Jurnal Komunikasi Universitas tarumanagara, Tahun I/01/2009 RUBRIK RESENSI KEBEBASAN ATAU KEBABLASAN PERS KITA Eko Harry Susanto e-mail : ekohs@centrin.net.id Judul Buku : Keutamaan di Balik Kontroversi Undang Undang Pers Penulis : Wina Armada Sukardi Tebal : xii + 232 halaman Penerbit : Dewan Pers Tahun : November 2007 K ebebasan Pers semula ibarat menunggu Godot, hanya menjadi angan angan belaka pada era pemerintahan Presiden Soeharto. Tetapi sesungguhnya jika merujuk kepada aspek historis, ternyata pada masa Presiden Soekarno, di luar sistem politik liberal yang memakai Undang Undang Dasar Sementara Tahun 1950, kebebasan pers menjadi semacam duri yang mengganggu ketenangan pemerintah. Memang pada mulanya, dua masa pemerintahan itu, menyuarakan tentang pentingnya kemerdekaan pers dan perlunya hubungan yang harmonis antara pemerintah dengan pers. Dengan kata lain, ada masa bulan madu antara penguasa dan pers. Namun sejalan dengan berbagai kebijakan yang dikritik oleh pers, maka bulan madu antara pemerintah dan pers menjadi pudar. Pers dinilai serbagai batu sandungan yang tidak sejalan dengan penguasa, padahal di negara berkembang, para elite dalam kekuasaan negara cenderung mengharapkan pers memihak kepada pemerintah. Tentu saja ini sulit untuk dicapai, mengingat pers juga memiliki fungsi kontrol sosial yang kuat. Namun persoalannya, pemerintah dapat mengeluarkan aneka kebijakan yang intinya berupaya mengendalikan pers. Bermacam macam dalih dilakukan untuk mengontrol pers, atau dalam bahasa politik perlu membina, melalui aneka kebijakan, termasuk mengkaitkan dengan simbol yang disakralkan secara integralistik oleh penguasa. Alasan yang dikemukakan adalah demi harmonisasi, keselarasan dan aneka jargon politik lain, yang sesungguhnya membatasi kebebasan. Seperti halnya harmoni, pada satu sisi menunjukkan hubungan yang indah antara pers, masyarakat dan pemerintah, tetapi pada sisi lain, harmoni dapat ditafsirkan menurut kemauan pemegang kerkuasaan. Alhasil, mereka yang berada diluar gelanggang dan tidak bisa masuk dalam border line harmoni, dianggap kontra pemerintah maupun kekuasaan negara. Dengan kata lain jika pers tidak sejalan dengan kehendak pemerintah, sebagaimana dalam Teori Media Pembangunan Denis MacQuail, maka diasumsikan Peresensi adalah dosen dan Dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanagara. ISSN : 2085 1979 73
Eko Harry Susanto: Kebebasan atau Kebablasan Pers Kita melanggar aturan yang telah ditetapkan pemerintah. Padahal jika politik negara membelenggu pers melalui kontrol ketat, maka informasi yang didifusikan tidak sepenuhnya mencerminkan aspek faktual. Pengorganisasian pesan sebelum sampai ke khalayak, harus melalui proses panjang yang selalu merujuk kepada aspek harmonisasi dan stabilitas keamanan. Terhadap media yang melanggar ketentuan ini, pemerintah memiliki jurus jitu, yaitu pembekuan Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUPP) atau lebih dikenal sebagai pembredelan. Namun ketika teknologi komunikasi menjadi dominan sebagai pesaing media konvensional pada kurun waktu 2005 an, maka masyarakatpun memiliki alternatif sumber informasi, seperti media online dari berbagai belahan dunia, dan jaringan eletronik lain yang tersambung internet. Secara substansial, dalam konteks berita politik dan informasi seputar kebijakan yang menyimpang, media konvensional diposisikan hanya pelengkap bagi kelompok terdidik, komunitas perkotaan dan kelompok lain yang memiliki akses informasi lebih luas serta tidak mengandalkan media konvensional. Berpijak pada kebebasan ataupun kemerdekaan media media alternatif maupun pers di negara maju, maka ketika terjadi reformasi politik, tuntutan masyarakat agar pers diberi kebebasan dalam menyebarkan informasipun menguat. Dalam buku Keutamaan di Balik Kontroversi Undang-Undang Pers, menandaskan bahwa, reformasi politik di Indonesia membawa implikasi besar dalam kemerdekaan pers. Para wartawan dan pekerja pers yang selama ini ditindas segera memanfaatkan perluang untuk melepaskan belenggu kontrol yang mematikan. Undang- Undang Pers No.21 Tahun 1982, diganti dengan UU No. 40 tahun 1999 yang demokratis dan sejalan dengan semangat reformasi maupun tuntutan keterbukaan. Kemerdekaan pers dijamin sebagai hak azasi warganegara, oleh karena itu tidak ada penyensoran, pembredelan dan pelarangan penyiaran. Selain