BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Maraknya tawuran pelajar, pengedaran dan penyalahgunaan narkoba di kalangan pelajar, seks bebas, pergaulan bebas, kurangnya rasa hormat anak kepada orang tua dan guru mengindikasikan penurunan kualitas moral pada generasi muda Indonesia. Hal tersebut menggugah kesadaran orang tua akan pentingnya pendidikan moral dan sosial. Dhofier (1990) menyatakan moral dan sosial sangat berkaitan erat dengan agama, sehingga menyebabkan tingginya minat pada sekolah yang memadukan materi umum dan materi agama. Lembaga pendidikan yang dianggap mampu menghasilkan manusia yang bermoralitas dengan tingkat keimanan yang tinggi adalah pesantren. Pesantren sebagai lembaga pendidikan memiliki ciri umum dan khusus. Nasir (2005) menjelaskan ciri umum pesantren ditandai dengan adanya kyai, adanya asrama, adanya pendidikan dan pengajaran agama melalui sistem pengajian yang sekarang berkembang dengan sistem madrasah. Ciri-ciri tersebut yang membedakan pendidikan pesantren dengan pendidikan lainnya. Adapun ciri khusus dari pesantren adalah sistem pendidikannya yang bersifat asrama. Penerapan sistem pendidikan berasrama bertujuan untuk mencapai pendidikan yang lebih utuh, yang mencakup cipta, rasa, dan karsa. Selain itu pendidikan berasrama dapat menerapkan pendidikan yang komprehensif holistik mencakup keagamaan, pengembangan akademik, dan life skills. Sistem asrama 1
2 pada kehidupan pondok pesantren dan karakteristik kehidupan di dalamnya mendorong peserta didik untuk mampu memenuhi dan menjalani tugas kehidupan sehari-hari secara mandiri. Pesantren merupakan bagian dari sistem pendidikan Islam yang bertujuan untuk mendidik manusia berperilaku baik. Nasir (2005) mendefinisikan pesantren sebagai suatu lembaga keagamaan yang memberikan pendidikan dan pengajaran, mengembangkan serta menyebarkan agama Islam. Pendidikan pondok pesantren berbasis pada nilai-nilai agama Islam, mengajarkan para santri untuk mengembangkan nilai-nilai agama Islam. Rahardjo dan Saifullah (dalam Hanurawan, 2005) mengemukakan bahwa dalam lingkungan pesantren, santri mempelajari ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan nilai-nilai agama yang bersifat positif bagi kehidupannya. Dhofier (1990) menjelaskan tujuan pendidikan tidak hanya untuk memperkaya pikiran santri dengan penjelasan-penjelasan, tetapi untuk meninggikan moral, melatih dan mempertinggi semangat, menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap dan tingkah laku yang jujur dan bersih hati. Sedangkan tujuan pendidikan pesantren adalah menanamkan kepada santri bahwa belajar bukan untuk mendapat kekuasaan, uang dan hal-hal yang bersifat duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah sematamata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan. Salah satu pesantren yang mengajarkan kurikulum agama dan kurikulum umum secara seimbang adalah Pondok Pesantren Islam Al Mukmin Ngruki (PPIM). Pesantren ini membuat program pendidikan yang bersifat totalitas yang
3 berbentuk asrama. Tujuan dari asrama ini adalah agar santri dapat lebih fokus dalam mempelajari ilmu-ilmu agama, selain itu juga melatih kemandirian pada santri. Dengan adanya asrama maka santri harus siap menjalani kehidupan yang mandiri dan jauh dari keluarga. Jika memiliki masalah, para santri hanya memiliki ustadz/ustadzah dan teman-teman sebaya untuk meminta bantuan. Santri wajib menaati setiap peraturan yang ada dalam asrama dan mengikuti kegiatan-kegiatan dalam asrama. Selain mengikuti kegiatan di asrama santri juga mengikuti kegiatan di sekolah. Dalam tahap perkembangan usia remaja, tuntutan terhadap kemandirian sangat besar, jika tidak direspon dengan tepat dapat menimbulkan dampak yang tidak menguntungkan bagi perkembangan psikologis remaja. Santri sebagai remaja yang tinggal di pesantren dituntut untuk dapat hidup