BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah lingkungan hidup saat ini tidak hanya menjadi masalah nasional, tetapi telah menjadi masalah dunia. Salah satu permasalahan lingkungan hidup yang menjadi perhatian cukup serius adalah kerusakan sumberdaya alam pesisir laut. Seperti diketahui, dua pertiga wilayah Indonesia terdiri dari lautan seluas 5,7 juta kilometer persegi, yaitu laut teritorial seluas 0,3 juta kilometer persegi, ditambah perairan Nusantara seluas 2,8 juta kilometer persegi, dan perairan zona Ekonomi Eksklusif seluas 2,7 juta kilometer persegi. Dikatakan pula bahwa wilayah pantai Indonesia yang luas 81.000 km, terdapat 60% penduduk Indonesia (140 juta) tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai, yang tersebar dalam berbagai pekerjaan termasuk diantaranya adalah nelayan 1. Indonesia mempunyai keanekaragaman sumberdaya hayati perairan yang sangat tinggi, yang terdiri 30% mangrove dunia, 30% terumbu karang dunia, dan menyediakan 60 % konsumsi protein dengan potensi produksi lestari mencapai 6,2 juta ton per tahun 2. Secara keseluruhan potensi perairan tersebut masih belum dapat dieksploitasi dengan maksimal, namun beberapa wilayah perikanan di Indonesia 1 Sudirman Saad, Hak Pemeliharaan dan Penangkapan ikan: Eksistensi dan prospek pengaturannya di Indonesia,( Yogyakarta: LKIS, 2009), hlm. 1-2; PM Laksono, Spektrum Budaya Kita, (Yogyakarta: Pusat Studi Asia Pasifik UGM dan Ford Foundation, 2009), hlm.49; Tridoyo Kusumastanto dan Satria, Strategi Pembangunan Desa Pesisir Mandiri dalam menuju desa 2030, Bogor : Crestpent Press, 2010, hlm. 97-98. 2 Arif Satria, Ekologi Politik Nelayan, (Yogyakarta: PT.LKIS, 2009), hlm.35. 1
menunjukkan sumberdaya perairannya dalam kondisi kritis dan rusak 3. Tidak hanya kerusakan sumberdaya alamnya, tetapi juga lingkungannya yang mengalami tekanan oleh adanya berbagai kepentingan pemanfaatannya. Selama bertahun-tahun kondisi sumberdaya alam pesisir mengalami syndrom duth desease, seperti yang dikatakan oleh Satria adalah perilaku eksploitasi sumberdaya alam secara berlebihan untuk meraup keuntungan sendiri tanpa memperhatikan keberlanjutan sumberdaya alam. Banyaknya kebijakan pemanfaatan sumberdaya alam yang bersifat myopic serta lemahnya pengawasan terhadap aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam yang dilakukan oleh swasta, negara, dan masyarakat dalam upaya memenuhi kebutuhan ekonomis hidupnya, telah menimbulkan ancaman ekologi bagi manusia itu sendiri 4. Hal ini sangat bertentangan dengan apa yang diamanatkan dalam konstitusi bahwa segenap sumber daya alam perikanan harus dikelola sedemikian rupa sehingga meningkatkan kesejahteraan rakyat, dan pada saat yang sama kelestariannya juga tetap terjaga. Dalam ketentuan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 pasal 33 ayat (3) disebutkan : bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat 5. Kenyataannya bahwa berbagai bentuk usaha eksploitasi potensi sumberdaya alam 3 Ibid., hlm. 68 4 Arif Satria, Peningkatan Kapasitas Masyarakat Dalam Akses dan Kontrol Terhadap Sumberdaya Alam, dalam Menuju Desa 2030, Bogor : Crestpent Press, 2010, hlm. 297 5 Sudirman Saad, Op.Cit hlm. 2 2
