BAB I PENDAHULUAN. laporan Programe for International Student Assessment (PISA) pada tahun

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Pendidikan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia.

I. PENDAHULUAN. siswa memiliki kemampuan matematis yang baik. Adapun tujuan pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Rizky Fauziah Nurrochman, 2015

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas sumber daya manusia bagi suatu bangsa. Dengan adanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. rendahnya kualitas atau mutu pendidikan matematika. Laporan Badan Standar

I. PENDAHULUAN. untuk mengembangkan bakat dan kemampuannya seoptimal mungkin. Pendidikan

I. PENDAHULUAN. pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang penting

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. sendiri, karena pendidikan yang berkualitas dapat menghasilkan tenaga-tenaga

I. PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu yang memiliki banyak manfaat. Ilmu matematika

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah penalaran Nurbaiti Widyasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. prioritas utama untuk melahirkan generasi-generasi yang lebih baik. Sehingga. mutu pendidikan menjadi fokus penting pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Matematika merupakan salah satu cabang ilmu pengetahuan yang tidak pernah lepas dari segala bentuk aktivitas manusia dalam kehidupan sehari-hari,

I. PENDAHULUAN. depan yang lebih baik. Melalui pendidikan seseorang dapat dipandang terhormat,

I. PENDAHULUAN. Perkembangan zaman dan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) menghadapi persaingan khususnya dalam bidang IPTEK. Kemajuan IPTEK yang

BAB I PENDAHULUAN. teknologi tidak dapat kita hindari. Pengaruh perkembangan ilmu pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. dalam pengembangan kurikulum matematika pada dasarnya digunakan. sebagai tolok ukur dalam upaya pengembangan aspek pengetahuan dan

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, karena pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan matematika merupakan salah satu unsur utama dalam. mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi. Hakikatnya matematika

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang semakin

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Matematika merupakan salah satu pengetahuan mendasar yang dapat

I. PENDAHULUAN. menjadi kebutuhan mendasar yang diperlukan oleh setiap manusia. Menurut UU

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. jenjang pendidikan di Indonesia mengindikasikan bahwa matematika sangatlah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

I. PENDAHULUAN. menghadapi setiap perubahan yang terjadi akibat adanya kemajuan ilmu

BAB I PENDAHULUAN. Matematika memiliki peranan penting dalam berbagai aspek kehidupan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) telah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Helen Martanilova, 2014

BAB I PENDAHULUAN (1982:1-2):

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Model Treffinger Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemahaman Dan Koneksi Matematis Siswa

BAB I PENDAHULUAN. Pembelajaran Berbasis Masalah Berbantuan Autograph Untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kreatif Matematis Siswa SMP

BAB I PENDAHULUAN. Dalam rangka meningkatkan prestasi belajar siswa dibidang Matematika,

2015 MENINGKATKAN KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS DAN LOGIS MATEMATIS SERTA KEMANDIRIAN BELAJAR SISWA SMP MELALUI LEARNING CYCLE 5E DAN DISCOVERY LEARNING

BAB I PENDAHULUAN. Hasratuddin : 2006) menyatakan bahwa: matematika merupaka ide-ide abstrak

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu kekuatan dinamis yang dapat mempengaruhi

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dedi Abdurozak, 2013

BAB I PENDAHULUAN. seseorang melalui upaya pembelajaran dan pelatihan. Seluruh upaya. dilakukan guru adalah mengembangkan sikap dan kemampuan untuk

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh Pendekatan Brain Based Learning Terhadap Peningkatan Kemampuan Penalaran Matematis

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah.

