BAB I PENDAHULUAN. dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus. mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran.

dokumen-dokumen yang mirip
BAB I PENDAHULUAN. bisnis baik dalam bentuk perorangan ( natural person ) ataupun dalam bentuk badan

BAB I PENDAHULUAN. hukumnya. Oleh karena itu, sewajarnya kita berbenah diri dalam menghadapi

disatu pihak dan Penerima utang (Debitur) di lain pihak. Setelah perjanjian tersebut

BAB I PENDAHULUAN. Penggunaan lembaga jaminan sudah sangat populer dan sudah tidak asing

BAB I PENDAHULUAN. dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat

NASKAH PUBLIKASI. Untuk memenuhi sebagian persyaratan guna mencapai derajat Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Surakarta

A. Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. mereka pada dasarnya ingin hidup layak dan selalu berkecukupan. 1 Perbankan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu tolak ukur dari keberhasilan pembangunan nasional yang bertujuan

BAB I PENDAHULUAN. yang sama dan apabila diperlukan bisa dibebani dengan bunga. Karena dengan

BAB I PENDAHULUAN. kebutuhan hidupnya. Dalam memenuhi segala kebutuhan hidup, akal dan pikiran. Ia memerlukan tangan ataupun bantuan dari pihak lain.

BAB 1 PENDAHULUAN. Dalam suatu perjanjian kredit memerlukan adanya suatu jaminan. Namun

BAB I PENDAHULUAN. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan. strategis dalam kehidupan perekonomian suatu negara.

BAB I PENDAHULUAN. layak dan berkecukupan. Guna mencukupi kebutuhan hidup serta guna

Kedudukan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Dalam Hal Terjadinya Kepailitan Suatu Perseroan Terbatas Menurut Perundang-Undangan Di Indonesia

BAB I PENDAHULUAN. keduanya diperlukan intermediary yang akan bertindak selaku kreditur yang

BAB I PENDAHULUAN. mengenai segala jenis usaha dan bentuk usaha. Rumusan pengertian

BAB I PENDAHULUAN. - Uang berfungsi sebagai alat tukar atau medium of exchange yang dapat. cara barter dapat diatasi dengan pertukaran uang.

BAB I PENDAHULUAN. Pada pertengahan tahun 1997 negara negara Asia dilanda krisis moneter yang

BAB I PENDAHULUAN. Kecenderungan kondisi masyarakat dewasa ini membeli suatu benda

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan nasional, salah satu usaha untuk mewujudkan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. untuk memperlancar roda pembangunan, dan sebagai dinamisator hukum

BAB I PENDAHULUAN. untuk berlomba-lomba untuk terus berusaha dalam memajukan ekonomi masingmasing.

BAB I PENDAHULUAN. dengan adanya jaminan dalam pemberian kredit merupakan keharusan yang tidak

I. PENDAHULUAN. perusahaan harus dijalankan dan dikelola dengan baik. Pengelolaan perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. bertahap, pada hakikatnya merupakan salah satu usaha untuk meningkatkan

BAB I PENDAHULUAN. luar biasa sehingga mengakibatkan banyak sekali debitor tidak mampu membayar utangutangnya.

SKRIPSI. Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum. Oleh : RIANITA REHULINA TARIGAN

TINJAUAN TENTANG PENYELESAIAN WANPRESTASI ATAS DI PD BPR BANK BOYOLALI

BAB I PENDAHULUAN. Kesatuan Republik Indonesia. Hal ini terlihat dalam pembukaan Undang-

TANGGUNG JAWAB PERUM PEGADAIAN TERHADAP PENJUALAN (LELANG) BARANG GADAI

BAB I PENDAHULUAN. hukum membutuhkan modal untuk memulai usahanya. Modal yang diperlukan

TINJAUAN YURIDIS HAK-HAK NASABAH PEGADAIAN DALAM HAL TERJADI PELELANGAN TERHADAP BARANG JAMINAN (Studi Kasus Di Perum Pegadaian Cabang Klaten)

BAB I PENDAHULUAN. nasional, salah satu upaya untuk mewujudkan masyarakat adil dan makmur

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pertumbuhan ekonomi saat ini memiliki dampak yang positif, yaitu

BAB 1 PENDAHULUAN. Nomor 4 Tahun 1996 angka (1). Universitas Indonesia. Perlindungan hukum..., Sendy Putri Maharani, FH UI, 2010.