justru memberikan andil yang cukup besar bagi percepatan kerusakan lingkungan dan ekosistem yang mengancam kehidupan berkelanjutan di wilayah pesisir dan laut. Bappenas (2002) menunjukkan bahwa kerusakan kawasan pesisir dan laut di Indonesia telah mencapai tingkat yang mencemaskan yaitu 42% terumbu karang rusak berat, 29% rusak, 23% baik, dan hanya 6% sangat baik; 40% mangrove (bakau) rusak. Dari Laporan FAO menunjukkan persediaan ikan secara global mengalami penurunan, di mana sebesar 48% stok mengalami eksploitasi penuh, 15-18% telah mengalami gejala tangkap lebih (overfishing), dan 9% stok telah terdeplesi. Gomez (1999) menyatakan di Asia Tenggara, seluruh perairan pesisir sampai 15 km dari darat telah mengalami overfishing 6 Keprihatinan atas kerusakan lingkungan kelautan sebenarnya telah dirasakan sejak pertengahan abad ini dan telah menjadi masalah pembangunan desa pesisir. Semenjak tahun 1960 dunia mulai mencanangkan perlunya suatu sistem untuk melindungi tata lingkungan kelautan dari kerusakan dan kepunahan. 7. Faktanya dari tahun ke tahun, kerusakan lingkungan terus menggejala di berbagai daerah pesisir di 6 PM Laksono, Op.Cit hlm. 50 ; Akhmad Fauzi dan Suzy Anna, Permodelan Sumber Daya Perikanan dan Kelautan (Untuk Analisis Kebijakan), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2005),hlm. 166 ; Arif Satria, Op.Cit hlm. 35 7 Gagasan untuk mengembangkan kawasan konservasi lautan dan perlindungan biota laut langka, pertama-tama dengan dicetuskan secara resmi pada Konprensi Taman Nasional Dunia yang pertama diselenggarakan di seatle Amerika Serikat tahun 1962, kemudian pada kongres Taman Nasional se Dunia ke tiga di Bali dicetuskan kembali dan ditekankan perlunya dibentuknya konservasi kawasan laut, termasuk pulau-pulau. Lihat: Robert Tjia, Dampak Pengembangan Taman Nasional Laut Terhadap Aktivitas Penangkapan Ikan Nelayan Setempat, (Tesis Pascasarjana Program Studi Ilmu Lingkungan, Universitas Indonesia, 1992), hlm. 7. Kemudian, muncul berbagai perundang-undangan yang terdiri dari 20 undang-undang dan lima konvensi international yang mengatur pemanfaatan sumber daya pantai,serta adanya gagasan pembangunan berkelanjutan. Lihat: PM. Laksono, Op.Cit., hlm. 51. 3
Indonesia. Tidak terkecuali di Teluk Palu 8, propinsi Sulawesi Tengah, yang mulai menampakkan gejala sumberdaya alamnya sudah mulai terdegradasi 9. Dari hasil laporan Satuan Badan Lingkungan Hidup Daerah (BLHD) kota Palu tahun 2012, menyatakan bahwa Teluk Palu dalam kondisi cukup memprihatinkan. Kondisi yang ditunjukkan dengan menurunnya kondisi fisik Teluk Palu yakni penurunan kuantitas dan kualitas hutan mangrove, terumbu karang, dan menurunnya populasi spesies ikan. Atjo (2009) dalam catatan publikasinya 10 dan Anshar (2011) dalam jurnal media Litbang Sulawesi Tengah 11 menuliskan bahwa kondisi terumbu karang, mangrove maupun padang lamun di Sulawesi Tengah, diperkirakan tingkat kerusakannya cukup tinggi yaitu telah mencapai angka 40 dan 50 persen. Berpengaruh terhadap sumberdaya ikan di Teluk Palu yang mengalami status kurang berkelanjutan 12. 