BAB I PENDAHULUAN. Pengaruh Pembelajaran Model Matematika Knisley Terhadap Peningkatan Kemampuan Koneksi Matematis Siswa SMA

BAB 1 PENDAHULUAN. Pendidikan di Indonesia bertujuan untuk mengembangkan potensi siswa

BAB I PENDAHULUAN. Matematika sebagai ilmu yang timbul dari pikiran-pikiran manusia yang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

PENGARUH PENERAPAN PENDEKATAN KONTEKSTUAL TERHADAP KEMAMPUAN BERPIKIR KRITIS MATEMATIS SISWA SMP

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Etika Khaerunnisa, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

EFEKTIVITAS METODE PEMBELAJARAN SOCRATES KONTEKSTUAL UNTUK MENGEMBANGKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN KONSEP SISWA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Winda Purnamasari, 2013

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. teknologi modern sehingga mempunyai peran penting dalam berbagai disiplin

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Abas Hidayat, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. dalam kehidupan sehari-hari. Masalah yang muncul pada kehidupan setiap

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. National Cauncil of Teacher of Mathematics (NCTM, 2000) menyebutkan. masalah (problem solving), penalaran (reasoning), komunikasi

I. PENDAHULUAN. membantu proses pembangunan di semua aspek kehidupan bangsa salah satunya

I. PENDAHULUAN. Sejarah suatu bangsa dapat dilihat dari perkembangan pendidikan yang diperoleh

I. PENDAHULUAN. serta bertanggung jawab. Salah satu cara memperoleh sumber daya manusia yang

BAB I PENDAHULUAN. mendatangkan berbagai efek negatif bagi manusia. Penyikapan atas

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian Ika Citra Wulandari, 2015

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan menjadi salah satu fokus dalam penyelenggaraan negara. Menurut

BAB I PENDAHULUAN. mewarnai berbagai aspek kehidupan masyarakat secara menyeluruh. Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. secara terus menerus sesuai dengan level kognitif siswa. Dalam proses belajar

P. S. PENGARUH PEMBELAJARAN PENEMUAN TERBIMBING TERHADAP KEMAMPUAN KONEKSI MATEMATIS DAN KECEMASAN MATEMATIS SISWA KELAS VII

BAB I PENDAHULUAN. penyelenggaraan pendidikan. Kurikulum digunakan sebagai acuan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

I. PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu kebutuhan, sebab tanpa pendidikan manusia akan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah , 2014

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Roheni, 2013

BAB I PENDAHULUAN. suatu Negara dipengaruhi oleh banyak faktor misalnya dari siswa, pengajar,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. meliputi, tenaga pendidik, pengelola satuan pendidikan, penilik, pengawas,

I. PENDAHULUAN. Pada era global yang ditandai dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan

I. PENDAHULUAN. kebutuhan yang paling mendasar. Dengan pendidikan manusia dapat mengembangkan

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dikembangkan demi meningkatnya kualitas pendidikan. Objek yang menjadi

BAB I PENDAHULUAN. pesat terutama dalam bidang telekomunikasi dan informasi. Sebagai akibat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kemampuan atau skill yang dapat mendorongnya untuk maju dan terus

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Ahmad Dimyati, 2015

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Matematika merupakan ilmu pengetahuan yang dipelajari hampir diseluruh negara di dunia. Banyak negara menjadikan matematika sebagai mata pelajaran penting di sekolah, sebagai bukti adanya penelitian langsung terhadap perkembangan matematika sekolah di dunia. Berdasarkan hasil laporan Programe for International Student Assessment (PISA) pada tahun 2012 (http://www.pisa/2012/.../.com) dari 65 negara, Indonesia berada pada posisi kedua terendah, yaitu berada di bawah Qatar dan di atas Peru yang menjadi urutan terakhir dengan rata-rata skor 375 untuk matematika. Hal yang tidak jauh berbeda juga tertulis pada hasil laporan Trends International Mathematics and Science Study (TIMSS) (http://www.timss/2011/.../.com) pada tahun 2011 yang menuliskan dari 42 negara yang terlibat, Indonesia berada pada urutan kelima terendah, yaitu berada di bawah Saudi Arabia dan di atas Syirian Arab Republik pada Mathematics Achievement tingkat kelas VIII, dengan rata-rata skor 386. Skor tersebut berada jauh dari TIMSS Scale Centerpoint yaitu 500. Dari pemaparan di atas, dapat kita tarik kesimpulan bahwasanya kemampuan matematika siswa di Indonesia masih jauh dari standar Internasional. Padahal, matematika menjadi salah satu bagian dari kurikulum sekolah yang memegang peranan sangat penting dalam pendidikan di Indonesai. Sebagai salah satu bukti, pelajaran matematika diberikan kepada 1

