PERATURAN MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 2010 TENTANG PETUNJUK TEKNIS PENYUSUNAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENERJEMAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA, Menimbang : Mengingat : a. bahwa berdasarkan Pasal 28 ayat (2) huruf a Peraturan Bersama Menteri Sekretaris Negara dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 1 tahun 2007 dan Nomor 22 Tahun 2007, Sekretariat Negara menetapkan pedoman penyusunan formasi Jabatan Fungsional Penerjemah; b. bahwa untuk melaksanakan ketentuan sebagaimana tersebut pada huruf a., dipandang perlu menetapkan Pedoman Penyusunan Formasi Jabatan Fungsional Penerjemah dengan Peraturan Menteri Sekretaris Negara. 1. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Kepegawaian (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 55, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3041) sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 43 Tahun 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 169, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3890); 2. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4437) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2008 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4844); 3. Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1994 tentang Jabatan Fungsional Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor 22, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3547) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 51, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5121);
4. Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1977 tentang Peraturan Gaji Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1977 Nomor 11, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3098) sebagaimana telah diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2010 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2010 Nomor 31); 5. Peraturan Pemerintah Nomor 97 Tahun 2000 tentang Formasi Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 194, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4015) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2003 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 122, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4332); 6. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2003 tentang Wewenang Pengangkatan, Pemindahan, dan Pemberhentian Pegawai Negeri Sipil (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 15, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4263) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2009 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 1164); 7. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 70 Tahun 2009 tentang Tunjangan Jabatan Fungsional Penerjemah; 8. Peraturan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor PER/24/M.PAN/5/2006 tentang Jabatan Fungsional Penerjemah dan Angka Kreditnya; 9. Peraturan Bersama Menteri Sekretaris Negara dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 1 Tahun 2007 dan Nomor 22 Tahun 2007 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Penerjemah dan Angka Kreditnya sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bersama Menteri Sekretaris Negara dan Kepala Badan Kepegawaian Negara Nomor 4 Tahun 2010 dan Nomor 16 Tahun 2010. MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN MENTERI SEKRETARIS NEGARA TENTANG PEDOMAN PENYUSUNAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENERJEMAH - 2 - Pasal 1 Pedoman Penyusunan Formasi Jabatan Fungsional Penerjemah ini merupakan pedoman bagi Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat, Daerah Provinsi, dan Daerah Kabupaten/Kota dalam menyusun formasi Jabatan Fungsional Penerjemah di lingkungan instansi pusat dan daerah.
Pasal 2 Sistematika Pedoman Penyusunan Formasi Jabatan Fungsional Penerjemah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Peraturan ini, disusun sebagai berikut: I. TUJUAN II. PENGERTIAN III. TATA CARA PERHITUNGAN FORMASI JABATAN PENERJEMAH IV. TATA CARA PENETAPAN DAN PENGUSULAN FORMASI JABATAN PENERJEMAH V. PENUTUP Pasal 3 Pedoman Penyusunan Formasi Jabatan Fungsional Penerjemah adalah sebagaimana tersebut dalam Lampiran Peraturan ini yang merupakan satu kesatuan dan bagian yang tidak terpisahkan dari Peraturan ini. Pasal 4 Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan. Ditetapkan di Jakarta Pada tanggal September 2010 MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA SUDI SILALAHI - 3 -
