BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata saat ini memegang peranan penting dalam perkembangan suatu daerah

dokumen-dokumen yang mirip
BUPATI MANDAILING NATAL PROVINSI SUMATERA UTARA PERATURAN BUPATI MANDAILING NATAL NOMOR 28 TAHUN 2015 TENTANG TANDA DAFTAR USAHA PARIWISATA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. Jenis Wisatawan Domestik Asing Jumlah Domestik Asing Jumlah Domestik Asing

BAB I PENDAHULUAN. agar mampu berkompetisi dalam lingkaran pasar persaingan global. Tidak hanya dengan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10.TAHUN TENTANG KEPARIWISATAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. sebagai salah satu sumber pendapatan daerah.program pengembangan dan

BUPATI BADUNG PERATURAN BUPATI BADUNG NOMOR 13 TAHUN 2012 TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN USAHA PARIWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PENJELASAN ATAS PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG KEPARIWISATAAN

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR PERATURAN DAERAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR NOMOR 7 TAHUN 2011 TENTANG

BUPATI MALANG PROVINSI JAWA TIMUR

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

GUBERNUR BALI PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG USAHA JASA PERJALANAN WISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA, GUBERNUR BALI,

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan salah satu subsektor yang potensial dalam

LEMBARAN DAERAH KOTA BEKASI

BUPATI BANYUWANGI SALINAN PERATURAN BUPATI BANYUWANGI NOMOR 14 TAHUN 2014 TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN USAHA PARIWISATA DI KABUPATEN BANYUWANGI

BAB I PENDAHULUAN. proses penyediaan lapangan kerja, standar hidup bagi sektor-sektor

DAFTAR ISI. ABSTRACT... ABSTRAK... KATA PENGANTAR... iii UCAPAN TERIMAKASIH... DAFTAR ISI... DAFTAR TABEL... DAFTAR GAMBAR...

BAB I PENDAHULUAN. keuangan walaupun masih ada aliran dana dari pusat kepada daerah seperti dalam bentuk

PERATURAN DAERAH KABUPATEN TABALONG NOMOR 01 TAHUN 2015 TENTANG RENCANA INDUK PENGEMBANGAN PARIWISATA DAERAH DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BUPATI BANTUL PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANTUL NOMOR 03 TAHUN 2013 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. Kebutuhan ini semakin dirasakan oleh daerah terutama sejak diberlakukannya

PEMERINTAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN PERATURAN DAERAH PROVINSI KALIMANTAN SELATAN NOMOR 8 TAHUN 2010 TENTANG KEPARIWISATAAN

BAB I LATAR BELAKANG

PEMERINTAH KABUPATEN LAMONGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN LAMONGAN NOMOR 07 TAHUN 2008 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Pariwisata merupakan industri yang banyak dikembangkan di negaranegara

BUPATI NGANJUK PROVINSI JAWA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN NGANJUK NOMOR 2 TAHUN 2015 TENTANG

BAB V HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

PERATURAN DAERAH PROVINSI BALI NOMOR 1 TAHUN 2010 TENTANG USAHA JASA PERJALANAN WISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA GUBERNUR BALI,

BAB I PENDAHULUAN. berbagai cara,misalnya dengan mengadakan pameran seni dan budaya, pertunjukkan

PEMERINTAH KABUPATEN SINTANG

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 32 Tahun 2004 sebagai penyempurnaan Undang-undang Nomor 22

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN. 4.1 Kesimpulan. 1. Sektor yang memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) tertinggi

SALINAN PERATURAN MENTERI PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2014 TENTANG

BAB I Pendahuluan. Pariwisata merupakan sebuah industri yang menjanjikan. Posisi pariwisata

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

NCA N LEMBARAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 12 TAHUN 2009 PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMEDANG NOMOR 11 TAHUN 2009 TENTANG

PEMERINTAH KABUPATEN KEPULAUAN SELAYAR

IV. HASIL DAN PEMBAHASAN. A. Kontribusi Pajak Dan Retribusi Sektor Pariwisata Terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD)