8 Secara geografis Teluk Palu merupakan wilayah perairan semi tertutup, yang berada di sebelah barat pulau Sulawesi, berbatasan langsung dengan selat Makassar pada posisi 0 o 36 0 o 56 lintang selatan dan 119 o 45 121 o 1 Bujur Timur. Bagian mulutnya berada di utara bertemu dengan Selat Makassar dengan lebar sekitar 9 km. Panjang garis pantai sekitar 100 km sehingga bentuk formasi memanjang dengan rasio antara lebar mulut dan panjang teluk sekitar 1:11 dengan luas keseluruhan 206.935.000 m2 (207 km 2 ) dengan kedalaman laut 0-800 meter.. luas perairan yang berada dalam wilayah pengelolaan pemerintah kota Palu adalah 189.00 km 2 dan luas daratan kawasan Teluk Palu 2.158. 62 km2 ditambah luas dari 4 kecamatan di kabupaten Donggala. Memiliki berbagai ekosistem yang terbentuk dari sub ekosistem berupa pantai dan laut, esturia, delta, mangrove, terumbu karang, padang lamun dan berbagai spesies ikan atau biota laut yang hidup dan berkembang. 9 Degradasi mengacu pada penurunan kualitas /kuantitas sumberdaya alam yang diperbarukan (renewable resources). Dalam hal ini kemampuan alami sumber daya alam yang diperbarukan untuk beregenerasi sesuai kapasitas produksinya berkurang. Lihat: Akhmad Fauzi dan Suzy Anna. Op.Cit hlm. 168 10 Hasanuddin Atjo, Refleksi Kongres Kelautan Manila Tahun 2009, http://dkp.sulteng.co.id. (diakses, 15 Mei 2010, pukul 05:47 WITA) 11 Anshar, Menuju Kebijakan Pengelolaan Teluk Palu Yang Harmonis, Jurnal Media Litbang Sulteng IV (2) :142-148, Desember 2011, hlm. 145 12 Umar Alatas, Pemanfaatan Sumberdaya Ikan Pelagis Kecil Berkelanjutan di Teluk Palu, (Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor,2014) 4
Berbagai bentuk penyebabnya diantaranya: praktek penangkapan ikan yang kurang ramah lingkungan atau tidak sesuai dengan lingkungan perairan, seperti alat tangkap pukat pantai yang merusak terumbu karang dan praktek pengeboman dalam menangkap ikan. Kemudian, kerusakan habitat ekosistem laut. Deforestasi hutan mangrove akibat alih fungsi lahan sebagai pertambakan, pemukiman, dan penimbunan pantai untuk lingkar jalan. Sulawesi Tengah merupakan salah satu propinsi yang memiliki luas hutan mangrove 28.000 ha, namun, ancaman untuk eksploitasi cukup tinggi 13. Di kabupaten Donggala yang terdapat populasi hutan bakau terbanyak dibandingkan di kota Palu, mengalami penggusuran tanaman pohon bakau atau mangrove di kawasan pantai kelurahan Tanjung Batu dan kelurahan Kabonga Kecil, kecamatan Banawa-Donggala. Menurut Andi Anwar yang merupakan pemerhati lingkungan dari Yayasan Bone Bula Donggala (salah satu LSM di kota Palu) mengatakan bahwa tanaman bakau yang telah lama hidup di pantai kabupaten Donggala bukan saja menjadi penghambat abrasi, tetapi menjadi habitat berbagai hewan air. Hanya saja belakangan ini terancam punah dengan penimbunan pantai untuk lingkar jalan, dan juga pencemaran oleh limbah plastik di kelurahan Tanjung Batu. Akibat aktivitas penimbunan pantai tersebut, tidak hanya merusak ekosistem mangrove, tetapi juga ekosistem terumbu karang hingga menyebabkan penurunan biodiversity di kawasan tersebut, dan punahnya spesies ikan. Paling memprihatinkan 13 Muhammad Marzuki, Perubahan Pola Adaptasi Etnik Kaili dalam Pengelolaan Mangrove : Studi Kasus Etnik Kaili Da a dan Kaili Unde Di Banawa Selatan, Kabupaten Donggala, Provinsi Sulawesi Tengah, (Tesis Program Studi Ilmu Lingkungan Program Pascasarjana Jakarta, 2002). 5
