BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Hakikat Matematika Matematika merupakan suatu objek yang memilki tujuan abstrak, bertumpu pada

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. sampai 12 atau 13 tahun. Menurut Piaget, mereka berada pada fase. operasional konkret. Kemampuan yang tampak pada fase ini adalah

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan di era globalisasi seperti saat ini. Pemikiran tersebut dapat dicapai

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Subyek Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Sekolah Dasar Negeri Dukuh 03 Kecamatan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN TEORITIS

BAB II KAJIAN TEORI. merupakan suatu ide abstrak yang memungkinkan seseorang untuk. pengertian yang benar tentang suatu rancangan atau ide abstrak.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. adanya jembatan yang dapat menetralisir perbedaan atau pertentangan tersebut.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pendekatan Realistic Mathematics Education atau Pendekatan Matematika

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA MELALUI MODEL PEMBELAJARAN KOOPERATIF TEKNIK KANCING GEMERINCING DI SEKOLAH DASAR

2016 PENERAPAN PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION (RME) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS IV SEKOLAH DASAR

BAB II KAJIAN PUSTAKA

SKRIPSI Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Guna Mencapai Derajat Sarjana S-1 Jurusan Pendidikan Matematika. Disusun Oleh : DWI NUR JANAH

BAB I PENDAHULUAN. Matematika merupakan ilmu universal yang mendasari perkembangan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PENGEMBANGAN PERANGKAT PENGAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN PMR BERBANTUAN CD INTERAKTIF PADA MATERI PERSAMAAN LINEAR SATU VARIABEL KELAS VII

BAB 1 PENDAHULUAN. pendidikan tidak terlepas dari tujuan pendidikan yang telah hendak dicapai,

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

PENANAMAN NORMA-NORMA SOSIAL MELALUI INTERAKSI SISWA DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DENGAN PENDEKATAN PMRI DI SEKOLAH DASAR

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu proses memanusiakan manusia atau lazim

BAB II HASIL BELAJAR MATEMATIKA SISWA POKOK BAHASAN PENJUMLAHAN PECAHAN MENGGUNAKAN PENDEKATAN REALISTIK. A. Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar

BAB I PENDAHULUAN. matematika diantaranya: (1) Siswa dapat memahami konsep matematika,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Realistic Mathematics Education (RME) Secara harfiah realistic mathematics education diterjemahkan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. mengalami kesulitan dalam memahami konsep-konsep matematika. Akibatnya. prestasi matematika siswa secara umum belum menggembirakan.

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II LANDASAN TEORI

UPAYA MENINGKATKAN HASIL BELAJAR MATEMATIKA PADA SISWA KELAS IV SDN POLOBOGO 02 KECAMATAN GETASAN KABUPATEN SEMARANG MELALUI MODEL PEMBELAJARAN JIGSAW

BAB II KAJIAN PUSTAKA. A. Kajian Teori dan Hasil Penelitian Yang Relevan

Kata Kunci: Pendidikan Matematika Realistik, Hasil Belajar Matematis

BAB I PENDAHULUAN. meringankan kerja manusia. Matematika diberikan kepada siswa sebagai bekal

BAB II LANDASAN TEORI DAN PENGAJUAN HIPOTESIS. yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori Hakikat Ilmu Pengetahuan Alam Ilmu pengetahuan alam (IPA) merupakan bagian dari ilmu pegetahuan atau

2014 PENGGUNAAN ALAT PERAGA TULANG NAPIER DALAM PEMBELAJARAN OPERASI PERKALIAN BILANGAN CACAH UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA

PENINGKATAN KETERAMPILAN BERHITUNG BILANGAN BULAT MELALUI PENDEKATAN REALISTIC MATHEMATICS EDUCATION

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

PENGGUNAAN MODEL NUMBERED HEADS TOGETHER (NHT) DALAM PEMBELAJARAN MATEMATIKA DI SEKOLAH DASAR

Penerapan Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Two Stay Two Stray

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Model pembelajaran kooperatif merupakan suatu model pembelajaran yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

DESKRIPSI BUTIR ANGKET PENILAIAN MODUL MATEMATIKA PROGRAM BILINGUAL PADA MATERI SEGIEMPAT DENGAN PENDEKATAN PMRI

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang Masalah Rini Apriliani, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah ,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Ratna Purwati, 2013

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Dedi Abdurozak, 2013

BAB II KAJIAN TEORI. A. Karakteristik Pembelajaran Matematika SD / MI. 1. Ciri-Ciri Pembelajaran Matematika SD / MI. 7

