5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Apotek Menurut Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1332/Menkes/SK/X/2002 Tentang Perubahan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 922/Menkes/Per/X/1993 Tentang Keputusan dan Tata Cara Pemberian Izin Apotek Pasal 1 ayat (a): Apotek adalah tempat tertentu, tempat dilakukan pekerjaan kefarmasian dan penyaluran sediaan farmasi, perbekalan kesehatan lainnya kepada masyarakat, sedangkan apoteker adalah sarjana farmasi yang telah lulus dan telah mengucap sumpah jabatan apoteker, yang berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku berhak melakukan pekerjaan kefarmasian di Indonesia sebagai apoteker (Hartini & Sulasmono, 2006). 2.1.1 Tugas dan Fungsi Apotek Apotek mempunyai fungsi utama dalam pelayanan obat, yaitu pelayanan obat atas dasar resep dan pelayanan obat tanpa resep. Dalam pelayanan obat ini apoteker harus berorientasi pada pasien/penderita, apakah obat yang diinginkan pasien tersebut dapat menyembuhkan penyakitnya serta ada tidaknya efek samping yang merugikan (Anief, 2005) Tugas dan fungsi apotek menurut pasal 2 Peraturan Pemerintah No.25 tahun 1980, yaitu: a. Tempat pengabdian profesi seorang apoteker yang telah mengucapkan sumpah jabatan. 5
6 b. Sarana farmasi yang telah melakukan peracikan, perubahan bentuk, pencampuran dan penyerahan obat atau bahan baku obat. c. Penyaluran perbekalan farmasi yang harus mendistribusikan obat secara luas dan merata (Anonim, 1990). 2.1.2 Pelayanan Obat Tanpa Resep Pelayanan obat tanpa resep merupakan pelayanan kepada pasien yang ingin melakukan pengobatan sendiri, di kenal dengan swamedikasi. Obat untuk swamedikasi meliputi obat-obat yang dapat digunakan tanpa resep yang meliputi obat wajib apotek (OWA), obat bebas terbatas (OBT) dan obat bebas (OB). Obat wajib apotek terdiri dari kelas terapioral kontrasepsi, obat saluran cerna, obat mulut serta tenggorokan, obat saluran nafas, obat yang mempengaruhi sistem neuromuskular, anti parasit dan obat kulit topikal. Apoteker atau asisten apoteker hendaknya memberikan informasi penting tentang dosis, cara pakai, kontra indikasi,efek samping dan lain-lain yang perlu diperhatikan pasien (Anonim, 1998) 2.1.3 Pelayanan Obat atas Dasar Resep Pelayanan resep sepenuhnya atas tanggung jawab apoteker pengelola apotek. Apoteker tidak diizinkan untuk menganti obat yang ditulis dalam resep dengan obat lain. Dalam hal pasien tidak mampu menebus obat yang ditulis dalam resep apoteker wajib berkonsultasi dengan dokter untuk pemilihan obat yang lebih terjangkau (Anonim, 1993). Pelayanan resep didahului proses skrining resep yang meliputi pemeriksaan kelengkapan resep, keabsahan dan tinjauan kerasionalan obat. Resep
7 yang lengkap harus ada nama, alamat, nomor izin praktek dokter, tempat, tannggal resep, tanda R/ pada bagian kiri unuk tiap penulisan resep, nama obat dan jumlahnya, kadang-kadang cara pembuatan atau keterangan lain (liter, ml, cito dll) yang dibutuhkan, aturan pakai, nama pasien, serta tanda tangan atau paraf dokter (Dewi, 1985). 2.1.4 Peraturan Perundang-undangan di Apotek Peraturan perundang-undangan perapotekan di Indonesia telah beberapa kali mengalami perubahan. Dimulai dengan berlakunya Peraturan Pemerintah (PP) No.26 tahun 1965 tentang pengelolaan dan perizinan apotek, kemudian disempurnakan dalam peraturan pemerintah No.25 1980, beserta petunjuk pelaksanaannya dalam peraturan menteri kesehatan No.26 tahun 1981 dan surat keputusan menteri kesehatan No.178 tentang ketentuan dan tata cara pengelolaan apotek. Peraturan selanjutnya yang berlaku adalah Keputusan Menteri Kesehatan No.1332/Menkes/SK/X/2002 yang memberikan beberapa keleluasaan kepada apotek untuk dapat meningkatkan derajat kesehatan yang optimal. Peraturan yang terakhir berlaku sampai sekarang adalah Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1027/Menkes/SK/IX/2004 mengenai Standar Pelayanan Kefarmasian di Apotek dan Peraturan Pemerintah RI Nomor 51 tahun 2009 tentang Pekerjaan Kefarmasian (Hartini & Sulasmono, 2006).