adalah dengan ditemukan bermunculan ular air laut di pemukiman masyarakat Tanjung Batu yang sebelumnya tak lazim muncul, diduga akibat rusaknya bakau. Dampak lain yang ditemukan di kawasan tersebut adalah beralihnya pola adaptasi penduduk sekitar yang awalnya mata pencaharian adalah nelayan yang menangkap ikan di pesisir pantai Donggala, kini beralih sebagai buruh pertambangan pasir 14. Dari hasil pengamatan hampir sebagian besar di sepanjang pantai kabupaten Donggala terdapat perusahaan pertambangan pasir yang dapat memberikan jaminan hidup, tetapi resikonya adalah kesehatan. Permasalahan perairan Teluk Palu semakin kompleks seiring pertumbuhan dan perkembangan pembangunan kota Palu yang berlangsung cepat 15. Terutama sejak diterimanya usulan Program Pembangunan Kawasan Khusus Ekonomi kota Palu (KEK) melalui PP (peraturan pemerintah) No. 32 tahun 2014 tentang Kawasan khusus ekonomi kota Palu. Adanya KEK, telah mendorong pengoptimalan pemanfaatan sumber daya alam baik berupa hasil tambang, pariwisata, dan perhubungan di kawasan kota Palu/ Teluk Palu sehingga meningkatkan eksploitasi sumberdaya alam terutama di sekitar kawasan pantai. Misalnya, di beberapa titik kawasan pantai kota Palu mulai banyak melakukan kegiatan reklamasi pantai 16 oleh 14 Koran Media Alkhairat, Pohon Bakau Terancam Di Donggala (Rabu, 22 Februari 2011) hlm. 1 Kolom 4. 15 Ditandai dengan yaitu 1) pertumbuhan penduduk yang pesat dan meningkatnya kebutuhan hidup; 2) konsentrasi penduduk di daerah perkotaan; 3) hadirnya proses pembangunan dan modernisasi. Lihat: Soetomo, Masalah Sosial dan Upaya Pemecahannya, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2013), hlm. 373. 16 Reklamasi pantai yaitu kegiatan menimbun atau memasukkan material tertentu di kawasan pantai dengan maksud memperoleh lahan kering (Numandi, 1999). Secara kharfiah reklamasi pantai adalah the procces of reclaiming something from loss or from less. Proses 6
perusahaan dan pemerintah di sepanjang pantai Teluk Palu. Diperuntukkan sebagai daerah pengembangan kawasan pertokoan, perumahan elit, hotel berbintang, dan pelabuhan/dermaga. Kemudian, yang sangat menonjol adalah keberadaan perusahaan pertambangan galian C (pasir, batu dan kerikil) di bagian hulu dan hilir sungai, pantai Teluk Palu yang semakin bertambah dari tahun ke tahun 17. Aktivitas tersebut ditakutkan akan memberikan dampak ekologi yang lebih parah. Berupa banjir, semakin besar endapan pasir dari Sungai Palu yang bermuara di Teluk Palu dan pencemaran air laut. Nantinya semua itu semakin merusak vegetasi ekosistem laut dan kualitas air laut, terutama adalah sumberdaya perikanan. Anshar (2011) dalam penelitiannya menyatakan bahwa masalah pengelolaan Teluk Palu disebabkan yaitu, pertama, adanya ketidakadilan pemanfaatan ruang dalam pengelolaan sumberdaya pesisir. Banyaknya sektor yang terlibat dengan kawasan ini sehingga berbagai sektor terkesan tumpang tindih. Kedua, pada level kebijakan dalam implementasinya terjadi ketidakkonsistenan. Kebijakan pemerintah daerah yang semula mengatur pengelolaan sumberdaya Teluk Palu sebagai pengendali kerusakan lingkungan, kenyataannya merupakan faktor pendukung memperoleh kembali sesuatu dari kehilangan atau dari suatu keadaan yang kurang bermanfaat. Reklamasi pantai bertujuan 1) menghidupkan lahan baru; 2) menghidupkan transportasi air; 3) membuka peluang pembangunan nilai tinggi; 4) pariwisata bahari; 5) meningkatkan pendapatan daerah; 6) meningkatkan pertumbuhan ekonomi kota; 7) meningkatkan sosial ekonomi masyarakat. Lihat: Akhruddin Marrung Jaya, Kajian Kondisi Lingkungan dan Perubahan Sosial Ekonomi Reklamasi Pantai Losari Dan Tanjung Bunga, (Laporan penelitian Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin, Makassar, 2013), hlm. 3. 17 Yayasan Merah Putih, Tata Kelola SDA Buruk, Warga Watusampu Terkena ISPA, dalam http://www.ymp.or.id, (diakses, 25 Januari 2015) 7