Departement of Mathematic Education Mathematic and Sains Education Major Faculty of Teacher Training and Education Riau University

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB II KAJIAN PUSTAKA

IMPLEMENTASI MODEL PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL PADA MATERI AJAR VOLUME BANGUN RUANG SISI LENGKUNG. Abu Khaer

BAB II KAJIAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. terjadi dalam diri seseorang dan interaksi dengan lingkungannya. Hal ini sesuai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

PENINGKATAN HASIL BELAJAR PERBANDINGAN DAN SKALA MELALUI PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK. Sri Suwarni

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi semakin pesat, arus globalisasi semakin hebat.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. menyelesaikan masalah jika mereka menemui masalah dalam kehidupan. adalah pada mata pelajaran matematika.

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. memiliki kemampuan atau skill yang dapat mendorongnya untuk maju dan terus

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. A. Karakteristik Pembelajaran Matematika SD. Pembelajaran matematika pada tingkat SD berbeda dengan pembelajaran

II. TINJAUAN PUSTAKA. Belajar merupakan perkembangan yang dialami oleh seseorang menuju kearah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PEMBELAJARAN MATEMATIKA REALISTIK (PMR)

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENERAPAN MODEL PEMBELAJARAN NUMBER HEADS TOGETHER (NHT) UNTUK MENINGKATKAN HASIL BELAJAR SISWA KELAS VIIA SMP NEGERI 2 TUNTANG PADA MATERI SEGITIGA

II. TINJAUAN PUSTAKA. sebagai tingkat keberhasilan dalam mencapai tujuan dan sasarannya. Sutikno

BAB II KAJIAN PUSTAKA. a. Pengertian Matematika

BAB I PENDAHULUAN. Era globalisasi sekarang ini pendidikan di Indonesia sudah mulai berkembang,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Salah satu tujuan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) untuk mata

BAB II KAJIAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian teori Pembelajaran Matematika Matematika merupakan pelajaran yang memerlukan pemusatan pikiran untuk mengingat

BAB II KAJIAN PUSTAKA

Oleh: Ririne Kharismawati* ) Sehatta Saragih** ) Kartini*** ) ABSTRACT

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

BAB II KAJIAN PUSTAKA

II. TINJAUAN PUSTAKA. berarti mempunyai efek, pengaruh atau akibat, selain itu kata efektif juga dapat

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Roheni, 2013

BAB I PENDAHULUAN. Maksudnya bahwa kegiatan belajar mengajar merupakan suatu peristiwa yang

BAB II KAJIAN PUSTAKA. seseorang akan mengetahui hal-hal baru serta dapat mengerti dan memahami

Transkripsi:

BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Kajian Teori 2.1.1 Hakikat Matematika Matematika merupakan suatu objek yang memilki tujuan abstrak, bertumpu pada kesepakatan, dan pola pikir yang dedukatif. Dalam matematika, setiap konsep yang abstrak yang baru dipahami siswa perlu segera diberi penguatan, agar dapat bertahan lama dalam memori siswa, sehingga akan melekat dalam pola pikir dan pola tindakannya. (Prihandoko (2006). Kline dalam Mulyono (2003 : 252) mengatakan matematika adalah bahasa simbolis dan ciri utamanya adalah penggunaan cara bernalar deduktif, tetapi juga tidak melupakan cara bernalar induktif. Berdasarkan uraian tersebut, yang dimaksud pendiidikan dalam matematika merupakan suatu pembelajaran yang tidak hanya suatu simbol, namun di setiap simbol terdapat sebuah arti,yang digunakan untuk berfikir. 2.1.2 Pembelajaran Matematika di SD Konsep matematika yang diberikan pada siswa sekolah dasar (SD) sangatlah sederhana dan mudah, tetapi sebenarnya materi matematika SD memuat konsep-konsep yang mendasar dan penting serta tidak boleh dipandang gampang. Diperlukan kecermatan dalam menyajikan konsep-konsep tersebut, agar siswa mampu memahaminya secara benar, sebab kesan dan pandangan yang diterima siswa terhadap suatu konsep di sekolah dasar dapat terus terbawa pada masa-masa selanjutnya. Misalnya, jika sejak semula dalam suatu gambar segitiga guru selalu menunjuk bahwa alas suatu segitiga adalah sisi yang berada di bagian bawah dan tinggi selalu ditunjukkan oleh segmen garis vertikal yang tegak lurus terhadap sisi alas dan berujung di titk sudut diatas sisi tersebut, maka untuk selanjutnya siswa akan terus melakukan hal serupa. Contoh tersebut menunjukkan bahwa konsepkonsep matematika harus diberikan secara benar sejak awal siswa mengenal suatu konsep, sebab kesan yang pertama kali ditangkap oleh siswa akan terus terekam dan menjadi pandangannya di masa-masa selanjutnya. 5

