BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA

dokumen-dokumen yang mirip
BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa,

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perilaku seksual merupakan segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat

BAB I PENDAHULUAN. dari 33 menjadi 29 aborsi per wanita berusia tahun. Di Asia

PERILAKU SEKSUAL WABAL DI TINJAU DARI KUALITAS KOMUNIKASI ORANG TUA-ANAK TENTANG SEKSUALITAS S K R I P S I

BAB I PENDAHULUAN. yang belum menikah cenderung meningkat. Hal ini terbukti dari beberapa

BAB 1 PENDAHULUAN. remaja-remaja di Indonesia yaitu dengan berkembang pesatnya teknologi internet

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. menuju masyarakat modern, yang mengubah norma-norma, nilai-nilai dan gaya

BAB I PENDAHULUAN. berbagai tantangan dan masalah karena sifatnya yang sensitif dan rawan

BAB 1 PENDAHULUAN. yang rata-rata masih usia sekolah telah melakukan hubungan seksual tanpa merasa

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.

BAB 1 PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa peralihan dari kanak-kanak ke dewasa yang

SKRIPSI. Proposal skripsi. Skripsi ini Disusun untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Ijazah S-1 Kesehatan Masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Periode perkembangan manusia terdiri atas tiga yaitu masa anak-anak,

BAB 1 PENDAHULUAN. dipungkiri kenyataan bahwa remaja sekarang sudah berperilaku seksual secara bebas.

BAB 1 PENDAHULUAN. Y, 2009). Pada dasarnya pendidikan seksual merupakan suatu informasi

BAB I PENDAHULUAN. atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa dewasa yang meliputi

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Masa remaja merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah. Pada perkembangan zaman saat ini, perilaku berciuman ikut dalam

BAB I PENDAHULUAN. Remaja merupakan masa transisi dari anak-anak menuju dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Namun demikian, orang tua masih

BAB I PENDAHULUAN. mengalami transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa disertai dengan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Remaja sejatinya adalah harapan semua bangsa, negara-negara yang

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa yang

BAB I PENDAHULUAN. dengan orang lain, perubahan nilai dan kebanyakan remaja memiliki dua

BAB I PENDAHULUAN. tahun dan untuk laki-laki adalah 19 tahun. Namun data susenas 2006

BAB I PENDAHULUAN. I.1. Latar Belakang. Di seluruh dunia, lebih dari 1,8 miliar. penduduknya berusia tahun dan 90% diantaranya

BAB 1 : PENDAHULUAN. produktif. Apabila seseorang jatuh sakit, seseorang tersebut akan mengalami

HUBUNGAN KEINTIMAN KELUARGA DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA MAHASISWA PROGRAM STUDI D3 KEBIDANAN POLTEKKES BHAKTI MULIA

BAB I PENDAHULUAN. Remaja adalah masa peralihan dari masa kanak-kanak menuju masa. reproduksi sehingga mempengaruhi terjadinya perubahan perubahan

BAB I PENDAHULUAN. melalui perubahan fisik dan psikologis, dari masa kanak-kanak ke masa

BAB I PENDAHULUAN. masa remajanya dengan hal-hal yang bermanfaat. Akan tetapi banyak remaja

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja adalah masa terjadinya perubahan-perubahan baik perubahan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Perkembangan zaman yang semakin pesat, menuntut. masyarakat untuk bersaing dengan apa yang dimilikinya di era

BAB I PENDAHULUAN. saat usia remaja terjadi peningkatan hormon-hormon seksual. Peristiwa

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah-masalah pada remaja yang berhubungan dengan kesehatan

mengenai seksualitas membuat para remaja mencari tahu sendiri dari teman atau

KUESIONER KESEHATAN REPRODUKSI REMAJA PONDOK PESANTREN GEDONGAN KABUPATEN CIREBON

BAB 1 : PENDAHULUAN. remaja tertinggi berada pada kawasan Asia Pasifik dengan 432 juta (12-17 tahun)

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat diwujudkan dalam tingkah laku yang bermacam-macam, mulai dari

BAB I PENDAHULUAN. Perkembangan era global saat ini membawa remaja pada fenomena maraknya

BAB 1 PENDAHULUAN. berbagai pengenalan akan hal-hal baru sebagai bekal untuk mengisi kehidupan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja adalah masa peralihan diantara masa kanak-kanak dan dewasa.