Lampiran Peraturan Menteri Sekretaris Negara Republik Indonesia Nomor Tahun 2010 Tanggal September 2010 PEDOMAN PENYUSUNAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENERJEMAH I. TUJUAN II. Pedoman penyusunan formasi Jabatan Fungsional Penerjemah ini bertujuan untuk memberikan pedoman bagi Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat, Daerah Provinsi, dan Daerah Kabupaten/Kota dalam : 1. melakukan perhitungan, penetapan, dan pengusulan formasi Jabatan Fungsional Penerjemah di lingkungan Pegawai Negeri Sipil (PNS), baik pada unit-unit penerjemahan maupun pada unit-unit lain pengguna Penerjemah di instansi pusat dan daerah; 2. mendapatkan jumlah dan susunan Jabatan Fungsional Penerjemah sesuai dengan beban kerja yang dapat dilaksanakan dalam jangka waktu tertentu secara profesional, serta memungkinkan pencapaian jumlah kredit yang ditentukan untuk kenaikan pangkat. PENGERTIAN Dalam Peraturan ini yang dimaksud dengan: 1. Formasi Jabatan Fungsional Penerjemah adalah jumlah dan susunan pangkat PNS yang diperlukan oleh satuan organisasi agar mampu melaksanakan tugas penerjemahan untuk jangka waktu tertentu yang ditetapkan oleh pejabat yang berwenang; 2. Jam kerja efektif adalah jam kerja yang secara objektif digunakan untuk menyelesaikan tugas pokok Penerjemah dalam melaksanakan unsur dan sub unsur kegiatan Penerjemah yang dinilai angka kreditnya. III. TATA CARA PERHITUNGAN FORMASI JABATAN PENERJEMAH 1. UMUM : a. Formasi Jabatan Fungsional Penerjemah masing-masing satuan organisasi penerjemah maupun satuan organisasi lain pengguna Penerjemah disusun berdasarkan analisis kebutuhan dan penyediaan pegawai sesuai dengan jabatan yang tersedia, dengan memperhatikan norma, standar, dan prosedur yang ditetapkan oleh Pemerintah. b. Analisis kebutuhan dan penyediaan pegawai tersebut di atas dilakukan berdasarkan pada : - 4 -
1) Jenis pekerjaan, yaitu berbagai unsur dan sub unsur kegiatan yang harus dilakukan Penerjemah untuk melaksanakan penerjemahan yang merupakan tugas dan fungsi masing-masing satuan organisasi/unit kerja penerjemahan; 2) Sifat pekerjaan, yaitu pekerjaan yang berpengaruh dalam penetapan formasi Jabatan Fungsional Penerjemah, yaitu sifat pekerjaan yang ditinjau dari sudut waktu untuk melaksanakan pekerjaan itu; 3) Analisis beban kerja dan perkiraan kapasitas seorang tenaga Penerjemah dalam jangka waktu tertentu, yaitu frekuensi rata-rata masing-masing jenis pekerjaan penerjemahan dalam jangka waktu tertentu; 4) Prinsip pelaksanaan pekerjaan, yaitu apakah suatu kegiatan penerjemahan harus dilaksanakan sepenuhnya oleh satuan organisasi penerjemahan atau memerlukan dukungan pihak lain di luar satuan organisasi (misalnya, akibat kebutuhan tenaga spesialisasi atau pengetahuan/keahlian khusus); 5) Setiap Pejabat Fungsional Penerjemah, selain menguasai Bahasa Indonesia sebagai bahasa sumber, setidak-tidaknya menguasai satu bahasa asing atau satu bahasa daerah sebagai bahasa sasaran; 6) Struktur organisasi unit penerjemahan maupun unit lain pengguna Penerjemah, untuk dilihat jumlah PNS yang menempati jabatan struktural, jabatan fungsional tertentu, serta jabatan fungsional umum yang ada; 7) Faktor-faktor lain yang harus diperhitungkan, terutama kemampuan keuangan negara. c. Formasi Jabatan Fungsional Penerjemah di suatu instansi, baik di pusat maupun di daerah, hanya akan ada, apabila : 1) Tersedianya suatu unit penerjemahan yang mewadahi Pejabat Fungsional Penerjemah atau tersedianya unit lain yang menggunakan Penerjemah dalam melaksanakan tugas penerjemahan, melalui penyesuaian struktur, tugas pokok, dan fungsi instansi yang bersangkutan; 2) Terdapat PNS di unit penerjemahan maupun di unit lain pengguna Penerjemah, yang memilih Jabatan Fungsional Penerjemah sebagai jalur kariernya; 3) Terdapat pejabat fungsional lain selain Penerjemah di unit penerjemahan atau di unit lain pengguna Penerjemah yang pindah jabatan ke dalam jabatan Penerjemah; 4) Terdapat pejabat struktural di unit penerjemahan atau di unit lain pengguna Penerjemah yang pindah jabatan ke dalam jabatan fungsional Penerjemah. Apabila tidak ada tambahan beban kerja di unit tersebut, maka perpindahan ini harus disertai dengan penghapusan jabatan struktural di unit bersangkutan (restrukturalisasi). 5) Ada tambahan beban kerja yang mengakibatkan bertambahnya formasi PNS yang bekerja di bidang penerjemahan di unit penerjemahan atau di unit lain pengguna Penerjemah, serta ada PNS yang memilih Jabatan Fungsional Penerjemah sebagai jalur karirnya. Formasi Jabatan - 5 -