mandiri. Kemandirian santri diperoleh melalui proses sosialisasi dengan teman sebaya di asrama, Hurlock (2012) menjelaskan bahwa kelompok teman sebaya merupakan lingkungan sosial pertama dimana remaja belajar untuk hidup bersama dengan orang lain selain anggota keluarga, dan bertujuan untuk mendapatkan pengakuan dan penerimaan dari kelompok teman sebaya. Santri berada dalam tahapan perkembangan usia remaja. Monks (dalam Fatimah, 2006) membagi usia remaja menjadi tiga fase. Fase pertama adalah fase remaja awal, dengan rentang usia 12-15 tahun. Fase kedua adalah fase remaja madya, dengan rentang usia 15-18 tahun. Fase ketiga adalah fase remaja akhir, dengan rentang usia 18-21 tahun. Fatimah (2006) menjelaskan bahwa masa
4 remaja identik dengan lingkungan sosial tempat berinteraksi, sehingga membuat remaja dituntut untuk menyesuaikan diri secara efektif. Masa remaja merupakan masa yang paling banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan teman-teman sebaya. Kegiatan santri selama sehari sangat padat. Padatnya kegiatan selama berada di pesantren, peraturan-peraturan yang harus ditaati dan tuntutan tugastugas yang harus dihadapi santri dapat memicu stres pada santri. Stres dapat terjadi pada setiap orang, termasuk pada santri. Setiap orang memiliki masalah, semakin besar beban kehidupan seseorang maka makin besar permasalahan. Stres yang terjadi pada santri dapat berpengaruh pada kegiatan belajar secara keseluruhan. Sarafino (2011) mendefinisikan stres sebagai suatu kondisi disebabkan oleh transaksi antara individu dengan lingkungan yang menimbulkan persepsi jarak antara tuntutan-tuntutan yang berasal dari situasi dengan sumbersumber daya sistem biologis, psikologis dan sosial dari seseorang. Permasalahan yang dihadapi santri yang memicu stres berdasarkan penelitian awal yang dilakukan pada 44 informan adalah faktor teman, melanggar peraturan, homesick, peraturan yang ketat, kesulitan dalam pelajaran, dan kesulitan membagi waktu. Dengan adanya berbagai masalah yang ada di pesantren membuat santri memerlukan manajemen untuk menangani stres atau yang disebut dengan istilah coping stres. Indirawati (2006) menjelaskan coping sebagai strategi atau pilihan cara berupa respon perilaku dan respon pikiran serta sikap yang digunakan untuk memcahkan masalah agar dapat beradaptasi dalam situasi yang menekan. Menurut Lazarus (dalam Sulistiadi, 2009), coping stres adalah usaha yang dilakukan
5 seseorang untuk menangani beban emosional atau tuntutan yang membuat stres. Saputra (2009) menjelaskan coping stres sebagai suatu usaha mencari jalan keluar dari masalah agar dapat menyesuaikan diri dengan perubahan yang terjadi. Adapun tujuan coping menurut Taylor (dalam Wardani, 2009) adalah mempertahankan keseimbangan emosi, mempertahankan self image yang positif, mengurangi tekanan lingkungan atau menyesuaikan diri terhadap kajian negatif, dan tetap melanjutkan hubungan yang memuaskan dengan orang lain. Seseorang tidak dapat menolak dan menghindari masalah, tekanan, serta tuntutan yang menimpanya. Perilaku coping merupakan proses yang dibutuhkan sepanjang waktu untuk memahami dan mengatasi stres yang terjadi. Al Qur an menjelaskan bahwa seseorang tidak diberikan beban dan tekanan di luar batas kemampuan diri. Sebagaimana yang tercantum dalam surat Al Baqarah ayat 286:... Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Q.S. Al-Baqarah : 286) Selain itu untuk mengatasi permasalahan hidup, Allah menjelaskan dalam surat Al Baqarah ayat 45:... Artinya: Mintalah bantuan (kepada Allah) melalui ketabahan dan doa (Q.S. Al Baqarah: 45) Permasalahan yang memicu stres pada santri beserta penanganannya dapat dilihat dari hasil penelitian awal yang dilakukan oleh peneliti dengan menggunakan angket terbuka pada hari Selasa, 22 Oktober 2013. Pengambilan data dilakukan di PPIM dengan jumlah informan 44 informan.
