BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Bagi perekonomian Indonesia, sektor pertanian merupakan sektor yang penting karena secara tradisional Indonesia merupakan negara agraris yang bergantung pada sektor pertanian sebagai sumber pangan dan penyokong pertumbuhan ekonomi (Mosher, 1965). Subsektor perkebunan yang menjadi salah satu bagian dari sektor pertanian dan tanaman yang menjadi komoditas di subsektor perkebunan adalah tanaman musiman atau tanaman tahunan. Dilihat dari tujuan dan penggunaan hasil produksinya subsektor perkebunan lebih mengarah sebagai bahan baku industri atau berkaitan dengan sektor dan subsektor lainnya. Berbeda dengan subsektor lain di dalam sektor pertanian, khususnya subsektor pangan yang justru banyak dilakukan impor akibat produksi yang tidak mampu memenuhi kebutuhan domestik, subsektor perkebunan justru menjadi penghasil devisa yang sangat besar bagi Indonesia melalui angka penjualan domestik dan non domestik yang tinggi (BPS 2013). Potensi subsektor perkebunan yang sangat besar terutama sebagai bahan baku utama berbagai macam industri (Pahan, 2006). Contohnya untuk komoditas kelapa sawit dapat diolah menjadi berbagai macam produk olahan seperti yang dapat dilihat pada pohon industrinya (Lampiran 1). Pada subsektor perkebunan, kelapa sawit merupakan salah satu komoditas yang menjadi primadona. Penyebabnya adalah kebutuhan minyak nabati dan lemak dunia yang terus meningkat sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk dan 1
peningkatan pendapatan domestik bruto (Pahan, 2006). Kelapa sawit menjadi komoditas penting bagi subsektor perkebunan Indonesia sebagai negara produsen kelapa sawit terbesar di dunia yaitu 40,27% dari produksi kelapa sawit dunia (Kementerian Pertanian, 2012). Hingga tahun 2013 menurut data dari Ditjen Perkebunan (2013), Indonesia memiliki 10.010.824 Ha lahan perkebunan kelapa sawit (Lampiran 2) serta menghasilkan 27.746.125 ton kelapa sawit (Lampiran 3) dengan produktivitas rata-rata 3.689 kg/ha kelapa sawit (Lampiran 4). Berdasarkan kepemilikan perkebunan kelapa sawit di Indonesia terbagi dalam tiga jenis perkebunan yaitu; perkebunan rakyat, perkebunan milik swasta, dan perkebunan milik negara. Perkebunan milik negara dikelola oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang beroperasi dengan nama PT. Perkebunan Nusantara I sampai PT. Perkebunan Nusantara XIV dan PT. Rajawali Nusantara Indonesia. Perusahaan-perusahaan milik negara tersebut tersebar di seluruh wilayah Indonesia. PT. Perkebunan Nusantara V (PTPN V) merupakan salah satu perusahaan perkebunan kelapa sawit milik pemerintah yang beroperasi di wilayah Propinsi Riau (Ditjen Perkebunan, 2013). Kinerja dan proses bisnis dari sebuah perusahaan yang bergerak di sub sektor perkebunan, khususnya komoditas kelapa sawit, sangat ditentukan oleh lima hal yaitu luas lahan, produktifitas kelapa sawit, harga pokok produksi, harga pokok penjualan dan harga jual produk. Begitu pun yang berlaku pada proses bisnis PTPN V sebagai perusahaan yang bergerak di subsektor perkebunan dan komoditas kelapa sawit ditentukan oleh kelima faktor tersebut, sebagaimana disampaikan oleh Kepala Bagian Pembiayaan PTPN V, melalui wawancara yang telah penulis lakukan. 2
