Karakteristik Sarang Orangutan (Pongo pygmaeus morio) Pada Beberapa Tipe Hutan Di Kalimantan Timur

dokumen-dokumen yang mirip
EKOLOGI, DISTRIBUSI dan KONSERVASI ORANGUTAN SUMATERA

KARAKTERISTIK SARANG ORANGUTAN (Pongo pygmaeus morio) DI KAWASAN ZONA PENYANGGA TAMAN NASIONAL KUTAI, KALIMANTAN TIMUR

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2017 ISBN:

Estimasi Populasi Orang Utan dan Model Perlindungannya di Kompleks Hutan Muara Lesan Berau, Kalimantan Timur

I. PENDAHULUAN. Sumatera Barat merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang kaya dengan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Salah satu primata arboreal pemakan daun yang di temukan di Sumatera adalah

BRIEF Volume 11 No. 05 Tahun 2017

BUKU CERITA DAN MEWARNAI PONGKI YANG LUCU

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. Siamang (Hylobates syndactylus) merupakan salah satu jenis primata penghuni

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

DAFTAR PUSTAKA. Alikodra, S. H Pengelolaan Satwa Liar Jilid I. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

I. PENDAHULUAN. Berkurangnya luas hutan (sekitar 2 (dua) juta hektar per tahun) berkaitan

Prosiding Seminar Nasional Biotik 2015 ISBN:

I. PENDAHULUAN. liar di alam, termasuk jenis primata. Antara tahun 1995 sampai dengan tahun

I. PENDAHULUAN. mengkhawatirkan. Dalam kurun waktu laju kerusakan hutan tercatat

Informasi singkat tentang jenis primata baru khas Sumatera. Orangutan Tapanuli. Pongo tapanuliensis. Jantan dewasa Orangutan Tapanuli Tim Laman

I. PENDAHULUAN. Primata merupakan salah satu satwa yang memiliki peranan penting di alam

I. PENDAHULUAN. Distribusi dan status populasi -- Owa (Hylobates albibarbis) merupakan

Kampus USU Medan 20155

BAB I PENDAHULUAN. endemik pulau Jawa yang dilindungi (Peraturan Pemerintah RI Nomor 7 Tahun

KEPADATAN INDIVIDU KLAMPIAU (Hylobates muelleri) DI JALUR INTERPRETASI BUKIT BAKA DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL BUKIT BAKA BUKIT RAYA KABUPATEN MELAWI

Mengembalikan Fungsi Ekosistem. Fungsi Ekosistem 11/1/2013. Ruang Lingkup. Konservasi. Pemanfaatan dan pelestarian. Restorasi.

I. PENDAHULUAN. tinggi adalah Taman Hutan Raya Wan Abdurahman. (Tahura WAR), merupakan

POPULASI BEKANTAN Nasalis larvatus, WURM DI KAWASAN HUTAN SUNGAI KEPULUK DESA PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia yang ada di Kepulauan Mentawai, Sumatra Barat. Distribusi yang

PERILAKU MAKAN DAN JENIS PAKAN ORANGUTAN(Pongo pygmaeus) DI YAYASAN INTERNATIONAL ANIMAL RESCUE INDONESIA (YIARI) KABUPATEN KETAPANG KALIMANTAN BARAT

SIKAP MASYARAKAT TERHADAP PERBURUAN DAN PERDAGANGAN ORANGUTAN (Pongo pygmaeus) DI DESA KEPARI KECAMATAN SUNGAI LAUR KABUPATEN KETAPANG

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Orangutan. tetapi kedua spesies ini dapat dibedakan berdasarkan warna bulunnya

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dijadikan sebagai daya tarik wisata, seperti contoh wisata di Taman Nasional Way

KARAKTERISTIK DAN KERAPATAN SARANG ORANGUTAN (PONGO PYGMAEUS WURMBII) DI HUTAN DESA BLOK PEMATANG GADUNG KABUPATEN KETAPANG PROPINSI KALIMANTAN BARAT

PERILAKU DAN JELAJAH HARIAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelli Lesson, 1827) REHABILITAN DI KAWASAN CAGAR ALAM HUTAN PINUS JANTHO, ACEH BESAR ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. Kukang di Indonesia terdiri dari tiga spesies yaitu Nycticebus coucang

