BAB I. PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. pada tahun 2002 dan peringkat ke 5 di seluruh dunia (Fauci et al., 2008).

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. morbiditas dan mortalitas PTM semakin meningkat baik di negara maju maupun

BAB 1 PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang. pada awalnya mungkin menimbulkan sedikit gejala, sementara komplikasi

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetes mellitus (DM) adalah sekelompok gangguan metabolik. dari metabolisme karbohidrat dimana glukosa overproduksi dan kurang

BAB 1 PENDAHULUAN. Diabetic foot merupakan salah satu komplikasi Diabetes Mellitus (DM).

UKDW BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Diabetes melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang banyak dialami oleh

BAB 1 PENDAHULUAN. Universitas Sumatera Utara

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. Diabetes Melitus disebut juga the silent killer merupakan penyakit yang akan

BAB 1 PENDAHULUAN. menggunakan insulin yang telah diproduksi secara efektif. Insulin merupakan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Diabetes Melitus (DM) merupakan salah satu penyakit metabolik yang

BAB I PENDAHULUAN. manifestasi berupa hilangnya toleransi kabohidrat (Price & Wilson, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat, lipid dan protein

BAB 1 PENDAHULUAN. Keberhasilan suatu pengobatan tidak hanya dipengaruh i oleh. kesehatan, sikap dan pola hidup pasien dan keluarga pasien, tetapi

Pengobatan diabetes tipe 2 yang agresif. Lebih dini lebih baik. Perjalanan penyakit Diabetes tipe 2 : Keadaan patologik yang mendasarinya

BAB I PENDAHULUAN. berkembang adalah peningkatan jumlah kasus diabetes melitus (Meetoo & Allen,

BAB 1 PENDAHULUAN. Premier Jatinegara, Sukono Djojoatmodjo menyatakan masalah stroke

I. PENDAHULUAN. WHO (2006) menyatakan terdapat lebih dari 200 juta orang dengan Diabetes

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Pendahuluan

BAB I PENDAHULUAN. insulin yang tidak efektif. Hal ini ditandai dengan tingginya kadar gula dalam

BAB I PENDAHULUAN. dan merupakan suatu penyakit metabolik kronik yang ditandai dengan kondisi

BAB I PENDAHULUAN. insulin, atau kedua-duanya. Diagnosis DM umumnya dikaitkan dengan adanya gejala

BAB 1 PENDAHULUAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

BAB I PENDAHULUAN UKDW. insulin dan kerja dari insulin tidak optimal (WHO, 2006).

BAB 1 PENDAHULUAN. seseorang lebih tinggi dari normal tetapi tidak cukup tinggi untuk didiagnosis

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes melitus telah menjadi masalah kesehatan di dunia. Insidens dan

BAB I PENDAHULUAN. Menurut International Diabetes Federation (IDF, 2015), diabetes. mengamati peningkatan kadar glukosa dalam darah.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

I. PENDAHULUAN. 2004). Penyakit ini timbul perlahan-lahan dan biasanya tidak disadari oleh

BAB I PENDAHULUAN. metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan

BAB I PENDAHULUAN. secara efektif. Diabetes Melitus diklasifikasikan menjadi DM tipe 1 yang terjadi

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organisation WHO (2014) prevalensi penyakit DM

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Menurut badan organisasi dunia World Health Organization (WHO)

BAB I PENDAHULUAN. setelah India, Cina dan Amerika Serikat (PERKENI, 2011). Menurut estimasi

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut ADA (American Diabetes Association) Tahun 2010, diabetes

DIABETES MELITUS GESTASIONAL

BAB 1. PENDAHULUAN. Berdasarkan laporan dari International Diabetes Federation (IDF)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Perkembangan zaman mengakibatkan adanya pergeseran jenis

BAB 1 PENDAHULUAN. karena semakin meningkatnya frekuensi kejadiannya di masyarakat. 1 Peningkatan

BAB I PENDAHULUAN. pada jutaan orang di dunia (American Diabetes Association/ADA, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. Universitas Kristen Maranatha

BAB 1 PENDAHULUAN. situasi lingkungannya, misalnya perubahan pola konsumsi makanan, berkurangnya

BAB I PENDAHULUAN. Nefropati diabetik merupakan komplikasi mikrovaskular diabetes melitus

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan survei yang dilakukan World Health Organization (WHO)

I. PENDAHULUAN. pria dan >25% pada wanita (Ganong W.F, 2005). Penyebabnya adalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 LATAR BELAKANG

I. PENDAHULUAN. sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin. Insufisiensi fungsi insulin dapat

BAB 1 PENDAHULUAN. produksi glukosa (1). Terdapat dua kategori utama DM yaitu DM. tipe 1 (DMT1) dan DM tipe 2 (DMT2). DMT1 dulunya disebut

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus menurut American Diabetes Association (ADA) 2005 adalah

BAB I PENDAHULUAN. menggunakan insulin yang diproduksi dengan efektif ditandai dengan

BAB I. Pendahuluan. diamputasi, penyakit jantung dan stroke (Kemenkes, 2013). sampai 21,3 juta orang di tahun 2030 (Diabetes Care, 2004).

