BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sebagaimana halnya dengan keluarga, sekolah juga mengajarkan nilai-nilai dan

dokumen-dokumen yang mirip
KEJUJURAN AKADEMIK SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS PADA SITUASI UJIAN. Naskah Publikasi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. karakter siswa. Pendidikan agama merupakan sarana transformasi pengetahuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan memiliki budi pekerti

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dengan lingkungannya, baik dari lingkungan keluarga, sekolah, dan pergaulan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. penilaian bahkan sampai pada penulisan tugas akhir. Cheating merupakan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. belajar, membahas soal bersama-sama, atau bahkan ada yang berbuat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk sosial (homo sosius), yang dibekali

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. yang benar, tetapi juga disertai dengan tanggung jawab atas apa yang dikerjakan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Ujian Nasional merupakan gerbang dari sebuah keinginan besar bahwa

PERILAKU MENYONTEK SISWA SMA NEGERI DI KOTA PADANG SERTA UPAYA PENCEGAHAN OLEH GURU BK

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan suatu hal yang sangat penting bagi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

KEJUJURAN AKADEMIK PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH PERTAMA SAAT MENGHADAPI UJIAN

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dan jujur. Namun hingga saat ini, masih ada masalah ketidakjujuran mahasiswa.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. perbuatan curang dalam dunia pendidikan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya

BAB I PENDAHULUAN. Remaja Rosda Karya, 2013) hlm. 16. aplikasinya (Jakarta : PT. Rajagrafindo Persada, 2009) hlm, 13

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kata menyontek mungkin sudah tidak asing lagi bagi pelajar dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. dimana sistem pendidikan tidak dijalankan secara proporsional. Sistem

BAB I PENDAHULUAN. pendidikan formal di Indonesia setelah lulus Sekolah Dasar (SD). Di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. sekolah. Dikenal karena ada yang melakukan atau hanya sebatas mengetahui perilaku

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. selalu muncul menyertai aktivitas proses belajar mengajar sehari hari tetapi jarang

BAB I PENDAHULUAN. bukanlah hal yang baru lagi, khususnya bagi masyarakat. Kualitas pendidikan

BAB I PENDAHULUAN. dalam taraf kecil, maka hampir dipastikan kedepan bangsa ini akan mengalami

BAB I PENDAHULUAN. masalah penilaian terhadap hasil usaha tersebut. ( Suryabrata, 2002 : 293 ).

HUBUNGAN ANTARA PERSAINGAN MERAIH NILAI TINGGI DENGAN INTENSITAS PERILAKU MENYONTEK PADA SISWA MENENGAH KEJURUAN SKRIPSI.

BAB I PENDAHULUAN. nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat disamping

BAB I PENDAHULUAN. sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri dalam interaksi dengan

BAB I PENDAHULUAN. Indonesia menyadari akan pentingnya menciptakan warga negara yang

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan merupakan investasi kemanusiaan yang menjadi tumpuan harapan

BAB 1 PENDAHULUAN. yang tangguh baik secara fisik, mental maupun intelektual dan kepribadian. pendidikan di indonesia yaitu Madrasah Aliyah (MA).

KEJUJURAN AKADEMIK PADA SISWA SEKOLAH MENENGAH ATAS. Skripsi

I. PENDAHULUAN. Dalam pembelajaran di sekolah, agar memperoleh prestasi harus dilakukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. kualitas sumber daya manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dunia pendidikan semakin lama semakin berkembang sesuai dengan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. PISA atau Program for International Student Assessment yang

BAB I PENDAHULUAN. A.Latar Belakang Masalah. hidup semaunya sendiri, karena di dalam kehidupan bermasyarakat terdapat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. pengetahuan dimana kunci suksesnya terletak pada dunia pendidikan.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Seperti yang diketahui pendidikan merupakan kebutuhan mendasar bagi

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Hasil belajar mempunyai peranan penting dalam proses pembelajaran. Hasil belajar dapat menjadi tolak ukur

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. sarana dalam membangun watak bangsa. Tujuan pendidikan diarahkan pada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. perkembangan dan kehidupannya. Sekolah dipandang dapat memenuhi beberapa