HUBUNGAN ANTARA PERILAKU ASERTIF DENGAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA REMAJA PUTRI. Skripsi

BAB II KAJIAN PUSTAKA. 1. Pengertian Perilaku Seksual Pranikah

BAB 1 PENDAHULUAN. Konsep diri adalah cara individu dalam melihat pribadinya secara utuh,

BAB I PENDAHULUAN. perilaku remaja dalam pergaulan saat ini. Berbagai informasi mampu di

BAB 1 PENDAHULUAN. Undang-Undang No.23 Tahun 1992 mendefinisikan bahwa kesehatan

BAB 1 : PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Perilaku kesehatan reproduksi remaja semakin memprihatinkan. Modernisasi,

BAB 1 PENDAHULUAN. Perkembangan fisik remaja di awal pubertas terjadi perubahan penampilan

BAB 1 PENDAHULUAN. manusia yang didalamnya penuh dengan dinamika. Dinamika kehidupan remaja ini

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

BAB 1 PENDAHULUAN. Statistik (BPS) Republik Indonesia melaporkan bahwa Indonesia memiliki

BAB I PENDAHULUAN. penduduk dunia merupakan remaja berumur tahun dan sekitar 900

BAB 1 PENDAHULUAN. pencegahan IMS yang dilaksanakan di banyak negara, nampaknya belum

BAB 1 PENDAHULUAN. bisa sembuh, menimbulkan kecacatan dan juga bisa mengakibatkan kematian.

BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB 1 PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan suatu masa dalam perkembangan hidup manusia. WHO

BAB I PENDAHULUAN. seksual, baik dengan lawan jenis maupun dengan sesama jenis (Sarwono, 2013).

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian Masa remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa yang jangka

BAB I PENDAHULUAN. petualangan dan tantangan serta cenderung berani menanggung risiko atas

BAB 1 PENDAHULUAN. sama yaitu mempunyai rasa keingintahuan yang besar, menyukai pertualangan dan

BAB I PENDAHULUAN. sehingga memunculkan masalah-masalah sosial (sosiopatik) atau yang biasa

BAB I PENDAHULUAN. dewasa. Dalam masa ini remaja mengalami pubertas, yaitu suatu periode

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang .

SKRIPSI Diajukan UntukMemenuhi Salah Satu Persyaratan Meraih Derajat Sarjana S-1 Keperawatan. Oleh : ROBBI ARSYADANI J

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. terjadinya peningkatan minat dan motivasi terhadap seksualitas. Hal ini dapat

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN A. Latar belakang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. latin adolescere yang berarti tumbuh atau tumbuh menjadi dewasa. Latifah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar belakang masalah. peka adalah permasalahan yang berkaitan dengan tingkat kematangan seksual

BAB I PENDAHULUAN. menjadi yang terunggul dalam berbagai aspek kehidupan. Pembangunan sumber daya

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, yang juga mengubah normanorma,

PENGARUH PENDIDIKAN KESEHATAN TENTANG PENYAKIT MENULAR SEKSUAL TERHADAP PERUBAHAN PENGETAHUAN DAN SIKAP SISWA SMAN 8 SURAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. kematangan mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 2007). World Health

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pada masa transisi yang terjadi di kalangan masyarakat, secara khusus

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. Kesehatan reproduksi mempengaruhi kualitas sumber daya manusia,

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Remaja merupakan salah satu tahap dalam kehidupan manusia. Tahap ini

BAB I PENDAHULUAN. Masa remaja merupakan masa transisi antara masa kanak-kanak dan masa

BAB 1 PENDAHULUAN. seksual. Kondisi yang paling sering ditemukan adalah infeksi gonorrhea,

, 2015 GAMBARAN KONTROL DIRI PADA MAHASISWI YANG MELAKUKAN PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH

BAB I PENDAHULUAN. data BkkbN tahun 2013, di Indonesia jumlah remaja berusia tahun sudah