6 50,00% 45,00% 40,00% 35,00% 30,00% 25,00% 20,00% 15,00% 10,00% 5,00% 0,00% Pemicu Stres Faktor Pendidik Kegiatan yang padat Peraturan yang ketat Melanggar peraturan Homesick Faktor teman Kesulitan pelajaran Kesulitan membagi waktu Tidak sesuai Gambar 1. Pemicu Stres pada Santri Hasil penelitian awal yang dilakukan peneliti tersebut dapat ditemukan hal-hal yang memicu stres pada santri, yaitu: faktor pendidik 2,27%, kegiatan yang padat 2,27%, peraturan yang ketat 6,81%, melanggar peraturan 15,90%, homesick 11,36%, faktor teman 45,45%, kesulitan pelajaran 6,81%, kesulitan membagi waktu 4,54%, dan 4,54% jawaban informan tidak sesuai dengan maksud pertanyaan. Pemicu stres tertinggi pada santri berdasarkan penelitian awal tersebut adalah faktor teman. Hal ini dapat dilihat dari jawaban subjek di mana subjek merasa tidak nyaman dengan sikap teman yang sering mengejek, membedakan dalam bergaul, dan ketidakcocokan dengan sikap teman yang berasal dari daerah yang berbeda. Cara-cara yang digunakan santri dalam mengatasi tekanan-tekanan yang dihadapi selama di pesantren adalah sebagai berikut:
7 25,00% 20,00% 15,00% 10,00% 5,00% 0,00% Coping Stres Pada Santri Sharing Mencari Dukungan Sosial Berdo'a Menghibur diri Berbuat Lebih baik Mengabaiakn Permasalahan Sabar Merubah Sikap Tidak Sesuai Gambar 2. Coping Stres pada Santri Dari gambar di atas dapat disimpulkan cara-cara yang digunakan santri untuk mengatasi stres, yaitu: sharing 9,09%, mencari dukungan sosial 4,54%, berdo a 11,36%, menghibur diri 6,81%, berbuat lebih baik 20,45%, mengabaikan permasalahan 9,09 %, sabar 9,09%, merubah sikap 22,72%, dan 4,54% jawaban informan tidak sesuai dengan maksud pertanyaan. Coping stres yang paling banyak digunakan santri adalah dengan merubah sikap. Merubah sikap dilakukan dengan cara menyikapi permasalahan dengan sudut pandang yang lebih baik, mengubah pola pikir terhadap permasalahan yang dihadapi, dan mencoba menerima permasalahan dengan ikhlas. Berdasarkan uraian fenomena dan latar belakang masalah yang dikemukakan di atas, peneliti mengajukan rumusan masalah yaitu Bagaimana dinamika coping dengan stressor konflik antar teman pada santriwati baru PPIM? Berdasarkan permasalahan tersebut peneliti tertarik untuk melakukan
8 penelitian dengan judul: Coping Dengan Stressor Konflik Antar Teman Pada Santriwati Baru PPIM. B. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan mengkaji secara mendalam tentang dinamika coping dengan stressor konflik antar teman pada santriwati baru PPIM. C. Manfaat Penelitian Sesuai dengan uraian di atas, maka penelitian ini diharapkan memberi sumbangan manfaat berupa: 1. Bagi pengurus pesantren, memberikan informasi dan masukan tentang coping stres pada santriwati baru yang bersifat positif dan negatif, sehingga dapat dijadikan acuan dalam mengambil kebijakan terkait santri. 2. Bagi santriwati baru PPIM, membantu menemukan coping stres terhadap kegiatan-kegiatan di pesantren. 3. Bagi peneliti dengan topik sejenis, memberikan informasi wacana pemikiran dan kajian pengembangan ilmu mengenai coping stres pada santri, serta dapat dijadikan bahan perbandingan.