2 semua jenjang pendidikan, mulai dari Sekolah Dasar hingga Perguruan Tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa matematika diharapkan dapat meningkatkan lulusan-lulusan yang mampu bertindak sesuai dengan pemikiran matematis yaitu secara logis, rasional, kritis, dan sistematis dalam menyelesaikan permasalahan dalam kehidupan sehari-hari. Pelajaran matematika juga memiliki porsi terbanyak dibandingkan dengan pelajaranpelajaran lainnya di sekolah, hanya saja matematika tidak sepopuler posisinya sebagai mata pelajaran yang diutamakan, matematika malah menjadi pelajaran yang sulit bagi siswa dan menjadi mata pelajaran yang paling dihindari. Ketidaktertarikan siswa terhadap pelajaran matematika menjadikan hasil belajar siswa pada pelajaran ini jauh dari harapan. Hal ini menunjukkan bahwa kurangnya minat belajar siswa karena rendahnya motivasi belajar yang dimiliki. Menurut Tella (2007: 150), The issue of motivation of student in education and the impact on academic performance are considered as an important aspect of effective learning. However, a learner s reaction to education determines the extent to which he or she will go in education. Bentuk reaksi siswa dapat berasal dari berbagai factor yang sering memberikan pengaruh dalam proses dan pencapaian tujuan pembelajaran. Motivasi menjadi faktor yang mempengaruhi dalam pencapaian suatu tujuan. Widayanti, dkk (2011: 126) mengungkapkan bahwa: Motivasi merupakan faktor penggerak atau dorongan seseorang untuk melakukan kegiatan tertentu yang dimaksudkan untuk mencapai tujuan. Sehingga motivasi menentukan tingkat aktivitas seseorang, semakin tinggi motivasi seseorang maka semakin besar pula aktivitas dan usaha yang dilakukan untuk mencapai tujuan.

3 Selain itu, Yunus dan Ali (2009: 93) menyatakan, motivation refers to a student s willingness, need, desire, and compulsion to participate in, and be successful in the learning process. Ini mengartikan bahwa motivasi sebagai alasan individu untuk berperilaku dalam situasi tertentu, dengan demikian motivasi berkonstribusi pada kemampuan untuk memecahkan masalah. Oleh sebab itu, pentingnya motivasi menjadikannnya sebagai hal yang harus diperhatikan oleh guru. Selama ini, guru hanya mengajar dengan cara memberikan materi, memberi contoh dan memberi latihan kemudian menutup kelas dengan memberi Pekerjaan Rumah (PR). Guru belum melakukan pembelajaran yang dapat memicu motivasi siswa untuk dapat mengaitkan materi ajar dengan kehidupan sehari-hari. Hal ini tentu akan membuat siswa kehilangan minat belajar karena merasa pembelajaran yang ia lakukan tidak memiliki tujuan dan arti sehingga mereka tidak menyukai matematika. Dalam pembelajaran terutama pembelajaran matematika, motivasi merupakan hal pertama yang harus diperhatikan oleh guru demi tercapainya tujuan pembelajaran matematika itu sendiri, khususnya kemampuan pemecahan masalah. Sesuai dengan Permendiknas no. 22 tahun 2006, salah satu tujuan umum pembelajaran matematika yaitu agar siswa memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah (Permendiknas, 2006: 345). Dari wawancara dengan beberapa orang siswa SMP yang kurang menyukai pelajaran matematika, mereka menganggap matematika merupakan