BAB I PENDAHULUAN. dibandingkan dengan remaja di perkotaan. Dimana wanita dengan pendidikan yang

BAB I PENDAHULUAN. Remaja diidentifikasikan sebagai masa peralihan antara anak-anak ke masa

BAB II TINJAUAN TEORI

BAB I PENDAHULUAN. ketergantungan sosial-ekonomi secara total ke arah ketergantungan yang

BAB I PENDAHULUAN. dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, yang juga mengubah

BAB I PENDAHULUAN Latar Belakang. Seks bebas atau dalam bahasa populernya disebut extra-marital intercouse

BAB I PENDAHULUAN. Tri Lestari Octavianti,2013 GAMBARAN PENGETAHUAN REMAJA TENTANG SEKS BEBAS DI SMA NEGERI 1 KADIPATEN KABUPATEN MAJALENGKA

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Dunia mengalami perkembangan pesat diberbagai bidang di abad ke 21

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Remaja merupakan populasi yang besar dari penduduk dunia. Menurut World

BAB 1 PENDAHULUAN. jumlah remaja dan kaum muda berkembang sangat cepat. Antara tahun 1970 dan

BAB 1 PENDAHULUAN. Hubungan karakteristik..., Sarah Dessy Oktavia, FKM UI, 2009 Universitas Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. Semakin berkembangnya zaman, dan pengaruh budaya barat merubah pola pikir

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Kesehatan merupakan modal awal seseorang untuk dapat beraktifitas dan

PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH PADA SISWA SMA NEGERI 1 PALU Oleh: Rizal Haryanto 18, Ketut Suarayasa 29,

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Penyakit HIV/AIDS dan penularannya di dunia meningkat dengan cepat, sekitar 60 juta orang di dunia telah

Transkripsi:

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 PERILAKU 2.1.1 Dasar Perilaku Perilaku manusia merupakan hasil segala macam pengalaman serta interaksi manusia yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap, dan tindakan. Perilaku merupakan suatu tindakan yang mempunyai frekuensi, lama, dan tujuan khusus, baik yang dilakukan secara sadar maupun tidak sadar (Darmasih, 2009). Menurut Skinner (Darmasih, 2009), perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Perilaku manusia dari segi biologis adalah tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas seperti berjalan, berbicara, menangis, bekerja, dan sebagainya. Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus, Skinner membedakan perilaku menjadi dua: a. Perilaku Tertutup (Covert Behaviour) Ini adalah respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup. Respon terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. b. Perilaku Terbuka (Overt Behavior) Ini adalah respon seseorng terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat orang lain. Skinner mengemukakan bahwa perilaku adalah merupakan hasil hubungan antara perangsang (stimulus) dan tanggapan atau respon (Darmasih, 2009). Respon dibedakan menjadi dua respon:

1. Respondent response atau reflexive response, ialah respon yang ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu yang relatif tetap. Respon responden (respondent behaviour) mencakup juga emosi respon. 2. Operant response atau instrumental response adalah respon yang timbul dan berkembangnya diikuti oleh perangsang tertentu. Perangsang ini disebut reinforcing stimuli. Proses pembentukan atau perubahan perilaku dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor ekstrinsik atau intrinsik seseorang individu. Aspek-aspek dalam diri individu yang sangat berpengaruh dalam perubahan perilaku adalah persepsi, motivasi, dan emosi. Persepsi adalah pengamatan yang merupakan kombinasi dari penglihatan, pendengaran, penciuman, serta pengalaman masa lalu. Motivasi adalah dorongan bertindak untuk memuaskan sesuatu kebutuhan. Dorongan dalam motivasi diwujudkan dalam bentuk tindakan (Darmasih, 2009). Menurut Green, perilaku ditentukan oleh 3 faktor: 1. Faktor predisposisi (predidposing factors) yaitu faktor-faktor yang dapat mempermudah terjadinya suatu perilaku. 2. Faktor pendukung atau pemungkin (enabling factors) meliputi semua karakter lingkungan dan semua sumber daya atau fasilitas yang mendukung atau memungkinkan terjadinya suatu perilaku. 3. Faktor pendorong atau penguat (reinforcing factors) yaitu faktor yang memperkuat terjadinya perilaku antara lain tokoh masyarakat, teman atau kelompok sebaya, peraturan, undang-undang, surat keputusan dari para pejabat pemerintahan daerah atau pusat (Darmasih, 2009) 2.1.2 Perilaku Seksual pada Remaja Menurut Irawati remaja melakukan berbagai macam perilaku seksual berisiko yang terdiri atas tahapan-tahapan tertentu yaitu dimulai dari berpegangan tangan, cium kening, berpelukan, memegang atau meraba bagian sensitif, petting,

