LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI NOMOR : 85 TAHUN : 2000 SERI : D NO. 75 GUBERNUR BALI KEPUTUSAN GUBERNUR BALI NOMOR 114 TAHUN 2000 T E N T A N G PEDOMAN PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN KEMASYARAKATAN GUBERNUR BALI, Menimbang : a. bahwa keberadaan hutan di Propinsi Bali perlu terus dilestarikan untuk menopang kehidupan yang berkesinambungan; b. bahwa tekanan terhadap hutan semakin meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk dengan latar belakang kebutuhan pangan, kebutuhan lahan untuk kebun, dan tuntutan hak adat; c. bahwa telah disepakati pelaksanaan Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan (PHKm) di Bali sesuai rapat antara Pemerintah Daerah Propinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Bupati se Bali, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten se Bali, Instansi terkait dan Lembaga Swadaya Masyarakat. 81
d. bahwa memperhatikan hal-hal tersebut diatas perlu ditetapkan pedoman pelaksanaan pengusahaan Hutan Kemasyarakatan Propinsi Bali dengan Keputusan Gubernur Bali. Mengingat : 1. Undang-undang Nomor 64 Tahun 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur (Lembaran Negara Tahun 1958 Nomor 115; Tambahan Lembaran Negara Nomor 1649); 82 2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419); 3. Undang-undang Nomor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115; Tambahan Lembaran Negara nomor 3501); 4. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 68; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3699); 5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839); 6. Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 167; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3888); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun 1988 tentang Koordinasi Kegiatan Instansi Vertikal di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1988 Nomor 10, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3373); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 1994 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam di Zone Pemanfaatan
Taman Nasional Taman Hutan Raya, dan Taman WisataAlam(LembaranNegaraTahun 1994 Nomor 25; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3550); 9. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonomi; 10. Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 677/Kpts-II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan; 11. Peraturan Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Nomor 4 Tahun 1996 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Bali (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Tingkat I Bali Tahun 1996 Nomor 125 Seri C Nomor 1). M E M U T U S K A N : Menetapkan : KEPUTUSAN GUBERNUR BALI TENTANG PEDOMAN PELAKSANAAN PENGUSAHAAN HUTAN KEMASYARAKATAN BAB I KETENTUAN UMUM Pasal 1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan : 1. Menteri adalah Menteri Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia; 2. Gubernur adalah Gubernur Bali; 3. Kepala Kantor Wilayah adalah Kepala Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Bali; 4. Kepala Dinas adalah Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Bali; 5. Tim Kehutanan Daerah adalah gabungan pejabat 83
