BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa pada manusia. Menurut World Health Organisation (WHO),

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya distress ( tidak nyaman, tidak tentram dan rasa nyeri ), disabilitas

BAB I PENDAHULUAN. Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya untuk

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. World Health Organitation (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai

BAB I PENDAHULUAN. utuh sebagai manusia. Melalui pendekatan proses keperawatan untuk

Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang Republik Indonesia No. 18. secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari

BAB 1 PENDAHULUAN. melukai atau mencelakakan individu lain yang tidak menginginkan datangnya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan sematamata

BAB I PENDAHULUAN. mengalami gangguan kesehatan jiwa (Prasetyo, 2006). pasien mulai mengalami skizofenia pada usia tahun.

BAB I PENDAHULUAN. efektif, konsep diri yang positif dan kestabilan emosional (Videbeck, 2011).

BAB I PENDAHULUAN. dan kestabilan emosional. Upaya kesehatan jiwa dapat dilakukan. pekerjaan, & lingkungan masyarakat (Videbeck, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. Keadaan sehat atau sakit mental dapat dinilai dari keefektifan fungsi

BAB I PENDAHULUAN. fisiologis (Maramis, 2009). Menua bukanlah suatu penyakit tetapi merupakan

HUBUNGAN ANTARA TINGKAT KECEMASAN DENGAN KEMANDIRIAN PELAKSANAAN AKTIVITAS HARIAN PADA KLIEN SKIZOFRENIA DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA SKRIPSI

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa di seluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang

BAB I PENDAHULUAN. siklus kehidupan dengan respon psikososial yang maladaptif yang disebabkan

BAB I PENDAHULUAN. somato-psiko-sosio-kultural-spiritual. Dalam mencari penyebab gangguan

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG

BAB 1 PENDAHULUAN. pada gangguan jiwa berat dan beberapa bentuk waham yang spesifik sering

BAB I PENDAHULUAN. Manusia merupakan mahluk sosial, dimana untuk mempertahankan kehidupannya

ABSTRAK. Kata Kunci: Manajemen halusinasi, kemampuan mengontrol halusinasi, puskesmas gangguan jiwa

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa Menurut World Health Organization adalah berbagai

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa adalah berbagai karakteristik positif yang menggambarkan

BAB 1 PENDAHULUAN. keluarga, kelompok, organisasi, atau komunitas. (Stuart, 2007).

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa menurut WHO (World Health Organization) adalah ketika

BAB I PENDAHULUAN. Dari berbagai kasus klien dengan gangguan jiwa yang ada, salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Keadaan ini sangat besar pengaruhnya terhadap kesehatan jiwa seseorang. yang berarti akan meningkatkan jumlah pasien gangguan jiwa.

BAB I PENDAHULUAN. keadaan tanpa penyakit atau kelemahan (Riyadi & Purwanto, 2009). Hal ini

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan jiwa bukan hanya sekedar terbebas dari gangguan jiwa,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia sebagai makhluk holistik dipengaruhi oleh lingkungan dari dalam

BAB I PENDAHULUAN. keluarga, kelompok, organisasi atau komunitas. ANA (American nurses

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kesehatan akhir-akhir

BAB I PENDAHULUAN. Berdasarkan Undang Undang No. 18 tahun 2014 tentang kesehatan jiwa, mampu memberikan kontribusi pada komunitasnya.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sehat adalah suatu keadaan sempurna baik fisik, mental dan sosial serta

BAB I PENDAHULUAN. baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. Masalah gangguan kesehatan jiwa menurut data World Health

BAB I PENDAHULUAN. Menurut World Health Organitation (WHO), prevalensi masalah

BAB I PENDAHULUAN. ekonomi berkepanjangan juga merupakan salah satu pemicu yang. memunculkan stress, depresi, dan berbagai gangguan kesehatan pada

BAB I PENDAHULUAN. juga menimbulkan dampak negatif terutama dalam lingkungan sosial. Gangguan jiwa menjadi masalah serius di seluruh dunia.