oral sex, dan atau bersenggama. Perilaku seksual pranikah pada remaja ini pada akhirnya dapat mengakibatkan berbagai dampak yang merugikan remaja itu sendiri (Darmasih, 2009). 2.2 PERILAKU SEKSUAL PRANIKAH Menurut Sarwono, perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual baik yang dilakukan sendiri, dengan lawan jenis maupun sesama jenis tanpa adanya ikatan pernikahan menurut agama. Menurut Stuart dan Sundeen (1999), perilaku seksual yang sehat dan adaptif dilakukan ditempat pribadi dalam ikatan yang sah menurut hukum. Sedangkan perilaku seksual pranikah merupakan perilaku seksual yang dilakukan tanpa melalui proses pernikahan yang resmi menurut hukum maupun menurut agama dan kepercayaan masing-masing (Darmasih, 2009). 2.2.1 Faktor Pendorong Melakukan Seks Pranikah Hurlock mengemukakan bahwa terdapat faktor ekstrinsik dan intrinsik yang mempengaruhi perilaku seksual di kalangan remaja. Faktor intrinsik merujuk kepada perubahan hormonal pada diri remaja dan tertariknya remaja pada lawan jenisnya. Biasanya remaja yang tidak bisa mengendalikan faktor intrinsik akan mengarahkannya ke perlakuan yang negatif dan menuntut untuk segera dipuaskan (Amrillah, 2006). Faktor ekstrinsik merujuk kepada hal-hal yang bisa mendorong seorang remaja untuk melakukan perilaku seks. Stimulus eksternal itu dapat diperoleh melalui pengalaman kencan, informasi tentang seksualitas, diskusi dengan teman, pengalaman masturbasi, jenis kelamin, pengaruh orang dewasa, dan majalah atau bahan pronografi. Ditambahkan oleh Chilman, faktor eksternal yang menyebabkan

perilaku remaja yang wabal 1 adalah kelompok referensi sosial. Beberapa riset menemukan adanya hubungan yang positif antara mempunyai teman yang bersikap permisif terhadap seks dengan perilaku seks yang aktif, sehingga kesimpulannya bahwa teman sebaya (peer group) itu berpengaruh kuat terhadap perilaku seksual remaja. Selain itu karakteristik psikologi, ditandai adanya penemuan bahwa baik pada remaja pria ataupun wanita yang pernah melakukan hubungan seks, berani mengambil risiko dalam hubungan seks, dan kurang religius. Remaja yang bertempat tinggal di daerah perkotaan, diperkirakan lebih banyak melakukan hubungan seks sebelum meningkah. Hal ini disebabkan karena pada daerah kota terdapat bermacammacam informasi, serta masyarakat perkotaan cenderung individualis sehingga kontrol sosial semakin berkurang. Status sosial ekonomi remaja yang pernah melakukan hubungan seks biasanya berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi rendah (Widodo, 2009). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Suryoputro tentang faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku seksual remaja di Jawa Tengah adalah, faktor internal (pengetahuan, aspek-aspek kesehatan reproduksi, sikap terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi, perilaku, kerentanan yang dirasakan terhadap risiko, kesehatan reproduksi, gaya hidup, pengendalian diri, aktifitas sosial, rasa percaya diri, usia, agama, dan status perkawinan), dan faktor eksternal (kontak dengan sumbersumber informasi, keluarga, sosial-budaya, nilai dan norma sebagai pendukung sosial untuk perilaku tertentu) (Darmasih, 2009). Berdasarkan hasil penelitian sebanyak 450 sampel tentang perilaku seksual remaja berusia 14-24 tahun mengungkapkan 64% remaja mengakui secara sadar bahwa melakukan hubungan seks sebelum menikah melanggar nilai dan moral 1 Masyarakat pada umumnya menyebut remaja putri yang mempunyai perilaku seksual bebas sebagai wabal atau wanita baulan. Wabal berasal dari bahasa jawa yang berarti wanita yang dikonsumsi atau digunakan secara bersamaan dan berdasarkan perasaan suka sama suka. Sebagian besar wabal ini masih di bangku sekolah dan kebanyakannya tinggal bersama orang tua dan kebanyakan mereka berasal dari golongan usia 15-22 tahun (Widodo, 2009).