berwenang dari Dinas/Instansi Kehutanan Daerah Propinsi Bali, yakni Kantor Wilayah Departemen Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Bali, Dinas Kehutanan Propinsi Bali, Taman Nasional Bali Barat, BIPHUT Wilayah VIII, Unit KSDA Bali, Unit RLKT Unda Anyar, Dinas PKT Kabupaten; 6. Hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi pepohonan dalam persekutuan alam lingkungan, yang satu dengan lainnya tidak dapat dipisahkan, tersebar dalam wilayah propinsi Bali; 7. Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap; 8. Hutan Lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyanggakehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut dan memelihara kesuburan tanah; 9. Hutan Produksi adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan; 10. Kawasan Pelestarian Alam adalah kawasan dengan ciri khas tertentu, baik di daratan maupun di perairan yang mempunyai fungsi perlindungan system penyanggakehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya; 11. Areal Hutan Kemasyarakatan adalah kawasan hutan negara yang ditetapkan oleh Menteri untuk diberikan hak pengusahaannya kepada masyarakat setempat. 12. Desa Adat adalah Kesatuan masyarakat hukum adat di Propinsi Bali yang mempunyai satu kesatuan tradisi dan tata krama pergaulan hidup masyarakat 84
umat Hindu secara turun temurun dalam ikatan Kahyangan Tiga (Kahyangan Desa) yang mempunyai wilayah tertentu dan harta kekayaan sendiri serta berhak mengurus rumah tangganya sendiri; 13. Sekaa adalah kelompok-kelompok tertentu yang didasarkan pada profesi atau kadang-kadang berdasarkan kegiatan, merupakan bagian dari desa adat dalam melaksanakan fungsinya (Sekaa yang dimaksud dalam keputusan ini adalah sekaa bidang pelestarian hutan); 14. Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang-seorang atau badan hukum Koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip Koperasi sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar atas asas kekeluargaan (Koperasi dimaksud adalah koperasi untuk keperluan Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan); 15. Kawasan hutan rawang adalah kawasan hutan rusak/ hutan terlantar yang terjadi akibat kondisi biofisik maupun gangguan dari luar, tanaman yang ada hanya belukar; 16. Kawasan hutan kosong atau hutan gundul adalah kawasan hutan yang tidak ditumbuhi tanaman kayukayuan dan atau semak belukar; 17. Tanaman serba guna atau Multi Purpose Trees Spesies (MPTS) adalah tanaman tahunan atau pohon yang menghasilkan hasil hutan bukan kayu yang bermanfaat bagi masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat; 18. Hasil hutan bukan kayu adalah barang atau jasa apapun yang dapat dihasilkan dalam proses pengusahaan hutan kemasyarakatan yang berada di daratan dan di perairan, yang berupa bukan kayu dan turun-turunannya, serta jasa lingkungannya; 85
19. Pemanfaatan j asa lingkungan pada kawasan hutan lindung dan produksi adalah bentuk usaha yang memanfaatkan jasa lingkungan dan tanpa mengurangi fungsi utamanya, seperti pemanfaatan untuk wisata alam, pemanfaatan air dan pemanfaatan keindahan dan kenyamanan; 20. Hutan kemasyarakatan adalah hutan negara yang dicadangkan atau ditetapkan oleh Menteri untuk diusahakan oleh masyarakat setempat dengan tujuan pemanfaatan hutan secara lestari sesuai dengan fungsinya dan menitikberatkan kepentingan mensejahterakan masyarakat; 21. Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan selanjutnya disingkat PHKm adalah Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan yang dilakukan oleh masyarakat setempat setelah mendapatkan hak yang diberikan oleh Menteri melalui kelompok/koperasi sekaa dalam jangka waktu tertentu. 86 BAB II POLA PENGUSAHAAN HUTAN KEMASYARAKATAN Pasal 2 (1) Pelaksanaan PHKm dilakukan dengan mengikuti 2 (dua) pola yaitu pola rehabilitasi dan pola pemanfaatan. (2) Pola rehabilitasi diarahkan pada areal kawasan hutan yang rawang/kosong dengan prioritas pada hutan lindung yang terjadi perambahan sedang pola pemanfaatan diarahkan pada areal yang sudah ada tegakannya, melalui pemanfaatan ruang/lahan dibawah//diantara pohon/tegakan. Pasal 3 (1) Pola rehabilitasi pada kawasan hutan lindung dititik beratkan pada perlindungan hidroorologi.
