BAB IV PENUTUP A. Kesimpulan Jurnalisme memiliki makna penting dalam proses politik di suatu negara. Peran penting ini semakin terasa di kala pemilihan umum, dimana masyarakat menggantungkan akses informasinya kepada media, khususnya televisi untuk menentukan pilihan. Itulah yang membuat jurnalisme berkualitas dibutuhkan bagi terciptanya demokrasi yang berkualitas pula. Peran penting jurnalisme di era demokrasi mendapat tantangan besar ketika media harus menerapkan jurnalisme yang berkualitas di tengah ketatnya persaingan media. Akhirnya, untuk bertahan hidup, media melakukan penyesuaian yang berujung pada penurunan standar jurnalistik. Secara konseptual, penurunan standar jurnalistik inilah yang disebut sebagai tabloidisasi. Penurunan pers berkualitas (quality press). Tabloidisme memiliki prinsip yang bertentangan dengan quality journalism memiliki nilai ideal berupa pelayanan kepada publik, etika, dan kedalaman. Sementara itu, tabloidisme mencari segala sesuatu untuk memenuhi kesenangan pribadi. Dalam konteks pemilihan umum, penerapan quality journalism lebih menguntungkan bagi publik, karena warga sebagai voter memerlukan informasi yang substansial dalam rangka menentukan pilihan. Sebagai voter, mereka perlu diberi supply informasi tentang jalannya proses pilkada, serta kebijakan para kandidat dalam mengatasi persoalan publik. Inilah yang tidak dapat diwujudkan oleh tabloidisme yang lebih tertarik pada sisi human interest, hot issue, serta dramatisasi untuk meraih rating. Bukan melayani publik. 162
Ironisnya, diskusi teoritis justru banyak diisi dengan kecemasan akan hadirnya tabloidisasi, yang pada akhirnya mengikis jurnalisme yang berkualitas. Terutama terhadap pers serius, yang seharusnya mengawal jurnalisme berkualitas. Penelitian ini memperoleh data yang mendukung tujuan penelitian, yaitu menggambarkan karakteristik tabloidisasi pada berita Pemilukada DKI Jakarta 2012 di Metro Hari Ini (Metro TV) dan Kabar Petang (TVOne). Dari hasil penelitian dapat dinyatakan secara jelas bahwa terdapat kecenderungan praktik tabloidisasi yang didukung dengan temuan bahwa hampir semua berita selalu menggunakan komponen tabloidisasi, minimal satu komponen. Dilihat dari proporsinya, Kabar Petang (TVOne) memiliki kecenderungan lebih tinggi dalam melakukan tabloidisasi dibandingkan Metro Hari Ini (Metro TV). Gambaran mengenai tingginya tabloidisasi ini bisa dijelaskan dengan melihat proporsi yang termasuk unsur tabloidisme dan yang tidak. Pada Metro Hari Ini, karakteristik ini ditunjukkan dengan tingginya personalisasi dan merosotnya level fakta. Sedangkan pada Kabar Petang tingginya tabloidisasi dicirikan oleh tingginya personalisasi dan sensasionalisme. Dua komponen tabloidisasi lainnya, kemunculan aktor populis dan trivialisasi juga cukup tinggi namun tidak se-signifikan yang lain. Personalisasi yang ditunjukkan dengan orientasi pemilihan topik berita yang lebih bernilai personal dibandingkan publik. Tingginya personalisasi ini menunjukkan bahwa tabloidisasi terjadi secara substansial. Baik Metro Hari Ini dan Kabar Petang memperlakukan Pemilukada DKI Jakarta 2012 sebagai ajang persaingan antar kandidat dan mengarahkan pemberitaannya untuk meliput aktivitas personal, aktivitas kampanye, profil kandidat, serta tanggapan-tanggapan personal. Proporsinya jauh melampaui topik bernilai publik seperti proses pemilukada, transportasi, lingkungan, bisnis dan ekonomi. Kedua, dari segi penggunaan aktor, yakni mereka yang diberikan ruang berbicara langsung di media, menunjukkan bahwa tipe aktor populis (warga biasa 163
dan tokoh terkenal) mulai sering digunakan. Meski jumlahnya tidak terlampau tinggi, tetapi proporsinya bisa menyamai atau bahkan melebihi aktor serius dari kalangan expert. Meski jumlah aktor serius dari kalangan kandidat dan penyelenggara pemilukada secara kuantitatif lebih besar, tetapi mereka tidak ditempatkan untuk memberikan informasi dalam kapasitasnya sebagai pejabat publik. Dengan demikian, tabloidisasi pada titik ini tidak hanya dicirikan dengan penggunaan aktor populis yang tinggi, tetapi juga reduksi peran aktor serius dalam perannya sebagai pemberi expert knowledge. Dari format berita, tercatat bahwa dalam berita pemilukada DKI Jakarta 2012, Kabar Petang sangat intens menggunakan efek dekoratif yang sering digunakan dalam hiburan. Pencampuran antara opini dan fakta menjadi penanda sensasionalisme di Kabar Petang. Program ini memperlakukan berita pemilukada DKI Jakarta 2012 dengan tidak serius. Dalam arti berita dibawakan dengan sangat cair, menjauhi standar formal. Sementara itu, Metro Hari Ini lebih berhati-hati dalam memberikan efek dekoratif. Meski demikian, Metro Hari Ini rajin melakukan rekayasa visual sebagai daya tarik beritanya. Selanjutnya, tingginya