agama. Sedangkan 31% menyatakan bahwa melakukan hubungan seks sebelum menikah adalah biasa atau sudah wajar dilakukan tidak melanggar nilai dan moral agama. Dari hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa pemahaman agama berpengaruh terhadap perilaku seks pranikah remaja (Darmasih, 2009) Seringkali remaja merasa bahwa orang tuanya menolak membicarakan masalah seks pranikah sehingga mereka kemudian mencari alternatif sumber informasi lain seperti teman atau media massa. Beberapa kajian menunjukkan bahwa remaja sangat membutuhkan informasi mengenai persoalan seksual dan reproduksi. Remaja seringkali memperoleh informasi yang tidak akurat mengenai seks dari teman-teman mereka, bukan dari petugas kesehatan, guru atau orang tua (Darmasih, 2009). Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap perilaku reproduksi remaja diantaranya adalah faktor keluarga. Remaja yang melakukan hubungan seksual sebelum menikah banyak diantara berasal dari keluarga yang bercerai atau pernah cerai, keluarga dengan banyak konflik dan perpecahan. Hubungan orang-tua yang harmonis akan menumbuhkan kehidupan emosional yang optimal terhadap perkembangan kepribadian anak sebaliknya. Orang tua yang sering bertengkar akan menghambat komunikasi dalam keluarga, dan anak akan melarikan diri dari keluarga. Keluarga yang tidak lengkap misalnya karena perceraian, kematian, dan keluarga dengan keadaan ekonomi yang kurang, dapat mempengaruhi perkembangan jiwa anak (Darmasih, 2009). Penelitian juga menyatakan bahwa siswa yang belajar di sekolah yang bertaraf tinggi dan tinggal dengan orang tua yang mempunyai prinsip hidup yang baik, tidak mahu melibatkan diri mereka dalam perilaku seks pranikah. Sebaliknya, siswa yang mempunyai pencapaian rendah dalam pelajaran; menyalahgunakan narkoba, alkohol; mendapatkan bahan porno; mempunyai peer group yang aktif dalam perilaku seks; ketidakstabilan keluarga mendorong seorang siswa atau remaja untuk melibatkan diri dalam perilaku seks pranikah. Beberapa faktor lain yang mempengaruhi perilaku

seksual pada remaja adalah perubahan hormonal, penundaan usia perkawinan, penyebaran informasi melalui media massa, tabu-larangan, norma-norma di masyarakat, serta pergaulan yang makin bebas antara laki-laki dan perempuan (Jaya, 2009). 2.2.2 Insidens Hubungan Seks Pra-Nikah WHO melihat 340.000.000 wabah infeksi menular seksual bisa diobati setiap tahun dan global pada orang usia 15 hingga 49 tahun. Penyakit ini termasuk gonore tidak hanya klamidia dan trikomoniasis. Insiden gonore tertinggi berada di Asia Selatan dan Tenggara serta di sub-sahara Afrika. Sejumlah meningkatnya infeksi gonore non-diobati telah dilaporkan di Jepang, Hong Kong, China, Australia, dan bagian lain di Asia. Di Amerika Serikat, hampir 75 persen dari semua kasus yang dilaporkan ditemukan pada orang antara 15 dan 29 tahun. Statistik secara konsisten menunjukkan bahwa gadis-gadis remaja yang paling mungkin terinfeksi gonore di Amerika Utara. Gonore menunjukkan tingkat tertinggi infeksi ditemukan pada wanita 15-19 tahun penyakit radang panggul. (PID), yang disebabkan oleh gonore, mempengaruhi satu juta wanita setiap tahun. Tingkat tertinggi pada pria yang berada di antara 20 dan 24 tahun (WHO, 2010). 2.3 IMPLIKASI HUBUNGAN SEKSUAL PRANIKAH 2.3.1 Kehamilan yang Tidak Diinginkan Kehamilan yang tidak dikehendaki dapat menimbulkan dampak buruk kepada janin ibu ataupun anak setelah lahir. Banyak wanita yang tidak menginginkan kehamilannya, berupaya menggugurkan kandungan dengan meminum obat-obat tertentu atau melakukan aborsi. Kehamilan yang tidak dikehendaki dan aborsi merupakan dua hal yang saling berkaitan. Kehamilan saat remaja akan menimbulkan posisi remaja dalam situasi yang serba salah dan memberikan tekanan batin/stres (Sinaga, 2007).