(2) Bentuk kegiatan yang dilakukan dalam pola rehabilitasi dimaksud ayat (1) adalah : a. pembuatan tanaman (vegetasi tetap dan tanaman serbaguna/mpts) yang dilanjutkan dengan pemeliharaan dan pemanfaatan kawasan; b. pemanfaatanjasalingkungan; c. pemungutan hasil hutan bukan kayu. Pasal 4 (1) Pola rehabilitasi pada kawasan hutan produksi diarahkan untuk meningkatkan daya dukung dan produktifitas lahan. (2) Bentuk kegiatan yang dilakukan dalam pola rehabilitasi dimaksud ayat (1) selain tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) adalah pemanfaatan hasil hutan kayu setelah mendapat ijin dari Gubernur yang didasarkan atas rekomendasi dari Bupati dan Kepala Kantor Wilayah/Kepala Dinas Kehutanan Propinsi serta pertimbangan teknis dari Kepala Dinas Kehutanan/ Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten. Pasal 5 (1) Pola Pemanfaatan pada kawasan hutan lindung harus memperhatikan azas-azas kelestarian. (2) Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan dalam pola pemanfaatan dimaksud ayat (1) adalah : a. budidaya lebah madu; b. budidaya jamur; c. pemanfaatan buah-buahan/bij i-bij ian; d. budidaya rumput dan hijauan pakan ternak; e. pemanfaatan getah; f. budidaya tanaman hias; g. penangkaran satwa; h. budidaya tanaman obat-obatan yang tidak 87
memerlukan pengelolaan tanah secara intensif. Pasal 6 (1) Pola pemanfaatan pada kawasan hutan produksi, dibatasi hanya berupa pemanfaatan lahan dan harus memperhatikan kemampuan daya dukung lahan. (2) Bentuk kegiatan yang dapat dilakukan dalam pola pemanfaatan dimaksud ayat (1) selain tersebut pada Pasal 5 ayat (2) adalah budidaya tanaman pangan yang lazim hidup di bawah tegakan pohon. Pasal 7 Pola pemanfaatan pada kawasan pelestarian alam pada zone tertentu, harus tetap menjaga keutuhan ekosistem, sehingga bentuk kegiatannya berupa pemanfaatan jasa lingkungan. BAB III AREAL PENGUSAHAAN HUTAN KEMASYARAKATAN Pasal 8 (1) Areal PHKm adalah sebagian dari hutan produksi, hutan lindung dan kawasan pelestarian alam pada zone tertentu, (kecuali kawasan TamanNasional Bali Barat) yang tidak dibebani hak-hak lain dibidang kehutanan, yang ditetapkan oleh Menteri sebagai hutan cadangan areal PHKm. (2) Areal pencadangan dimaksud pada ayat (1), ditetapkan oleh Menteri atas usul Kepala Kantor Wilayah/Kepala Dinas Kehutanan Propinsi serta rekomendasi dari Bupati dan Gubernur. (3) Areal pencadangan dimaksud pada ayat (2), dirinci menurut fungsi hutan pada masing-masing Kabupaten. (4) Areal pencadangan dimaksud pada ayat (3) hanya 88
dilaksanakan secara terbatas pada daerah-daerah yang memenuhi syarat baik fisik, teknis maupun sosial ekonomi dan keamanan, antara lain di Kabupaten Buleleng, Karangasem dan Bangli serta secara selektif di Kabupaten Jembrana dan Tabanan. BAB IV PERIJINAN Pasal 9 (1) Ijin PHKm diberikan kepada kelompok masyarakat/ sekaa/koperasi, dengan ketentuan: a. mengajukan permohonan areal PHKm dilengkapi dengan dokumen kepada Menteri melalui Kepala Kantor Wilayah/Kepala Dinas Kehutanan Propinsi; b. bagi kelompok masyarakat/koperasi telah mendapat rekomendasi dari Camat dan Kepala Desa setempat serta telah mempunyai anggaran dasar dan anggaran rumah tangga; c. bagi sekaa telah mendapat rekomendasi dari desa adat dan telah mempunyai awig-awig yang sejalan dengan awig-awig desa adat. (2) Ijin PHKm diberikan dalam bentuk ijin sementara yang berlaku maksimal 5 (lima) tahun. (3) Ijin sementara dimaksud ayat (2) dapat ditetapkan menjadi ijin tetap setelah memperhatikan usul Kepala Kantor Wilayah/Kepala Dinas Kehutanan Propinsi dan rekomendasi dari Bupati dan Gubernur serta mendapat pertimbangan teknis dari Kepala Dinas Kehutanan/Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten dan atau Tim Kehutanan Daerah. (4) Kepala Kantor Wilayah/Kepala Dinas Kehutanan Propinsi menetapkan kelayakan permohonan yang dimaksud pada ayat (1) berdasarkan kelengkapan 89