6 Siswa sekolah dasar (SD) umurnya berkisar antara 6 atau 7 tahun, sampai 12 atau 13 tahun. Menurut Piaget, mereka berada pada fase operasional konkret. Kemampuan yang tampak pada fase ini adalah kemampuan dalam proses berpikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika, meskipun masih terikat dengan objek yang bersifat konkret. Dari usia perkembangan kognitif, siswa SD masih terikat dengan objek konkret yang dapat ditangkap oleh panca indra. Dalam pembelajaran matematika yang abstrak, siswa memerlukan alat bantu berupa media, dan alat peraga yang dapat memperjelas apa yang akan disampaikan oleh guru sehingga lebih cepat dipahami dan dimengerti siswa. Proses pembelajaran pada fase konkret dapat melalui tahapan konkret, semi konkret, dan selanjutnya abstrak. Konsep-konsep pada kurikulum matematika SD dapat dibagi menjadi tiga kelompok besar, yaitu penanaman konsep dasar (penanaman konsep), pemahaman konsep, dan pembinaan ketrampilan. Memang, tujuan akhir pembelajaran matematika di SD ini yaitu agar siswa terampil dalam menggunakan berbagai konsep matematika dalam kehidupan sehari-hari. Akan tetapi untuk menuju tahap keterampilan tersebut harus memulai langkah-langkah benar yang sesuai dengan kemampuan dan lingkungan siswa. Berikut ini adalah pemaparan pembelajaran yang ditekankan pada konsep-konsep matematika. 1. Penanaman Konsep Dasar (Penanaman Konsep), yaitu pembelajaran suatu konsep baru matematika, ketika siswa belum pernah mempelajari konsep tersebut. Kita dapat mengetahui konsep ini dari isi kurikulum, yang dicirikan dengan kata mengenal. Pembelajaran penanaman konsep dasar merupakan jembatan yang harus dapat menghubungkan kemampuan kognitif siswa yang konkret dengan konsep baru matematika yang abstrak. Dalam kegiatan pembelajaran konsep dasar ini, media atau alat peraga diharapkan dapat digunakan untuk membantu pola piker siswa. 2. Pemahaman konsep, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep, yang bertujuan agar siswa lebih memahami suatu konsep matematika. Pemahaman konsep terdiri atas dua pengertian. Pertama,

7 merupakan kelanjutan dari pembelajaran penanaman konsep dalam satu pertemuan. Sedangkan kedua, pembelajaran pemahaman konsep dilakukan pada pertemuan berbeda, tetapi masih merupakan lanjutan dari pemahaman konsep. Pada pertemuan tersebut, penanaman konsep dianggap sudah disampaikan pada pertemuan sebelumnya, di semester atau kelas sebelumnya. 3. Pembinaan Keterampilan, yaitu pembelajaran lanjutan dari penanaman konsep dan pemahaman konsep. Pembelajaran pembinaan keterampilan bertujuan agar siswa lebih terampil dalm menggunakan berbagai konsep matematika. Seperti halnya pada pemahaman konsep, pembinaan keterampilan juga terdiri atas dua pengertian. Pertama, merupakan kelanjutan dari pembelajaran penanaman konsep dalam satu pertemuan. Sedangkan kedua, pembelajaran pembinaan keterampilan dilakukan pada pertemuan yang berbeda, tapi masih merupakan lanjutan dari penanaman dan pemahaman konsep. Pada pertemuan tersebut, penanaman dan pemahaman konsep dianggap sudah disampaikan pada pertemuan sebelumnya, di semester atau kelas sebelumnya. Berdasarkan uraian tersebut, pembelajaran matematika di SD lebih memperhatikan pada penanaman konsep, pemahaman konsep, dan pembinaan keterampilan pada peserta didik. Karena kemampuan yang tampak pada siswa sekolah dasar adalah kemampuan dalam proses berpikir untuk mengoperasikan kaidah-kaidah logika, meskipun masih terikat dengan objek yang bersifat konkret. sehingga sangat di perlukan alat bantu berupa media, dan alat peraga yang dapat memperjelas apa yang akan disampaikan oleh guru sehingga lebih cepat dipahami dan dimengerti siswa. 2.1.3 Tujuan Pembelajaran Matematika di Sekolah Dasar Permendiknas nomor 22 tahun 2006 tujuan mata pelajaran matematika adalah sebagai berikut: 1. Memahami konsep matematika, menjelaskan keterkaitan antarkonsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efisien, dan tepat, dalam pemecahan masalah