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. I.1 Latar Belakang Masalah. Diabetes melitus tipe 2 adalah sindrom metabolik. yang memiliki ciri hiperglikemia, ditambah dengan 3

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Jogja yang merupakan rumah sakit milik Kota Yogyakarta. RS Jogja terletak di

BAB 1 PENDAHULUAN. peningkatan kasus sebanyak 300 juta penduduk dunia, dengan asumsi 2,3%

BAB I PENDAHULUAN. absolute atau relatif. Pelaksanaan diet hendaknya disertai dengan latihan jasmani

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat berpengaruh terhadap kualitas hidup dari pasien DM sendiri.

BAB I PENDAHULUAN. meningkat menjadi 592 juta orang (Kementrian Kesehatan RI, 2014).

I. PENDAHULUAN. masalah utama dalam dunia kesehatan di Indonesia. Menurut American. Diabetes Association (ADA) 2010, diabetes melitus merupakan suatu

Bali Endocrine Update (BEU) XIII 2016

BAB I PENDAHULUAN. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. adekuat untuk mempertahankan glukosa plasma yang normal (Dipiro et al, 2005;

PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN UKDW. insulin, kerja insulin, atau kedua-duanya. DM merupakan penyakit degeneratif

BAB I PENDAHULUAN. menempati peringkat kedua dengan jumlah penderita Diabetes terbanyak setelah

BAB I PENDAHULUAN. (glukosa) akibat kekurangan atau resistensi insulin (Bustan, 2007). World

rumah sakit. Selain hal tersebut, pasien juga dapat mengalami resistensi terhadap obat tertentu (Hayers dkk., 2009). Seperti halnya diagnosa suatu

BAB I PENDAHULUAN. hiperglikemi yang berkaitan dengan ketidakseimbangan metabolisme

BAB I PENDAHULUAN. tidak adanya insulin menjadikan glukosa tertahan di dalam darah dan

BAB 1 PENDAHULUAN. penduduk dunia meninggal akibat diabetes mellitus. Selanjutnya pada tahun 2003

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Era globalisai membawa pengaruh yang sangat besar tidak hanya dalam

I. PENDAHULUAN. cukup tinggi di dunia. World Health Organization (WHO) tahun 2003

BAB 1 PENDAHULUAN. didominasi oleh penyakit infeksi dan malnutrisi, pada saat ini didominasi oleh

BAB I PENDAHULUAN 1.1.Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Mellitus (DM) merupakan gangguan metabolisme dengan. yang disebabkan oleh berbagai sebab dengan karakteristik adanya

BAB 1 PENDAHULUAN. aktivitas fisik dan meningkatnya pencemaran/polusi lingkungan. Perubahan tersebut

BAB I PENDAHULUAN. diakibatkan berbagai faktor seperti perubahan pola penyakit dan pola pengobatan,

BAB 1 PENDAHULUAN. yang saat ini makin bertambah jumlahnya di Indonesia (FKUI, 2004).

BAB I PENDAHULUAN. Diabetes Melitus (DM) merupakan sekelompok kelainan heterogen yang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA. Menurut American Diabetes Association, diabetes melitus merupakan suatu kelompok

BAB I PENDAHULUAN. penyakit gula. DM memang tidak dapat didefinisikan secara tepat, DM lebih

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

UKDW BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Penelitian. Diabetes melitus merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan

BAB I PENDAHULUAN. terbesar di dunia. Menurut data dari International Diabetes Federation (IDF)

DIAGNOSIS DM DAN KLASIFIKASI DM

BAB 1 : PENDAHULUAN. dari 8,4 juta pada tahun 2000 menjadi sekitar 21,3 juta pada tahun Sedangkan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. glukosa darah tinggi (hiperglikemia) yang diakibatkan adanya gangguan pada sekresi

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan perolehan data Internatonal Diabetes Federatiaon (IDF) tingkat