dokumen. (5) Dokumen yang harus disertakan dalam pengusulan ijin PHKm adalah: 90 a. surat permohonan dari kelompok masyarakat/ koperasi/sekaa; b. rencana kerja yang disusun oleh kelompok/ koperasi/sekaa; c. rekomendasi dari desa adat bagi sekaa atau rekomendasi dari Camat dan desa dinas bagi kelompok masyarakat/koperasi; d. rekomendasi dari Bupati tentang kebenaran keberadaan kelompok sertakesesuaian usaha; e. rekomendasi dari Gubernur; f. pertimbangan teknis dari Kepala Kantor Wilayah/ Kepala Dinas Kehutanan Propinsi; g. akte pendirian koperasi kalau pemohon dalam wadah koperasi, surat penetapan kelompok oleh Kepala Desa yang diketahui Camat setempat apabila pemohon dari kelompok masyarakat dan foto copy awig-awig bagi pemohon sekaa; h. daftar anggota (disertai dengan foto copy Kartu Tanda Penduduk); i. peta lokasi kawasan hutan yang dimohon sesuai kartografis dan diketahui oleh Kepala Resort Polisi Hutan/Kepala Sub Seksi Konservasi SumberDayaAlam setempat; j. surat pernyataan tidak akan memindah tangankan ijin PHKm; k. surat pernyataan patuh dan tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan yang mengatur/ terkait dengan PHKm dan pembangunan kehutanan pada umumnya. Pasal 10
(1) PemegangIjinsementarawajib: a. memenuhi semua ketentuan peraturan perundangundangan tentang PHKm serta yang berkaitan dengan pelestarian/perlindungan hutan dan ekosistemnya; b. menjaga dan memeliharakelestarian kawasan dan fungsi hutan serta ekosistemnya; c. mengembalikan ij in PHKm secara sukarela apabila ij innya habis/dicabut; d. melaporkan aktivitasnya setiap 3 (tiga) bulan sekali; e. menyetorkan 10% dari hasil usahatani kepada Pemerintah Daerah untuk diteruskan kepada Desa Adat setempat; f. Pengaturan lebih lanjut sebagaimanatersebut pada huruf e akan ditetapkan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD setempat. (2) Pemegang ijin PHKm berhak untuk : a. melaksanakan kegiatan dalam kawasan hutan, terbatas hanya kegiatan/pengelolaan sesuai dengan hak yang tercantum dalam ijin PHKm yang diberikan oleh Menteri; b. pelayanan/bimbingan teknis dari instansi Kehutanan dan Perkebunan serta Pemerintah Daerah dan Forum Koordinasi PHKm; c. menerapkan sistem pengusahaan hutan secara tradisional dan teknologi lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan azas kelestarian hutan serta memungut hasil sesuai ketentuan, dengan bimbingan aparat instansi kehutanan. Pasal 11 Pemegang Ijin tetap, selain berkewajiban memenuhi ketentuan dimaksud pasal 10, wajib menyusun Rencana Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan yang meliputi:
a. Rencana Induk Pengusahan Hutan Kemasyarakatan (RIPHKm); b. Rencana Kerja Lima Tahunan Hutan Kemasya rakatan (RKLHKm); c. Rencana Karya Tahunan Hutan Kemasyarakatan (RKTHKm). Pasal 12 Menteri membatalkan ijin PHKm setelah mem-perhatikan usulan Kepala Kantor Wilayah/Kepala Dinas Kehutanan Propinsi serta rekomendasi dari Bupati dan Gubernur. Ijin PHKm hapus karena : Pasal 13 a. jangkawaktu telah berakhir dan tidak diperpanjang; b. dicabut Menteri karena melanggar ketentuan dalam Keputusan ini, setelah diperingati 3 (tiga) kali berturut-turut dengan selang waktu 2 (dua) bulan. BAB V LARANGAN DAN SANKSI Pasal 14 (1) Dalam pelaksanaannya pemegang PKHm dilarang melakukan kegiatan yang mengakibatkan timbulnya ancaman terhadap kelestarian hutan dan konservasi tanah serta kerugian masyarakat. (2) Larangan dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan secara itnensif meliputi: a. menjual/menggadaikan/memariskan/memindah tangankan atau hal-hal lain yang menyebabkan perpindahan ijin PHKm kepada orang/kelompok lain; b. melakukan kegiatan penebangan/mematikan tegakan/pohon; 92