STUDI EVALUASI PENETAPAN KAWASAN KONSERVASI TAMAN NASIONAL BUKIT TIGAPULUH (TNBT) KABUPATEN INDRAGIRI HULU - RIAU TUGAS AKHIR

I. PENDAHULUAN. Seluruh jenis rangkong (Bucerotidae) di Indonesia merupakan satwa yang

Faktor Faktor Penentu Keberhasilan Pelepasliaran Orangutan Sumatera (Pongo Abelii) di Taman Nasional Bukit Tigapuluh

PENGELOLAAN PASCA PELEPASLIARAN DAN AKTIVITAS ORANGUTAN (Pongo pygmaeus wurmbii Groves, 2001) EX-CAPTIVE DI SUAKA MARGASATWA LAMANDAU

DIREKTORAT JENDERAL PERLINDUNGAN HUTAN DAN KONSERVASI ALAM

POLA AKTIVITAS ORANGUTAN (Pongo abelii) DI KAWASAN TAMAN NASIONAL GUNUNG LEUSER KETAMBE ACEH TENGGARA

I. PENDAHULUAN. margasatwa, kawasan pelestarian alam seperti taman nasional, taman wisata alam,

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

KONSERVASI Habitat dan Kalawet

BAB I PENDAHULUAN. negara kepulauan yang terdiri dari tujuh belas ribu pulau. Pulau yang satu dengan

Tugas Portofolio Pelestarian Hewan Langka. Burung Jalak Bali

VI. PERATURAN PERUNDANGAN DALAM PELESTARIAN ELANG JAWA

Written by Admin TNUK Saturday, 31 December :26 - Last Updated Wednesday, 04 January :53

PENDAHULUAN Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) merupakan satwa dilindungi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

POLA PENGGUNAAN RUANG OLEH ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii, LESSON 1827) DI TAMAN MARGA SAWTA RAGUNAN RIZKI KURNIA TOHIR E

II. TINJAUAN PUSTAKA. sumatera. Klasifikasi orangutan sumatera menurut Singleton dan Griffiths

I. PENDAHULUAN. paling tinggi di dunia. Menurut World Wildlife Fund (2007), keanekaragaman

POLA PENGGUNAAN WAKTU OLEH ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii, LESSON 1827) DI TAMAN MARGA SAWTA RAGUNAN RIZKI KURNIA TOHIR E

Ketelitian Metode Sarang untuk Pendugaan Populasi Orangutan dan Penentuan Faktor Ekologi Penting dalam Manajemen Hutan Konservasi

WANDA KUSWANDA, S.HUT, MSC

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Kondisi koridor TNGHS sekarang diduga sudah kurang mendukung untuk kehidupan owa jawa. Indikasi sudah tidak mendukungnya koridor TNGHS untuk

I. PENDAHULUAN. Kawasan lahan basah Bujung Raman yang terletak di Kampung Bujung Dewa

BRIEF Volume 11 No. 05 Tahun 2017

Konservasi Tingkat Komunitas OLEH V. B. SILAHOOY, S.SI., M.SI

JUMLAH INDIVIDU DAN KELOMPOK BEKANTAN (Nasalis larvatus, Wurmb) Di TAMAN NASIONAL DANAU SENTARUM KABUPATEN KAPUAS HULU

BAB I PENDAHULUAN. daratan Asia, tepatnya di sepanjang pegunungan Himalaya. Sudah hidup

Aktivitas Harian Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus) di Bali Safari and Marine Park, Gianyar

METODE PENELITIAN. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret sampai Agustus 2014.

3.3 Luas dan Potensi Lahan Basah Non Rawa

BAB I PENDAHULUAN. ditemukan di Indonesia dan 24 spesies diantaranya endemik di Indonesia (Unggar,

PENGAMATAN KEBERADAAN BADAK SUMATERA (Dicerorhinus sumatrensis) DI KUTAI BARAT DAN MAHAKAM ULU KALIMANTAN TIMUR. Indonesia-Program Kutai Barat

BAB I PENDAHULUAN. Sokokembang bagian dari Hutan Lindung Petungkriyono yang relatif masih

sebagai Kawasan Ekosistem Esensial)

I. PENDAHULUAN. Sumatera merupakan pulau yang memiliki luas hutan terbesar ketiga setelah pulau

Lampiran 3. Interpretasi dari Korelasi Peraturan Perundangan dengan Nilai Konservasi Tinggi

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

TINJAUAN PUSTAKA. Deskripsi Area. Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL) merupakan satu kesatuan

II. TINJAUAN PUSTAKA. Siamang yang ditemukan di Sumatera, Indonesia adalah H. syndactylus, di

PENYUSUNAN PROFIL KEANEKARAGAMAN HAYATI DAN PERUBAHAN TUTUPAN LAHAN GUNUNG PULOSARI PEGUNUNGAN AKARSARI

Gambar 2 Peta lokasi penelitian.