BAB 1 PENDAHULUAN. fungsional berupa gangguan mental berulang yang ditandai dengan gejala-gejala

BAB 1 PENDAHULUAN. deskriminasi meningkatkan risiko terjadinya gangguan jiwa (Suliswati, 2005).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Dewasa ini kemajuan yang pesat dalam berbagai bidang kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Krisis multi dimensi yang melanda masyarakat saat. ini telah mengakibatkan tekanan yang berat pada sebagian

BAB 1 PENDAHULUAN. stressor, produktif dan mampu memberikan konstribusi terhadap masyarakat

PEMBERIAN ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN HARGA DIRI RENDAH. Kata Kunci : harga diri rendah, pengelolaan asuhan keperawatan jiwa

BAB I PENDAHULUAN. terpisah. Rentang sehat-sakit berasal dari sudut pandang medis. Rentang

BAB I PENDAHULUAN. melainkan mengandung berbagai karakteristik yang positif yang. mencerminkan kedewasaan kepribadiannya. Menurut data WHO pada tahun

BAB 1 PENDAHULUAN. salah satunya adalah masalah tentang kesehatan jiwa yang sering luput dari

BAB I PENDAHULUAN. keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang mencerminkan kedewasaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang No. 3 Tahun 1966 merupakan

BAB I PENDAHULUAN. dikenali meliputi kausa pada area organobiologis, area psikoedukatif, dan area sosiokultural.

BAB 1 PENDAHULUAN. menyebabkan disability (ketidakmampuan) (Maramis, 1994 dalam Suryani,

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa adalah berbagai karakteristik positif yang. menggambarkan keselarasan dan keseimbangan kejiwaan yang

BAB I PENDAHULUAN. negara berkembang seperti Indonesia bertambahnya atau semakin tinggi. Menurut Dr. Uton Muchtar Rafei, Direktur WHO ( World Health

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Sdr. D DENGAN GANGGUAN PERSEPSI SENSORI : HALUSINASI DI RUANG MAESPATI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG. Kesehatan jiwa menurut Undang-Undang No. 18 pasal 1 Tahun

BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi segala kebutuhan dirinya dan kehidupan keluarga. yang memungkinkan setiap orang hidup produktif secara sosial dan

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan jiwa merupakan salah satu dari empat masalah kesehatan

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

PENGARUH KOMUNIKASI TERAPEUTIK TERHADAP FREKUENSI HALUSINASI PADA PASIEN DI RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Manusia adalah makhluk hidup yang lebih sempurna dibandingkan

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan jiwa dapat dilakukan perorangan, lingkungan keluarga, lingkungan

BAB I PENDAHULUAN. (WHO, 2005). Kesehatan terdiri dari kesehatan jasmani (fisik) dan

BAB I PENDAHULUAN. yang meliputi bidang ekonomi, teknologi, politik dan budaya serta bidang-bidang lain

BAB I PENDAHULUAN. emosi, pikiran, perilaku, motivasi daya tilik diri dan persepsi yang

BAB I PENDAHULUAN. teknologi yang pesat menjadi stresor pada kehidupan manusia. Jika individu

BAB I PENDAHULUAN. Menuju era globalisasi manusia disambut untuk memenuhi kebutuhan

BAB I PENDAHULUAN. kesehatan mental (jiwa) yang sekarang banyak dialami masyarakat.

BAB I PENDAHULUAN. World Health Organization (WHO) (2009) memperkirakan 450 juta. orang di seluruh dunia mengalami gangguan mental, sekitar 10% orang

BAB I PENDAHULUAN. seiring dengan dinamisnya kehidupan masyarakat. Masalah ini merupakan

ASUHAN KEPERAWATAN JIWA KOMUNITAS (CMHN)

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. menyesuaikan diri yang mengakibatkan orang menjadi tidak memiliki. suatu kesanggupan (Sunaryo, 2007).Menurut data Badan Kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. dapat meningkatkan jumlah penderita gangguan jiwa (Nurdwiyanti,2008),

/BAB I PENDAHULUAN. yang dapat mengganggu kelompok dan masyarakat serta dapat. Kondisi kritis ini membawa dampak terhadap peningkatan kualitas

BAB 1 PENDAHULUAN. Menurut World Health Organitation (WHO), prevalensi masalah kesehatan