BERITA DAERAH KABUPATEN KULON PROGO

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian dan pembangunan di Bali sejak tahun 1970-an. Oleh karena itu

W A L I K O T A B A N J A R M A S I N

BAB II PENGATURAN IZIN USAHA PARIWISATA BERDASARKAN PERATURAN DAERAH KOTA MEDAN NO. 4 TAHUN 2014 TENTANG KEPARIWISATAAN

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN

BAB I PENDAHULUAN. daya bagi kesehjateraan manusia yakni pembangunan tersebut. Adapun tujuan nasional

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10.TAHUN TENTANG KEPARIWISATAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

IV.C.5. Urusan Pilihan Kepariwisataan

BAB I PENDAHULUAN. berasal dari migas, pajak, non pajak. Dana yang berasal dari rakyat dengan jalan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dalam rangka pembangunan nasional di Indonesia, pembangunan

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN BLITAR SERI C PERATURAN DAERAH KABUPATEN BLITAR NOMOR 6 TAHUN 2012

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kota Yogyakarta merupakan salah satu kota di Indonesia yang terus

2016 STUDI KELAYAKAN BISNIS PADA RUMAH MAKAN SAUNG POJOK DADAHA KOTA TASIKMALAYA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. bagi perekonomian di Indonesia. Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UKM)

BAB I PENDAHULUAN. manusia atau masyarakat suatu bangsa, dalam berbagai kegiatan

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. masa depan yang baik di Indonesia. Tidak dapat dipungkiri bahwa. kegiatan pariwisata memberikan keuntungan dan manfaat bagi suatu

BAB I PENDAHULUAN. Setiap daerah di Indonesia memperoleh hak untuk melakukan otonomi daerah

BAB I PENDAHULUAN. memberikan keleluasaan kepada daerah Kota/kabupaten untuk mengurus rumah

BAB I PENDAHULUAN. Negara Indonesia merupakan negara kepulauan yang mempunyai wilayah

BAB V KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

BAB I KETENTUAN UMUM. Pasal 1. Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan: 1. Daerah adalah Propinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta;

oleh semua pihak dalam pengembangan dunia pariwisata.

WALIKOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI BANYUWANGI,

I. PENDAHULUAN. salah satunya didorong oleh pertumbuhan sektor pariwisata. Sektor pariwisata

WALIKOTA BATAM PERATURAN DAERAH KOTA BATAM NOMOR 3 TAHUN 2003 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. potensi keindahan dan kekayaan alam Indonesia. Pemanfaatan disini bukan berarti

TENTANG TATA CARA PENGENAAN SANKSI ADMINISTRATIF PELANGGARAN PERATURAN DAERAH KOTA SURABAYA NOMOR 23 TAHUN 2012 TENTANG KEPARIWISATAAN

BAB I PENDAHULUAN. pemasukan bagi negara. Pariwisata memiliki peranan penting dalam membawa

BAB I PENDAHULUAN. perjalanan yang dilakukan secara berkali-kali atau berputar-putar dari suatu

PERATURAN WALIKOTA TANGERANG SELATAN NOMOR 26 TAHUN 2013 TENTANG TATA CARA PENDAFTARAN USAHA PARIWISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

IV.C.5. Urusan Pilihan Kepariwisataan

SURAT IZIN USAHA KEPARIWISATAAN

BAB I PENDAHULUAN. menjanjikan dalam hal menambah devisa suatu negara. Menurut WTO/UNWTO

PROVINSI SUMATERA UTARA

BUPATI TANGERANG PROVINSI BANTEN PERATURAN DAERAH KABUPATEN TANGERANG NOMOR 6 TAHUN 2014 TENTANG TANDA DAFTAR USAHA PARIWISATA

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

BAB I PENDAHULUAN TABEL 1.1 JUMLAH KUNJUNGAN WISATAWAN MANCANEGARA DI INDONESIA

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

ARAHAN BENTUK, KEGIATAN DAN KELEMBAGAAN KERJASAMA PADA PENGELOLAAN SARANA DAN PRASARANA PANTAI PARANGTRITIS. Oleh : MIRA RACHMI ADIYANTI L2D