I. PENDAHULUAN. yang dimanfaatkan bagi kepentingan penelitian, ilmu pengetahuan, pendidikan,

Pemetaan Keanekaragaman Hayati Dan Stok Karbon di Tingkat Pulau & Kawasan Ekosistem Terpadu RIMBA

KAJIAN KEBERADAAN TAPIR (Tapirus indicus) DI TAMAN NASIONAL WAY KAMBAS BERDASARKAN JEBAKAN KAMERA. Surel :

Kata kunci: Fungsi hutan, opini masyarakat, DAS Kelara

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

TINJAUAN PUSTAKA. Klasifikasi dan Morfologi Orangutan Sumatera (Pongo abelii) Klasifikasi ilmiah orangutan Sumatera menurut Groves (2001) adalah

Title : Analisis Polaruang Kalimantan dengan Tutupan Hutan Kalimantan 2009

BAB I PENDAHULUAN. Keanekaragaman hayati dianggap sangat penting untuk kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. Perencanaan pengembangan wilayah merupakan salah satu bentuk usaha

keadaan seimbang (Soerianegara dan Indrawan, 1998).

PENDAHULUAN. Hutan rawa gambut adalah salah satu komunitas hutan tropika yang terdapat di

TINJAUAN PUSTAKA. Orangutan adalah kera besar, oleh karena itu memiliki ciri-ciri khas dasar

1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

West Kalimantan Community Carbon Pools

SEBARAN POHON PAKAN ORANGUTAN SUMATERA (Pongo abelii. Lesson,1827.) MENGGUNAKAN APLIKASI SISTEM INFORMASI GEOGRAFIS SKRIPSI

BAB III METODE PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. Taman nasional adalah kawasan pelestarian alam yang mempunyai ekosistem asli

Analisis Populasi Kalawet (Hylobates agilis albibarbis) di Taman Nasional Sebangau, Kalimantan Tengah

Transkripsi:

Karakteristik Sarang Orangutan (Pongo pygmaeus morio) Pada Beberapa Tipe Hutan Di Kalimantan Timur Teguh Muslim 1,2 dan Amir Ma ruf 1 1 Balai Penelitian Dan Pengembangan Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam Jl. Soekarno Hatta KM. 38 Samboja Kalimantan Timur 2 email: tm97_forester@yahoo.com Abstrak Keberadaan Orangutan (Pongo pygmaeus morio) di Kalimantan Timur mulai tergusur akibat konversi lahan untuk tujuan pertambangan dan perkebunan. Kondisi seperti ini dapat terlihat dari keberadaan sarang Orangutan dilokasi-lokasi yang tidak seharusnya berada. Disisi lain program restorasi habitat dan reintroduksi Orangutan belum berjalan dengan baik akibat kurangnya dukungan dari pemerintah dan masyarakat. Survei sarang Orangutan di kawasan hutan dapat dijadikan indikator keberhasilan program restorasi habitat dan reintroduksi. Karakteristik sarang dibeberapa tipe hutan berhubungan erat dengan keberadaan Orangutan pada kawasan tersebut. Lokasi survei dilakukan pada hutan primer, hutan fragmentasi dan hutan sekunder disekitar perkebunan masyarakat. Pada hutan primer ditemukan sarang yang lebih sedikit dibandingkan pada hutan fragmentasi dan hutan sekunder. Hal ini sangat dimungkinkan karena beberapa faktor, antara lain : luasan kawasan, sumber pakan serta ancaman dari keberadaan manusia. Karakteristik pohon, posisi dan tipe sarang sangat tergantung pada komposisi dan struktur vegetasi yang ada. Vegetasi pada hutan primer lebih bervariasi dalam komposisi dan struktur tegakan dari tingkat tiang (10 20 m) sampai tingkat pohon (20 m-up), memiliki sumber pakan yang bervariasi dan mencukupi serta kurangnya ancaman dari keberadaan manusia. Sedangkan pada hutan sekunder dan fragmentasi relatif sama yang didominasi jenis pioneer seperti Macaranga gigantea pada tingkat tiang (10 20 m), kurangnya variasi jenis pakan dan tingginya ancaman dari manusia. Kata kunci: Karakteristik, sarang Orangutan, Pongo pygmeus, Kalimantan Timur 1. PENDAHULUAN Pongo pygmaeus morio merupakan sub spesies orangutan Kalimantan (borneo orangutan) yang penyebarannya meliputi sebagian besar wilayah Kalimantan bagian timur termasuk beberapa kabupaten di wilayah Kalimantan Timur dan juga beberapa wilayah di Sabah Malaysia. Kemampuan beradaptasinya dalam habitat yang cukup sulit dimana ketersediaan makanan tidak melimpah dan terpencar-pencar dalam beberapa habitat kecil, hal ini dikarenakan perilaku pakan yang tidak terlalu banyak tergantung pada buah tetapi juga dapat menggunakan daun dan kambium batang sebagai sumber pakannya (Rayadin, 2010; Meijaard et al, 2001). Habitat yang memiliki kualitas baik bagi orangutan adalah yang memiliki pepohohan dan liana, yang dapat menyediakan buah-buahan sebesar 30 50%. Pada hutan rawa, dalam kondisi basah terdapat paling sedikit 40 jenis pohon penghasil pakan, sedangkan dalam kondisi kering sebanyak 60 jenis. Hingga saat ini tercatat lebih dari 1.000 species tumbuhan, jamur, dan hewan kecil yang menjadi pakan orangutan (Meijaard et al. (2001): Purwadi (2010). Ketersediaan pakan merupakan faktor ekologi terpenting dalam manajemen populasi orangutan, kegiatan pemantauan ketersediaan pakan alami, dan perbaikan habitat melalui pemeliharaan regenerasi tumbuhan pakan alami dapat menjamin kelestarian orangutan pada habitatnya (Santosa dan Rahman, 2012 dalam Kuswanda, 2013). Sebagian besar waktunya di atas pohon (arboreal) dengan membuat sarang dari ranting-ranting atas pohon. Setiap harinya orangutan membuat sarang 1 3 sarang dengan daya jelajah setiap harinya lebih dari 10 ha (Schaik et al., 1995). Menurut Schaik dan Idrusman (1996), dalam suatu pohon ada beberapa posisi sarang yang Hal- 1