8 2. Menggunakan penalaran pada pola dan sifat, melakukan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun bukti, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika 3. Memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh 4. Mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah 5. Mampu mengaplikasikan ilmu matematika dalam kehidupan sehari-hari, memiliki rasa ingin tahu, dan memilki semangat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah. Menurut Kurikulim Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006 ruang lingkup Mata pelajaran Matematika untuk SD/MI meliputi aspek-aspek berikut: 1. Bilangan 2. Geometri dan pengukuran 3. Pengolahan data. 2.1.4 Pembelajaran Kooperatif Isjoni (2011: 22) mengatakan pembelajaran kooperatif berasal dari kata kooperatif yang berarti mengerjakan sesuatu secara bersama-sama dengan saling membantu satu sama lainnya sebagai satu kelompok atau satu tim. Pembelajaran kooperatif adalah model pembelajaran yang mengelompokkan siswa untuk menciptakan pendekatan pembelajaran yang menginteraksi keterampilan sosial yang bermuatan akademik. Agus Suprijono (2010: 54) juga menyatakan bahwa pembelajaran kooperatif adalah konsep yang lebih luas meliputi semua jenis kerja kelompok termasuk yang dipimpin oleh guru atau diarahkan oleh guru. Pembelajaran kooperatif dirancang bertujuan untuk melibatkan pelajaran secara aktif dalam proses pembelajaran, menerusi perbincangan dengan rekan-rekan dalam kelompok kecil. Wina (2013: 242) juga sependapat bahwa pembelajaran kooperatif merupakan model pembelajaran dengan menggunakan sistem pengelompokkan/tim kecil, yaitu antara empat sampai enam orang yang

9 mempunyai latar belakang kemampuan akademik, jenis kelamin, ras, atau suku yang berbeda (heterogen). Pembelajaran kooperatif tidak hanya sekedar belajar dalam kelompok saja tapi pembelajaran kooperatif merupakan strategi belajar dengan beberapa jumlah siswa sebagai anggota kelompok kecil yang tingkat kemampuaannya berbeda dimana dalam menyelesaikan tugas kelompok, setiap anggota kelompok harus saling bekerja sama dan saling membantu guna mencapai tujuan dalam pembelajaran tertentu. Dalam pembelajaran kooperatif ini, dikatakan belum selesai jika salah satu teman dalam kelompok belum menguasai bahan belajar. Berdasarkan uraian tersebut, yang dimaksud pembelajaran kooperatif adalah suatu pembelajaran yang dirancang untuk pelajaran yang melibatkan siswa secara aktif dalam proses pembelajaran dengan rekan-rekan dalam kelompok kecil. 2.1.5 Tujuan Pembelajaran Kooperatif Tujuan penting lain dari pembelajaran kooperatif adalah untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan kerja sama dan kolaborasi (Rusman 2011: 210) Keterampilan ini amat penting untuk dimiliki di dalam masyarakat, dimana sebagian besar pekerjaan tersebut dilakukan dalam organisasi yang saling bergantung satu sama lain, karena masyarakat secara budaya semakin beragam. Dalam pembelajaran kooperatif tidak hanya mempelajari materi saja. Namun, siswa juga harus mempelajari keterampilan-keterampilan kooperatif khusus yang disebut keterampilan kooperatif. Keterampilan kooperatif ini berfungsi untuk melancarkan hubungan, kerja dan tugas. Peranan hubungan kerja dapat dibangun dengan mengembangkan komunikasi antar anggota kelompok, sedangkan peranan tugas dilakukan dengan membagi tugas antar anggota kelompok selama kegiatan. 2.1.6 Unsur-Unsur Pembelajaran Kooperatif Anita Lie ( 2004: 31) mengatakan bahwa tidak semua kerja kelompok bisa dianggap cooperative learning. Dapat mencapai hasil yang maksimal, ada lima unsur pembelajaran kooperatif, yaitu: 1. Saling ketergantungan positif