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10 TAHUN 2009 TENTANG KEPARIWISATAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

WALIKOTA BALIKPAPAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR PERATURAN DAERAH KOTA BALIKPAPAN NOMOR 12 TAHUN 2014 TENTANG USAHA MIKRO, KECIL DAN MENENGAH

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10.TAHUN TENTANG KEPARIWISATAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

PROVINSI JAWA TENGAH PERATURAN DAERAH KABUPATEN TEMANGGUNG NOMOR 21 TAHUN 2013 TENTANG PENANAMAN MODAL DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

KONTRIBUSI PAJAK HOTEL, PAJAK RESTORAN, DAN PAJAK MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH KABUPATEN BELITUNG

I. PENDAHULUAN. Pariwisata merupakan sektor penunjang pertumbuhan ekonomi sebagai

PROVINSI KEPULAUAN BANGKA BELITUNG PERATURAN DAERAH KABUPATEN BELITUNG TIMUR NOMOR 1 TAHUN 2016 TENTANG DESA WISATA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata Indonesia saat ini mulai berkembang dengan pesat. Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. mengunjungi daerah-daerah wisata tersebut. dan berpengaruh terhadap perkembangan pariwisata.

BAB I PENDAHULUAN. Pariwisata adalah suatu kegiatan yang unik, karena sifatnya yang sangat

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 50 TAHUN 2011 TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN KEPARIWISATAAN NASIONAL TAHUN

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 10.TAHUN TENTANG KEPARIWISATAAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BUPATI SUMBA TENGAH PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR PERATURAN DAERAH KABUPATEN SUMBA TENGAH NOMOR 10 TAHUN 2016 TENTANG PENANAMAN MODAL

BAB I PENDAHULUAN. dan negara. Saat ini, pajak bukan lagi merupakan sesuatu yang asing bagi

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Sektor pariwisata merupakan sektor penting dalam pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. perekonomian kian menjadi trend di kalangan pemerintah daerah dengan cara

BAB I PENDAHULUAN. No. 22 tahun 1999 diganti menjadi UU No. 32 tahun 2004 tentang

GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA, PERATURAN GUBERNUR DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA NOMOR 45 TAHUN 2008

BUPATI JEMBRANA PROVINSI BALI PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 2 TAHUN 2017 TENTANG

BAB VI PENUTUP. kualitas maupun kuantitas komponen wisata. Secara garis besar kegiatan

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pariwisata saat ini memegang peranan penting dalam perkembangan suatu daerah dan telah menjadi salah satu alternatif utama untuk meningkatkan pendapatan yang diterima daerah tersebut.banyaknya jumlah kunjungan wisatawan terhadap suatu daerah wisata secara ekonomi diharapkan dapat membawa dampak positif terutama bagi kesejahteraan masyarakat sekitar di daerah wisata tertentu. Seperti di kota Yogyakarta, berdasarkan data dari tahun 2008 hingga 2012 mengenai jumlah kunjungan wisatawan ke Yogyakarta mengalami peningkatan yang cukup pesat. Gambar 1.1 Jumlah Kunjungan Wisatawan ke DIY Tahun 2008-2012 2,500,000 Perkembangan Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara dan Nusantara Yang Menggunakan Jasa Akomodasi 2,360,173 2,000,000 1,500,000 1,284,757 1,426,057 1,456,980 1,607,694 1,000,000 500,000 0 2008 2009 2010 2011 2012 Sumber : Buku Ringkasan Statistik Pariwisata Dinas Pariwisata Yogyakarta 2012 Dengan banyaknya jumlah kunjungan wisata ke Yogyakarta baik dari wisatawan nusantara maupun mancanegara secara tidak langsung dapat mempengaruhi sumber 1