itu pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Faktor lain yang sangat progresif, adalah tidak ada wadah tunggal organisasi pers. Padahal Pemerintahan Presiden Soeharto mengandalkan berbagai wadah tunggal di berbagai bidang, diposisikan sebagai sub-ordinat kekuasaan negara untuk mempermudah pengawasan. Dibandingkan dengan UU No. 21 tahun 1982, maka isi UU No. 40 Tahun 1999, lebih demokratis dan memberikan kebebasan kepada para pekerja ataupun jurnalis media. Namun masalahnya, dalam penerapan, ternyata banyak ketentuan mengambang, sehingga sulit mengaplikasikan dalam realitas jurnalisme. Misalnya, tercantum di halaman 26 buku ini, asas check and balance seperti yang diperintahkan undang undang, siapa yang berhak untuk mengontrol. Bisa saja, kelompok masyarakat melakukan kontrol terhadap media secara anarkis, ketika mereka menilai pers tidak berimbang. Demikian juga, siapa yang akan memantau pers harus berbadan hukum, mengingat dalam UU disebutkan pers harus berbadan hukum. Masih ada beberapa masalah krusial lain yang terdapat dalam UU No. 40 Tahun 1999, seperti kesejahteraan wartawan dan karyawan pers, pemilikan saham, pembagian laba bersih dan bentuk kesejahteraan lainnya, yang tidak mudah untuk diaplikasikan di lingkungan institusi pers. Tampaknya ada kecenderungan UU ini, lebih menekankan perlindungan terhadap wartawan dari penekanan eksekutif maupun masyarakat luas. Tetapi di pihak lain, sepertinya 74 ISSN : 2085 1979
Jurnal Komunikasi Universitas tarumanagara, Tahun I/01/2009 mengabaikan posisi wartawan terhadap pemilik modal. Tidak hanya itu, Pemimpin Redaksipun dapat diganti dan dipecat kapan saja sekehendak pemilik perusahaan. Mengingat kelemahan kelemahan tersebut, muncul perdebatan tentang perlu tidaknya Undang Undang No. 40 tahun 1999 ditinjau ulang. Terhadap kondisi ini, terdapat kelompok yang secara absolut menentang adanya proses revisi atau perubahan, dengan alasan, UU No. 40 Tahun 1999 adalah buah reformasi, dan masih efektif mendukung kemerdekaan pers. Oleh karena itu, pelaksanaan revisi dikhawatirkan justru akan mengingkari semangat reformasi. Sedangkan kelompok yang absolut menghendaki agar undang undang itu segera diubah, berargumentasi bahwa, UU No. 40 Tahun 1990, secara yuridis mengandung cacat. Undang Undang itu hanya sedikit memberikan kontribusi, manfaat kepada masyarakat, bangsa dan negara dalam kesejahteraan maupun demokrasi. Sementara itu, pers dimanfaatkan untuk merusak supremasi hukum secara tidak demokratis, melalui pemberitaan yang mengandung pembunuhan karakter. Akibatnya bukan pendidikan politik dan hukum yang diberikan oleh pers, tetapi justru memicu tindakan anarki maupun amuk massa di masyarakat. Pada hakikatnya, kebebasan pers diasumsikan kearah kebabalasan yang merugikan. Padahal masyarakat sampai saat ini masih perlu belajar mematangkan demokrasi universal di Indonesia. Di antara yang pro dan kontra terhadap revisi UU No. 40 Tahun 1999 itu, terdapat kelompok moderat, yang setuju dilakukan perubahan dengan catatan tidak menganggu gugat kemerdekaan pers dan untuk kepentingan pers, bukan dimanfaatkan oleh kelompok kepentingan lainya. Melengkapi kontroversi kemerdekaan pers, buku ini juga mengulas Hak Jawab, Dilema Pertanggungjawaban Pers, Kode Etik Jurnalistik dan berbagai masalah lain, terkait dengan aspek hukum maupun keutamaan Undang Undang tentang Pers. Namun, yang cukup penting untuk diapresiasi adalah, penulis buku yang juga anggota Dewan Pers dan Sekjen Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) adalah, pemaparan solusi fleksibel yang terdiri dari lima belas butir rekomendasi, menyangkut aspek hukum, kemerdekaan pers, standar kompetensi wartawan, pendayagunaan media watch dan masalah lain yang menyangkut tugas jurnalistik. Pada intinya, buku ini cocok dibaca wartawan, pemilik modal institusi pers, mahasiswa Ilmu Komunikasi dan bidang ilmu lain yang berhubungan dengan kebebasan informasi, serta masyarakat yang berminat terhadap demokratisasi pers di era reformasi. Tetapi bagi pembaca yang cukup awam terhadap persoalan hukum, sepertinya perlu lebih teliti membaca beragam istilah hukum yang dijelaskan sepintas. Namun, tidak bisa diabaikan, bahwa buku karya lulusan Fakultas Hukum UI tersebut, bermanfaat untuk memahami tentang makna kebebasan ataukah kebablasan pers di Indonesia. ISSN : 2085 1979 75