BAB I PENDAHULUAN. Tantangan globalisasi serta perubahan-perubahan lain yang terjadi di

BAB I PENDAHULUAN. Perguruan tinggi di Indonesia sangat banyak, sehingga terjadi

BAB I PENDAHULUAN. biasa disebut academic dishonesty sudah tidak dapat terelakkan lagi di kalangan

BAB I PENDAHULUAN. Individu mulai mengenal orang lain di lingkungannya selain keluarga,

diselenggarakan secara internasional dapat dijadikan acuan guna mengetahui sejauh mana daya saing siswa Indonesia secara global (Fatmawati dan

BAB I PENDAHULUAN. Sekarang ini banyak tantangan yang dihadapi manusia, salah satunya

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN. Tabel 8 Tabel Subjek penelitian berdasarkan kelas

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan formal dapat ditempuh mulai dari tingkat terendah yaitu pre-school/

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

SKRIPSI Diajukan UntukMemenuhi Salah Satu Persyaratan Meraih Derajat Sarjana S-1 Keperawatan. Oleh : ROBBI ARSYADANI J

BAB I PENDAHULUAN. tuntutan akan kebutuhan sumber daya manusia (SDM) yang dapat berkompetisi di

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan generasi penerus bangsa di masa depan, harapanya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. intelektual dan cerdas. Pendidikan adalah salah satu pokok pembicaraan yang tak

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah

Penelitian tentang kejujuran pada calon guru pernah dilakukan oleh Arianto (2013) dengan judul Tingkat Kejujuran Sosial dan Akademik Mahasiswa

I. PENDAHULUAN. mudah dihadirkan di ruang kelas. Dalam konteks pendidikan di sekolah,

HUBUNGAN ANTARA EFIKASI DIRI DENGAN KECENDERUNGAN MENYONTEK PADA MAHASISWA. Skripsi

Blue Print ANGKET AKTIVITAS BELAJAR MATEMATIKA SISWA (Fransiska, 2016)

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. menuju masa dewasa. Pada masa remaja banyak sekali permasalahan yang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dicita-citakan bangsa ini berada di tangan mereka. Banyak orang menganggap bahwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. sangat cepat. Seiring dengan perkembangan zaman, siswa selaku peserta didik

I. PENDAHULUAN. menjadi kegiatan pokok bagi setiap manusia beradap. Berhasil atau tidaknya

SELF-REGULATED LEARNING SISWA YANG MENYONTEK (SURVEY PADA SISWA KELAS X DI SMA N 52 JAKARTA UTARA TAHUN AJARAN 2010/2011)

I. PENDAHULUAN. pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu aspek kehidupan yang penting

BAB I PENDAHULUAN. Pendidikan Nasional menyebutkan bahwa kurikulum adalah seperangkat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Indrie Noor Aini, 2013

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kecurangan akademik merupakan fenomena umum di sekolah menengah dan perguruan

BAB I PENDAHULUAN. daya yang terpenting adalah manusia. Sejalan dengan tuntutan dan harapan jaman

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah. Perguruan Tinggi sebagai lembaga pendidikan memegang peranan penting

BAB I PENDAHULUAN. meningkatkan kualitas pendidikan yaitu dengan memperbaiki aspek

BAB I PENDAHULUAN. masa anak-anak ke masa dewasa di mana pada masa-masa tersebut. sebagai masa-masa penuh tantangan.

HUBUNGAN ANTARA PERCAYA DIRI DENGAN INTENSI MENYONTEK

BAB I PENDAHULUAN. ( ISAK_TOROBI/T_ADP _Chapter1.pdf).

BAB 1 PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB I PENDAHULUAN. beberapa pelajar di negeri ini. Fenomena mencontek, tawuran antar pelajar, orang tuanya juga semakin memprihatinkan.