utama Pendapatan Asli Daerah (PAD) Yogyakarta khususnya dari sektor pariwisata.jika dilihat dalam APBD Yogyakarta Tahun 2012, sumbangan dari sektor Pariwisata dinilai cukup besar. Berikut jumlah PAD sub sektor pariwisata di DIY tahun 2012. Tabel 1.1 Jumlah PAD Sub Sektor Pariwisata di D.I.Yogyakarta Tahun 2012 N o 1 2 3 4 5 Sumber Pajak Hotel & Restoran Pajak Tontonan / Hiburan Retribusi ODTW Retribusi Perijinan Usaha Pariwisata Retribusi Penggunaan Aset Milik Pemda Yogyakarta (Rupiah) Sleman (Rupiah) Bantul (Rupiah) Kulonprogo (Rupiah) Gn. Kidul (Rupiah) Jumlah (Rupiah) 72.199.315.171 48.975.872.016 3.679.499.071 482.303.069 884.376.758 126.221.366.085 4.643.027.341 3.804.493.161 440.593.360 3.856.000 18.435.000 8.910.404.862 TAP 384.302.415 8.407.105.900 1.288.533.000 3.620.669.200 13.700.610.515 TAP TAP TAP TAP 3.932.090.845 3.932.090.845 TAP 30.245.260 2.450.000 336.159.700 23.195.700 409.927.170 Total 76.842.342.512 53.194.912.852 12.529.648.33 1 2.110.851.769 8.478.767.503 153.156.522.967 Sumber : Buku Ringkasan Statistik Pariwisata Dinas Pariwisata Yogyakarta 2012 Keterangan : TAP : Tidak Ada Punguntan TA : Tidak Ada Bisa dilihat bahwa sumbangan terbesar sektor pariwisata ke pendapatan asli daerah (PAD) khususnya untuk wilayah kota Yogyakarta sekitar 76.842.342.512 miliar rupiah yang terdiri dari berbagai sub sektor pariwisata seperti pajak hotel, restoran, hiburan, retribusi perijinan usaha pariwisata dan lain lain. Ini menandakan bahwa pendapatan dari sektor pariwisata untuk kota Yogyakarta dinilai cukup besar yang dapat dijadikan sebagai alternatif sumber pendapatan utama daerah. 2

Salah satu objek daya tarik wisata utama dari kota Yogyakarta ialah adanya Kraton Kesultanan Yogyakarta. Kraton Yogyakarta sebagai salah satu ODTW (objek daya tarik wisata) mampu menarik minat wisatawan baik wisatawan lokal maupun asing ketika sedang berkunjung ke Yogyakarta dimana Kraton sendiri merupakan bangunan bersejarah yang berbentuk istana dan sekaligus sebagai tempat tinggal dari Sultan Hamengkubuwono beserta keluarganya yang dibangun oleh Sultan Hamengkubuwono I sekitar 254 tahun yang lalu, atau sekitar tahun 1756. 1 Gambar 1.2 Perkembangan Jumlah Pengunjung ODTW Kraton Yogyakarta Tahun 2008-2012 800,000 600,000 400,000 200,000 0 Perkembangan Jumlah Pengunjung ODTW Kraton Yogyakarta 686,857 416,755 470,194 517,416 538,144 2008 2009 2010 2011 2012 Sumber : Buku Ringkasan Statistik Pariwisata Dinas Pariwisata Yogyakarta 2012, Grafik diolah peneliti Berdasarkan data diatas, jumlah kunjungan ke obyek daya tarik wisata (ODTW) Kraton Yogyakarta mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.namun peningkatan ini dirasa belum signifikan terutama yang terjadi pada tahun 2010 hingga 2011.Hal tersebut tentu dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti adanya bencana alam yaitu adanya letusan gunung merapi yang terjadi pada tanggal 26 Oktober 2010 silam di Yogyakarta. Menurut Sekretaris Tepas Kraton Ngayogyakarta Brahmana bahwa sebelum adanya 1 http://wisata.kompasiana.com/jalan-jalan/2010/11/28/wisata-budaya-di-jogjakarta/diakses tanggal 29 Maret 2011 3

