BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Fungsi kesejahteraan dan keselamatan pada manusia untuk mempertahankan volume, komposisi dan distribusi cairan tubuh sebagian besar dijalankan oleh ginjal (Brenner, 1979 dalam Lubis, 2006). Ginjal berfungsi untuk mengatur keseimbangan air dalam tubuh, mengatur konsentrasi garam dalam darah dan keseimbangan asam basa darah, mengontrol sekresi hormon, serta ekskresi sisa metabolisme, racun dan kelebihan garam (Price & Wilson, 2006; Syaifuddin, 2006). Gagal ginjal merupakan penyakit sistemik dan merupakan jalur akhir yang umum dari berbagai penyakit traktus urinarius dan ginjal (Bare & Smeitzer, 2002) awitan gagal ginjal dapat terjadi secara akut dan kronis. Dikatakan akut apabila penyakit berkembang sangat cepat, terjadi dalam beberapa jam atau dalam beberapa hari. Sedangkan kronis, terjadi dan berkembang secara perlahan, sampai beberapa tahun (Dero, Dayrit & Siswadi, 2009). Gagal Ginjal Kronis (GGK) adalah suatu sindrom klinis disebabkan penurunan fungsi ginjal yang bersifat menahun, berlangsung progresif dan cukup berlanjut, serta bersifat persisten dan irreversible (Mansjoer, 2000). GGK makin banyak menarik perhatian dan makin banyak dipelajari, meskipun sudah mencapai tahap gagal ginjal terminal, penderita masih dapat bertahan dengan kwalitas hidup yang cukup baik (Sidabutar, 1992 dalam Lubis, 2006). Berdasarkan estimasi badan kesehatan dunia (WHO) secara global lebih dari 500 juta orang mengalami penyakit gagal ginjal kronis. Sekitar 1,5 juta orang harus menjalani hidup bergantung pada cuci darah atau hemodialisa. Prevalensi penderita gagal ginjal kronik di Amerika Serikat pada tahun 2002 sekitar 345.000 orang, pada tahun 2007 bertambah 80.000 orang dan diperkirakan pada tahun 2010 angka tersebut menjadi 660.000 orang. 1
2 Hampir setiap tahunnya sekitar 70.000 orang di Amerika Serikat meninggal dunia disebabkan oleh gagal ginjal (Lewis, Heitkamper & Dirksen, 2004). Saat ini di Indonesia terdapat sekitar 70.000 penderita gagal ginjal kronik yang memerlukan cuci darah (Siswono, 2008). Kasus gagal ginjal di Jawa Tengah sebanyak 32.010 tindakan sedangkan di Pekalongan kasus gagal ginjal kronik pada tahun 2009 mencapai 139 kasus. Meski demikian angka tersebut tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya. (Susalit, 2007) mengatakan penyakit gagal ginjal merupakan fenomena gunung es, yang penderitanya lebih banyak tidak diketahui dan tidak tercatat. Kesimpulan serupa dengan hasil penelitian Roderick, Atkins, Smeeth, et.al (2008), bahwa hampir setengah dari penduduk yang memiliki penyakit ginjal tidak mengetahui bahwa ada yang salah dengan ginjalnya. Pasien yang mengalami GGK akan menunjukkan gejala seperti terjadinya penurunan lemak tubuh, retensi air dalam jaringan, perubahan warna kulit tubuh, gerakan yang melambat serta adanya penumpukan zat yang tidak diperlukan lagi oleh tubuh (Lemonce & Burke, 2004). Gejala ini merupakan suatu fenomena universal progresif dan tidak dapat diperbaiki lagi. Pada pasien GGK terdapat tiga pilihan untuk mengatasi masalah yang ada yaitu : tidak diobati, dialisis kronis (dialisis peritoneal/hemodialisa), serta transplantasi. Pilihan tidak diobati pasti dipertimbangkan tetapi jarang dipilih, kebanyakan orang memilih untuk mendapatkan pengobatan dengan hemodialisa atau transplantasi dengan harapan dapat mempertahankan hidupnya (Hudak, Gallo, Fontaine & Morton, 2006). Sinaga (2007) mengatakan bila pasien telah mengalami GGK stadium berat, untuk mempertahankan hidupnya diperlukan terapi sementara berupa cuci darah (hemodialisa). Hal serupa disampaikan Roesli (2006), sistem dialisa bagi penderita GGK merupakan satu-satunya cara untuk dapat bertahan hidup. Sedangkan pengobatan lain seperti transplantasi ginjal masih terbatas karena banyak kendala yang harus dihadapi, diantaranya ketersediaan ginjal, teknik operasi dan juga perawatan pada waktu pasca operasi.