Hasil Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia 2002 2003 menunjukkan sekitar 17% kehamilan masuk dalam kategori tidak diinginkan, baik karena tidak tepat waktu maupun karena tidak ingin hamil lagi. Tingginya kehamilan tidak diinginkan (KTD) ini erat kaitannya dengan aborsi. Dari estimasi jumlah aborsi per tahun di Indonesia bisa mencapai sekitar 2,4 juta, sekitar 800.000 di antaranya terjadi di kalangan remaja (Aprillia, 2009). 2.3.2 Aborsi yang Tidak Aman Dalam kamus umum Bahasa Indonesia abortus didefinisikan sebagai terjadi keguguran janin; melakukan abortus sebagai melakukan penguguran (dengan sengaja karena tidak menginginkan bakal bayi yang dikandung itu). Terdapat beberapa jenis aborsi yaitu: a) Spontaneous abortion: aborsi yang berlaku disebabkan oleh trauma kecelakaan atau sebab- sebab alami b) Therapeutic abortion: penguguran yang dilakukan karena kehamilan tersebut mengancam kesehatan jasmani si ibu, terkadang dilakukan sesudah pemerkosaan c) Eugenic abortion: penguguran yang dilakukan terhadap janin yang cacat d) Elective abortion: penguguran yang dilakukan untuk alasan alasan yang lain. e) Abortus imminens: peristiwa terjadinya pendarahan dari uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu, di mana hasil konsepsi masih dalam uterus dan tanpa adanya dilatasi serviks f) Abortus insipiens: peristiwa pendarahan dari uterus pada kehamilan sebelum 20 minggu dimana hasil konsepsinya masih dalam uterus dan terdapat dilatasi serviks. g) Abortus provokatus medicinalis: aborsi yang dilakukan demi menyelamatkan nyawa si ibu.

h) Abortus provokartus kriminalis: abortus yang dilakukan dengan menggunakan alat- alat atau obat- obat tertentu. Ia sering terjadi pada keadaan yang tidak dikehendaki. Aborsi yang tidak aman adalah penghentian kehamilan yang dilakukan oleh orang yang tidak terlatih atau tidak berkompeten dan menggunakan sarana yang tidak memadai, sehingga menimbulkan banyak komplikasi bahkan kematian. Aborsi yang tidak aman terjadi karena tidak tersedianya pelayanan kesehatan yang memadai. Apalagi bila aborsi dikategorikan tanpa indikasi medis seperti korban perkosaan, dan hamil di luar nikah (Sinaga, 2007). Menurut WHO dari 46 juta aborsi/ tahun, 20 juta dilakukan dengan tidak aman, 800 wanita diantaranya meninggal karena komplikasi aborsi tidak aman dan sekurangnya 13 % kontribusi Angka Kematian Ibu Global. Dari suatu penelitian pada 10 kota besar dan enam kebupaten memperlihatkan 53%. Kasus aborsi yang ditangani dukun bayi sebesar 11% di kota dan 70% di Kabupaten dan dari semua titik pelayanan 54 % di kota dan 85% di kabupaten dilakukan oleh swasta (Sinaga, 2007). Data di Beberapa Negara Selain Indonesia Di Hungaria misalnya, tingkat kehamilan per 1000 wanita pada tahun 1984 adalah 80,4. Di Selandia Baru angka kehamilan pada remaja menunjukkan 46 per 1000 wanita. Angka-angka yang lebih rendah ditemukan di Inggris (44,7), Swedia (4,2), Finlandia (32,1), dan Denmark (27,9). Di Eropa angka hubungan seksual dan kehamilan pada remaja yang terkecil adalah di Nederland (12,1). Di Jepang tingkat kehamilan pada remaja masih lebih kecil dari Nederland. hanya 10,5 per 1000 wanita. Dari kesemuanya tingkat kehamilan pada remaja yang terbesar adalah di Amerika Serikat, sekitar 98 dari per 1000 wanita. Malang bagi janin dalam rahim pada remaja itu. Penyebabnya adalah makin tidak populernya pemeliharaan kehamilan. Pengguguran makin sering menjadi pilihan. Jumlah