letusan gunung merapi pada 26 Oktober 2010 lalu, sejumlah 5000 wisatawan domestik dan 500 wisatawan mancanegara berkunjung ke Kraton itu setiap hari. Sudah hampir dua minggu ini jumlah wisatawan ke Kraton Yogyakarta menurun drastis, dalam satu hari hanya 285 wisatawan lokal dan 121 wisatawan asing. 2 Penurunan ini tentu berdampak pada perekonomian khususnya bagi para pelaku pariwisata di Yogyakarta.Setidaknya ada sekitar 4.600 pelaku pariwisata yang tergabung dalam Asosiasi Biro Perjalanan Wisata (ASITA) wilayah Yogyakarta. 3 ASITA merupakan asosiasi satu-satunya yang bergerak di bidang usaha perjalanan wisata yang dilandasi oleh Undang-Undang Pariwisata No.10 tahun 2009 tentang hak, kewajiban dan larangan yang mengharuskan untuk membentuk dan menjadi anggota dari asosiasi kepariwisataan tersebut. 4 Kemudian dalam pengembangan kepariwisataan berkelanjutan sesuai yang tercantum dalam Piagam Pariwisata Berkelanjutan tahun 1995, proses pengembangan kepariwisataan haruslah melibatkan partisipasi aktif yaitu pemerintah, swasta dan masyarakat (Good Governance). Dalam Undang - Undang Nomor 10 tahun 2009 bahwa keterlibatan pemerintah (pusat maupun daerah), pelaku usaha pariwisata, dan masyarakat dimaksudkan untuk menjamin agar berwisata sebagai hak setiap orang (wisatawan) dapat ditegakkan sehingga mendukung tercapainya peningkatan harkat dan martabat manusia, peningkatan kesejahteraan, serta persahabatan antarbangsa dalam 2 http://www.tempointeraktif.com/hg/jogja/2010/11/08/brk,20101108-290334,id.html diakses tanggal 29 Maret 2011 3 http://www.indonesia.travel/id/news/detail/241/yogyakarta-alternatif-wisata-akhir-tahun-selain-ke-bali diakses tanggal 2 April 2011 4 http://wartapedia.com/edukasi/ensiklopedia/616-asita.html diakses tanggal 13 April 2011 4

rangka mewujudkan perdamaian dunia. Keterlibatan pemerintah (pusat maupun daerah), pelaku usaha pariwisata, dan masyarakat kemudian diatur dalam Undang - Undang tersebut pada bab VII yang menjelaskan tentang hak dan kewajiban dari masing masing aktor yang terlibat dalam kegiatan kepariwisataan. Pemerintah pusat yang dimaksud dalam UU Nomor 10 Tahun 2009 pasal 1 ialah Presiden RI yang memegang kekuasaan pemerintahan sebagaimana diatur dalam UUD RI Tahun 1945, sedangkan pemerintah daerah ialah Gubernur, Bupati atau Walikota, dan perangkat daerah lainnya sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah yang keduanya (pemerintah pusat dan daerah) memiliki hak untuk mengatur dan mengelola urusan kepariwisataan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Wisatawan diartikan dalam UU tersebut ialah orang yang melakukan perjalanan wisata sedangkan masyarakat diartikan sebagai orang atau sekelompok orang yang berada di dalam atau di sekitar kawasan destinasi pariwisata.untuk pelaku usaha pariwisata sendiri diartikan sebagai orang atau sekelompok orang yang melakukan kegiatan usaha pariwisata dimana usaha pariwisata ialah usaha yang menyediakan barang atau jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan pariwisata. Kemudian selanjutnya dalam Pasal 14 di UU tersebut dijelaskan bahwa usaha pariwisata meliputi antara lain ialah daya tarik wisata, kawasan pariwisata, jasa transportasi wisata, jasa perjalanan wisata, jasa makanan dan minuman, penyediaan akomodasi, penyelenggaraan kegiatan hiburan dan rekreasi, penyelenggaraan pertemuan, perjalanan insentif, konferensi dan pameran, jasa informasi pariwisata, jasa 5