10 Menciptakan kelompok kerja yang efektif, pengajar perlu menyusun tugas sedemikian rupa sehingga setiap anggota kelompok harus menyelesaikan tugasnya sendiri, agar yang lain bisa mencapai tujuan mereka. 2. Tanggaung jawab perseorangan Unsur ini merupakan akibat langsung dari unsur yang pertama. Jika tugas dan pola penilaian dibuat menurut prosedur model pembelajaran cooperative learning, setiap siswa akan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik. 3. Tatap muka Setiap kelompok harus diberikan kesempatan untuk bertemu muka dan berdiskusi. Kegiatan ineraksi ini akan memberikan para pembelajar untuk membentuk kelompok yang menguntungkan semua anggota. Hasil pemikiran beberapa kepala akan lebih kaya daripada hasil pemikiran dari satu kepala saja. 4. Komunikasi antar anggota Unsur ini juga menghendaki agar para pembelajar dibekali dengan berbagai keterampilan berkomunikasi. Sebelum menugaskan siswa dalam kelompok, pengajar perlu mengajarkan cara-cara berkomunikasi. Tidak semua siswa mempunyai keahlian mendengarkan dan berbicara. 5. Evaluasi proses kelompok Pengajara perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerjasama mereka agar selanjutnya bisa bekerjasama dengan lebih efektif. Unsur pembelajaran kooperatif tidak dapat tercapai jika hanya menggunakan model pembalajaran yang konvensional tanpa melibatkan siswa secara aktif. Pembelajaran harus menekankan siswa aktif berdiskusi dengan kelompok, untuk mencapai unsur tersebut, guru hendaknya dapat menciptakan kondisi dan situasi pembelajaran yang memungkinkan siswa aktif membentuk,

11 menemukan dan mengembangkan pengetahuannya. Kemudian siswa dapat membentuk makna tersendiri dari apa yang di pelajari. 2.2 Pembelajaran RME (Realistic Mathematics Education ) 2.2.1 Pengertian RME (Realistic Mathematics Education ) (Suyitno, 2006:36) mengatakan Realistic Mathematics Education (RME) merupakan model pembelajaran matematika di sekolah yang bertitik tolak dari hal-hal yang real bagi kehidupan siswa sedangkan (Zainuri, 2007) juga sependapat bahwa Matematika Realistik yang dimaksud dalam hal ini adalah Matematika sekolah yang dilaksanakan dengan menempatkan realitas dan pengalaman siswa sebagai titik awal pembelajaran. Jadi menurut penulis PMR adalah suatu model pembelajaran matematika sekolah yang mana dalam pembelajarannya melibatkan realitas dan pengalaman siswa. realita yaitu hal-hal yang nyata atau kongkrit yang dapat diamati atau dipahami peserta didik lewat membayangkan, sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan adalah lingkungan tempat peserta didik berada baik lingkungan sekolah, keluarga maupun masyarakat yang dapat dipahami peserta didik. Dalam RME bentuk pengajaran dijauhkan dari hal-hal yang sifatnya didaktik yang hanya menekankan menulis dan berbicara. Dibutuhkan alat-alat peraga untuk mendukung RME ini sehingga dapat menjembantani antara yang abstrak dan konkret. Dengan RME, peserta didik dapat mempresentasikan masalah-masalah dalam konteks alami yang memungkinkan peserta didik dapat menggunakan strategi belajar bagi pada saat tidak berada di sekolah. Sehingga masalah dapat dipecahkan oleh peserta didik dalam sebuah cara yang masuk akal bagi peserta didik. 2.2.2 Prinsip-Prinsip Utama RME Prinsip-prinsip utama pembelajaran RME meliputi: 1) Penemuan terbimbing dan proses matematisasi yang makin meningkat (Guided Reinvention and progressive mathematization) Melalui topik-topik yang disajikan, perlu diupayakan agar peserta didik mempunyai pengalaman dan kesempatan untuk mengalami