Fungsional Penerjemah ini bisa berasal dari PNS di luar unit penerjemahan yang ingin pindah ke dalam jabatan fungsional Penerjemah, atau pegawai baru. 2. PERHITUNGAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENERJEMAH a. Tahap I (tahun 2010) 1) Formasi Jabatan Fungsional Penerjemah di setiap unit penerjemahan untuk tahun 2010 tidak berakibat bertambahnya jumlah PNS yang telah dan masih melaksanakan tugas di bidang penerjemahan pada unit penerjemahan maupun di unit lain yang menggunakan Penerjemah tersebut; 2) Apabila jumlah PNS yang telah dan masih melaksanakan tugas di bidang penerjemahan pada suatu unit penerjemahan atau di unit lain pengguna Penerjemah adalah T, dan di dalamnya terdiri dari sejumlah Jabatan Struktural (JS), Jabatan Fungsional Tertentu selain Penerjemah (JFT), dan pejabat Fungsional Umum (JFU), maka: T = JS + JFT + JFU 3) Dengan adanya formasi Jabatan Fungsional Penerjemah sejumlah JFP, maka jumlah PNS yang telah dan masih melaksanakan tugas di bidang penerjemahan harus tetap sama dengan T, namun dengan konfigurasi yang berubah menjadi: T T T T = JFP + JS + JFT + (JFU-JFP), apabila seluruh JFP berasal dari Jabatan Fungsional Umum; = JFP + JS + (JFT - JFP) + JFU, apabila seluruh JFP berasal dari Jabatan Fungsional Tertentu selain Penerjemah; = JFP + (JS - JFP) + JFT + JFU, apabila seluruh JFP berasal dari Jabatan Struktural; = JFP + (JS + JFT + JFU - JFP), apabila JFP berasal dari ketiga unsur jabatan. b. Tahap II (setelah tahun 2010) 1) Formasi Jabatan Fungsional Penerjemah di setiap unit penerjemahan atau di unit lain pengguna Penerjemah setelah tahun 2010, dimungkinkan menambah jumlah PNS yang telah dan masih melaksanakan tugas di bidang penerjemahan di unit tersebut, dengan syarat adanya tambahan beban kerja. 2) Formasi Jabatan Penerjemah dikarenakan adanya tambahan beban kerja tersebut, dihitung berdasarkan formula sebagai berikut: Formasi JFP = (Σ Plan X µ Volume X µ Time) : Σ Person Load - 6 -
Formasi JFP = Jumlah formasi yang tersedia untuk pelaksanaan kegiatan penerjemahan pada suatu unit penerjemahan maupun di unit lain pengguna Penerjemah Σ Plan = Jumlah kegiatan penerjemahan per jenjang jabatan fungsional Penerjemah µ Volume = Rata-rata jumlah output hasil pekerjaan penerjemahan setiap jenis kegiatan penerjemahan µ Time = Rata-rata waktu untuk menyelesaikan 1 (satu) output Σ Person Load = Contoh : Jumlah jam kerja efektif penerjemah dalam setahun (1.250 jam) Kegiatan fungsional Penerjemahan di unit penerjemahan dan atau di unit lain pengguna Penerjemah pada suatu instansi dalam setahun adalah sebagai berikut: (1) Kegiatan penerjemahan untuk Penerjemah Pertama berjumlah 30 kegiatan, masing-masing kegiatan tersebut rata-rata menghasilkan 25 output, dan rata-rata setiap output tersebut membutuhkan penyelesaian waktu sebanyak 25 jam, maka formasi Jabatan Fungsional Penerjemah untuk jenjang Penerjemah Pertama tersebut adalah: Formasi JFP = (30 X 25 X 25) :1.250 = 15,00 Jadi jumlah formasi jabatan fungsional Penerjemah untuk jenjang Penerjemah Pertama adalah 15 orang. (2) Kegiatan penerjemahan untuk Penerjemah Muda berjumlah 28 kegiatan, masing-masing kegiatan tersebut rata-rata menghasilkan sebanyak 24 output, dan rata-rata setiap output membutuhkan penyelesaian waktu sebanyak 26 jam, maka formasi Jabatan Fungsional Penerjemah untuk jenjang Penerjemah Muda tersebut adalah: Formasi JFP = (28 X 24 X 26) : 1.250 = 13,98 dibulatkan menjadi 14 Jadi jumlah formasi Jabatan Fungsional Penerjemah untuk jenjang Penerjemah Muda adalah 14 orang. (3) Kegiatan penerjemahan untuk Penerjemah Madya berjumlah 24 kegiatan, masing-masing kegiatan tersebut rata-rata menghasilkan sebanyak 20 output, rata-rata setiap output membutuhkan penyelesaian waktu sebanyak 28 jam, maka formasi Jabatan - 7 -
