BAB I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Penyakit ginjal kronis (Chronic Kidney Disease / CKD) merupakan masalah kesehatan baik di negara maju maupun negara berkembang (Prodjosudjadi & Suhardjono, 2009). Progresi penyakit ini untuk berkembang menjadi penyakit ginjal terminal (End Stage Renal Disease / ESRD) sulit dihindarkan. Tingkat mortalitas bertahan di atas 20 persen per tahun walaupun telah tersedia terapi dialisis, dengan setengah diantaranya berkaitan dengan penyakit kardiovaskular (Go et al., 2004). Faktor lain yang turut memperberat pasien adalah biaya yang cukup besar untuk perawatan penyakit ginjal terminal sehingga sangat membebani dari aspek ekonomi (Prodjosudjadi & Suhardjono, 2009). Di negara-negara berkembang, baik dialisis dan transplantasi ginjal telah tersedia, namun dengan biaya yang sangat mahal. Biaya untuk terapi pengganti ginjal diperkirakan mencapai 1 triliun dolar Amerika di seluruh dunia (Floege et al., 2010). Penyakit ginjal kronis menyerang kurang lebih 13% populasi Amerika Serikat (Coresh et al., 2007). Prevalensi CKD di Amerika menunjukkan angka sebagai berikut : 1.8% untuk stadium 1, 3.2% untuk stadium 2, 7.7% untuk stadium 3, dan 0.35% untuk stadium 4 dan 5. Pasien pada stadium 3 dan 4 akan berkembang menjadi stadium 5 dengan tingkat kecepatan 1.5% per tahun (Thomas et al., 2008). Berdasarkan data dari National Kidney Foundation, jumlah pasien dengan gagal ginjal yang diterapi dengan dialisis dan tranplantasi 1
2 telah meningkat di Amerika Serikat dari 209.000 pasien pada tahun 1991 menjadi 472.000 pasien pada tahun 2004. Lebih dari 400.000 penduduk Amerika Serikat menderita penyakit ginjal terminal, dan lebih dari 300.000 diantaranya membutuhkan terapi dialisis (Go et al., 2004). Penyakit penyakit infeksi masih menjadi penyebab utama mortalitas dan morbiditas di negara berkembang, namun jumlah penyakit kardiovaskular dan penyakit noninfeksius lainnya terus mengalami peningkatan, salah satunya penyakit ginjal kronis (Prodjosudjadi & Suhardjono, 2009). Jumlah pasien dengan penyakit ginjal kronis akan terus meningkat dengan bertambahnya populasi lanjut usia dan peningkatan jumlah pasien diabetes dan hipertensi (Thomas et al., 2008). Di Indonesia, jumlah penderita penyakit ginjal kronis meningkat dan telah menjadi masalah sosial, ekonomi, dan kesehatan yang membebani pasien dan keluarganya (Prodjosudjadi & Suhardjono, 2009). Penyakit ginjal kronis merupakan salah satu komplikasi gagal ginjal akut (Acute Renal Failure (ARF) / Acute Kidney Injury (AKI)). Cedera iskemia/reperfusi (Cedera I/R) pada ginjal diketahui merupakan penyebab AKI yang paling sering dijumpai. Lebih dari 70% kasus AKI dapat berkembang menjadi gagal ginjal kronis (Bonventre & Yang, 2011). Penurunan perfusi ginjal yang diakibatkan karena ketidakseimbangan antara mediator vasokonstriksi dan vasodilatasi berperan dalam proses cedera I/R dan komplikasi kronisnya (Molitoris & Sutton, 2004). Saat ini, perhatian lebih banyak diberikan kepada kejadian yang berlangsung selama proses cedera I/R, sedangkan efek jangka panjangnya belum banyak dipelajari. Melihat hal tersebut, penelitian ini mencoba
3 untuk memeriksa efek kronis dari AKI yang diinduksi oleh cedera I/R tunggal dan berulang, khususnya melihat efek ekspansi sel interstisial ginjal. Pada model cedera I/R pada ginjal, telah diketahui terjadi peningkatan ekspresi Reactive Oxygen Species (ROS) (Arfian et al., 2012) yang dapat mengakibatkan insufisiensi ginjal karena ekspansi area interstitial dan matriks ekstraseluler yang menghambat proliferasi sel epitel tubulus (Kim et al., 2010). Proses fibrogenesis pada ginjal ditunjukkan oleh ekspansi area interstitial. Fibrosis interstitial ginjal dianggap merupakan karakteristik penyakit ginjal progresif dengan fibroblast dan myofibroblast merupakan sel