BAB I PENDAHULUAN. jaminan demi keamanan pemberian kredit tersebut. 1

DAMPAK PELAKSANAAN EKSEKUSI TERHADAP OBYEK JAMINAN FIDUSIA BERDASARKAN PASAL 29 UNDANG UNDANG NOMOR 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA

BAB I PENDAHULUAN. utama sekaligus menentukan maju mundurnya bank yang bersangkutan

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun Dalam. rangka upaya peningkatan pembangunan nasional yang bertitik berat

BAB I PENDAHULUAN. selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Untuk menghadapi

BAB I PENDAHULUAN. Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam

BAB I PENDAHULUAN. Dalam kehidupan pelaku usaha atau perseorangan untuk menggerakan perekonomiannya,

kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. Suatu perusahaan dalam rangka pengembangan usahanya dimungkinkan

PENYELESAIAN KREDIT MACET DI KOPERASI BANK PERKREDITAN RAKYAT (KBPR) VII KOTO PARIAMAN

BAB I PENDAHULUAN. adalah dengan menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkannya kembali

I. PENDAHULUAN. kebutuhannya begitu juga dengan perusahaan, untuk menjalankan suatu perusahaan

BAB I PENDAHULUAN. Jaminan atau agunan yang diajukan atau yang diberikan oleh debitur

BAB I PENDAHULUAN. dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945, dalam

B. Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN BAB I PENDAHULUAN

BAB I PENDAHULUAN. suatu usaha/bisnis. Tanpa dana maka seseorang tidak mampu untuk. memulai suatu usaha atau mengembangkan usaha yang sudah ada.

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang

BAB I PENDAHULUAN. pelunasan dari debitor sebagai pihak yang meminjam uang. Definisi utang

BAB I PENDAHULUAN. kegiatan perekonomian. Pasal 33 Undang-Undang dasar 1945 menempatkan

BAB I PENDAHULUAN. akan berkaitan dengan istri atau suami maupun anak-anak yang masih memiliki

BAB I PENDAHULUAN. Kemajuan dan kecanggihan teknologi dan sumber informasi semakin menunjang

BAB I PENDAHULUAN. yang sangat pesat. Banyak sektor usaha berlomba-lomba untuk menarik

BAB I PENDAHULUAN. perkembangan kegiatan perekonomian yang berkesinambungan, banyak sekali

BAB I PENDAHULUAN. merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak. benda yang memiliki hubungan langsung dengan benda-benda itu, dapat

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat. Jadi dalam pembangunan, masing-masing masyarakat diharap dapat. Indonesia yaitu pembangunan di bidang ekonomi

BAB I PENDAHULUAN. salah satu perjanjian accsoir yang ada dalam suatu perjanjian kredit.

BAB I PENDAHULUAN. memenuhi semuanya. Padahal kebutuhan ini beraneka ragam, ada yang perlu

BAB I PENDAHULUAN. untuk mewujudkan masyarakat yang adil dan makmur. Dalam rangka. merata di segala bidang, salah satunya adalah bidang ekonomi.

BAB I PENDAHULUAN. Pada kehidupan sehari-hari manusia tidak terlepas dari manusia lain

BAB I PENDAHULUAN. meminjam maupun utang piutang. Salah satu kewajiban dari debitur adalah

BAB I PENDAHULUAN. rangka pembaharuan hukum dengan mengadakan kodifikasi dan unifikasi

BAB I PENDAHULUAN. dimaksud dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan

BAB I PENDAHULUAN. berarti adanya interaksi berlandaskan kebutuhan demi pemenuhan finansial.

BAB I PENDAHULUAN. menjadi sangat penting dan memegang peranan penting dalam kehidupan manusia

BAB I PENDAHULUAN. Manusia sebagai makhluk sosial membutuhkan manusia lainnya untuk dapat

BAB I PENDAHULUAN. Suatu kegiatan usaha atau bisnis diperlukan sejumlah dana sebagai modal

BAB 1 PENDAHULUAN. Namun demikian perjanjian kredit ini perlu mendapat perhatian khusus dari

BAB I PENDAHULUAN. Peran bank sangat besar dalam mendorong pertumbuhan ekonomi suatu

BAB I PENDAHULUAN. harga-harga produksi guna menjalankan sebuah perusahaan bertambah tinggi

BAB I PENDAHULUAN. provisi, ataupun pendapatan lainnya. Besarnya kredit yang disalurkan akan