biasa digunakan oleh orangutan yaitu posisi sarang yang terletak di dekat batang utama, posisi sarang yang terletak di tengah atau di pinggir cabang utama, dan posisi sarang yang terletak di puncak pohon. Merujuk kepada peranannya dalam ekosistem termasuk terhadap kesejahteraan masyarakat sekitar hutan, maka orangutan disebut sebagai salah satu spesies payung (umbrella species) yaitu spesies yang kelestariannya berpengaruh terhadap kelestarian ekosistem dimana spesies tersebut ditemukan (Santosa dan Rahman, 2012). Kerentanan orangutan dihabitatnya karena selain laju reproduksi yang sangat lambat 1 bayi dalam periode 8 s.d 9 tahun (Wich et al. 2009) juga memerlukan wilayah hutan yang luas dan tersambung untuk menopang kehidupannya (+ 500 km2 (Marshall et al. 2009). Fakta keberadaan orangutan di habitatnya di Pulau Kalimantan + 78% berada di luar kawasan konservasi. Dari angka + 78%, keberadaan Orangutan + 29 % berada di HPH, + 6% di HTI, dan + 19% di Kebun sawit, dan + 24% (di luar konsesi) Wich et al. (2012). Menurut Sugardjito (1986) dan Meijaard et al (2001) menyebutkan bahwa orangutan hanya mampu bertahan hidup pada habitat tropis yang masih primer. Habitat yang optimal bagi orangutan paling sedikit mencakup dua tipe lahan utama yaitu tepi sungai dan dataran tinggi kering yang berdekatan. Populasinya kini semakin berkurang akibat pemanfaatan hutan dengan berbagai kepentingan. Berdasarkan data yang dikeluarkan International Workshop on Population Habitat Viability Analysis (PHVA)-2004 melaporkan bahwa populasi orangutan di Kalimantan ada 57.797. Menurut IUCN diperkirakan dalam satu atau tiga dekade ke depan orangutan dikategorikan akan punah jika tidak ada upaya serius dalam mencegah kepunahan tersebut. Status konservasi orangutan dalam International Union for Conservation of Nature and Natural Resources termasuk kategori Critically Endangered atau kritis (Sumatra) dan Endangered atau terancam punah; dalam CITES termasuk Appendix 1. Di Indonesia perlindungan orangutan masuk dalam Peraturan Perlindungan Binatang Liar No. 233/1931; UU No.5 tahun 1990; SK. Menhut 10 Juni 1991, No.301/Kpts-II/1991dan PP No.7, 1999. Populasi orangutan harus ditingkatkan untuk mencegah kepunahan dengan menyediakan habitat yang sesuai untuk bertahan hidup dan bereproduksi. Untuk itu perlu dilakukan monitoring keberhasilan peningkatan populasi orangutan dengan pendekatan survei sarang. Selain untuk menduga populasi orangutan di kawasan tersebut, karakteristik sarang juga menjadi indikator kondisi habitat orangutan yang nantinya dapat dijadikan informasi sebagai acuan atau opsi yang harus atau tidak harus dilakukan dalam pengelolaan orangutan dan habitatnya sesuai dengan kondisi atau tingkat keterancamannya. 3. METODE PENELITIAN Pengumpulan data dilakukan dengan cara pencarian pohon sarang orangutan dalam area plot contoh seluas 1 ha. Setiap pohon sarang yang dijumpai dilakukan identifikasi pohon sarang yang meliputi : diameter pohon, tinggi pohon, tinggi sarang, dan tinggi bebas cabang serta posisi dan tipe sarang. Pengambilan titik koordinat juga dilakukan untuk melihat pola persebaran pohon sarang dan jarak antar pohon sarang. Posisi sarang diklasifikasikan berdasarkan letak sarang pada bagian pohon. Posisi sarang dibedakan atas 4 posisi dasar: (1) pola 1, yaitu sarang terletak pada cabang utama, (2) pola 2, yaitu sarang terletak pada cabang horizontal yang jauh dari batang atau dalam tulisan ini disebut sebagai ujung dahan, (3) pola 3, yaitu sarang terletak pada ujung batang/ujung pohon berbentuk garpu, (4) pola 4 yaitu Hal- 2

pertemuan cabang 2 pohon yang berbeda dan satu pola yang tidak umum yaitu pola ) dimana sarang dibuat di lantai hutan di bawah pohon (Prasetyo et al., 2009). Posisi sarang digambarkan sebagai berikut. Gambar 1. Posisi sarang orangutan, a) posisi I, b) Posisi II, c) Posisi III, d) posisi IV Selanjutnya, kelas sarang orangutan dibagi menjadi 5 kelas, yaitu kelas A, B, C, D, dan E (Ancrenaz et al., 2004). Sarang kelas A adalah sarang yang masih baru dan dicirikan dengan warna daun yang masih hijau, sarang kelas B atau sarang yang relatif baru merupakan campuran dari daun-daun yang berwarna hijau dengan daundaun kering, sarang kelas C yaitu berwarna coklat, tetapi bentuk sarang masih utuh, sarang kelas D adalah tipe sarang yang sangat tua yang dicirikan dengan adanya lubang pada sarang, dan sarang kelas E atau hampir hilang yaitu kelas sarang yang dicirikan dengan tidak ada daun, sedikit ranting dan bentuk sarang hampir hilang (Johnson et al., 2005). Gambar 2. Tipe Kelas Berdasarkan Umur Sarang Persamaan yang digunakan untuk menghitung kerapatan sarang orangutan adalah sebagai berikut (Buij et al., 2003; van Schaik et al., 1995 dalam Russon et al., 2001): Dimana: D (N) = kerapatan sarang orangutan N = jumlah sarang yang ditemukan l = panjang transek w = lebar jalur efektif (1) Tipe habitat berdasarkan lokasi penelitian yang berbeda dalam klasifikasi umur hutan dan status kawasan. Lokasi yang menjadi habitat orangutan antara lain : Kawasan Hutan Lindung Gunung Beratus, Kawasan terfragmentasi di Bengalon. Hutan Lindung Pegunungan Beratus (HLGB) merupakan sebuah kawasan hutan hujan dataran rendah dan hutan perbukitan yang sesuai dengan habitat asli orangutan (Russon, 1999). Kawasan terfragmentasi merupakan kawasan konsesi PT. KPC dan lahan masyarakat di Bengalon. Hal- 3