I. PENDAHULUAN. Lingkungan merupakan sesuatu yang berada di luar batasan-batasan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. tercermin dalam perilaku yang dianggap menimbulkan masalah di sekolah dan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. dapat dilakukan dengan peningkatan mutu pendidikan. Keberhasilan

BAB I PENDAHULUAN. Dalam menjalani kehidupannya, seorang individu akan melewati beberapa

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdasakan kehidupan

belajar itu sendiri (Syah, 2011). Hasil dari proses belajar tersebut tercermin dalam

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. pemalsuan data laboratorium dan tindak kecurangan. Menurut Mujahidah (2012 :4)

BAB I PENDAHULUAN. jawab. Untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional tersebut, maka

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan muncul generasi-generasi yang berkualitas. Sebagaimana dituangkan

BAB III METODE PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. manusia (SDM) yang berkualitas. Manusia harus dapat menyesuaikan dengan

BAB I PENDAHULUAN. mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan,

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan pendidikan nasional ditujukan untuk mewujudkan cita-cita

I. PENDAHULUAN. Dunia pendidikan Indonesia masih menunjukan kualitas sistem dan mutu

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Pada dasarnya setiap manusia memiliki kecemasan masing-masing

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Anak remaja yang sudah duduk di bangku SMP dan SMA umumnya menghabiskan waktu sekitar 7 jam sehari di sekolahnya. Ini berarti bahwa hampir sepertiga dari waktunya setiap hari dilewatkan remaja di sekolah. Tidak mengherankan kalau pengaruh sekolah terhadap perkembangan jiwa remaja cukup besar. Pengaruh sekolah itu tentunya diharapkan positif terhadap perkembangan jiwa remaja karena sekolah adalah lembaga pendidikan. Sebagai lembaga pendidikan, sebagaimana halnya dengan keluarga, sekolah juga mengajarkan nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat. Selain itu sekolah juga berfungsi sebagai pembentuk nilai dalam diri anak untuk menghadapi tantangan (Sarwono, 2012). Beragam kasus yang muncul di masyarakat seperti praktik plagiarisme, pemalsuan ijazah, perjokian, mencontek massal, tawuran pelajar menimbulkan keprihatinan. Dunia pendidikan selama ini diharapkan menjadi salah satu tumpuan akhir penjaga nilai-nilai kejujuran dan susila. Kenyataannya, virus ketidakjujuran dan budaya kekerasan itu sudah menyerang dunia pendidikan (Haryanto, 2011). Menurut Programme for International Study Assessment (PISA) 2012, Indonesia sebagai salah satu negara dengan peringkat terendah dalam pencapaian mutu pendidikan. Pemeringkatan tersebut dilihat dari skor yang dicapai pelajar usia 15 tahun dalam kemampuan membaca, matematika, dan sains. Hasil studi PISA 1

2 memperlihatkan ada sesuatu yang salah dalam sistem persekolahan dan kebijakan pendidikan Indonesia, diantaranya adalah ujian nasional dan berbagai tes lainnya; perubahan kurikulum dari waktu ke waktu; program sekolah unggulan (sekolah bertaraf internasional); kompetisi dalam berbagai Olimpiade; penambahan jam belajar; serta sertifikasi dan ujian kompetensi guru (Sari, 2013). Menurut survei yang dilakukan oleh Dr Ong Ai Choo, dosen pada National Institute of Education, Singapura ini, anak-anak yang memiliki orangtua kurang memberi perhatian dan kurang kasih sayang cenderung mempunyai masalah perilaku seperti: agresif, suka membolos sekolah, mencontek pada saat ujian, kecanduan alkohol, rokok dan hobi tawuran (Hapsari, 2013). Potensi adanya kecurangan dalam ujian nasional (UN) SMP dan SMA pada tahun 2014 cukup tinggi yang disebabkan oleh mentalitas dan kultur di Indonesia yang unik dibandingkan negara lain. Dilihat dari tahun lalu ada banyak contoh yang terjadi pada UN. Budi Kustoro, ketua pengawas UN dari Universitas Lampung menerangkan bahwa kecurangan UN tahun lalu yaitu peserta ujian menyontek siswa lain bahkan kecurangan massal dan by design yang terjadi (Radar Lampung, 2014). Penyelenggaraan ujian nasional atau UN dapat menimbulkan masalah baru yaitu seperti perilaku dan budaya ketidakjujuran di berbagai wilayah pendidikan. Kecurangan yang sering terjadi saat ujian berlangsung yaitu mencontek, bahkan ada beberapa kasus praktik mencontek yang dibantu oleh pihak pengawas ujian (Purwoko, 2011). Di Sukabumi siswa SMA/SMK/MA mendapat kunci jawaban ujian nasional melalui pesan pendek atau SMS handphone (HP) tersebut sejak sehari sebelum ujian dimulai (Iman, 2011).