12 sendiri proses penemuan beberapa konsep, prinsip matematika, dan lainlain dengan bimbingan orang dewasa. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memberikan contextual problems yang mempunyai berbagi macam solusi dilajutkan dengan mathematizing prosedur solusi yang sama, serta perencanaan rute belajar sedemikian rupa sehingga peserta didik menemukan sendiri konsep atau hasil. Situasi yang berisikan fenomena dan dijadikan bahan serta area aplikasi dalam pengajaran matematika haruslah berangkat dari keadaan yang nyata. 2) Fenomena yang mengandung muatan didaktik (Didactical Phenomology) Masalah kontekstual yang akan diangkat atau disajikan dalam pembelajaran harus mempertimbangkan aplikasi serta kontribusi untuk pengembangan konsep-konsep matematika selanjutnya. 3) Pembentukan model oleh peserta didik sendiri (self developed models) Dalam mempelajari konsep dan materi matematika melalui masalahmasalah kontekstual, peserta didik perlu mengembangkan sendiri model atau cara-cara menyelesaikan masalah tersebut. Model ini dapat dijadikan wahana untuk mengembangkan proses berpikir peserta didik. Proses berpikir yang paling dikenal peserta didik yang mungkin masih intuitif akan mengarah ke proses berpikir yang lebih formal. Berdasarkan prinsip utama RME tersebut, RME dapat dikategorikan sebagai belajar dengan penemuan terbimbing sekaligus belajar dengan temuan sendiri. Dalam hal ini peserta didik dan guru sama-sama aktif dengan peran berbeda, guru sebagai fasilitator sedangkan peserta didik sebagai subjek aktif dalam proses menemukan kembali. 2.2.3 Aspek-Aspek Pembelajaran RME Aspek-aspek yang ada dalam pembelajaran RME adalah sebagai berikut: a) Memulai pelajaran dengan mengajukan masalah (soal) yang riil bagi peserta didik sesuai dengan pengalaman dan tingkat pengetahuannya, sehingga peserta didik segera terlibat dalam pelajaran secara bermakna. b) Permasalahan yang diberikan tentu harus diarahkan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai dalam pelajaran tersebut.

13 c) Peserta didik mengembangkan atau menciptakan model-model simbolik secara informal terhadap persoalan atau masalah yang diajukan. Pengajaran berlangsung secara interaktif, pesertadidik menjelaskan dan memberikan alasan terhadap jawaban yang diberikannya, memahami jawaban temannya (peserta didik lain), menyatakan ketidaksetujuan, mencari alternatif penyelesaian yang lain, dan melakukan refleksi terhadap setiap langkah yang ditempuh atau terhadap hasil pelajaran. 2.3 Langkah-Langkah Pembelajaran RME Berdasarkan dari karakteristik dan aspek-aspek RME, maka dapat disusun langkah-langkah pembelajaran RME. Soedjadi (2001:3) sebagai berikut: 1. Memahami masalah kontekstual Guru memberikan masalah kontekstual sesuai dengan materi pelajaran yang sedang dipelajari siswa. 2. Menyelesaikan masalah kontekstual Siswa mendeskripsikan masalah kontekstual, melakukan interpretasi aspek matematika yang ada pada masalah yang dimaksud, dan memikirkan strategi pemecahan masalah. 3. Membandingkan dan mendiskusikan jawaban Guru menyediakan waktu dan kesempatan pada siswa untuk mendiskusikan jawaban mereka secara berkelompok, selanjutnya membandingkan dan mendiskusikan pada diskusi kelas. 4. Menyimpulkan Berdasarkan hasil diskusi kelas, guru memberi kesempatan pada siswa untuk menarik kesimpulan suatu konsep atau prosedur yang terkait dengan masalah realistik yang diselesaikan. Implementasi pembelajaran RME ( realistic mathematics education) di sekolah adalah sebagai berikut: 1. Guru menyiapkan beberapa soal realistik (ada kaitannya dengan kehidupan sehari-hari) yang akan dikerjakan siswa secara informal atau coba-coba karena langkah penyelesaian formal untuk menyelesaikan soal tersebut belum diberikan.

14 2. Guru memeriksa hasil pekerjaan siswa dengan berprinsip pada penghargaan terhadap keberagaman jawaban dan kontribusi siswa. 3. Guru meminta siswa untuk menjelaskan temuannya di depan kelas. 4. Guru baru menunjukkan langkah formal yang diperlukan untuk menyelesaikan soal tersebut. Bisa didahului dengan penjelasan tentang materi pendukungnya. 2.3.1 Kelebihan dan Kekurangan RME Asep Jihad (2008: 150) mencatat ada beberapa kelebihan dan kekurangan dalam pembelajaran RME. Kelebihan RME adalah sebagai berikut: a) Melalui penyajian masalah yang kontekstual, pemahaman konsep peserta didik meningkat, mendorong peserta didik melek matematika dan memahami keterkaitan matematika dengan dunia sekitarnya. b) Peserta didik terlibat langsung dalam proses doing math sehingga mereka tidak takut belajar matematika. c) Peserta didik dapat memanfaatkan pengetahuan dan pengalamannya dalam kehidupan sehari-hari dan mempelajari bidang studi lainnya. d) Memberi peluang pengembangan potensi dan kemampuan berfikir alternatif. e) Kesempatan cara penyelesaian yang berbeda f) Melalui belajar kelompok berlangsung pertukaran pendapat dan interaksi antar guru-peserta didik, saling menghormati pendapat yang berbeda dan menumbuhkan konsep diri peserta didik. g) Melalui matematisasi vertikal, peserta didik dapat mengikuti perkembangan matematika sebagai suatu disiplin. h) Memberi peluang berlangsungnya empat pilar pendidikan yaitu learning to how, learning to do, learning to be, learning to live together. Sedangkan kelemahan RME adalah: a) Karena sudah terbiasa diberi informasi terlebih dahulu maka peserta didik masih kesulitan dalam menemukan sendiri jawabannya. b) Membutuhkan waktu yang lama terutama bagi peserta didik yang lemah.