4. HASIL DAN PEMBAHASAN Habitat pada kawasan Hutan Lindung Gunung Beratus tersusun dari vegetasi dengan strata yang merata dari tingkat pancang, tiang sampai pohon. Jumlah semua sarang yang ditemukan yaitu 18 buah sarang dengan tipe D pada jarak antar sarang 25 m hingga 1300 m. Di Borneo, sarang Orangutan lebih banyak ditemukan pada daerah dataran banjir (food-plain) dan hutan rawa gambut dengan jumlah sarang rata-rata 0,5-2,9 per km2. Daerah dipinggiran sungai merupakan daerah dengan jumlah sarang terbanyak kedua, dengan rata-rata jumlah sarang 0,8-2,3 per km2. (Banjarnahor, 2011 dalam Kuswanda, 2013). Pohon sarang jenis Duabanga sp 4 (70%), Sloania sp, Shorea sp 2 (20%). Santiria sp, Sizigium sp (jambu-jambuan) 2, Gionsea sp 2 dan Garcinia sp (manggis). Terdapat 95 spesies tumbuhan dan satu spesies rayap Dicus piditermes yang dimakan Orangutan di Pegunungan Beratus. (Kuncoro, 2004). Ketinggian sarang antara 15-40 m. Pola sarang dari sarang tersebut yaitu terletak pada cabang utama 10 pohon, ujung dahan 4 dan pucuk pohon 4. Sarang kelas D sebanyak 100 % adalah tipe sarang yang berumur antara 16 24 minggu. Kelas sarang D ditandai dengan warna daun pada sarang yang dipergunakan telah berubah menjadi coklat hingga kehitaman. Tipe C, yaitu tipe sarang yang belum terlalu lama ditinggalkan namun daun penyusunnya sudah mengering dan bentuk sarang masih utuh. Kerapatan sarang orangutan di HLGB diperoleh hasil yaitu 0,00001125. Pada kondisi habitat yang ideal, satu individu orangutan diperkirakan membutuhkan luasan 100 hektar atau 1 km2. Pada habitat alaminya, orangutan dapat hidup dengan normal antara 5-6 individu dalam luasan1 km2. Nilai ini sangat kecil sehingga dengan kata lain bahwa orangutan di HLGB sudah tidak ada lagi. Pemilihan jenis Duabanga sp sebagai pohon sarang dikarenakan pada saat tersebut sedang musim berbuah. Orangutan biasanya akan membuat sarang di pohon pakan atau di sektarnya guna mempermudah pencarian makan keesokan harinya. Umumnya Sizigium sp. dipilih karena selain buahnya dapat dimakan juga daunnya mirip dengan rasa buahnya. Proporsi posisi sarang di Bengalon lebih merata dibandingkan Beratus tanpa penggunaan pucuk pohon. Penggunaan ujung dahan lebih besar untuk kedua lokasi dibandingkan pada posisi cabang utama seperti terlihat pada tabel 1. Pemilihan posisi sarang ini mempertimbangkan beberapa aspek yaitu berat dan besar orangutan. Orangutan yang besar mempunyai berat badan yang lebih berat, akan menggunakan cabang utama yang diperkirakan mampu dan nyaman menyangga tubuhnya. Sedangkan posisi sarang bisasanya juga mempertimbangkan letak pakan. Kadang-kadang orangutan mengambil makanan dari sarang tempat terakhir. Tabel 1. Proporsi Posisi Sarang pada Bagian Pohon di Dua Lokasi/Habitat Berbeda Lokasi/Habitat Posisi Sarang Ujung Dahan Cabang Utama Pucuk Pohon Beratus/Primer 78% 22% - Bengalon/Sekunder 69% 17% 14% Orangutan yang menggunakan Cabang Utama biasanya adalah orangutan dewasa sesuai dengan berat dan besar tubuhnya. Cabang utama sangat mampu untuk menahan beban yang cukup berat. Selain orangutan jantan dewasa, betina dewasa yang mempunyai anak lebih menyukai cabang utama. Hal ini berkaitan dengan keberadaan anak. Posisi Ujung dahan biasanya dipakai oleh orangutan remaja atau yang tidak terlalu berat. Posisi pucuk pohon dipilih oleh orangutan Hal- 4