3 Penelitian Agustin, Sano, dan Ibrahim (2013) perilaku mencontek siswa tergolong tinggi pada bentuk perilaku independent-planned (menggunakan catatan ketika ujian berlangsung, atau membawa jawaban yang telah lengkap dengan mempersiapkannya terlebih dahulu sebelum berlangsungnya ujian) dan social active (mengcopy atau melihat jawaban orang lain). Independent-planned merupakan bentuk tindakan yang banyak dilakukan oleh siswa dalam melakukan tindakan mencontek yakni 71,2%. Salah satu pernyataan pada bentuk independent-planned ini terdapat pernyataan siswa yang menggunakan catatan contekan saat ujian berlangsung. Bentuk tindakan mencontek social-active dilakukan oleh 68,4% siswa. Salah satu pernyataan dalam aspek bentuk perilaku mencontek ini adalah bahwa pada saat ujian telah berlangsung beberapa menit, siswa sering meminta jawaban atau menyalin jawaban dari teman lain. Hal ini disebabkan karena salah satunya siswa malas mengulang pelajaran yang telah disampaikan oleh guru di sekolah dan lebih percaya dengan kemampuan yang dimiliki teman satu kelas daripada kemampuannya sendiri. Dalam penelitian Sari dan Gusniarti (2008) perilaku mencontek dipengaruhi oleh kepercayaan diri seorang siswa, sehingga didapatkan hasil semakin tinggi kepercayaan diri siswa maka semakin rendah perilaku mencontek. Kepercayaan diri dapat dilihat bahwa sebanyak 64% dalam kategori tinggi sedangkan tingkat perilaku mencontek dalam kategori rendah 57 %. Didukung dengan hasil penelitian yang telah dilakukan Kushartanti (2009) pada salah satu SMAN yang ada di Surakarta bahwa adanya hubungan negatif antara kepercayaan diri dengan perilaku menyontek yang berarti semakin tinggi kepercayaan diri maka semakin rendah perilaku

4 menyontek dan semakin rendah kepercayaan diri maka semakin tinggi perilaku menyontek. Sumbangan variabel perilaku menyontek sebesar 36,15 yang tergolong rendah dan kepercayaan diri sebesar 105,28 yang tergolong tinggi. Selain itu hasil penelitian Haryono (2001) menyatakan hubungan antara kebutuhan berprestasi dan persepsi terhadap intensitas kompetisi dalam kelas dengan perilaku mencontek yaitu sebesar 27,28 %. Sisanya sebesar 72,72% dipengurahi oleh faktor-faktor lain seperti: malas, tekanan orangtua untuk berhasil, kecenderungan pusat kendali (locus of control), situasi, persetujuan teman sebaya terhadap perilaku mencontek. Menurut hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Veronikha, Yusuf dan Machmuroch (2012) pada siswa kelas X di salah satu SMA Negeri di Surakarta menunjukkan semakin tinggi tingkat moral judgment maturity maka semakin rendah perilaku menyontek pada siswa, begitu juga sebaliknya. Sumbangan efektif moral judgment maturity terhadap perilaku menyontek sebesar 6 %, selain itu tingkat moral judgment maturity pada siswa sebesar 81% yang tergolong tinggi, sedangkan untuk tingkat perilaku menyontek ditunjukkan hasil sebesar 79% yang termasuk dalam kategori sedang. Penelitian yang telah dilakukan oleh Suparman (2011) mendapatkan hasil bahwa adanya perbedaan kualitas sikap jujur siswa yang bersekolah di SMAN/SMKN dengan Madrasah Aliyah Negeri (MAN). Perbedaan tersebut dipengaruhi oleh latarbelakang sekolah dalam mendapatkan pelajaran pendidikan agama.