konsultan pariwisata, jasa pramuwisata, wisata tirta dan spa. Usaha-usaha pariwisata yang telah dijelaskan tadi, dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) golongan besar yaitu transportasi, akomodasi dan perusahaan pangan, perusahaan jasa khusus, penyediaan barang. Pengembangan terhadap sektor usaha pariwisata yang dimaksudkan seperti yang tercantum dalam pasal 17 UU Nomor 10 Tahun 2009 ialah dengan cara membuat kebijakan pencadangan usaha pariwisata untuk usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi serta memfasilitasi kemitraan baik antar UMKM maupun ke usaha besar (UB). Hal ini pun sejalan dengan apa yang tercantum dalam UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah terutama pada pasal 7 dimana pemerintah (pusat maupun daerah) menumbuhkan iklim usaha dengan menerapkan peraturan perundang undangan dan kebijakan yang meliputi aspek salah satunya kemitraan. Kemitraan pada sektor usaha pariwisata pada dasarnya terbentuk oleh berbagai alasan dan tujuan yang salah satunya tercantum dalam pasal 11 ayat c, e, f dan g yaitu mendorong terjadinya hubungan yang saling menguntungkan, meningkatkan posisi tawar, terbentuknya struktur pasar yang menjamin tumbuhnya persaingan usaha yang sehat dan melindungi konsumen (wisatawan) serta mencegah terjadinya monopoli pasar. Selain itu agar dapat memperluas jangkauan pasar dan memudahkan mereka untuk mempromosikan produk produk yang dihasilkan. Kemitraan tersebut kemudian dapat digunakan untuk menjawab pertanyaan yang muncul yaitu bagaimana para pelaku usaha pariwisata bisa bertahan bahkan mampu berkembang sehingga keadaannya jauh lebih baik dengan jenis usaha yang lain, bahkan 6

dengan skala yang lebih besar? Salah satunya ialah melalui kemitraan. Dengan menjalin kemitraan khususnya antar pelaku usaha pariwisata, diharapkan kemitraan ini dapat mengatasi berbagai kendala yang dihadapi seperti modal atau akses pembiayaan, pemasaran, distribusi dan pengadaan barang input, keterbatasan sumber daya manusia (kemampuan), teknologi dan informasi serta berbagai regulasi yang dapat menghambat pertumbuhan dan pengembangan sektor usaha pariwisata. 5 Selain itu, dengan menerapkan kemitraan tersebut diharapkan dapat memberikan kesempatan usaha yang sama dan membentuk pangsa pasar yang lebih luas guna menjaring konsumen langsung lebih banyak serta menghindari terjadinya monopoli pasar oleh pihak pihak tertentu. Terkait dengan kemitraan antar pelaku usaha pariwisata, berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang kepariwisataan pada pasal 23 ayat b disebutkan bahwa pemerintah berkewajiban untuk menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi perkembangan usaha pariwisata yang meliputi terbukanya kesempatan yang sama dalam berusaha, memfasilitasi dan memberikan kepastian hukum. 6 Disini peran pemerintah sangat dibutuhkan dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif, adil dan memiliki aturan hukum yang jelas bagi para pelaku usaha pariwisata yang berkecimpung dalam kegiatan kepariwisataan untuk mencegah terjadinya dampak dampak negatif salah satunya ialah terjadinya monopoli pasar. Pada pasal 17 UU Nomor 10 Tahun 2009 disebutkan bahwa pemerintah (pusat) dan pemerintah daerah wajib mengembangkan dan melindungi usaha mikro, kecil, menengah dan koperasi dalam bidang usaha 5 Tambunan, Dr. Tulus T.H, 2009, UMKM DI INDONESIA, Bogor : Ghalia Indonesia 6 UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan 7