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Diabetes merupakan sindrom atau kumpulan gejala. penyakit metabolik yang ditandai dengan hiperglikemia

BAB 1 : PENDAHULUAN. dikendalikan atau dicegah (diperlambat). Diabetes mellitus adalah penyakit metabolisme

BAB 1 PENDAHULUAN. dengan pengetahuan keluarga yang baik dapat menurunkan angka prevalensi

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. hiperglikemia / tingginya glukosa dalam darah. 1. Klasifikasi DM menurut Perkeni-2011 dan ADA

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu kumpulan gejala yang timbul pada seseorang karena adanya

DIABETES MELLITUS I. DEFINISI DIABETES MELLITUS Diabetes mellitus merupakan gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengatakan ada tiga bentuk diabetes mellitus, yaitu diabetes mellitus tipe 1 atau disebut IDDM (Insulin Dependent

Diabetes tipe 2 Pelajari gejalanya

BAB I PENDAHULUAN. adalah diabetes melitus (DM). Diabetes melitus ditandai oleh adanya

BAB I PENDAHULUAN UKDW. kasus terbanyak yaitu 91% dari seluruh kasus DM di dunia, meliputi individu

Transkripsi:

BAB I. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Diabetes merupakan penyebab kematian nomor 6 di Amerika Serikat (AS) pada tahun 2002 dan peringkat ke 5 di seluruh dunia (Fauci et al., 2008). Sekitar 30% penyandang diabetes sering tidak menyadari keberadaan penyakitnya dan saat diagnosis ditegakkan lebih dari 50% sudah terjadi komplikasi mikrovaskular terutama neuropati (UKPDS, 1999). Rata-rata keterlambatan waktu sejak onset hingga diagnosis ditegakkan diperkirakan sekitar 7 tahun (Selvin et al., 2010). Perkembangan prevalensi kasus diabetes di dunia dan besarnya dampak yang diakibatkan oleh komplikasi diabetes menempatkan diabetes menjadi salah satu penyakit yang menjadi perhatian badan-badan kesehatan dunia. Salah satu tujuan pengobatan diabetes adalah mencegahnya timbulnya komplikasi kronis, tetapi pada kenyataannya pada waktu diagnosis ditegakkan sebagian besar penderita sudah mempunyai komplikasi kronis sehingga pencegahan komplikasi tampaknya sudah terlambat pada banyak kasus seperti itu. Melihat kondisi permasalahan tersebut maka akan lebih baik bila diabetes dapat dicegah sebelum terjadinya diabetes (Selvin et al., 2010). Peluang pencegahan diabetes dimungkinkan karena adanya suatu keadaan di dalam spektrum perjalanan klinis penyakit diabetes yaitu keadaan intoleransi glukosa/prediabetes/risiko tinggi diabetes di masa datang. Keadaan prediabetes merupakan suatu keadaaan yang mendahului timbulnya diabetes. Angka kejadian 1

prediabetes dilaporkan terus meningkat. Istilah ini diperkenalkan pertama kali pada tahun 2002 oleh Department of Health and Human Services (DHHS) dan the American Diabetes Association (ADA). Sebelumnya istilah untuk menggambarkan keadaan prediabetes adalah toleransi glukosa terganggu (TGT), gula darah puasa terganggu (GDPT) dan kombinasi GDPT & TGT. Keadaaan prediabetes merupakan suatu titik yang dapat bergerak ke dua arah, yaitu ke arah normal atau ke arah diabetes, berbeda dengan keadaan diabetes yang bersifat ireversibel (Fauci et al., 2008). Setiap tahun 4-9% orang dengan prediabetes akan menjadi diabetes. Prediabetes merupakan faktor risiko independent untuk penyakit jantung dan stroke, dengan risiko timbulnya gangguan kardiovaskuler sebesar satu setengah kali lebih tinggi dibandingkan orang normal (PERKENI, 2011). Angka prevalensi penderita DM tipe 2 di Indonesia berdasarkan data Departemen Kesehatan tahun 2008 mencapai 5,7% dari jumlah penduduk Indonesia. Angka prevalensi prediabetes mencapai dua kali lipatnya, mayoritas pengidapnya adalah TGT. Prevalensi DM tipe 2 dan prediabetes lebih banyak ditemukan pada penduduk yang tinggal di perkotaan daripada di pedesaan (Choi et al., 2011). Resistensi insulin dan defek sel beta pankreas yang merupakan patogenesis diabetes mulai terjadi pada keadaaan prediabetes (Bocket al., 2007). Hal ini dapat mempercepat transformasi dari keadaan prediabetes menjadi diabetes sehingga deteksi prediabetes penting. Penelitian oleh Choi et al. (2011) menyimpulkan deteksi prediabetes sangat penting karena dapat memprediksi diabetes onset awal (new onset 2

