilakukan sejak tahun 1992 hingga 2008 dikumpulkan sebanyak 2185 daerah pengamatan yang tersebar di seluruh Indonesia. Jumlah kata yang dianalisis sebanyak 400 kosakata, 200 termasuk didalamnya daftar kata Swadesh.

Sembiring, (2009) dalam disertasinya yang berjudul Variasi Dialek Bahasa Karo di Kabupaten Karo, Deli Serdang, dan Langkat melakukan penelitian pada variasi ujaran antarpenuturnya disebabkan karena adanya perbedaan geografi. Penelitian dilakukankan dengan menggunakan 560 kosakata. Dua ratus kata diantaranya termasuk dalam daftar Swadesh dikumpulkan dari 18 daerah pengamatan dari 3 kabupaten. Peneliti melakukan penghitungan dialektometri pada perbedaan fonologis dan leksikal. Dengan penerapan metode dialektometri tersebut menghasilkan tiga dialek, yaitu Dialek Karo Singalor Lau dengan daerah pemakaiannya di Kecamatan Juhar, dan Lau Baleng. Dialek Karo Julu daerah pemakaiannya di Kecamatan Tiga Panah dan Merek dengan subdialeknya di Kecamatan Kuta Buluh dan Payung, dan dialek Karo Jahe yang daerah pemakaiannya di kabupaten Langkat serta daerah subdialeknya di Kabupaten Deli Serdang. Penelitian ini mendeskripsikan sebaran wilayah tutur bahasa Karo, serta rekonstruksi fonem vokal dan konsonan antar dialek Bahasa Karo. Penelitian yang dilakukan adalah mengenai bahasa bahasa Batak Toba yang terdapat di enam kabupaten yaitu Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Samosir, Kabupaten Tapanuli Tengah, dan Kabupaten Dairi. Dalam penelitian ini akan dicermati apakah masih satu bahasa atau sudah terjadi variasi bahasa atau dialek yang berbeda mengingat geografis serta budaya berbeda dan dipisahkan oleh batasbatas wilayah tertentu. Peneliti mengkaji fonologi,morfologi dan leksikon serta memetakan dan membuat garis isoglos dengan menggunakan penghitungan dialektometri.

2.2.7 Kerangka Teori Dialektologi Dialektologi Struktural Dialek Isogolos Beda Wicara Metode Pengumpulan Data Metode Wawancara Metode Simak Metode Cakap Metode Analisis Data Metode Dialektometri Metode Padan Berkas Isoglos Variasi Bahasa Pola Variasi Peta Pola Variasi Pemetaan Variasi Bahasa Batak Toba Evaluasi

Berdasarkan kerangka teori diatas dapat dijelaskan bahwa, kerangka Teori yang digunakan dalam penelitian dialektologi ini mencakup dialektologi struktural. Dalam dialektologi struktural akan memberikan pemahaman tentang dialek, isoglos dan beda wicara. Dalam hal ini, untuk mengumpulkan data menggunakan metode wawancara, metode simak, dan metode cakap. Penggunaan ketiga metode di atas, sangat berguna dan menguntungkan dalam mengumpulkan data dari informan karena berhubungan langsung dengan penulis dan penulis lebih memahami makna kosakata yang di kumpulkan. Metode analisis data yang digunakan adalah metode analisis data dialektometri dengan menggunakan rumus Seguy dengan rumus S/n x 100%. Dimana S = jumlah beda dengan daerah pengamatan lain, n= jumlah peta yang dibandingkan, dan d= jarak kosakata dalam %. Selain itu, metode padan dan berkas isoglos digunakan untuk membuktikan perbedaan dan bentuk peta dialek atau bahasa. Dengan demikian akan jelaslah terbukti apakah ada variasi bahasa, pola variasi dan peta pola variasi dalam Bahasa Batak Toba. Jadi dari ketiga hal tersebut yaitu, variasi bahasa, pola variasi, dan peta pola variasi akan menghasilkan peta variasi Bahasa Batak Toba.