pariwisata yang salah satunya seperti tercantum di ayat b pada pasal tersebut ialah dengan cara memfasilitasi kemitraan antar usaha mikro, kecil, menengah, dan koperasi serta usaha besar terutama yang bergerak pada sektor usaha pariwisata.. Kemudian dalam UU nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan pada pasal 5 disebutkan bahwa penyelenggaraan pariwisata pada prinsipnya dapat memberi manfaat untuk kesejahteraan rakyat, keadilan, kesetaraan, proporsionalitas dan dapat memberdayakan masyarakat setempat. Masyarakat setempat seperti yang dimaksud ialah masyarakat yang tinggal di dalam wilayah destinasi pariwisata dan diprioritaskan untuk mendapatkan manfaat dari penyelenggaraan kegiatan pariwisata di tempat tersebut.maka, dengan menerapkan kemitraan antar pelaku usaha pariwisata diharapkan dapat memberikan manfaat terutama bagi sesama aktor yang terlibat dan masyarakat secara umum yang ada di sekitar daerah wisata tertentu. Dalam perkembangannya, berdasarkan pengalaman peneliti ketika melakukan observasi di kawasan wisata Kraton Yogyakarta, bentuk kerjasama atau kemitraan yang terjadi di kawasan tersebut kemudian menarik untuk diteliti lebih lanjut dimana ketika peneliti menggunakan jasa transportasi (becak) untuk mencapai obyek wisata Kraton Yogyakarta, peneliti kemudian ditawarkan untuk menggunakan jasa atau membeli produk produk wisata khas Yogyakarta sebagai souvenir oleh tukang becak tersebut. Mengapa demikian? Setelah peneliti bertanya lebih lanjut maksud dari pelaku usaha jasa transportasi tersebut, ternyata setiap wisatawan yang menggunakan jasanya dan kemudian membeli produk produk wisata khas Yogyakarta sebagai souvenir berdasarkan rekomendasi dari tukang becak tersebut, maka tukang becak itu pun 8

mendapatkan upah untuk setiap barang atau jasa yang dibeli oleh wisatawan tersebut. Upah yang ia terima atas setiap barang yang dibeli oleh wisatawan biasa ia sebut sebagai imbal balik atau tabungan. Kemudian lanjutnya upah yang ia terima tergantung dari jenis barang yang dibeli oleh wisatawan. Misal, ketika wisatawan tersebut diantarkan untuk makan di restoran seperti yang ditawarkan oleh pelaku usaha pariwisata jasa transportasi tersebut, maka ia pun akan memperoleh nasi bungkus atau sejumlah uang sebagai bentuk imbal balik yang diberikan pihak restoran untuknya. Hal ini menunjukkan bahwa telah terjalin sebuah kerjasama atau kemitraan sebelumnya baik itu disengaja maupun tidak disengaja terjadi antara pelaku usaha jasa transportasi yang sekaligus merangkap sebagai guide dengan pemilik usaha seperti usaha penjualan batik dan kaos serta usaha olahan makanan khas Yogyakarta atau Gudeg. Namun, disisi lain dampak negatif yang muncul terkait dengan pelaksanaan kemitraan tersebut adalah wisatawan seringkali mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan yang dilakukan oleh guide. Hal tersebut terjadi ketika wisatawan yang menggunakan jasa trasnportasi khususnya transportasi becak untuk kemudian diantar berkeliling sekitar objek wisata Kraton tidak melakukan kegiatan wisata belanja ke berbagai pusat belanja souvenir sebagai oleh-oleh wisata khas Yogyakarta. Seringkali wisatawan yang tidak berbelanja tersebut akan diturunkan secara paksa oleh tukang becak bukan ditempat tujuan yang disepakati bersama sehingga banyak dari wisatawan merasa dirugikan dengan adanya perlakuan yang tidak menyenangkan tersebut. Hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh salah satu kusir andong berikut: Kalau andong ya silahkan kalau mau belanja, kalau nggk ya monggo. Tarifnya kan udah standar. Kalau Tukang becak, nanti masnya kalau nggk 9