efektor kunci pada fibrogenesis ginjal yang bertanggungjawab dalam sintesis dan deposisi komponen matriks ektraseluler (Strutz & Zeisberg, 2006). Fibroblast merupakan sel utama di area interstitial yang berfungsi untuk menghubungkan tubulus, pembuluh darah, dan struktur - struktur lainnya (Gilbert & Cooper, 1999). Fibroblast yang memiliki sifat kontraktil disebut sebagai myofibroblast (Tomasek et al., 2002). Deposisi matriks ekstraseluler pada kejadian fibrosis interstitial diketahui merupakan tanggungjawab myofibroblast (Qi et al., 2006). Pembentukan myofibroblast merupakan faktor kunci terjadinya gagal ginjal kronis yang akan menyebabkan stadium terminal dari gagal ginjal berupa fibrosis ginjal. Beberapa dekade terakhir, penelitian-penelitian telah mencoba memeriksa sel yang menyebabkan terbentuknya myofibroblast. Pericitus (pericyte) dan fibroblast telah diketahui sebagai sumber myofibroblast pada fibrosis ginjal dengan penelitian menggunakan metode perunutan sel secara
4 genetik (genetic lineage study) (Asada et al., 2011). Stres mekanik, sitokin, dan faktor-faktor lainnya dapat menginduksi fibroblast menjadi myofibroblast (Hinz, 2010). Platelet Derived Growth Factor juga telah dilaporkan berperan dalam peran fibroblast dan sel pericitus pada penyembuhan luka (Rajkumar et al., 2006). Pemahaman tentang asal dan jalur diferensiasi myofibroblast secara invivo sangat penting dalam penemuan strategi baru untuk penanganan fibrosis, khususnya ginjal. Myofibroblast merupakan sel kontraktil yang memiliki kemampuan mensekresikan matriks ekstraseluler. Myofibroblast dipercaya berasal dari sel perivaskular spesifik yang dikenal sebagai sel stellata hepar (Friedman et al., 1989). Sejumlah jalur sinyal kemokin berperan dalam mekanisme fibrogenesis, diantaranya kelompok reseptor kemokin CXC- dan CC- yang telah diketahui berfungsi sebagai regulator dalam proses ini, khususnya CCL3 dan CCL2. Reseptor CCL3 dan CCL2 merupakan kemotaktik pada sel fagosit mononuklear yang telah diidentifikasi sebagai mediator pro fibrosis (Wynn, 2008). Pada penyakit ginjal kronis, selain menyebabkan fibrosis ginjal, disfungsi fibroblast juga dapat menyebabkan anemia. Fibrosis ginjal diperantarai oleh akumulasi fibroblast, sedangkan anemia diperantarai oleh berkurangnya produksi erithropoietin, hormon yang menstimulasi proses eritropoiesis (Asada et al., 2011). Eritropoietin (EPO) adalah hormon yang esensial untuk produksi sel darah merah dan produksinya sangat berkurang pada pasien dengan penyakit ginjal kronis (Erslev & Besarab, 1997). Penelitian dengan menggunakan hibridisasi in situ dan mencit transgenik mengindikasikan bahwa EPO diproduksi oleh
5 fibroblast interstitial di korteks bagian dalam dan medula bagian luar dari organ ginjal (Obara et al., 2008). Anemia merupakan keadaan kurangnya kadar hemoglobin. Telah diketahui bahwa anemia merupakan salah satu komplikasi penyakit ginjal kronis, tetapi belum banyak penelitian mengenai hubungan anemia dengan ekspansi sel interstitial, khususnya fibroblast, sebagai "hallmark" dari penyakit ginjal kronis. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui kejadian pada penyakit ginjal kronis yang diinduksi dari cedera I/R tunggal dan berulang, karena masih terbatasnya penelitian tentang hal tersebut. Penelitian ini juga bertujuan untuk melihat potensi anemia sebagai penanda penyakit ginjal kronis dan fibrosis ginjal yang sangat sulit diketahui pada pasien, beserta hubungannya dengan ekspresi eritropoetin sebagai growth factor yang berfungsi untuk memacu perkembangan dan maturasi sel darah merah. I.2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Apakah terdapat korelasi antara ekspansi sel interstitial ginjal dengan konsentrasi hemoglobin pada ginjal sebagai efek akut dan kronis cedera iskemia/reperfusi tunggal dan berulang pada mencit?