4 pelajaran yang membosankan dan sulit. Gaya mengajar yang digunakan guru sama sekali tidak menarik siswa untuk lebih semangat belajar. Mereka beranggapan tidak adanya hal yang dapat menarik keinginan mereka untuk mempelajari matematika. Matematika hanya menjadi mata pelajaran yang biasa-biasa saja, tidak bermakna dan tidak berpengaruh pada kehidupan mereka. Tentu saja ini akan berpengaruh pada kemampuan pemecahan masalah siswa dimana hal ini menjadi salah satu tujuan pembelajaran matematika itu sendiri. Dengan kurangnya motivasi belajar matematika akan menimbulkan rendahnya kemampuan pemecahan masalah yang dimiliki siswa. Menurut Memnun, dkk (2012: 173), problem solving should be expressed every day, in every lesson and should continue from the start of the preschool until high school, because learning of mathematics and problem solving are related to each other as such. Ini menunjukkan bahwa segala hal yang kita temui dikehidupan sehari-hari dapat diselesaikan menggunakan kemampuan pemecahan masalah. Mulai dari belia hingga dewasa, kemampuan pemecahan masalah akan terus digunakan. Selanjunya menurut Ranjan (2013: 1), Trough problem solving students can enhance their thinking skills, apply procedures, deepen their conceptual understanding. Dengan demikian pemecahan masalah mampu menciptakan pola berpikir kritis pada siswa. Sedangkan Sumarmo dan Permana (2004: 13) menyatakan bahwa: Pemecahan masalah merupakan suatu kemampuan mengidentifikasi unsur yang diketahui, ditanyakan serta kecukupan unsur yang diperlukan, merumuskan masalah dari situasi sehari-hari dalam matematika, menerapkan strategi untuk menyelesaikan berbagai

5 masalah (sejenis dan masalah baru) di dalam atau di luar matematika, menjelaskan atau menginterpretasikan hasil sesuai permasalahan asal, menyusun model matematika dan menyelesaikannya untuk masalah nyata dan menggunakan matematika secara bermakna (meaningful). Kemampuan pemecahan masalah sangatlah penting dimiliki siswa, tidak hanya dalam pembelajaran matematika saja, melainkan dalam kehidupan sehari-hari. Dalam NCTM (2000: 52) dituliskan, problem solving is not only a goal of learning mathematics but also a major means of doing so. Student shoud have frequent opportunities to formulate, graaple with, and solve complex problem that require a significant amount of effort ang should then be encouraged to reflect their thinking. Sesuai dengan permendiknas no. 22 tahun 2006, pendekatan pemecahan masalah merupakan fokus dalam pembelajaran matematika yang mencakup masalah tertutup dengan solusi tunggal, masalah terbuka dengan solusi tidak tunggal, dan masalah dengan berbagai cara penyelesaian. Oleh karena itu, maka perlu adanya upaya guru untuk dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah yang dimiliki siswa. Untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah perlu dikembangkan keterampilan memahami masalah, membuat model matematika, menyelesaikan masalah dan menafsirkan solusi. Kemampuan pemecahan masalah sendiri dapat diukur melalui tes kemampuan pemecahan masalah yang diberikan guru dalam proses pembelajaran sesuai dengan materi ajar. Proses pengukuran kemampuan pemecahan masalah diawali dengan melihat terlebih dahulu kemampuan pemcahan awal siswa, selanjutnya guru berupaya melakukan hal, kegiatan, dan perlakuan yang dapat merangsang siswa untuk dapat lebih meningkatkan kemampuan pemecahan

7 yang sebenarnya harus diselesaikan. Selain itu, tahapan penyelesaian masalah yang digunakan tidak sesuai dengan prosedur penyelesaian masalah seperti yang diungkapkan oleh teori Polya yaitu mengumpulkan informasi, menentukan masalah, menyusun rencana penyelesaian, melaksanakan penyelesian dan memeriksa kembali. Dari 35 orang siswa, hanya 5,7% siswa atau 2 orang siswa yang mampu menjawab dengan tepat dan benar. Sedangkan 13,88% siswa atau 5 orang siswa yang menjawab benar akan tetapi tidak tepat dan sisanya 80,55% siswa atau 29 orang siswa menjawab salah bahkan tidak menjawab sama sekali. Padahal seorang siswa dikatakan memiliki kemampuan pemecahan masalah adalah mampu: (1) Menunjukkan pemahaman masalah,(2) mengorganisasi data dan memilih informasi yang relevan dalam pemecahan masalah, (3) menyajikan masalah secara matematik dalam berbagai bentuk, (4) memilih pendekatan dan metode pemecahan masalah secara tepat, (5) membuat dan menafsirkan model matematika dari suatu masalah, dan (6) menyelesaikan masalah yang tidak rutin. Disini terlihat jelas bahwa tingkat kemampuan pemecahan masalah siswa yng diberikan tes kemampuan pemecahan masalah di atas masih jauh dari harapan. Untuk itu, perlu adanya upaya untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalahan siswa bersamaan dengan peningkatan motivasi belajar. Upanya yang dilakukan sebaiknya dapat menjadi faktor pendukung yang dapat membantu meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan motivasi belajar matematika siswa. Selain faktor internal yang ada pada diri siswa sendiri, faktor eksternal yang selama ini sering