8 2.2 Pengertian Tenaga Teknis Kefarmasian Tenaga teknis kefarmasian adalah tenaga yang membantu apoteker dalam menjalankan pekerjaan kefarmasian, yang terdiri atas Sarjana Farmasi, Ahli Madya Farmasi, Analis Farmasi dan Tenaga Menengah Farmasi/Asisiten Apoteker. Tenaga teknis kefarmasian wajib memiliki Surat Tanda Registrasi Tenaga Teknis Kefarmasian (STRTTK) yang dikeluarkan oleh Kepala Dinas Kesehatan Provinsi yang berlaku selama 5 tahun dan dapat diregistrasi ulang selama memenuhi persyaratan. Persyaratan untuk memiliki STRTTK yaitu: 1. Memiliki ijazah sesuai dengan pendidikannya 2. Memiliki Surat keterangan sehat fisik dan mental dari dokter yang memiliki surat izin praktek. 3. Memiliki rekomendasi tentang kemampuan dari apoteker yang telah memiliki Surat Tanda Registrasi Apoteker (STRA), atau pimpinan institusi pendidikan lulusan, atau organisasi yang menghimpun Tenaga Teknis Kefarmasian. 4. Membuat pernyataan akan mematuhi dan melaksanakan ketentuan etika kefarmasian (Anonim, 2009). 2.2.1 Tempat Kerja Tenaga Teknis Kefarmasian Tenaga teknis kefarmasian bekerja pada saran kefarmasian yaitu tempat yang digunakan untuk melakukan pekerjaan kefarmasian anatara lain industri
9 farmasi termasuk obat tradisional dan kosmetika, instalasi farmasi, apotek dan toko obat (Anonim, 2010). 2.2.2 Hak dan Kewajiban Tenaga Teknis Kefarmasian Tenaga teknis farmasi merupakan orang yang bertanggung jawab dalam melakukan pekerjaan kefarmasian. Pelayanan kefarmasian yang dilakukan oleh tenaga teknis farmasi di apotek haruslah sesuai dengan standar profesi yang dimilikinya. Dimana seorang Apoteker dan Asisten Apoteker dituntut oleh masyarakat pengguna obat (pasien) harus bersifat professional dan baik. Hak yang dimiliki oleh Tenaga Teknis Kefarmasian menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MENKES/SK/X/2002 adalah sebagai berikut: 1. Mendapatkan gaji dan tunjagan selama bekerja 2. Mendapatkan keuntungan yang diperoleh apotek berdasarkan kesepakatan dengan Pemilik Sarana Apotek (PSA) (Anonim, 2002). Sedangkan kewajiban Tenaga Teknis Kefarmasian menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 1332/MENKES/SK/2002 adalah sebagai berikut: 1. Melayani resep dokter sesuai dengan tanggung jawab dan standar profesinya yang dilandasi pada kepentingan masyarakat serta melayani penjualan obat yang dibeli tanpa resep dokter. 2. Memberi informasi: a. Yang berkaitan dengan penggunaan/ pemakaian obat yang diserahkan kepada pasien
10 b. Penggunaan obat secara tepat, aman dan rasional atas permintaan masyarakat. Informasi yang diberikan harus benar, jelas dan mudah dimengerti serta cara penyampaiannya disesuaikan dengan kebutuhan, selektif, etika, bijaksana dan hati-hati. Informasi yang diberikan kepada pasien sekurang-kurangnya meliputi: cara pemakaian obat, cara penyimpanan obat, jangka waktu pengobatan, makanan/ minuman/ aktifitas yang hendaknya dihindari selama terapi dan informasi lain yang diperlukan. 3. Menghormati hak pasien dan menjaga kerahasian identitas serta data kesehatan pribadi pasien 4. Melakukan Pengelolaan Apotek meliputi: a. Pembuatan, pengelolaan, peracikan, pengubahan bentuk, pencampuran, penyimpanan dan penyerahan obat dan bahan obat. b. Pengadaan, penyimpanan, penyaluran dan penyerahan sediaan farmasi lainnya (Anonim, 2002). 2.3 Pelayanan Informasi Obat Ada beberapa macam definisi dari informasi obat, tetapi pada umumnya intinya sama saja. Pelayanan informasi obat didefinisikan sebagai kegiatan penyediaan dan pemberian informasi, rekomendasi obat yang independen, akurat, komprehensif, terkini oleh tenaga teknis farmasi kepada pasien, masyarakat maupun pihak lain yang memerlukan informasi obat. Selain itu pelayanan informasi obat dapat pula didefinisikan sebagai setiap data atau pengetahuan objektif, diuraikan secara ilmiah dan terdokumentasi mencakup farmakologi,