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental dan sosial, bukan

BAB I PENDAHULUAN. Berbagai permasalahan dalam kehidupan dapat memicu seseorang

dicintai, putusnya hubungan sosial, pengangguran, masalah dalam pernikahan,

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. dalam dirinya dan lingkungan luar baik keluarga, kelompok maupun. komunitas, dalam berhubungan dengan lingkungan manusia harus

BAB I PENDAHULUAN. kecacatan. Maka secara analogi kesehatan jiwa pun bukan hanya sekedar bebas dari

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA 2010 GAMBARAN POLA ASUH

BAB 1 PENDAHULUAN. sisiokultural. Dalam konsep stress-adaptasi penyebab perilaku maladaptif

PENGARUH ORIENTASI TERHADAP TINGKAT KECEMASAN ANAK PRA SEKOLAH DI BANGSAL ANAK RUMAH SAKIT BHAKTI WIRA TAMTAMA SEMARANG. Eni Mulyatiningsih ABSTRAK

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. tersebut yang disertai dengan perilaku mengamuk yang tidak dapat dibatasi

PENGARUH TERAPI AKTIVITAS KELOMPOK STIMULASI PERSEPSI-SENSORI TERHADAP KEMAMPUAN MENGONTROL HALUSINASI PADA

BAB I PENDAHULUAN. meliputi keadaan fisik, mental, dan sosial, dan bukan saja keadaan yang bebas dari

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Gangguan jiwa (mental disorder) merupakan salah satu dari empat

BAB II KONSEP DASAR A. PENGERTIAN. Halusinasi adalah suatu persepsi yang salah tanpa dijumpai adanya

BAB II TINJAUAN TEORI. maupun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung (isolasi diri).

BAB I PENDAHULUAN. dalam segi kehidupan manusia. Setiap perubahan situasi kehidupan individu

BAB II TINJAUAN TEORI. dengan orang lain (Keliat, 2011).Adapun kerusakan interaksi sosial

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. H DENGAN PERUBAHAN PERSEPSI SENSORI HALUSINASI PENDENGARAN DI RUANG SENA RUMAH SAKIT JIWA DAERAH SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. gangguan pada fungsi mental, yang meliputi: emosi, pikiran, perilaku,

BAB I PENDAHULUAN. suatu kondisi perkembangan individu secara fisik, mental, spiritual, dan sosial

mengalami gangguan jiwa ditemukan di negara-negara berpenghasilan rumah tangga menderita gangguan kesehatan jiwa (Yosep, 2009).

BAB I PENDAHULUAN. Psychiatric Association,1994). Gangguan jiwa menyebabkan penderitanya tidak

RENCANA TESIS OLEH : NORMA RISNASARI

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Multi krisis yang menimpa masyarakat dewasa ini merupakan salah satu pemicu yang menimbulkan stres, depresi dan berbagai gangguan kesehatan jiwa pada manusia. Menurut World Health Organisation (WHO), masalah gangguan kesehatan jiwa diseluruh dunia memang menjadi masalah yang sangat serius, paling tidak satu dari empat orang di dunia mengalami gangguan kesehatan mental. Diperkirakan ada sekitar 450 juta orang di dunia yang mengalami gangguan kesehatan jiwa. Berdasarkan data Departemen Kesehatan tahun 2007, penderita gangguan jiwa di Indonesia mencapai lebih dari 28 juta orang, dengan kategori gangguan jiwa ringan 11,6 persen dari populasi dan 0,46 persen menderita gangguan jiwa berat. Pada tahun 2009 Di Indonesia diperkirakan 24,6% atau sebanyak 246 dari 1000 anggota rumah tangga menderita gangguan kesehatan jiwa. Angka ini menunjukkan jumlah penderita gangguan kesehatan jiwa dimasyarakat sangat tinggi, yakni satu dari empat penduduk Indonesia menderita kelainan jiwa dari cemas, depresi, stres, penyalahgunaan obat, kenakalan remaja sampai skizofrenia (Nursedarsana, 2009). Perkembangan kebudayaan masyarakat banyak membawa perubahan dalam segi kehidupan manusia. Setiap perubahan situasi kehidupan individu baik positif maupun negatif dapat mempengaruhi keseimbangan fisik, mental 1