c. melakukan kegiatan pengolahan tanah secara intensif, sehingga mengakibatkan terjadinya erosi; d. melakukan kegiatan pembakaran hutan/tegakan phon baik dalam penyiapan lahan maupun dalam kegaitan lainnya. e. mendirikan bangunan berupa apapun; f. menanam/mengembangkan tanaman yang memelrukan pemeliharaan intensip antar alain coklat, kopi, cengkeh, jambu mete, kelapa, jeruk danpisang. Pasal 15 Sanksi atas larangan dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) berupa: a. bagi pemegang ijin sementara adalah pembatalan ijin PHKm apabila melakukan pelanggaran atas larangan yang tercantum dalam Pasal 14 ayat (2), tanpa melalui peringatan; b. bagi pemegang ij in tetap : 1) pembatalan ijin PHKm apabila melakukan pelanggaran atas larangan yang tercantum dalam Pasal 14 ayat (2) huruf a, setelah dilakukan peringatan tiga kali berturut-turut dengan selang waktu 1 (satu) bulan; 2) pengurangan jangka waktu ijin sampai dengan lima puluh persen dari jangka waktu yang diberikan apabila melakukan pelanggaran atas larangan yang tercantum dalam Pasal 14 ayat (2) huruf b, c, d dan e, setelah dilakukan peringatan tiga kali berurut-turut dengan selang waktu 1 (satu) bulan. c. di samping sanksi sebagaimana huruf a dan b di atas, kepada pelaku pelanggaran akan dikenakan 93
sanksi pidana sesuai ketentuan yang berlaku. BAB VI PENGAWASAN Pasal 16 Pengawasan dan Pengendalian dilakukan oleh instansi terkait di daerah yang hasilnya dilaporkan kepada Kepala Kantor Wilayah/Kepala Dinas Kehutanan Propinsi untuk diteruskan kepada Direktur Jenderal berwenang serta Bupati dan Gubernur. Pasal 17 Evaluasi dilaksanakan oleh Kepala Kantor Wilayah/ Kepala Dinas Kehutanan Propinsi bersama instansi Kehutanan di daerah dan pemegang ijin PHKm sekurang-kurangnya setiap 2 (dua) tahun untuk pola rehabilitasi dan 1 (satu) tahun untuk pola pemanfaatan yang hasilnya dilaporkan kepada Direktur Jenderal berwenang serta Bupati dan Gubernur. BAB VII LAIN-LAIN Pasal 18 Untuk mempertahankan kelestarian fungsi kawasan hutan dari berbagai gangguan, kepada kelompok masyarakat/ koperasi/sekaa yang tidak memerlukan kegiatan Pengusahaan Hutan Kemasyarakatan tidak perlu diterbitkan ijin kegiatannya. Pasal 19 Untuk meningkatkan hasil evaluasi dan daya guna PHKm dibentuk Forum Koordinasi Hutan Kemasyarakatan Propinsi dan Kabupaten yang keanggotaannya terdiri darai instansi/lembaga terkait yang ditetapkan oleh Gubernur/Bupati. 94
Diundangkan di Denpasar Padatanggal 16 Agustus 2000 Pasal 20 Segala pembiayaan yang timbul sebagai akibat penetapan Keputusan ini dibebankan pada Anggaran Departemen Kehutanan dan Perkebunan, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Kabupaten dan Propinsi Bali serta sumber dana lainnya yang sah. Pasal 21 Ketentuan teknis pelaksanaan PHKm diatur lebih lanjut oleh Kepala Kantor Wilayah/Kepala Dinas Kehutanan Propinsi. Pasal 22 Keputusan ini mulai berlaku padatanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundang Keputusan Gubernur ini dengan penem-patannya dalam Lembaran Daerah Propinsi Bali. SEKRETARIS DAERAH PROPINSI BALI, ttd. PUTU WIJANAYA, SH Ditetapkan di Padatanggal 2000 : Denpasar : 20 April GUBERNUR BALI, ttd. DEWA BERATHA LEMBARAN DAERAH PROPINSI BALI TAHUN 2000 NOMOR 85 SERI D NOMOR 75 Keputusan ini disampaikan kepada: 1. Menteri Kehutanan dan Perkebunan di Jakarta; 95
2. ketua DPRD Propinsi Bali di Denpasar 3. Ketua Bappeda Propinsi Bali di Denpasar 4. Bupati se-propinsi Bali. 5. Kepala Kantor Wilayah Dep. Kehutanan dan Perkebunan Propinsi Bali. 6. Kepala Dinas Kehutanan Propinsi Bali di Denpasar. 7. Kepala Dinas Perkebunan Propinsi Bali di Denpasar. 8. Kepala Dinas Kebudayaan Propinsi Bali di Denpasar. 9. Kepala Biro Hukum Setda Propinsi Bali di Denpasar. 96