15 c) Peserta didik yang pandai kadang-kadang tidak sabar untuk menanti temannya yang belum selesai. d) Membutuhkan alat peraga yang sesuai dengan situasi pembelajaran saat itu. 2.4 Hasil Belajar Menurut Dimyati dan Mudjiono (2009: 40-41), hasil belajar merupakan hal yang dapat dipandang dari dua sisi yaitu sisi siswa dan dari sisi guru. Dari sisi siswa, hasil belajar merupakan tingkat perkembangan mental yang lebih baik bila dibandingkan pada saat sebelum belajar. Tingkat perkembangan mental tersebut terwujud pada jenis-jenis ranah kognitif, afektif, dan psikomotor. Sedangkan dari sisi guru, hasil belajar merupakan saat terselesikannya bahan. Hamalik (2006: 3) mengatakan hasil belajar adalah bila seseorang telah belajar akan terjadi perubahan tingkah laku pada orang tersebut, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu, dan dari tidak mengerti menjadi mengerti. Pendapat beberapa para ahli tersebut, hasil belajar adalah perubahan kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah ia menerima pengalaman belajarnya dari hal yang tidak tahu menjadi tahu. Hasil belajar digunakan oleh guru untuk dijadikan ukuran atau kriteria dalam mencapai suatu tujuan pendidikan. Hal ini dapat tercapai apabila siswa sudah memahami belajar dengan diiringi oleh perubahan tingkah laku. Menurut peneliti hasil belajar yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah hasil yang diperoleh siswa setelah mengikuti suatu materi tertentu dari mata pelajaran yang berupa data angka (hasil tes) maupun proses belajar. Hasil belajar diperoleh pada kegiatan akhir yang diisi dengan pemberian evaluasi terhadap siswa dan dilakukan di dalam kelas. Pengambilan hasil belajar digunakan sebagai tolok ukur keberhasilan belajar dan menunjukkan kompetensi siswa melalui pengadaan tes bagi siswa. 2.4.1 Pengukuran Hasil Belajar Matematika Menurut Sudjana (2013:3), penilaian hasil belajar adalah proses pemberian nilai terhadap hasil-hasil belajar yang di capai siswa dengan kriteria tertentu. Hal ini mengisyaratkan bahwa objek yang dinilainya adalah hasil belajar siswa.

16 Menurutnya ada tiga istilah yang merujuk pada aktivitas-aktivitas utama dalam kegiatan penilaian/pengukuran kelas, yaitu (1) asesmen, (2) pengukuran dan (3) evaluasi. prosedur teknik yang dimaksud adalah teknik tes dan teknik nontes. Aktivitas terakhir dalam rangkaian kegiatan penilaian kelas adalah evaluasi, yaitu a procces that comes after measurement is completed. It involves making a value judgmentor interpretation of the resulting data in a decision making context. Maksudnya, evaluasi merupakan proses sesudah pengumpulan data atau informasi baik dengan teknik pengukuran (tes atau skala) maupun dengan teknik asesmen lain selesai dilakukan bahkan sesudah data atau informasi tersebut selesai diolah. Berdsarkan pendapat ahli tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengukuran hasil belajar adalah suatu pengukuran berdasarkan tujuan pembelajaran yang telah dilaksanakan dengan menggunakan istilah tiga aktivitas, yaitu: (1) asesmen, (2) pengukuran, (3) evaluasi serta pengumpulan data atau informasinya dengan teknik pengukuran tes dan skala. 2.5 Kajian Hasil Penelitian Yang Relevan Laila, Alfi. 2015. Pembelajaran Realistics Mathematics Education (RME) untuk Meningkatkan Kemampuan Berpikir Kritis Siswa Kelas VII-B SMP Al Huda Kota Kediri. Persentase hasil tes observasi aktivitas guru meningkat sebesar 87,94% pada siklus I menjadi 98,28% pada siklus II. Nugraheni, Ari (2011) Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika Dengan Menggunakan Pendekatan Realistic Mathematic Education ( RME ) Pada Siswa Kelas V Sd N I Pucung Tahun Ajaran 2010/2011. prosentase ketuntasan siswa mengalami peningkatan dari 54,54% pada siklus I menjadi 72,73% pada siklus II. Riyadi, Agung (2011) Meningkatkan Hasil belajar Matematika Melalui Penerapan Pendekatan Realistic Mathematics Education pada Siswa Kelas IV SD Negri I Gunungggajah Kec.Bayat Kab. Klaten Tahun Ajaran 2011/2012. Hasil belajar siswa meningkat dari 22% pada siklus I menjadi 87% pada siklus II Baiq Apriani. (2010) Upaya Meningkatkan Hasil Belajar Matematika melalui Penerapan Realistic Matematic education (RME) Di Kelas IV SDN 3