belanja bisa ditinggal.penumpangnnya ditinggal.banyak kejadian mas.kasian kalau yang udah tua mas (wisatawan). Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa terkadang tukang becak yang bertindak sebagai guide seringkali melakukan perbuatan-perbuatan yang kurang menyenangkan bagi wisatawan seperti menurunkan secara paksa wisatawan bukan ditempat tujuan yang telah disepakati bersama. Hal ini tentu sangat merugikan wisatawan akibat perlakuan yang tidak profesional tukang becak dalam memberikan pelayanan pariwisata terhadap wisatawan tersebut. Kemudian hal yang sama diungkapkan oleh Ka. Sie Kerjasama Dinas Pariwisata Kota Yogyakarta. oo, baik, memang ada beberapa pelaku pariwisata yang memang mohon maaf SDM-nya mungkin kurang tahu betul tentang pariwisata. Mereka sering apa ya membuat wisatawan itu jera. Sebagai contoh, tukang becak yg mengantarkan wisatawan dengan tariff murah tapi mereka akan berputarputar di sekitar toko yg memberi fee besar, kadang-kadang wisatawan mau ke keraton tapi dibilang keraton tutup padahal tidak, mereka hanya mengantarkan ke bakpia atau toko batik yang notabenenya dia memberi tip yang sangat menggiurkan Kutipan wawancara tersebut menunjukkan bahwa memang seringkali wisatawan menerima perlakuan yang kurang menyenangkan dari tukang becak yang juga bertindak sebagai guide.hal tersebut menurut beliau dipengaruhi oleh sumber daya manusia (tukang becak) yang kurang memahami konsep pariwisata itu sendiri. Tentu hal tersebut akan berdampak pada citra pariwisata yang semakin memburuk dan dapat mempengaruhi jumlah kunjungan wisata ke kawasan wisata Kraton Yogyakarta. Oleh karena itu, bentuk kerjasama atau kemitraan antar pelaku usaha pariwisata seperti ini kemudian menjadi menarik bagi peneliti untuk dianalisis lebih lanjut 10

mengenai bagaimana kemitraan tersebut dapat berjalan secara efektif dan efisien dalam upayanya memberikan keuntungan dan manfaat bersama baik antar pelaku usaha pariwisata itu sendiri maupun bagi wisatawan dan masyarakat sekitar yang ada di kawasan wisata Keraton Yogyakarta. Untuk menjamin pelaksanaan kemitraan tersebut sesuai dengan pasal 5 dan pasal 22 UU nomor 10 tahun 2009 dimana melalui kemitraan, setiap pengusaha pariwisata berhak mendapatkan kesempatan yang sama dalam berusaha di bidang kepariwisataan, mendapatkan perlindungan hukum dalam berusaha, mendapatkan fasilitas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan dan dapat memberikan manfaat baik bagi UMKM yang terlibat dalam kemitraan tersebut maupun bagi masyarakat setempat yang ada di sekitar daerah wisata tertentu. Maka dari itu, perlu dikaji lebih lanjut mengenai efketivitas kemitraan antar pelaku usaha pariwisata dan faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi efektivitas kemitraan tersebut khususnya kemitraan antar pelaku suaha pariwisata yang terjadi di kawasan wisata Keraton Yogyakarta. 1.2 Rumusan Masalah Untuk itu, berdasarkan yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa untuk melihatefektivitas sebuah kemitraan terutama kemitraan yang terjadi antar pelaku usaha pariwisata, diperlukan kajian atau analisis mengenai faktor-faktorapa saja yang dapat mempengaruhiefektivitas kemitraan itu sendiri. Maka, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: RQ : Faktor-faktor apakah yang dapat mempengaruhi efektivitas kemitraan pelaku usaha pariwisata di kawasan wisata Keraton Yogyakarta? 11

Pertanyaan penelitian yang dimaksud di atas adalah guna mendapatkan gambaran mengenai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi baik secara langsung maupun tidak langsung dalam pelaksanaan dan pencapaian tujuan dari adanya kemitraan antar pelaku usaha pariwisata di kawasan wisata Keraton Yogyakarta. 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitan ini adalah sebagai berikut : Untuk memberikan gambaran mengenai efektivitas kemitraan yang terjadi antar pelaku usaha pariwisata di kawasan obyek wisata Keraton Yogyakarta. Untuk menganalisis faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi efektivitas kemitraan antar pelaku usaha pariwisata di kawasan wisata Keraton Yogyakarta. 1.4 Manfaat Penelitian Dapat dijadikan sebagai bahan evaluasi bagi instansi atau lembaga lain serta masyarakat umum terkait dengan efektivitas kemitraan khususnya yang terjadi pada pelaku usaha pariwisata. 12