8 dianggap dapat mendobrak kemampuan pemecahan masalah dan motivasi belajar ialah penggunaan model pembelajaran yang bervariatif. Selama ini guru masih melaksanakan pembelajaran dengan satu arah dimana guru satu-satunya sumber belajar dan siswa bersifat pasif. Hal ini tentu akan menciptakan suasana belajar yang membosankan sehingga siswa merasa jenuh dan tidak semangat. Guru kurang menerapkan model pembelajaran yang bervariasi di kelas. Maka dari itu melalui model pembelajaran, diharapkan siswa menjadi lebih aktif dan memiliki kemauan yang tinggi dalam belajar. Dengan penggunaan model pembelajaran akan menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, tidak monoton dan membosankan seperti yang selama ini ditemui siswa di kelas. Beberapa model pembelajaran memiliki pengaruh yang cukup signifikan terhadap peningkatan beberapa kemampuan matematis siswa, seperti kemampuan penalaran, komunikasi, koneksi, dan representasi serta dianggap efektif dalam menciptakan suasana pembelajaran yang menyenangkan. Diantara model pembelajaran yang telah banyak diterapkan oleh guru di sekolah, penulis ingin meneliti lebih lanjut penerapan model pembelajaran kontekstual dan model pembelajaran berbasis masalah. Dari kedua model tersebut, peneliti ingin melihat yang mana diantara keduanya yang lebih efektif dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan motivasi belajar siswa. Pada penelitian yang pernah dilakukan sebelumnya, masing-masing model pembelajaran diatas mampu meningkatkan kemampuan pemecahan

9 masalah siswa jika dibandingkan dengan pembelajaran biasa, pembelajaran langsung atau pembelajaran konvensional. Seperti penelitian yang dilakukan oleh Rusyida (2013: 6), yang menyatakan terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang diberi pembelajaran CTL (Contexual Teaching and Learningi) dan kemampuan pemecahan masalah siswa yang diberi MEA (Model Eliciting Activities). Penelitian lain dilakukan oleh Nurafiah (2013: 7) dengan hasil penelitian tentang adanya perbedaan peningkatan kemampuan berpikir kritis siswa antara yang memperoleh pembelajaran MEA (Model Elicting Activities) dengan PBL (Problem Based Learning). Dari hasil kedua penelitian tersebut menunjukkan bahwa kemampuan pemecahan masalah siswa yang memperoleh perlakuan model pembelajaran berbasis masalah dan pembelajaran kontekstual lebih tinggi dibandingkan dengan siswa yang memperoleh pembelajaran langsung ataupun pembelajaran biasa. Dalam setiap kesempatan, pembelajaran matematika hendaknya dimulai dengan pengenalan masalah yang sesuai dengan situasi (contextual problem). Dengan mengajukan masalah kontekstual, peserta didik secara bertahap dibimbing untuk menguasai konsep matematika (Permendiknas 2006: 345). Trianto (2012: 104) mengatakan, dalam teori pembelajaran kontekstual belajar hanya terjadi ketika pelajar memproses informasi atau pengetahuan baru, sedemikian sehingga informasi atau pengetahuan tersebut dapat dipahami mereka dalam kerangka acuan (memori,