2 dan sosial atau status kesehatan seseorang sejalan dengan perkembangan teknologi dapat dikatakan makin banyak masalah yang harus dihadapi dan diatasi seseorang serta sulit tercapainya kesejahteraan hidup. Keadaan ini sangat besar pengaruhnya terhadap kesehatan jiwa seseorang yang berarti akan meningkatkan jumlah pasien gangguan jiwa. Manusia bereaksi secara keseluruhan secara holistik atau dapat dikatakan juga secara somato-psiko-sosial. Gangguan jiwa artinya bahwa yang menonjol adalah gejala-gejala yang patologik dari unsur psike. Hal ini tidak berarti bahwa unsur yang lain tidak terganggu. Sekali lagi yang sakit dan menderita ialah manusia seutuhnya dan bukan hanya badan, jiwa atau lingkungannya. Angka kejadian (incidence rate) dan angka kesakitan (morbidity rate) berbagai gangguan jiwa. Dalam masyarakat umum skizofrenia terdapat 0,2-0,8% dan retardasi mental 1-3% WHO melaporkan bahwa 5-15% dari anakanak antara 3-15 tahun mengalami gangguan jiwa yang persistent dan menganggu hubungan social. Bila kira-kira penduduk 40% Negara kita adalah anak-anak dibawah 15 tahun (di negara yang sudah berkembang kirakira 25%) dapat digambarkan besarnya masalah. Ambil saja 5% dari 40% dari katakan saja 120 juta penduduk maka negara kita terdapat kira-kira 2,5 juta penduduk yang mengalami gangguan jiwa yang sampai sekarangpun belum diketahui secara pasti penyebabnya. Hasil SKMRT menyebutkan, di Indonesia gangguan mental emosional pada usia 15 tahun ke atas mencapai 140 kasus per 1.000 penduduk (14%), sementara pada rentang usia 5-14

3 tahun ditemukan 104 kasus per 1.000 penduduk (10,4%) (Akromawanti, 2008). Gangguan jiwa merupakan proses psikologis dari seseorang yang tidak berfungsi dengan baik sehingga mengganggu dalam keadaan sehari hari, karena menyulitkan diri sendiri dan orang lain disekitarnya. Gangguan jiwa yang menonjol adalah gejala yang patologik dari faktor psikologik, berarti bahwa unsur yang lain tidak terganggu yang sakit dan menderita adalah manusia seutuhnya dan bukan hanya badannya, jiwa/ lingkungannya (Maramis, 1995). Gangguan jiwa merupakan kumpulan dari keadaan yang tidak normal, baik yang berhubungan dengan fisik, maupun dengan mental. Gangguan tersebut dibagi dalam dua golongan yaitu gangguan jiwa (neurosa) dan sakit jiwa (psikosa/ psikosis). Gangguan terlihat dalam berbagai macam gejala yang menyertai seperti gangguan kognisi, gangguan perhatian, gangguan ingatan, gangguan asosiasi, gangguan pertimbangan, gangguan pikiran, gangguan kesadaran, gangguan kemauan, gangguan emosi dan afek, dan gangguan psikomotor. (Nursedarsana, 2009). Keperawatan jiwa adalah proses interpersonal yang berupaya untuk meningkatkan dan mempertahankan prilaku, untuk dapat memahami diri klien seutuhnya dalam memenuhi kebutuhan bio- psiko sosial. Asuhan keperawatan ditujukan kepada klien untuk dapat menjalankan kehidupan sehari hari, sehingga dapat menjalankan aktifitas sesuai dengan perannya. ANA (American Nurses Association) mendefinisikan keperawatan kesehatan mental dan psikistrik sebagai suatu bidang spesialisasi praktik keperawatan