6 2. Apakah terdapat korelasi antara ekspansi sel interstitial ginjal dengan ekspresi eritropoietin pada ginjal sebagai efek akut dan kronis cedera iskemia/reperfusi tunggal dan berulang pada mencit? I.3. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini yaitu : 1. Mengkaji korelasi antara ekspansi sel interstitial ginjal dengan konsentrasi hemoglobin pada ginjal sebagai efek akut dan kronis cedera iskemia/reperfusi tunggal dan berulang pada mencit. 2. Mengkaji korelasi antara ekspansi sel interstitial ginjal dengan ekspresi eritropoietin pada ginjal sebagai efek akut dan kronis cedera iskemia/reperfusi tunggal dan berulang pada mencit. I.4. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian mengenai efek cedera I/R telah banyak dilakukan. Penelitian-penelitian tersebut diantaranya membahas mengenai efek akut (Acute Kidney Injury) cedera I/R. Telah banyak pula penelitian mengenai kondisi anemia dan eritropoietin dalam kaitannya dengan penyakit ginjal kronis. Penelitian mengenai efek kronis kondisi gagal ginjal akut sebagai akibat cedera I/R tunggal dan berulang masih belum banyak dikaji. Beberapa penelitian sebelumnya yang memiliki ruang lingkup yang serupa antara lain:
7 1. Asada et al. (2014) meneliti tentang disfungsi fibroblast yang berakibat pada fibrosis ginjal dan anemia. Penelitian ini menyimpulkan bahwa transdiferensiasi fibroblast menjadi myofibroblast menyebabkan penurunan produksi eritropoietin yang pada akhirnya mengakibatkan terjadinya anemia pada penyakit ginjal kronis. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan mencit yang dilabel dengan myelin P0-Cre untuk melihat distribusi fibroblast pada ginjal. 2. Basile et al. (2001) meneliti tentang efek jangka panjang dari cedera I/R pada ginjal. Hasil dari penelitian ini menunjukkan adanya kerusakan peritubuler yang permanen dan berimplikasi pada penurunan fungsi ginjal. Pada penelitian ini dilakukan induksi cedera iskemia/reperfusi tunggal pada mencit yang diikuti dengan observasi mengenai efek kronisnya secara periodik. I.5. Manfaat Penelitian 1. Manfaat teoretis Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya pengetahuan mengenai patofisiologi cedera I/R pada ginjal serta efek kronisnya dan mampu memperjelas peran fibroblast dalam proses fibrogenesis ginjal. 2. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan mampu memberikan alternatif baru dalam bidang klinis mengenai penggunaan penanda baru dalam penegakan
8 diagnosis terkait gagal ginjal serta memberikan alternatif terapi baru pada kasus gagal ginjal akut maupun kronis. 3. Manfaat bagi masyarakat Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi pada masyarakat mengenai alternatif diagnosis dan terapi baru pada kasus gagal ginjal akut maupun kronis.