BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Bahwa berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas maka dapat ditarik kesimpulan: 1. Perlindungan terhadap merek terkenal ini diatur di dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b UU Merek dan Pasal 6 bis Konvensi Paris serta Pasal 16 ayat (2) dan ayat (3) Persetujuan TRIPs. Pelanggaran terhadap merek terkenal tidak hanya terjadi pada kasus pelanggaran merek antara merek asing Forever 21 Inc. Melawan merek lokal Forever 21 saja, misalnya kasus pelanggaran merek dagang Nike International Ltd., yang terjadi pada tahun 1986 yang mana merek Nike merupakan merek terkenal dan sudah diketahui oleh masyarakat umum. UU Merek merupakan dasar bagi aparat penegak hukum serta lembaga yang berwenang dalam perlindungan HKI, namun terhadap kasus-kasus pelanggaran merek terkenal terutama menyangkut dalam hubungan internasional dengan negara lain, Indonesia sebagai negara anggota WTO harus memperhatikan dan menyesuaikan hukum positifnya dengan ketentuan-ketentuan internasional yang telah diratifikasi yaitu Konvensi Paris dan Persetujuan TRIPs. Ketentuan-ketentuan internasional tersebut seharusnya dapat membantu Ditjen HKI dalam memfilter merek-merek apa 86
saja yang dapat diterima dan ditolak pendaftarannya oleh Ditjen HKI. Namun, berdasarkan dari hasil penelitian dan kasus-kasus pelanggaran merek terkenal yang sudah ada sebelumnya dapat disimpulkan bahwa perlindungan merek dagang terkenal baik lokal maupun asing di Indonesia ini belum dilaksanakan sesuai dengan ketentuan UU Merek, Persetujuan TRIPs, dan Konvensi Paris hal ini dikarenakan masih terdapatnya pelanggaranpelanggaran terhadap merek terkenal dan belum jelasnya parameter mengenai kriteria merek terkenal itu sendiri. Dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (1) huruf b UU Merek menyatakan bahwa penentuan keterkenalan suatu merek, harus dilakukan dengan mempertimbangkan pengetahuan umum masyarakat mengenai merek tersebut di bidang usaha bersangkutan, dan memperhatikan pula reputasinya sebagai merek terkenal yang diperoleh karena promosi besar-besaran, investasi di beberapa negara di dunia yang dilakukan pemiliknya, dan disertai bukti pendaftaran merek tersebut di beberapa negara di dunia. Kata beberapa negara tersebut menimbulkan keambiguan mengenai jumlah dari beberapa negara tersebut yang mengakui dan memiliki bukti pendaftaran atas merek terkenal tersebut. Bahwa peneliti dalam penelitiannya menemukan suatu merek dapat dikatakan sebagai merek terkenal apabila telah terdaftar di 10 (sepuluh) negara akan tetapi hal ini juga belum terlalu jelas dikarenakan terhadap 10 (sepuluh) negara tersebut apakah hanya 87
negara-negara maju yang mengakuinya atau negara-negara berkembang atau negara-negara kecil yang mengakui merek tersebut dapat dikatakan sebagi merek terkenal. Persetujuan TRIPs dan Konvensi Paris tersebut juga belum memberikan definisi yang jelas mengenai kriteria merek terkenal. Ketentuan internasional tersebut bahkan memberikan kebebasan bagi tiaptiap negara anggota dalam memberikan kriteria terhadap merek terkenal. Selain itu, cara kerja Ditjen HKI yang masih manual konvensional, kurang teliti dalam melakukan pemeriksaan permohonan pendaftaran merek serta belum memiliki database mengenai merek-merek terkenal menjadikannya kendala dalam memberikan perlindungan hukum terhadap merek terkenal. 2. Bahwa Putusan Mahkamah Agung Nomor 61 K/Pdt. Sus- HKI/2013 tentang Forever 21 Melawan Forever 21 Inc sudah sesuai dengan Pasal 68 ayat (1) UU Merek mengenai pembatalan pendaftaran merek. Hal ini didasarkan atas buktibukti yang sudah diperoleh yang mana menyatakan bahwa merek Forever 21 milik Tergugat/Pemohon Kasasi telah melanggar ketentuan-ketentuan dalam Pasal 4 UU Merek yaitu mengenai merek tidak dapat didaftar atas itikad tidak baik, Pasal 5 UU Merek yaitu mengenai alasan-alasan merek tidak dapat didaftar, dan Pasal 6 UU Merek yaitu mengenai perlindungan terhadap merek terkenal. Berdasarkan Putusan Hakim 88
Pengadilan Niaga Jakarta Pusat telah terbukti bahwa merek Forever 21 milik Tergugat/Pemohon Kasasi telah melakukan pelanggaran merek terkenal terhadap merek Forever 21 milik Penggugat/Pemohon Kasasi yang mana oleh karenanya Tergugat/Pemohon Kasasi atas tindakannya tersebut memiliki suatu itikad tidak baik dan oleh sebab itu berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dari Mahkamah Agung serta yang dihubungkan dengan putusan dari Judex Facti Pengadilan Niaga Jakarta Pusat menyatakan untuk dilakukannya pembatalan pendaftaran merek Forever 21 milik Tergugat/Pemohon Kasasi serta permohonan kasasi dari Tergugat/Pemohon Kasasi ditolak. B. Saran Berdasarkan hasil penelitian, pembahasan, dan kesimpulan, maka peneliti memberikan saran-saran kepada berbagai pihak, yaitu: 1. Bagi pemerintah dan Direktorat Merek Ditjen HKI, agar pelaksanaan dalam perlindungan hukum terhadap merek dagang terkenal di Indonesia dapat berjalan maka diperlukan kerjasama dengan memanfaatkan perangkat peraturan perundang-undangan mengenai merek serta ketentuan-ketentuan internasional yang menyangkut mengenai perlindungan terhadap merek terkenal dan adanya sikap antisipasi dari pihak Ditjen HKI terhadap pendaftar merek terutama pemohon yang berindikasi memiliki itikad tidak baik serta memberikan perluasan terhadap definisi merek terkenal tersebut pada hukum positif Indonesia. 89
2. Bagi pengusaha, perlu kesadaran untuk mendaftarkan merek dagangnya atau merek jasanya agar mendapatkan perlindungan hukum, sehingga apabila terjadi sengketa merek yang berkenaan dengan mereknya, pemilik merek tersebut dapat membuktikan bahwa dia pemilik merek yang sah dan dapat mengajukan gugatan melalui Pengadilan Niaga. 3. Bagi masyarakat, perlu adanya penyampaian informasi kepada masyarakat luas mengenai merek dan sanksi yang didapatkan apabila ketentuan dalam UU Merek tersebut dilanggar sehingga dapat tercipta kepastian hukum dan penegakan hukum di Indonesia dapat berjalan dengan baik. 90