17 Rarang Tahun Pelajaran 2009/2010. Dapat meningkatkan keefektifan dan ketuntasan belajar Matematika siswa, hasil observasi penelitian pada siklus I meningkat dari 40% menjadi 85% pada siklus II. 2.6 Kerangka Berpikir Masalah yang sering timbul pada pembelajaran matematika adalah pembelajarannya yang terkesan hafalan, dengan penyajian dikelas yang kurang menarik dapat membuat siswa merasa bosan. Kurangnya partisipasi siswa dalam kegiatan pembelajaran dikarenakan guru kurang memberi kesempatan kepada siswa untuk berani mencoba sendiri, menyampaikan pendapat, dan untuk berdiskusi bersama teman. Guru kurang mendesain kegiatan pembelajaran yang inovatif, yang dapat membuat siswa aktif belajar dan terbuka dalam menyampaikan pendapat didalam kelompok belajar, terutama kelompok berperan dalam pemecahan masalah bersama sehingga kegiatan belajar akan menjadi lebih menyenangkan. Melalui pendekatan RME ( Realistic Mathematic Education) merupakan salah satu cara belajar yang membuat siswa aktif dan melibatkan siswa berpikir dalam memecahkan masalah dan terampil untuk memecahkan masalah dalam materi pembelajaran khususnya pecahan. Dalam pelaksanaan pembelajaran melalui pendekatan RME ( Realistic Mathematic Education) dikelas, pertamatama siswa menyimak tujuan dan menyelesaikan contoh soal realistic yang diberikan oleh guru, kemudian siswa menyimak materi yang dijelaskan oleh guru. Siswa membentuk kelompok masing-masing 3 sampai 4 orang, pembentukan kelompok secara heterogen baik dari gender, maupun tingkat kemampuan siswa, kemudian selanjutnya siswa mengumpulkan informasi dari tugas yang diterima, siswa berdiskusi memecahkan masalah sehari-hari yang melibatkan pecahan bersama teman kelompok untuk saling menggali informasi melalui sesama teman maupun informasi dari guru; langkah selanjutnya adalah siswa melakukan refleksi pelaksanaan pembelajaran yang dipandu guru. Penilaian yang dilakukan oleh guru melalui pendekatan RME ( Realistic Mathematic Education) dalam penelitian ini hasil belajar diukur melalui tes (tes obyektif

18 pilihan ganda). Berdasarkan uraian tersebut, dapat dilihat kerangka berpikir dalam penelitian ini pada Gambar 2.1 Pembelajaran konvensional Hasil belajar KKM 65 Sk 6. Menggunakan pecahan dalam pemecahan masalah. Model pembelajaran RME ( Realistic Mathematic Education) Menyiapkan soal realistic Siswa membentuk kelompok secara heterogen Memilih topik Memembagi LKS Menginvestigasi masalah sehari-hari yang berkaitan dengan pecahan Mencatat hasil investigasi Perwakilan kelompok mempresentasi hasil kelompok Memberi tanggapan Pengukuran hasil belajar Tes Hasil belajar KKM 65 Mengklarifikasi Evaluasi Gambar.2.1 Skema peningkatan hasil belajar matematika melalui model pembelajaran RME ( Realistic Mathematic Education)

19 2.7 Hipotesis Tindakan Berdasarkan kajian teori dan kerangka berpikir, maka hipotesis tindakan adalah sebagai berikut : Melalui penerapan model pembelajaran RME (Realistic Mathematics Education ) dapat meningkatkan hasil belajar siswa dalam pembelajaran matematika kelas 4 SDN Dukuh 03.