3 Menentukan pilihan untuk memperpanjang usia harapan hidup bukan hal yang mudah bagi individu yang menderita GGK. Pasien mempunyai banyak pertimbangan dalam memilih terapi sesuai kemampuan yang dimilikinya. Apabila pasien memilih untuk tidak menjalani transplantasi, maka seumur hidupnya akan bergantung pada alat dialisa untuk menggantikan fungsi ginjalnya (Lubis, 2006). Dialisa merupakan suatu tindakan terapi pengganti ginjal yang telah rusak (Cahyaningsih, 2008). Tindakan ini dapat membantu atau mengambil alih fungsi normal ginjal. Terapi pengganti yang sering dilakukan adalah hemodialisa dan peritoneal dialisa (Riscmiller & Cre, 2006). Diantara kedua jenis tersebut, yang menjadi pilihan utama dan merupakan metode perawatan umum untuk pasien gagal ginjal adalah hemodialisa (Kartono, Darmarini & Roza, 1992 dalam Lubis, 2006). Pasien gagal ginjal yang menjalani hemodialisa, membutuhkan waktu 12-15 jam untuk dialisa setiap minggunya, atau paling sedikit 3-4 jam per kali terapi. Kegiatan ini akan berlangsung terus-menerus sepanjang hidupnya (Bare & Smeltzer, 2002). Selama ini hemodialisa berkala (Intermiten) masih merupakan pilihan utama untuk pengobatan gagal ginjal terminal sebelum transplantasi ginjal. Hemodialisa dilakukan dengan mengalirkan darah ke dalam suatu alat yang terdiri dua ruangan atau kompartemen. Kompartemen pertama adalah kompartemen yang di dalamnya mengalir darah penderita yang dibatasi oleh selaput semipermiabel buatan (artificial) dengan kompartemen kedua yang berisi cairan dialisat. Darah mengalir ke tempat dialisis yang disebut dengan ginjal buatan (Hollow Fiber atau Artificial Kidney) melalui satu jalur atau akses khusus. Hemodialisa di Indonesia dimulai pada tahun 1970 dan sampai sekarang telah banyak dilakukan di RS rujukan. Umumnya digunakan ginjal buatan dengan kapiler semi permiabel (Hallow Fiber Kidney), jarang digunakan bentuk lempeng (plate) atau lilitan (coil). Penggunaan ginjal buatan pemakaian berulang atau reuse dialyzer telah dilakukan lebih dari 56% unit hemodialisa di Amerika Serikat, Eropa
4 sekitar 35% dan Australia sekitar 47% dengan hasil yang baik serta penghematan yang cukup besar dari pembiayaannya. Berbagai peneliti, Wing (1978), Mather (1981), dan Kant (1984) melaporkan bahwa pemakaian ginjal buatan pakai berulang tetap aman dan efektif. Bahkan Polak (1986) telah mengadakan pengamatan yang cukup lama, yaitu 12 tahun dan mendapatkan bahwa ginjal pemakaian ginjal buatan tidak membawa dampak yang negatif. Martakusumah (1991) mengatakan bahwa pemakaian ginjal buatan sampai enam kali tidak menurunkan kliren ureum. Hal ini juga sesuai dengan pernyataan dari pengurus besar Perhimpunan Nefrologi Indonesia. Kliren ureum merupakan parameter terbaik untuk menilai efisiensi ginjal buatan, sedangkan rasio penurunan ureum merupakan perhitungan sederhana untuk melihat efisiensi. Sehingga tujuan penelitian ini bertujuan untuk mempelajari pengaruh pemakaian ulang dialyzer terhadap kliren ureum. B. Rumusan Masalah Kasus gagal ginjal kronik semakin meningkat sehingga jumlah pasien