untuk mempermudah mengamati gangguan dari luar. Sedangkan untuk posisi lantai hutan biasanya dipergunakan oleh orangutan rehabilitan dimana orangutan tersebut masih dalam tahap adaptasi di hutan. a b Gambar 3. Persentase Penggunaan Sarang Berdasarkan Jenis Pohon (a) Beratus (b) Bengalon Pemilihan jenis pohon sarang ini dipengaruhi oleh posisi dengan pohon pakan dan posisi pohon yang memungkinkan orangutan membuat sarang dan dapat mengamati keadaan sekitar. Hal ini juga terjadi pada orangutan liar dimana sarang yang dibuat orangutan akan mempunyai area pandang yang luas sehingga dapat mengetahui bahaya yang setiap saat bisa muncul. Beberapa bahaya ditimbulkan dari satwa lain terhadap orangutan antara lain seperti beruang madu dan ular. Sedangkan habitat di kawasan hutan terfragmentasi PT. KPC dan lahan masyarakat didominasi oleh vegetasi tingkat pancang. Sarang Orangutan dipinggir jalan hanya berjarak 10 meter sampai yang paling jauh yang masih dapat terlihat tanpa bantuan alat teropong sekitar 500 meter. Kondisi (aman) seperti itu mungkin tidak dialami oleh orangutan yang sarangnya sudah terdesak oleh Perusahaan dan masyarakat. Mungkin pada kondisi yang tidak aman maka Orangutan selalu berpindah-pindah pohon untuk membuat sarang baru. Pohon-pohon yang dijadikan sarang orangutan adalah pohon yang memiliki tinggi 9 25 meter dan posisi sarang berada ujung dahan, pucuk pohon dan cabang utama diketinggian sarang 8 21 meter diatas permukaan tanah. Tidak dijumpai sarang baru tipe A (hijau), agak baru tipe B (Hijau kecoklatan) dan agak lama C (Coklat kehijauan). Walaupun tipe sarang tergolong lama (D), bukan berarti sarang tersebut tidak dipergunakan lagi. Jenis pohon paling banyak digunakan sebagai pohon sarang adalah Macaranga gigantea (Mahang) kemudian disusul dengan Eusyderoxylon zwagerii (Ulin). Jenis Macaranga sebagai pohon sarang juga sebagai pohon pakan karena orangutan memakan kulit kayunya. (Kuncoro, 2004). Tinggi dan diameter pohon mungkin saja mempengaruhi Orangutan dalam membuat sarang. Pohon yang lebih banyak dipilih Orangutan untuk dijadikan sarang berukuran tinggi antara 12 16 meter dengan diameter antara 25 30 cm. Tingginya penggunaan pohon sarang dari jenis mahang dapat mengindikasi bahwa suatu kawasan tersebut didominasi oleh jenis pohon mahang yang berarti juga bahwa kawasan tersebut terganggu. Sedangkan pengecualian untuk pohon sarang dari jenis ulin yang banyak dijumpai justru pada kawasan sekitar kebun masyarakat yang belum digarap untuk perkebunan yang hanya menunjukkan sisa-sisa berupa tunggul dari pohon ulin dan yang belum ditebang karena berdiameter kecil. Hal- 5