Berdasarkan Laporan Manajemen Perusahaan tahun 2013, dapat diketahui kondisi perusahaan saat ini. Perusahaan per Desember 2013 memiliki luas areal perkebunan kelapa sawit sendiri seluas 76.814 Ha, bertambah 47 Ha dibandingkan dengan tahun 2012 yaitu 76.767 Ha (Lampiran 5). Lahan seluas 76.814 Ha tersebut terdiri dari 76.465 Ha lahan produktif dan 349 Ha lahan non produktif ditambah dengan lahan pembibitan (Laporan Tahunan Manajemen 2013). Pada kondisi ideal, PTPN V harus mampu menghasilkan 2.933.304 ton TBS setiap tahunnya (RKAP 2013). Dengan rincian dari kebun inti sebesar 1.082.457 ton, kebun plasma sebesar 666.032 ton dan kebun pihak ketiga sebesar 1.184.815 ton (Lampiran 6). Apabila kondisi tersebut dapat dipenuhi, maka kinerja perusahaan dapat dikatakan ideal karena memenuhi kapasitas produksi 12 pabrik pengolahan CPO yang dimiliki oleh PTPN V. Dengan kata lain, dengan tercapainya kondisi ideal tersebut maka idle capacity pabrik akan direduksi seminimal mungkin sehingga mampu menurunkan biaya produksi. Namun pada kenyataannya perusahaan tidak mampu memenuhi kondisi ideal tersebut (Laporan Tahunan Manajemen 2013). Realisasi pada tahun 2013 memperlihatkan bahwa perusahaan hanya mampu menghasilkan 2.688.427 ton TBS. Perolehan ini didapat dengan rincian dari kebun sendiri sebesar 836.246 ton, kebun plasma 718.112 ton dan kebun pihak ketiga 1.134.068 ton. Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa perusahaan, terutama melalui kebun inti (milik perusahaan) tidak mampu menghasilkan TBS yang dapat memenuhi kondisi ideal yang menjadi target kinerja perusahaan. Padahal seharusnya dengan luas lahan produktif yang dimiliki oleh perusahaan saat ini 3
yaitu seluas 76.465 Ha, perusahaan melalui kebun inti dapat mencapai target kinerja produksi TBS yaitu 1.082.457 ton. Kepala Urusan Perencanaan PTPN V menjelaskan bahwa tidak tercapainya produksi yang ditargetkan oleh perusahaan mengakibatkan idle capacity dari pabrik-pabrik pengolahan yang dimiliki oleh perusahaan meningkat secara signifikan. Maka untuk menutupi kekurangan produksi tersebut dan untuk memaksimalkan idle capacity pabrik-pabrik, maka perusahaan mengambil TBS dari luar perusahaan yaitu dari plasma dan pihak ketiga. Kebijakan yang diambil perusahaan ini ternyata memiliki relevansi dengan biaya produksi karena harga TBS yang dibeli dari pihak luar lebih mahal jika dibandingkan dengan TBS yang dihasilkan sendiri oleh perusahaan. Mengutip Laporan Tahunan Manajemen 2013, biaya produksi TBS yang dihasilkan sendiri adalah Rp. 4.097/kg sedangkan biaya produksi TBS jika dibeli dari pihak luar mencapai Rp. 6.312/kg (plasma) dan Rp. 6.434/kg (pihak ketiga). Margin harga tersebut sangat mempengaruhi margin biaya produksi antara TBS sendiri dan TBS yang dibeli dari pihak luar. Sebagai perusahaan yang memiliki proses bisnis yang panjang dan terbagi ke dalam beberapa aktivitas dalam proses produksinya, PTPN V perlu melihat lebih jauh ke dalam aktivitas-aktivitas bisnisnya agar dapat mengetahui dengan jelas titik-titik mana saja dalam aktivitas-aktivitas tersebut yang membutuhkan pembenahan agar mampu menunjang kinerja perusahaan menjadi lebih baik. Melihat permasalahan di atas perusahaan membutuhkan analisis terhadap aktivitas-aktivitas pada rantai nilai (value chain) perusahaan. Diharapkan dengan 4