terjadinya aktivitas over eksploitasi 18. Ketiga, kurangnya perhatian masyarakat dan pemerintah daerah atas pentingnya ekologi Teluk Palu. Kurangnya perhatian pemerintah daerah atas pentingnya ekologi Teluk Palu hingga saat ini, sebab permasalahan ekologi di Teluk Palu belum dianggap sebagai masalah darurat sehingga belum ada penanganan khusus. Kalaupun ada seperti penegakkan hukum, program konservasi, dan program pemberdayaan, namun berbagai upaya tersebut masih belum terlaksana dengan baik. Realitas ini lebih banyak disebabkan oleh hambatan rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat dan pemahaman masyarakat, serta cenderung masih dilakukan parsial dan belum tercipta integrasi antar sektor dan antar wilayah. Karena, masih ada kesan bahwa kelautan dan perikanan merupakan tugas sektor tertentu 19. Dalam hal ini bahwa pemerintah daerah sendiri sebagai pemilik kawasan boleh dikata tidak berdaya dalam mengatur dan memanfaatkan kawasan pesisir sehingga bentuk-bentuk eksploitasi sumberdaya alam di Teluk Palu terus meningkat 20. Meningkatnya eksploitasi terhadap sumber daya alam di Teluk Palu dengan tanpa dijaga kelestariannya akan mempercepat kerusakan dan kelangsungan hidup ekosistem laut. Yang juga berarti memungkinkan terhambatnya peningkatan kesejahteraan (sosial-ekonomi) dan pengembangan kebudayaan masyarakat sekitar, terutama nelayan yang berada di kelurahan Mamboro 18 Ada beberapa peraturan daerah yang dianggap tidak pro nelayan kecil yaitu Peraturan daerah No. 2 tahun 2005 tentang pengelolaan Teluk Palu, Peraturan daerah No. 9 tahun 2005 tentang pemakaian alat tangkap dan alat bantu penangkapan ikan dalam pengelolaan perikanan, peraturan daerah Kota Palu No.16 tentang rencana tata ruang wilayah kota Palu, serta Peraturan daerah No. 7 tahun 2005 retribusi pelayanan usaha perikanan. Lihat : Anshar, Loc. Cit., hlm. 144 19 Hasanuddin Atjo, loc.cit., 20 Mulyadi. Ekonomi Kelautan, (Jakarta: Radjawali, 2008), hlm. 129. 8
Barat, kecamatan Palu Utara, kota Palu, yang sehari-hari sumber penghidupannya bergantung dengan laut 21. Berdasarkan uraian diatas, maka peneliti termotivasi untuk mengkaji mengenai perilaku nelayan dalam menanggapi permasalahan ekologi. Hal ini sangat penting karena, usaha aktivitas penangkapan ikan sangat bergantung pada kondisi lingkungan fisik (laut) yang rentan pada pencemaran atau degradasi kualitas lingkungan. Terlebih belakangan ini persoalan masyarakat pesisir kurang diberi tempat khususnya, karena mulai didominasi oleh isu-isu di dataran pegunungan, dan pedalaman di Sulawesi Tengah. Selain itu, kajian tentang kehidupan masyarakat nelayan di Teluk Palu masih sangat terbatas. 21 PM. Laksono, et.al., Perempuan Di Hutan Mangrove: Kearifan Ekologis Masyarakat Papua, (Yogyakarta: Galang Press, 2000), hlm. 4 9