5 Selain itu penelitian Setyani (2007) pada siswa SMA Negeri X di Semarang didapatkan hasil bahwa ada hubungan negatif antara konsep diri dengan intensi menyontek yang berarti semakin positif konsep diri maka semakin rendah intensi menyontek, begitu juga sebaliknya semakin negatif konsep diri maka akan semakin tinggi intensi menyontek. Sumbangan efektif konsep diri terhadap intensi menyontek yaitu sebesar 21,5%. McCabe (1999) melakukan penelitian dengan metode diskusi kelompok bertema ketidakjujuran akademik dikalangan siswa SMA. Ciri-ciri subjek yang digunakan dalam penelitiannya yaitu siswa SMA dari berbagai sekolah dan mahasiswa yang terdiri dari 18 mahasiswa senior dan 1 mahasiswa junior. Hasil diskusi tersebut didapatkan beberapa siswa percaya, perbuatan curang merupakan hal yang normal dalam hidup dan tidak tahu siapa yang dapat menghentikannya dan kapan akan berhenti. Bahkan beberapa diantaranya menyatakan bahwa orangtua dan guru SD harus memiliki peran yang lebih besar dalam menghentikan ketidakjujuran. Berdasarkan hasil diskusi tersebut diharapkan guru, administrator dan orangtua untuk menelusuri ketidakjujuran akademik dan memberitahukan siswa tentang pentingnya rasa tanggungjawab dan kepemilikian dalam bidang akademik untuk kehidupan di masyarakat. Selain itu penelitian yang telah dilakukan oleh Jensen, Arnet, Feldman, dan Cauffman (2002) tentang ketidakjujuran akademik siswa SMA dan mahasiswa. Pengumpulan data menggunakan kuesioner dari sampel 299 siswa SMA dan 261 mahasiswa, didapatkan hasil yaitu siswa SMA dan mahasiswa memiliki motif dan pertimbangan yang berbeda untuk mengevaluasi orang-orang yang menerima adanya

6 kecurangan akademik tersebut. Penelitian yang akan datang diharapkan dapat difokuskan pada siswa yang terlibat langsung dalam kecurangan tersebut sehingga dapat dipahami sejauh mana konsep kecurangan tersebut terinternalisasi pada siswa. Penelitian lain yang melihat perubahan tentang pemahaman siswa tentang kecurangan akademik dari SMP sampai SMA. Subjek pada awalnya diambil untuk penelitian longitudional sehingga didapatkan sembilan SMP kelas delapan dengan jumlah 901 siswa, lima SMA kelas sembilan 507 siswa. Hasil yang didapatkan yaitu pada saat masih berada di SMP tidak adanya perubahan tentang kecurangan yang telah dilakukan tetapi setelah berada pada jenjang SMA kecurangan tersebut meningkat. Hasil penelitian ini diharapkan dapat dilanjutkan untuk mengetahui pengaruh teman sebaya dalam hal kecurangan saat ujian, plagiarisme dan kecurangan menggunakan internet (Anderman & Midgley, 2004). Berdasarkan wawancara singkat yang telah dilakukan peneliti oleh salah satu siswa di SMA Negeri Wika terdapat perilaku ketidakjujuran akademik yaitu seperti menyontek dengan cara membuka buku, bertanya pada teman saat ulangan, meminjam PR teman, membeli kunci jawaban saat ujian nasional dan mengaku ikut mengerjakan tugas kelompok. Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk meneliti tentang bentukbentuk kejujuran dan ketidakjujuran akademik. Oleh karena itu permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan, yaitu: apa bentuk-bentuk kejujuran dan ketidakjujuran akademik siswa?. Adapun judul yang dipilih adalah Kejujuran Akademik pada Siswa Sekolah Menengah Atas.

7 B. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mendeskripsikan bentuk-bentuk kejujuran dan ketidakjujuran akademik pada siswa SMA. C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Untuk subjek, dapat dijadikan sebagai acuan untuk tidak melakukan kecurangan akademik dan dapat mempertahankan perilaku jujur yang sudah ada. 2. Untuk pendidik, dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan dalam menerapkan pendidikan mengenai nilai kejujuran dalam lingkungan sekolah. 3. Untuk memperkaya khazanah ilmu psikologi, dapat memberi sumbangan terutama dalam bidang psikologi pendidikan karena hasil penelitian ini memberi gambaran mengenai perilaku jujur dan tidak jujur siswa dalam bidang akademik.