melakukan analisis terhadap aktivitas rantai nilai perusahaan akan mampu menghasilkan perbaikan-perbaikan pada aktivitas rantai nilai perusahaan dan mampu memaksimalkan serta meningkatkan kinerja perusahaan pada komoditas kelapa sawit sesuai dengan target kinerja yang telah ditetapkan oleh shareholders. Selain itu dengan melakukan analisis tersebut, perusahaan juga diharapkan untuk mampu mengidentifikasi keunggulan kompetitif perusahaan. Uraian diatas mendorong penulis untuk melakukan penelitian dengan judul thesis Analisis Rantai Nilai Sebagai Dasar Meningkatkan Kinerja PT. Perkebunan Nusantara V pada Komoditas Kelapa Sawit. 1.2 Rumusan Masalah Kinerja perusahaan belum maksimal dan belum mencapai target kinerja yang diinginkan oleh shareholders maka dari itu perusahaan harus melakukan pembenahan yang tepat pada setiap proses bisnis perusahaan. Pembenahan tersebut bertujuan untuk meningkatkan kinerja terutama pembenahan yang berhubungan dengan aktivitas-aktivitas di rantai nilai (value chain) perusahaan. Adapun yang harus menjadi perhatian perusahaan adalah maksimalisasi dan efisiensi pada setiap aktivitas-aktivitas pada rantai nilai (value chain) perusahaan. Perusahaan juga perlu mengidentifikasi yang menjadi keunggulan kompetitif perusahaan berdasarkan analisa kekuatan dan kelemahan pada rantai nilai perusahaan sebagai landasan bagi perusahaan dalam menentukan pembenahan yang perlu dilakukan. 1.3 Pertanyaan Penelitian Maka dari rumusan masalah di atas, yang menjadi pertanyaan dari penelitian adalah sebagai berikut: 5
a. Bagaimana aktivitas-aktivitas pada rantai nilai perusahaan? b. Apakah kekuatan dan kelemahan rantai nilai perusahaan tersebut berkaitan dengan kinerja? c. Apakah pembenahan yang perlu dilakukan pada aktivitas-aktivitas rantai nilai yang mampu meningkatkan kinerja? d. Apakah kekuatan rantai nilai yang menjadi keunggulan kompetitif perusahaan? 1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian di atas, maka yang menjadi tujuan penelitian adalah: a. Untuk mengetahui aktivitas-aktivitas rantai nilai perusahaan. b. Untuk mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan rantai nilai perusahaan. c. Untuk melakukan pembenahan terhadap aktivitas-aktivitas rantai nilai perusahaan dengan tujuan peningkatan kinerja. d. Untuk mengidentifikasi kekuatan rantai nilai yang menjadi keunggulan kompetitif perusahaan. 1.5 Manfaat Penelitian Penulis berharap bahwa penelitian ini dapat memberi manfaat dan kontribusi terhadap pihak-pihak yang membutuhkan hasil dari penelitian ini. a. Perusahaan, sebagai sarana evaluasi atas kebijakan-kebijakan yang telah diambil oleh perusahaan. 6
b. Aspek keilmuan, sebagai sumber informasi untuk memperkaya dunia pustaka dan sebagai dasar bagi penelitian lanjutan terhadap permasalahan yang berkaitan. 1.6 Batasan Penelitian Dibutuhkan batasan-batasan agar penelitian yang dilakukan tidak menyimpang dari yang diharapkan, batasan-batasan tersebut adalah: a. Penelitian tidak menilai dari divisi tertentu melainkan dari keseluruhan aktivitas rantai nilai perusahaan. b. Persaingan dengan perusahaan lain tidak menjadi fokus dalam penelitian. c. Analisis SWOT hanya menggunakan strength dan weakness karena penelitian hanya fokus pada internal perusahaan. d. Analisis SWOT bukan sebagai alat analisis utama, hanya sebagai pembanding dari analisis utama yaitu rantai nilai (value chain) 7