10 pengalaman, dan respon) mereka sendiri. Teori ini sejalan dengan teori pembelajaran Bruner tentang pembelajaran bermakna. Pada proses pembelajaran yang selama ini dilakukan di kelas, guru kurang memanfaatkan benda-benda yang ada di sekitar dalam membantu meningkatkan kemampuan berpikir siswa. Alangkah baiknya jika guru dapat mengaitkan benda-benda konkret yang ada di sekitar dengan permasalahan pada materi matematika-yang diajarkan di kelas. Pembelajaran kontekstual memungkinkan siswa untuk memperkuat, memperluas, dan menerapkan keterampilan dan pengetahuan akademik siswa dalam berbagai macam permasalahan yang mereka temui dikehidupan sehari-hari. Hal ini dikarenakan pembelajaran kontekstual selalu mengaitkan antara materi yang diajarkan dengan situasi dunia nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga. Memanfaatkan berbagai hal dan benda-benda konkret yang ada di kehidupan sehari-hari sebagai media belajar siswa dalam pembelajaran kontekstual, membantu siswa untuk dapat berpikir lebih konkret dan kompleks serta dapat diterima secara logis. Berbeda dengan pembelajaran kontekstual, pembelajaran berbasis masalah menuntut aktivitas mental siswa dalam memahami suatu konsep, prinsip dan kompetensi matematis melalui situasi atau masalah yang disajikan di awal pembelajaran. Hal ini menuntut kemampuan pemecahan masalah siswa agar dapat diterapkan secara maksimal.

11 Menurut Arends (2008: 43), pembelajaran berbasis masalah membantu siswa untuk mengembangkan keterampilan berpikir dan keterampilan mengatasi masalah, mempelajari peran-peran orang dewasa dan menjadi pelajar mandiri. Pembelajaran berbasis masalah merupakan suatu model pembelajaran yang melibatkan siswa untuk memecahkan suatu masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa dapat mempelajari pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan sekaligus memiliki ketrampilan untuk memecahkan masalah. Berbeda dengan pembelajaran pada umumnya yang menyajikan masalah di akhir, pembelajaran berbasis masalah menyajikan masalah di awal pembelajaran sehingga memancing siswa untuk dapat menerapkan kemampuan pemecahan masalah yang ia miliki. Seperti yang diutarakan oleh Rudita (2011: 236) bahwa: Karakteristik Pembelajaran berbasis masalah: 1) Belajar dimulai dengan suatu masalah, 2) Masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata siswa. 3) Mengorganisasikan pelajaran diseputar masalah, bukan diseputar disiplin ilmu, 4) Memberikan tanggung jawab yang besar kepada siswa dalam membentuk dan menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri, 5) Menggunakan kelompok kecil. 5) Menuntut siswa untuk mendemontrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam bentuk suatu produk atau kinerja. Pada pembelajaran berbasis masalah, guru menyajikan masalahmasalah kepada siswa yang kemudian harus dipecahkan oleh siswa melalui penyelidikan dan merumuskan sendiri solusi yang diperoleh. Bentuk masalah yang dapat disajikan merupakan bentuk permasalahan yang dapat ditemui dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini jelas berbeda dengan bentuk permasalahan yang sering disajikan guru dalam setiap pembelajaran di kelas. Kebanyak permasalahan yang disajikan tidak memiliki kaitan dengan

12 masalah pada kehidupan sehari-hari yang ditemui siswa, sehingga siswa tidak merasakan manfaat dari apa yang ia pelajari di kelas. Untuk itu, pembelajaran berbasis masalah diharapkan dapat diterapkan pada pembelajaran matematika karena akan membantu siswa dalam meningkatkan kemampuan kognitif yang dimilikinya, terutama kemampuan pemecahan masalah, untuk memecahkan permasalahan yang ditemui siswa dalam kehidupan sehari-hari.. Berdasarkan pemaparan di atas maka, dalam proses pembelajaran perlu adanya rancangan pembelajaran guna meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan motivasi belajar siswa. Untuk itu penulis ingin menerapkan kedua model pembelajaran tersebut, dalam hal ini pembelajaran kontekstual dan pembelajaran berbasis masalah, untuk mengetahui pengaruh mana yang lebih signifikan dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah dan motivasi belajar siswa. 1.2 Identifikasi Masalah Dari latar belakang masalah di atas, kemampuan pemecahan masalah merupakan salah satu kompetensi yang harus dicapai dalam pembelajaran matematika. Selain itu, rendahnya motivasi belajar siswa mempengaruhi tingkat kemampuan pemecahan masalah siswa itu sendiri. Maka yang menjadi identifikasi masalah pada penelitian ini adalah: 1. Kemampuan matematika siswa masih rendah 2. Rendahnya motivasi belajar matematika siswa SMP Negeri 1 Salapian. 3. Rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematika siswa SMP Negeri 1 Salapian.