yang harus menjalani tindakan hemodialisa juga semakin meningkat. Dengan pembiayaan yang mahal sering kali pasien tidak dapat melakukan cuci darah secara rutin yang seharusnya 12-15 jam/minggu, hal ini tentu sangat berpengaruh terhadap keberhasilan tindakan hemodialisa. Selain itu mahalnya tindakan hemodialisa juga mendorong Center Dialisis untuk menggunakan ginjal buatan secara berulang atau reuse dialyzer. Hal ini bukan tanpa resiko apabila bila pencucian ginjal buatan ini tidak memperhatikan prosedur sehingga kemampuan ginjal buatan semakin berulang akan menurun, dampak akhirnya akan berpengaruh terhadap adequasi dialisis. Di unit hemodialisa RSU Kraton Pekalongan pelayanan HD dimiliki pada tahun 2004. sejak awal unit hemodialisa RSU Kraton telah menggunakan ginjal buatan secara berulang (reuse). Hal ini disebabkan karena pembiayaan untuk hemodialisa yang mahal. Namun apakah
5 penggunaan ginjal buatan secara berulang ini akan memberikan hasil yang sama dengan penggunaan ginjal buatan sekali pakai, dan apakah tidak terjadi penurunan fungsi ginjal buatan tersebut terhadap pemakaian berulang? Berdasarkan uraian di atas maka rumusan masalah yang muncul adalah perbedaan penggunaann hemodialisa new dialyzer dan reuse dialyzer terhadap penurunan kadar ureum pada penderita gagal ginjal kronik di Unit Hemodialisa RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Penelitian ini bertujuan mengetahui perbedaan penggunaan new dialyzer dengan reuse dialyzer terhadap penurunan kadar ureum pada penderita gagal ginjal kronik di Unit Hemodialisa RSUD Kraton Kabupaten Pekalongan. 2. Tujuan Khusus a. Mendeskripsikan kadar ureum pre dan post hemodialisa pada new dialyzer. b. Mendeskripsikan kadar ureum pre dan post hemodialisa pada reuse dialyzer. c. Mendeskripsikan penurunan kadar ureum pada new dialyzer d. Mendeskripsikan penurunan kadar ureum pada reuse dialyzer e. Menganalisis perbedaan penurunan kadar ureum pada new dialyzer dengan reuse dialyzer 1 f. Menganalisis perbedaan penurunan kadar ureum pada new dialyzer dengan reuse dialyzer 2 g. Menganalisis perbedaan penurunan kadar ureum pada new dialyzer dengan reuse dialyzer 3 h. Menganalisis perbedaan penurunan kadar ureum pada new dialyzer dengan reuse dialyzer 4 i. Menganalisis perbedaan penurunan kadar ureum pada new dialyzer dengan reuse dialyzer 5
6 D. Manfaat Penelitian 1. Bagi Rumah Sakit Hasil penelitian ini dapat dijadikan masukan dalam rangka meningkatkan kualitas pelayanan di unit hemodialisa RSU Kraton Pekalongan, terutama bagi pasien umum karena dapat mengurangi biaya hemodialisa. 2. Bagi Perawat a. Mengetahui pengaruh reuse dialyzer pada kliners ureum pada pasien gagal ginjal kronik yang dilakukan HD. b. Mengetahui keuntungan dan kerugian penggunaan reuse dialyzer. c. Lebih memperhatikan prosedur dalam melaksanakan reuse dialyzer. 3. Institusi Pendidikan Sebagai bahan masukan untuk meningkatkan wawasan penelitian lebih lanjut tentang pengaruh reuse dialyzer pada klirens ureum. E. Bidang Ilmu Penelitian ini mencakup bidang ilmu keperawatan medikal bedah