Sarang-sarang yang dibuat pada pohon Ulin dan Mahang dapat juga mengindikasikan dua kondisi yang bertolak belakang dalam perilaku Orangutan membuat sarang. Sarang pada pohon ulin dibuat karena pohon tersebut lebih kuat dari mahang dan juga dipakai untuk waktu yang lebih lama daripada pohon sarang dari jenis mahang. Sedangkan banyaknya pohon mahang yang dijadikan sarang tidak berarti bahwa dalam suatu kawasan tersebut banyak terdapat Orangutan. Pohon mahang yang berumur pendek dan cabang-cabangnya mudah lapuk menyebabkan Orangutan selalu berpindah-pindah membuat sarang. 5. KESIMPULAN Perbedaan kondisi habitat membuat variasi karakteristik pada sarang orangutan. Pemilihan pohon sarang dapat didasarkan oleh ketersedian jenis dan ukuran pohon pada suatu luasan habitat. Faktor eksternal dari pemilihan pohon sarang lebih disebabkan oleh tingkat keterancaman atau gangguan dari manusia. 6. DAFTAR PUSTAKA Ancrenaz, M; R. Calaque; I. Lackman. 2004. Orangutan Nesting Behavior in Disturbed Forest of Sabah, Malaysia: Implications for Nest Census. International Journal of Primatology, Vol. 25, No.5, October 2004. Buij, R; I. Singleton; E. Krakauer; C.P. van. Schaik. 2003. Rapid Assessment of Orangutan Density. Biological Conservationn 114: 103-113. IUCN, 2004 IUCN Red List of Threatened Species. Pongo pygmaeus. Johnson, A.E; C.D. Knott; B. Pamungkas; M. Pasaribu; A.J. Marshall. 2005. A Survey of The Orangutan (Pongo pygmaeus wurmbii) Populatin In and Around Gunung Palung National Park, West Kalimantan, Indonesia Based On Nest Counts. Biological Conservation 121: 495-507. Kuncoro, (2004), Aktivitas Harian Orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus Linnaeus, 1760) Rehabilitan di Hutan Lindung Pegunungan Meratus Kalimantan Timur (Skripsi). Kuswanda, W. (2013). Seleksi Sumberdaya Habitat Orang Utan (Pongo abelii Lesson 1827) Di Cagar Alam Sipirok, Sumatera Utara. Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam. Vol. 10 No.3 Desember 2013 : 255-271 Kuswanda, W. (2007). Ancaman terhadap kelangsungan hidup orangutan Sumatera (Pongo abelii Lesson). Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam IV(4), 409-417. Ma ruf, A dan T. Muslim. 2015. Laporan Survei Sarang Orangutan di Bengalon. Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam. Samboja. Tidak Dipublikasikan. Ma ruf, A dan T. Muslim. 2014. Laporan Survei Sarang Orangutan di Hutan Lindung Gunung Beratus. Balai Penelitian Teknologi Konservasi Sumber Daya Alam. Samboja. Tidak Dipublikasikan. Hal- 6

Mathewson, P.D; S.N. Spehar; E. Meijaard; Nardiyono; Purnomo; A. Sasmirul; Sudiyanto; Oman; Sulhunudin,; Jasary; Jumali; A.J. Marshall. 2008. Evaluating Orangutan Census Techniques Using Nest Decay Rates: Implications For Population Estimates. Ecological Applications, 18(1), pp 208-221. Meijaard, E., Rijksen, H.D., & Kartikasari, S.N. (2001). Di ambang kepunahan! kondisi orangutan liar diawal abad ke-21. Jakarta: The Gibbon Foundation Indonesia. Mitani, J.C. (1985). Mating behaviour of males orangutans in the Kutai Game Reserve, Indonesia. Animal Behaviour 33, 392-402. Prasetyo, D; M. Ancrenaz; H.C. Morrogh-Bernard; S.S.U. Atmoko; S.A Wich. C.P van Schaik. 2009. Nest Building in Orangutan. On: S.A. Wich; S.S.U Atmoko;T.M. Setia; C.P. van Schaik, editor. Orangutans Geographic Variation in Bahavioral Ecology and Conservation. New York: Oxford University Press (269-278). Purwadi. (2010). Karakteristik habitat preferensial orangutan Pongo pygmaeus wurmbii di Taman Nasional Sebangau. (Thesis Program Pasca Sarjana). Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rahmawaty; Khairida; E. Siagian. 2006. Bentuk Partisipasi Masyarakat Dusun III Tongkoh, Desa Dolat Raya, Kecamatan Tiga Panah, Kabupaten Karo, Provinsi Sumatera Utara Terhadap Upaya Konservasi di Taman Hutan Raya Bukit Barisan. Karya Tulis. Dephut. Fakultas Pertanian, Universitas Sumatera Utara. Medan. Rayadin, Y. 2010. Survey Populasi Orangutan (Pongo pygmaeus morio) dan Habitatnya di Jantung Taman Nasional Kutai. Draft Laporan. OCSP Kalimantan- Balai Taman Nasional Kutai. Tidak dipublikasikan. Russon, A.E; A. Erman; R. Dennis. 2001. The Population and Distribution of Orangutans (Pongo pygmaeus pygmaeus) In and Around The Danau Sentarum Wildlife Reserve, West Kalimantan, Indonesia. Biological Conservation 21-28. Sugardjito, J. (1986). Ecological constrains on the behaviour of Sumatran orangutan in the Gunung Leuser National Park, Indonesia. (Thesis Utrecht University). Nederlands. Hal- 7