pengguguran makin banyak dan terus meningkat semenjak tahun tujuh puluhan. Angka terbesar pengguguran ditemukan di Denmark, Jepang, dan Swedia, yaitu sekitar 60% dari kehamilan. Di Finlandia dan Norwegia satu diantara dua kehamilan berakhir dengan pengguguran. Meskipun tingkat kehamilan di AS paling tinggi, tetapi persentase yang digugurkan kurang dari 50%. Di negaranegara Eropa Timur seperti Chekoslovakia, Jertim, dan Hungaria, serta di Selandia Baru sekitar seperempat dari kehamilan digugurkan. Berbeda dengan tingkat kehamilan pada remaja yang lebih banyak terjadi pada remaja umur 18-19 tahun dibanding umur sebelumnya, tingkat pengguguran lebih banyak pada usia sebelum 18 tahun dibanding usia 18-19 tahun (Faturochman, 2010). 2.3.3 Penyakit Menular Seksual Persentase anak muda usia 15 24 tahun yang mempunyai pengetahuan komprehensif tentang HIV/AIDS dapat diestimasi menggunakan pendekatan indikator dari survei. Pada 2002-2003, 65,8 persen wanita dan 79,4 persen pria usia 15 24 tahun telah mendengar tentang HIV/AIDS. Pada wanita usia subur usia 15 49 tahun, sebagian besar (62,4 persen) telah mendengar HIV/AIDS, tapi hanya 20,7 persen yang mengetahui bahwa menggunakan kondom setiap berhubungan seksual dapat mencegah penularan HIV/AIDS, dan 28,5 persen mengetahui bahwa orang sehat dapat terinfeksi HIV/AIDS. Sebuah penelitian pada 2002 menunjukkan bahwa 38,4 persen dari pelajar sekolah menengah atas usia 15 19 di Jakarta secara benar menunjukkan cara mencegah penularan HIV HIV dapat ditularkan melalui hubungan seksual, tapi hanya 35 persen yang mengetahui bahwa penggunaan jarum suntik bersama dapat menularkan HIV dan 15,2 persen masih percaya bahwa kontak social biasa juga dapat menularkan HIV dan menolak konsepsi yang salah tentang penularan HIV. Penelitian lain di Jawa Barat, Kalimantan Selatan, dan NTTmenunjukkan bahwa 93,3 persen anak muda usia 15 24 tahun mengetahui bahwa hingga saat ini prevalensi HIV/AIDS pada penduduk usia 15 29 tahun diperkirakan masih di bawah

0,1 persen. Anak yang terkena dampak HIV/AIDS masih rendah jumlahnya bila dibandingkan dengan negara-negara lainnya. Jumlah kasus AIDS yang dilaporkan pada anak berusia 0 4 tahun adalah 12 orang, usia 5 14 tahun sebanyak empat orang, dan antara usia 15 19 tahun 67 orang. Jumlah ini masih jauh dibawah angka yang sebenarnya, sehingga sangat perlu untuk menggalakkan sistem pengawasan pada setiap tingkatan (Sarwanto, 2004).