4 yang menerapkan teori perilaku manusia sebagai ilmunya dan menggunakan diri sendiri sebagai kiatnya. Stuart & Sunden, 1998). Dalam memberi palayanan kesehatan kepada klien seorang perawat dituntut ketrampilan dan kiat- kiat sesuai perkembangan ilmu dan teknologi berdasarkan hubungan terapiutik. Hubungan terapiutik merupakan serangkaian suasana dan situasi yang tercipta antara individu yang memerlukan dan individu yang memberi bantuan dalam suatu setting pelayanan kesehatan. Proses keperawatan merupakan metode ilmiah yang digunakan dalam memberikan asuhan keperawatan klien pada semua tatanan pelayanan kesehatan. Berbagai terapi keperawatan yang dikembangkan dalam parawatan klien gangguan jiwa difokuskan pada klien secara individu, kelompok, keluarga maupun komunitas. Pemberian jenis-jenis terapi harus sesuai dengan tahap penanganan klien gangguan jiwa yaitu tahap penanganan krisis, tahap penanganan fase akut, tahap penanganan fase pemeliharaan dan tahap peningkatan kesehatan. Pada klien fase pemeliharaan salah satu intervensi yang diberikan adalah pemberian terapi aktivitas kelompok. Terapi Aktivitas Kelompok (TAK) merupakan salah satu terapi modalitas sebagai bentuk psikoterapi yang dilakukan oleh sekelompok klien dengan jalan berdiskusi satu sama lain yang dipimpin dan diarahkan seorang terapis atau petugas kesehatan jiwa yang terlatih. Salah satu jenis terapi aktivitas kelompok untuk klien gangguan interaksi sosial : menarik diri adalah terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori. Terapi aktivitas kelompok

5 stimulasi sensori adalah upaya menstimulasi semua pancaindra (sensori) agar memberi respon yang adekuat (Kelliat B.A & Akemat, 2004). Terapi ini diberikan karena klien tidak mampu berespon dengan lingkungan sosialnya. Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas merupakan pusat rujukan dalam merawat klien dengan gangguan jiwa di Banyumas. Kerusakan interaksi sosial merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain atau suatu tindakan melepaskan diri baik perhatian maupun minatnya terhadap lingkungan sosial secara langsung (Rawlins, 1993). Kerusakan interaksi sosial terjadi apabila individu menemukan kesulitan dalam membina hubungan secara terbuka dengan orang lain. Pemutusan proses hubungan terkait erat dengan ketidakpuasan individu terhadap proses hubungan yang disebabkan oleh kurangnya peran serta, tidak mampu berespon dengan lingkungan sosialnya, kondisi ini dapat mengembangkan rasa tidak percaya diri dan keinginan menghindar dari orang lain. Apabila tingkah laku tersebut tidak segera ditanggulangi dapat menyebabkan klien mengalami gangguan jiwa yang lebih berat seperti munculnya halusinasi, risiko mencederai diri dan orang lain dan penurunan minat kebutuhan dasar psikologis. Penggunaan terapi aktivitas kelompok dapat memberikan dampak positif dan dapat membantu klien meningkatkan perilaku adaptif serta mengurangi perilaku maladaptif terutama pada pasien dengan kerusakan interaksi sosial yang salah satunya disebabkan oleh ketidakmampuan berespon dengan lingkungan sosialnya. Salah satu terapi aktivitas kelompok

6 yang mempunyai tujuan agar klien mampu memberikan respon dan dapat mengekspresikan perasaan adalah terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori. Dengan terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori klien dapat menggunakan semua panca inderanya untuk merespon stimulus yang diberikan, sehingga klien dapat memberi respon yang adekuat, dengan kemampuan memberi respon terutama terhadap lingkungan diharapkan klien mampu meningkatkan komunikasi verbal dengan orang lain. Untuk meningkatkan keterampilan sosial, penderita perlu mendapatkan pelatihan (seperti terapi aktivitas kelompok/terapi lingkungan) atau memberi respon terhadap suatu masalah atau situasi tertentu melalui komunikasi terapeutik. Kemampuan menerapkan teknik komunikasi memerlukan latihan dan kepekaan serta ketajaman perasaan karena komunikasi terjadi tidak dalam kemampuan tetapi dalam dimensi nilai, waktu dan ruang yang turut mempengaruhi keberhasilan komunikasi verbal yang terlihat melalui dampak terapeutiknya bagi klien juga kepuasan bagi perawat. Perawat harus memiliki tanggung jawab moral yang tinggi dan didasari atas sikap peduli dan penuh kasih sayang serta perasaan ingin membantu orang lain (Winddyasih, 2008). Berdasarkan data dari buku laporan cacatan keperawatan pada Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas pada tahun 2010 terdapat 1073 pasien jiwa yang dirawat di Bangsal Sakura Samiaji. Dari data tersebut terdapat 406 pasien jiwa cemas (37,8%), 258 pasien jiwa gangguan persepsi (26,6%), 166 pasien jiwa koping individu tidak aktif (15,5%), 80 pasien jiwa gangguan interaksi sosial (7,5%), 56 pasien jiwa menarik diri (5,2%), 49 pasien jiwa harga diri rendah (4,6%), 24 pasien jiwa keputusasaan (2,2%), 22 pasien jiwa