tabloidisasi diindikasikan dengan merosotnya level fakta. Pengukuran terhadap level fakta menunjukkan bahwa terdapat sejumlah formulasi yang tidak memenuhi standar jurnalisme berkualitas, tetapi sering digunakan oleh media yang menjalankan tabloidisme yaitu spekulasi, kontroversi, dan rumor. Pada Metro Hari Ini rendahnya disiplin verifikasi ini lebih tinggi dari pada Kabar Petang. Terakhir, trivialisasi menjadi indikasi adanya kecenderungan tabloidisasi. Ditunjukkan dengan adanya atribut-atribut trivial dalam berita, yang tidak memiliki relevansi dengan proses pilkada. Pemilukada ditempatkan seperti ajang perlombaan, sehingga jurnalis lebih mengejar data-data yang berkaitan dengan halhal unik tetapi tidak memiliki signifikansi untuk pemilukada. Misalnya dengan 164
menjabarkan atribut fisik, selera individu, suasana lingkungan, aktivitas emosional, bahkan pembelokan isu yang menunjukkan lemahnya penggalian data di lapangan terhadap persoalan yang relevan dengan proses pemilukada. B. SARAN Melihat pentingnya peran jurnalisme dan kenyataan bahwa eksistensi kualitasnya mulai digerogoti oleh tabloidisasi, maka praktik jurnalistik yang ada perlu dikembalikan kepada esensinya. Bahwa keberadaannya adalah melayani publik. Alasan ekonomi bisa saja diungkapkan untuk membenarkan adanya adopsi tabloidisme ini. Namun, ini bukan berarti kualitas berita bisa dikorbankan karena alasan profit media. Sebab, jauh sebelum jurnalisme menghasilkan pengaruh komersial, jurnalisme telah lebih dulu memiliki pengaruh sosial. Selama ini, praktik jurnalistik di media, khususnya televisi seolah memperkuat anggapan bahwa jurnalisme yang hanya melayani publik, sulit bertahan hidup. Karena apa yang penting dan berkualitas seringkali rumit dan membosankan. Media pun tergoda untuk melakukan tabloidisasi atau mengadopsi pola-pola jurnalisme tabloid. Padahal, tidak mesti demikian. Artinya, media sebetulnya bisa memanfaatkan perannya sebagai penyedia informasi yang berkualitas untuk memperoleh profit. Dengan memberikan informasi berkualitas dan bernilai publik tinggi, media akan mampu meraih pengaruh sosial dengan mendapatkan kepercayaan publik. Selanjutnya, dengan memperoleh kepercayaan publik, maka akan banyak pula iklan yang masuk, sehingga berpengaruh terhadap profit perusahaan media. Dengan demikian, keuntungan komersial tetap bisa didapatkan bila media secara manusiawi tetap menjalankan fungsi layanan publiknya dengan quality journalism. Sehingga, baik tanggung jawab sosial media dalam sistem demokrasi sekaligus tujuan bisnisnya dapat terpenuhi. 165
Karena itu, merujuk pada gagasan ideal jurnalisme, serta hasil penelitian yang menunjukkan tingginya tendensi untuk melakukan tabloidisasi, peneliti mengajukan beberapa rekomendasi guna kelangsungan jurnalisme berkualitas. Alangkah baiknya jika media televisi lebih memperhatikan pakem jurnalistik agar produk jurnalistiknya lebih bermanfaat bagi kepentingan publik. Sebab, produk jurnalistik merupakan acuan informasi bagi banyak orang di berbagai lapisan masyarakat. Tidak semua orang mampu melakuan filter terhadap pemberitaan. Sehingga, diperlukan proses keredaksian yang tidak terbawa arus pasar. Dengan demikian, tanggung jawab sosial dan fungsi media untuk menjadi watchdog bisa terpenuhi. Redaksi sudah pasti memiliki sumber daya yang memiliki kapasitas peliputan yang baik. Hanya saja, taste -nya rendah. Inilah yang harus diperhatikan dalam kebijakan redaksional. Dari sisi akademis, menarik kiranya untuk mengkaji perkembangan tabloidisasi di Indonesia ini dalam beragam konteks. Pertama, melihat tabloidisasi antar periode, khususnya dalam pemberitaan seputar pemilihan umum. Karena pemilihan umum, terutama pemilihan umum presiden, lebih panas, memiliki dampak yang lebih besar bagi masyarakat, dan melibatkan tokoh-tokoh yang lebih dikenal. Media tentunya akan memberikan perhatian yang lebih besar dan intens dalam memberitakan. Sehingga, aspek kuantitas beritanya lebih dikedepankan ketimbang kualitas isinya. Sebagai penyeimbang, hal-hal teknis untuk mengemas berita menjadi menarik akan lebih banyak dilakukan. Pada titik inilah, tabloidisasi dimungkinkan untuk terjadi. Penelitian tabloidisasi antar periode juga akan sangat membantu dalam menjelaskan tren tabloidisasi maupun standar untuk menilai tinggi-rendahnya tabloidisasi di Indonesia. Selain itu, kajian mengenai tabloidisasi ini dapat dikembangkan dengan metode penelitian maupun objek penelitian lain. Misalnya dengan meneliti berita 166
pemilukada pada media yang lain (koran, internet). Dengan demikian, dapat diketahui kecenderungan penerapan tabloidisasi dalam beberapa media yang berbeda. Sehingga penelitian ini dapat saling melengkapi dengan berbagai perbaikan pada operasionalisasinya. 167