diabetes) 6 tahun mendatang. Diagnosis prediabetes ditegakkan dengan pemeriksaan gula darah puasa (GDP) dan tes toleransi glukosa oral (TTGO) (PERKENI, 2011; WHO, 2011). Keuntungan pemeriksaan GDP meliputi tidak mahal, tersedia di banyak laboratorium, cukup 1 sampel, tetapi terdapat keterbatasan yaitu besarnya variasi biologis, preanalitik, analitik dan tidak mampu mendeteksi individu TGT terisolasi (GDP normal tetapi 2 jam post pandrial meningkat). Pemeriksaan TTGO telah diterima sebagai baku standar diagnosis prediabetes oleh ADA, World Health Organization (WHO), International Diabetes Federation (IDF) dan banyak organisasi lain. Pemeriksaan TTGO memiliki beberapa keterbatasan seperti halnya pada GDP. Manfaat hemoglobin A1c (HbA1c) selama ini lebih banyak dikenal dalam menilai kualitas pengendalian glikemik jangka panjang dan menilai efektifitas suatu terapi, namun beberapa studi terbaru mendukung manfaat HbA1c yang semakin luas, yakni bukan hanya untuk pemantauan, tetapi juga bermanfaat dalam mendiagnosis ataupun skrining diabetes dan prediabetes (Little dan Sacks, 2009). Hemoglobin A1c telah direkomendasikan oleh International Expert Committee (IEC) pada tahun 2009 untuk mendiagnosis prediabetes dengan criteria 6,0-6,4% (IEC, 2009). Pada tahun 2010 ADA menurunkan cutoff tersebut menjadi 5,7-6,4% untuk mendiagnosis prediabetes (ADA, 2011). Rekomendasi di atas dibuat berdasarkan variasi biologis intraindividual HbA1c pada orang sehat lebih rendah dibandingkan GDP & TTGO (koefisien variasi (KV) 2,0% vs. 5,7% vs. 16,7%) 3

sehingga hasil pemeriksaan HbA1c tidak berbeda bermakna apabila diulang (Selvin et al., 2010). Sebagian besar faktor preanalitik yang mempengaruhi GDP tidak berpengaruh bermakna pada kadar HbA1c. National Glycohemoglobin Standardization Program (NGSP) telah menstandarisasi pemeriksaan HbA1c antar laboratorium sehingga laboratorium klinik di banyak Negara melaporkan KV analitik interlaboratorium yang kecil (<5%) (Little dan Sacks, 2009). Kriteria HbA1c 5,7% yang direkomendasikan ADA dibuat berdasarkan berbagai studi potong lintang dan longitudinal yang menunjukkan hubungan antara HbA1c dengan prediabetes pada populasi Negara Barat (etnis Hispanik-Afrika- Amerika). Kriteria tersebut menyebabkan banyak individu risiko tinggi pada populasi Asia tidak terdiagnosis prediabetes bila dibandingkan dengan TTGO (Lorenzo et al., 2010; Heianza et al., 2013; Mann et al., 2010; Olson et al., 2010; Mostafa et al., 2010; Mohan et al., 2010). Hal ini dikarenakan perbedaan sensitivitas dan spesifisitas diantara ras dan etnis, terdapat perbedaan genetik pada kecepatan glukosa masuk ke dalam eritrosit, kecepatan metabolisme glukosa intra eritrosit, kecepatan penempelan glukosa ke hemoglobin atau pelepasan glukosa dari hemoglobin dan umur hidup eritrosit (Herman et al., 2010; Cohen et al., 2008), sehingga perlu dipertimbangkan kemungkinan nilai HbA1c dengan cutoff <5,7% (Olson et al., 2010; Mohan et al., 2010; Hutchinson et al., 2012; Hui et al., 2013). Sebagian besar penelitian yang sudah dilakukan mendapatkan cutoff terbaik 5,6% (Hu et al., 2009; Mohan et al., 2010; Choi et al., 2011; Bhowmik et al., 2012). 4