7 takut (2,05%), 9 pasien jiwa nyeri akut (0,8%) dan 3 pasien jiwa kerusakan komunikasi verbal (0,27%). Sedangkan pada tahun 2011 pada bulan Januari sampai dengan April terdapat 292 pasien jiwa. Berdasarkan hal tersebut mendorong peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian tentang Pengaruh terapi aktivitas kelompok stimulasi sensoris terhadap kemampuan komunikasi verbal pada pasien jiwa menarik diri di Bangsal Sakura Samiadji Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas B. Rumusan Masalah. Apakah ada pengaruh terapi aktivitas kelompok stimulasi sensoris terhadap kemampuan komunikasi verbal pada pasien jiwa menarik diri di Bangsal Sakura Samiadji Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas. C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum : Untuk mengetahui pengaruh terapi aktivitas kelompok stimulasi sensoris terhadap kemampuan komunikasi verbal pada pasien jiwa menarik diri di Bangsal Sakura Samiadji Rumah Sakit Umum Daerah Banyumas. 2. Tujuan khusus : a. Untuk mengetahui kemampuan komunikasi verbal pasien sebelum dilakukan pelaksanaan terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori. b. Untuk mengetahui kemampuan komunikasi verbal pasien sesudah dilakukan pelaksanaan terapi aktivitas kelompok stimulasi sensori.

8 c. Menganalisis pengaruh terapi aktivitas kelompok stimulasi sensoris terhadap kemampuan komunikasi verbal pada pasien jiwa menarik diri. D. Manfaat Penelitian. 1. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai pedoman perawat di ruangan dalam memberikan asuhan keperawatan dan sebagai bukti dalam meningkatkan ketrampilan perawat dalam memberikan asuhan keperawatan pasien jiwa menarik diri. 2. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai refrensi dalam mengembangkan ilmu praktis dibidang perawatan, dalam penerapan TAK khususnya terapi Aktivitas Kelompok stimulasi sensoris pada pasien jiwa menarik diri. 3. Bagi pasien dan keluarga membantu proses perbaikan dan pemulihan keadaan pasien yang mengalami kerusakan interaksi sosial, memberi informasi bagi pasien dan keluarga tentang penanganan gangguan jiwa menarik diri dengan terapi Aktivitas Kelompok stimulasi sensoris dan meningkatkan kerja sama antara keluarga dengan petugas kesehatan. E. Penelitian Terkait 1. Penelitian yang dilakukan oleh Mulyono (2009), dengan judul Pengaruh Terapi Musik terhadap Perilaku Pasien Isolasi Sosial di Ruang Sakura RSUD Banyumas. Penelitian ini menggunakan quasi eksperimen dengan desain pre test dan post test dengan sampel berjumlah 30 orang. Hasil penelitian menunjukkan terapi musik pada pasien isolasi sosial

9 mengakibatkan penurunan perilaku isos yang bermakna. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Mulyono (2009) adalah pada variable dependen yang diteliti yaitu kemampuan komunikasi verbal. Hasil ini juga sesuai penelitian Hariyanto (2008) penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh TAK terhadap pemulihan gangguan realita pada pasien halusinasi, khususnya mendeskripsikan gangguan orientasi realita pada pasien sebelum diberikan TAK dan sesudah diberikan. TAK, serta menganalisa pengaruh TAK terhadap pemulihan gangguan orientasi realita pada pasien halusinasi. Hasilnya ada pengaruh yang signifikan pemberian TAK dengan p value : 0,000 yang berarti bahwa kemampuan orientasi realita pasien post-tes TAK lebih baik pada pasien pre test TAK.