Fungsional Penerjemah untuk jenjang Penerjemah Madya tersebut adalah: Formasi JFP = (24 X 20 X 28) : 1.250 = 10,75 dibulatkan menjadi 11 Jadi jumlah formasi Jabatan Fungsional Penerjemah untuk jenjang Penerjemah Madya adalah 11 orang. (4) Kegiatan penerjemahan untuk Penerjemah Utama berjumlah 18 kegiatan, masing-masing kegiatan tersebut rata-rata menghasilkan sebanyak 18 output, rata-rata setiap output membutuhkan penyelesaian waktu sebanyak 30 jam, maka formasi Jabatan Fungsional Penerjemah untuk jenjang Penerjemah Utama tersebut adalah: Formasi JFP = (18 X 18 X 30) : 1.250 = 7.78 dibulatkan menjadi 8 Jadi jumlah formasi Jabatan Fungsional Penerjemah untuk jenjang Penerjemah Utama adalah 8 orang. IV. TATA CARA PENETAPAN DAN PENGUSULAN FORMASI JABATAN FUNGSIONAL PENERJEMAH 1. Penetapan Formasi Jabatan Fungsional Penerjemah dengan cara : b. Formasi Jabatan Fungsional Penerjemah untuk masing-masing satuan organisasi Pemerintah Pusat setiap tahunnya ditetapkan oleh Menteri yang bertanggung jawab di bidang pendayagunaan aparatur negara dan reformasi birokrasi berdasarkan usul dari Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat masingmasing setelah mendapat pertimbangan teknis Kepala Badan Kepegawaian Negara (BKN). c. Formasi Jabatan Fungsional Penerjemah untuk masing-masing satuan organisasi Pemerintah Daerah : 1) Provinsi, ditetapkan oleh Gubernur berdasarkan usul dari Kepala Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi atau Kepala Instansi/Dinas Teknis terkait setelah mendapat pertimbangan teknis Kepala Kantor Regional BKN yang bersangkutan; 2) Kabupaten, ditetapkan oleh Bupati berdasarkan usul dari Kepala BKD Kabupaten atau Kepala Instansi/Dinas Teknis terkait setelah mendapat pertimbangan teknis Kepala Kantor Regional BKN yang bersangkutan; 3) Kota, ditetapkan oleh Walikota berdasarkan usul dari Kepala BKD Kota atau Kepala Instansi/Dinas Teknis terkait setelah mendapat pertimbangan teknis Kepala Kantor Regional BKN yang bersangkutan. 2. Prosedur Pengusulan Formasi Jabatan Fungsional Penerjemah a. Formasi Jabatan Fungsional Penerjemah di Pusat - 8 -
1) Usulan formasi jabatan Penerjemah disusun berdasarkan pada bezzeting dan peta jabatan, baik jabatan struktural maupun jabatan fungsional pada unit penerjemahan yang bersangkutan; 2) Sebelum mengajukan usulan formasi Jabatan Fungsional Penerjemah kepada Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, masing-masing Pejabat Pembina Kepegawaian Pusat melakukan koordinasi dan konsultasi dengan Sekretariat Negara sebagai Instansi Pembina jabatan fungsional Penerjemah; 3) Berdasarkan hasil koordinasi dan konsultasi tersebut, selanjutnya usulan formasi jabatan tersebut diajukan kepada Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, dan ditembuskan kepada Kepala Badan Kepegawaian Negara, sesuai dengan ketentuan yang berlaku; 4) Ketetapan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi disampaikan kepada instansi masing-masing, serta ditembuskan kepada Sekretariat Negara. b. Formasi Jabatan Fungsional Penerjemah di Daerah 1) Usulan formasi Jabatan Fungsional Penerjemah disusun berdasarkan pada bezzeting dan peta jabatan, baik jabatan struktural maupun fungsional, pada unit penerjemahan dan unit pengguna Penerjemah yang bersangkutan; 2) Pimpinan unit penerjemahan dan unit pengguna Penerjemah menyusun usulan rencana formasi Jabatan Fungsional Penerjemah di lingkungan masing-masing setelah dikoordinasikan atau dikonsultasikan dengan instansi pengelola penerjemah daerah yang bersangkutan; 3) Rencana usulan fomasi Jabatan Fungsional Penerjemah sebagaimana dimaksud di atas, selanjutnya diajukan kepada Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah untuk mendapat penetapan; 4) Sebelum formasi Jabatan Fungsional Penerjemah ditetapkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian Daerah, maka rencana formasi Jabatan Fungsional Penerjemah sebagaimana dimaksud terlebih dahulu dimintakan pertimbangan teknis kepada Kepala Kantor Regional BKN masing-masing; 5) Tembusan surat keputusan penetapan formasi Jabatan Fungsional Penerjemah disampaikan kepada Kepala Kantor Regional BKN yang bersangkutan, serta Deputi Menteri Sekretaris Negara Bidang Sumber Daya Manusia dan Kepala Biro Naskah dan Penerjemahan, Sekretariat Negara. V. PENUTUP - 9 -
Penyusunan formasi Jabatan Fungsional Penerjemah setelah periode penyesuaian/inpassing dilakukan dengan mengacu pada Pedoman Penyusunan Formasi Jabatan Fungsional Penerjemah. MENTERI SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA SUDI SILALAHI - 10 -