Berdasarkan data di atas tampak nilai cutoff HbA1c dipengaruhi oleh etnis dan ras. Pada populasi Indonesia khususnya di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta memungkinkan adanya perbedaan cutoff HbA1c untuk diagnosis prediabetes. B. Permasalahan Berdasarkan berbagai fakta yang terdapat dalam latar belakang di atas maka permasalahan dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Prevalensi prediabetes semakin meningkat, sebagian besar penderita prediabetes tidak menunjukkan gejala, dan biasanya terdiagnosis sudah dalam keadaan lanjut (diabetes) atau sudah mendapat penyakit jantung & stroke. 2. Transisi dari prediabetes ke diabetes merupakan proses kerusakan metabolisme glukosa yang permanen (disfungsi sel beta pankreas). 3. Pemeriksaan GDP memerlukan persiapan khusus sehingga sulit untuk dilakukan pemeriksaan ulangan, dipengaruhi oleh faktor biologis, preanalitik dan analitik. 4. Belum ada kesepakatan global tentang nilai cutoff HbA1c untuk diagnosis prediabetes sehingga perlu dilakukan penelitian sebagai evidence-based medicine khususnya untuk populasi dengan faktor risiko di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. 5

C. Pertanyaan Penelitian: Apakah nilai HbA1c 5,6% memiliki sensitivitas dan spesifisitas diagnosis minimal 80% untuk diagnosis prediabetes pada individu dengan faktor risiko? D. Keaslian Penelitian Penelitian tentang HbA1c telah banyak dilakukan di luar negeri terutama menngenai aspek uji diagnostik (Tabel 1). Tabel 1. Penelitian yang tentang HbA1c untuk diagnosis prediabetes di luar negeri Peneliti Populasi Desain Alat ukur Hasil Manucci et al., 2003 1.215 subyek di Italia HbA1c >5,5% Sensitivitas 59% Spesifisitas 19,3% Hu et al., 2009 2.298 subyek di Cina HbA1c 5,6% Sensitivitas 66,2% Spesifisitas 51,0% Mohan et al., 2010 2.188 subyek di India HbA1c 5,6% Sensitivitas 65,6% Spesifisitas 62,1% Mostafa et al., 2010 8.696 subyek di Inggris Etnis Asia selatan: HbA1c 6,0% Sensitivitas 63,8% Spesifisitas 69,4% Eropa kulit putih: HbA1c 5,8% Sensitivitas 61,5% Spesifisitas 67,9% Choi et al., 5.945 subyek di 6-years HbA1c 5,6% 2011 Korea Prospective cohort study Sensitivitas 59,4% Spesifisitas 76,9% 6

Peneliti Populasi Desain Alat ukur Hasil Tankova et al., 2011 2.231 subyek di Bulgaria Pinelli et al., 482 subyek di 2011 Arab Bhowmik et 2.293 subyek di al., 2012 Bangladesh Immunoassay HbA1c 5,5% Sensitivitas 71% Spesifisitas 64% HbA1c 5,1% HbA1c 5,6% Sensitivitas 68% Spesifisitas 66,4% Hutchinson et 3.476 subyek di HbA1c 6,0% al., 2012 Norwegia Adamska et al., 441 subyek di HbA1c 5,3% 2012 Polandia Sensitivitas 81,6% Spesifisitas 43,3% Hui et al., 2013 1.973 subyek di HbA1c 5,8% Cina Sensitivitas 44,9% Spesifisitas 66,7% Wu et al., 2013 3.354 subyek di HbA1c 6,1% Cina Sensitivitas 61,49% Spesifisitas 73,24% E. Manfaat penelitian: 1. Bagi dokter (klinisi), didapatkan nilai cutoff HbA1c untuk diagnosis prediabetes pada individu dengan faktor risiko di Indonesia khususnya di Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta sehingga bisa digunakan sebagai dasar untuk memberikan intervensi prediabetes. 7

2. Bagi pasien (masyarakat), diharapkan dengan penampilan diagnostik yang lebih baik, kasus-kasus missed diagnosis berkurang sehingga prediabetes akan terdiagnosis lebih cepat dan dapat memperoleh banyak keuntungan dengan memperoleh intervensi, melakukan tindakan pencegahan awal sehingga dapat mencegah terjadinya penyakit DM tipe 2 dan penyakit kardiovaskuler. 3. Bagi peneliti, memberikan bukti ilmiah tentang nilai cutoff HbA1cyang optimal untuk diagnosis prediabetes pada individu dengan faktor risiko. F. Tujuan Penelitian Menguji sensitivitas dan spesifisitas diagnostik pemeriksaan HbA1c pada cutoff 5,6% untuk diagnosis prediabetes berdasarkan TTGO pada individu dengan faktor risiko pada populasi orang Yogyakarta dengan metode potong lintang. 8