13 4. Guru SMP Negeri 1 Salapian masih melakukan pembelajaran satu arah dengan guru sebagai satu-satunya sumber belajar 5. Guru SMP Negeri 1 Salapian tidak memanfaatkan model pembelajaran yang bervariatif 6. Guru SMP Negeri 1 Salapian kurang memanfaatkan benda-benda dalam kehidupan sehari-hari sebagai alat bantu berpikir siswa dalam pembelajaran 7. Guru SMP Negeri 1 Salapian kurang mengaitkan pembelajaran pada permasalah yang ditemui siswa pada kehidupan sehari-hari 8. Kesalahan yang dilakukan siswa SMP Negeri 1 Salapian pada proses mengidentifikasi masalah dan jawaban dalam memecahkan masalah 1.3 Batasan Masalah Berdasarkan identifikasi masalah, maka perlu adanya batasan masalah agar penelitian ini terarah dan jelas. Sehingga yang akan diteliti adalah: 1. Rendahnya motivasi belajar matematika siswa SMP Negeri 1 Salapian. 2. Rendahnya kemampuan pemecahan masalah matematika siswa SMP Negeri 1 Salapian. 3. Guru SMP Negeri 1 Salapian tidak memanfaatkan model pembelajaran yang bervariatif 4. Kesalahan yang dilakukan siswa SMP Negeri 1 Salapian pada proses jawaban dalam memecahkan masalah Adapun batasan masalah pada penelitian ini yaitu mengkaji perbedaan kemampuan pemecahan masalah dan motivasi belajar matematika pada siswa

14 yang diberi pembelajaran kontekstual dan siswa yang diberi pembelajaran berbasis masalah pada pokok bahasan Persamaan Linier Satu Variabel di kelas VII SMP Negeri 1 Salapian. 1.4 Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan pada latar belakang masalah, identifikasi masalah, dan batasan masalah, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apakah terdapat perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang memperoleh pembelajaran kontekstual dengan siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah? 2. Apakah terdapat perbedaan motivasi belajar matematika siswa yang memperoleh pembelajaran kontekstual dengan siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah? 3. Bagaimana proses jawaban siswa yang memperoleh pembelajaran kontekstual dan siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah? 4. Bagaimana respon siswa yang memperoleh pembelajaran kontekstual dan siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah? 1.5 Tujuan Penelitian Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui: 1. Perbedaan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yang memperoleh pembelajaran kontekstual dengan siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah

15 2. Perbedaan motivasi belajar matematika siswa yang memperoleh pembelajaran kontekstual dengan siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah 3. Proses jawaban siswa yang memperoleh pembelajaran kontekstual dan siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah 4. Respon siswa yang memperoleh pembelajaran kontekstual dan siswa yang memperoleh pembelajaran berbasis masalah 1.6 Manfaat Penelitian Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah: 1. Untuk menambah dan mengembangkan wawasan ilmu pengetahuan dalam kehidupan sehari-hari dari konsep persamaan linier satu variabel. 2. Untuk menambah dan mengembangkan wawasan ilmu dalam mengenal dan menerapkan model pembelajaran matematika yang lebih efektif. 3. Hasil penelitian dapat digunakan untuk meningkatkan prestasi belajar siswa dengan memilih metode pembelajaran yang tepat pada kompetensi dasar tertentu. 4. Sebagai pengalaman nyata bagi siswa dalam belajar matematika menggunakan pembelajaran kontektual dan pembelajaran berbasis masalah yang difokuskan pada peningkatan kemampuan pemecahan masalah dan motivasi belajar matematika siswa. 5. Sebagai bahan acuan guru dalam meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematis dan motivasi belajar siswa. 6. Sebagai acuan dan pertimbangan bagi penelitian lanjutan.