11 toksikologi dan penggunaan terapi dari obat. Pelayanan informasi obat meliputi penyediaan, pengelolaan, penyajian, dan pengawasan mutu data/informasi obat dan keputusan profesional. Tujuan informasi obat yaitu: 1. Menunjang ketersediaan dan penggunaan obat yang rasional 2. Berorientasi kepada pasien, tenaga kesehatan dan pihak lain 3. Menyediakan dan memberikan informasi obat kepada pasien, tenaga kesehatan dan pihak lain. 4. Menyediakan informasi untuk membuat kebijakan-kebijakan yang berhubungan dengan obat (Anonim, 2011). 2.3.1 Sasaran Informasi Obat 1 Dokter Dalam proses penggunaan obat, pada tahap penetapan pemelihan obat serta regimennya untuk seorang penderita tertentu, dokter memerlukan informasi dari apoteker atau asisten apoteker agar ia dapat membuat keputusan yang rasional. Agar informasi yang diberikan berguna bagi dokter dan memberikan keuntungan bagi penderita, apoteker pemberi informasi harus mempertimbangankan informasi yang dibutuhkan. Dokter harus dibuat waspada terhadap efeek samping yang mungkin, sifat distribusi obat dalam tubuh dan efek obat pada metabolisme. Dokter juga haarus diberi informasi tentang inkompatibilitas terapi, interaksi obat dengan obat, obat dengan makanan atau obaat dengan uji laboratorium. Kadang-kadang doter memerlukan informasi tentang stabilitas suatu sediaan obat dan harga obat (Siregar, 2004).
12 2 Perawat Dalam tahap penyampaian atau distribusi obat kepada penderita dalam rangkaian proses penggunaan obat, apoteker memberikan informasi tentang berbagai aspek obat pennderita tertentu, terutama tentang pemberian obat (Siregar, 2004). 3 Penderita Apoteker atau asisten apoteker adalah sumber utama informasi obat bagi penderita. Informasi obat untuk penderita diberikan apoteker atau asisten apoteker sewaktu penderita menerima obat, baik obat yang diberikan atas dasar resep maupun tanpa resep. Penderita banyak yang tidak mengerti perlunya suatu jangka waktu terapi jika tidak diberi informasi. Juga banyak penderita tidak sadar secara menyeluruh tentang pengaruh makanan pada suatu dosis obat. Penderita cenderung mengikuti secara singkat regimen tertulis, menyimpan obat yang tidak digunakan dan memprakarsai pengobatan sendiri apabila gejala yang sama atau mirip terjadi (Siregar, 2004). 2.3.2 Kegiatan Pelayanan informasi Obat Kegiatan PIO berupa penyediaan dan pemberian informasi obat yang bersifat aktif atau pasif. Pelayanan bersifat aktif apabila apoteker pelayanan informasi obat memberikan informasi obat dengan tidak menunggu pertanyaan melainkan secara aktif memberikan informasi obat, misalnya penerbitan buletin, brosur, leaflet, seminar dan sebagainya. Pelayanan bersifat pasif apabila apoteker pelayanan informasi obat memberikan informasi obat sebagai jawaban atas pertanyaan yang diterima (Siregar, 2004).
13 Menjawab pertanyaan mengenai obat dan penggunaannya merupakan kegiatan rutin suatu pelayanan informasi obat. Pertanyaan yang masuk dapat disampaikan secara verbal (melalui telepon, tatap muka) atau tertulis (surat melalui pos, faksimili atau e-mail). Pertanyaan mengenai obat dapat bervariasi dari yang sederhana sampai yang bersifat urgen dan kompleks yang membutuhkan penelusuran literatur serta evaluai secara seksama (Siregar, 2004). 2.3.3 Langkah-langkah Sistematis Pemberian Informasi Obat 1. Penerimaan permintaan Informasi Obat : mencatat data permintaan informasi dan mengkategorikan permasalahan : aspek farmasetik (identifikasi obat, perhitungan farmasi, stabilitas dan toksisitas obat), ketersediaan obat, harga obat,efek samping obat, dosis obat, interaksi obat, farmakokinetik, farmakodinamik, aspek farmakoterapi, keracunan, perundang-undangan. 2. Mengumpulkan latar belakang masalah yang ditanyakan : menanyakan lebih dalam tentang karakteristik pasien dan menanyakan apakah sudah diusahakan mencari informasi sebelumnya 3. Penelusuran sumber data : rujukan umum, rujukan sekunder dan bila perlu rujukan primer. 4. Formulasikan jawaban sesuai dengan permintaan : jawaban jelas, lengkap dan benar, jawaban dapat dicari kembali pada rujukan asal dan tidak bolehmemasukkan pendapat pribadi.
14 5. Pemantauan dan Tindak Lanjut : menanyakan kembali kepada penanya manfaat informasi yang telah diberikan baik lisan maupun tertulis(siregar, 2004).