BAB I PENDAHULUAN. roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Di satu sisi ada masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan nasional yang dilaksanakan selama ini merupakan

BAB I PENDAHULUAN. salah satu komponen pelaku untuk mencapai tujuan pembangunan itu. Dengan

BAB I PENDAHULUAN. pembiayaan/leasing) selaku penyedia dana. Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan disebutkan bahwa :

BAB I PENDAHULUAN. sebagaimana terkandung dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992

Bab 1 PENDAHULUAN. merupakan suatu usaha untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, salah satu

BAB I PENDAHULUAN. Bank sebagai lembaga keuangan memiliki banyak kegiatan, salah satunya

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Munculnya berbagai lembaga pembiayaan dewasa ini turut memacu

BAB I PENDAHULUAN. Didalam kehidupan bermasyarakat kegiatan pinjam meminjam uang telah

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan berkesinambungan dalam rangka mewujudkan masyarakat

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Penelitian. Krisis ekonomi yang telah berlangsung mulai dari tahun 1997, cukup

BAB I PENDAHULUAN. nasional. Menurut Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

BAB I PENDAHULUAN. seseorang dilahirkan, maka ia dalam hidupnya akan mengemban hak dan

BAB I PENDAHULUAN. perjanjian hutang piutang ini dalam Kitab Undang-Undang Hukun Perdata

BAB I PENDAHULUAN. oleh gabungan orang yang bukan badan hukum sekalipun. Tidak dapat

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG DEPOSITO SEBAGAI JAMINAN KREDIT. pengertian hukum jaminan. Menurut J. Satrio, hukum jaminan itu diartikan peraturan hukum

BAB I PENDAHULUAN. individu, manusia juga berperan sebagai makhluk sosial di mana manusia hidup

BAB I PENDAHULUAN. meningkat dengan disertai berbagai tantangan dan resiko yang dihadapi.

BAB I PENDAHULUAN. Koperasi menjadi salah satu pilar penting dalam mendorong dan. meningkatkan pembangunan serta perekonomian nasional.

BAB 1 PENDAHULUAN. Bakti, 2006), hlm. xv. 1 Muhamad Djumhana, Hukum Perbankan Indonesia, cet.v, (Bandung:Citra Aditya

BAB I PENDAHULUAN. tugas yang diemban perbankan nasional tidaklah ringan. 1. perbankan menyatakan bahwa bank adalah : badan usaha yang menghimpun

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Dana merupakan salah satu faktor penting dan strategis dalam

Transkripsi:

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pada dasarnya, setiap manusia hingga perusahaan pada setiap harinya selalu berhadapan dengan segala macam kebutuhan. Dalam menghadapi kebutuhan ini, sifat manusia pada umumnya berharap selalu ingin dapat memenuhi semuanya. 1 karena mereka pada dasarnya ingin hidup layak dan selalu berkecukupan. Untuk itu, mereka harus bekerja atau berusaha supaya memperoleh penghasilan. Penghasilan ini merupakan sebuah modal yang penting dalam hidupnya. Untuk dapat memenuhi kebutuhannya sebagaimana tersebut di atas, harus mempertimbangkan antara penghasilan dan pengeluaran. 2 Dalam kehidupan sehari-hari keperluan akan dana guna menggerakkan roda perekonomian dirasakan semakin meningkat. Di satu sisi ada masyarakat yang kelebihan dana, tetapi tidak memiliki kemampuan untuk mengusahakannya, dan di sisi lain ada kelompok masyarakat lain yang memiliki kemampuan untuk berusaha namun terhambat pada kendala oleh karena hanya memiliki sedikit atau bahkan tidak memiliki dana sama sekali. Untuk mempertemukan keduanya diperlukan intermediary yang akan bertindak selaku kreditor yang akan menyediakan dana bagi debitor. Dari sinilah timbul perjanjian utang piutang atau pemberian kredit. 3 1 2 3 Gatot Supramono, 2013, Perjanjain Utang Piutang, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, hal. 2 Ibid Gunawan Widjaja & Ahmad Yani, 2000, Jaminan Fidusia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hal.1 1

2 Kegiatan pinjam-meminjam uang telah dilakukan sejak lama dalam kehidupan masyarakat yang telah mengenal uang sebagai alat pembayaran. Dapat diketahui bahwa hampir semua masyarakat telah menjadikan kegiatan pinjam-meminjam uang sebagai suatau yang sangat diperlukan untuk mendukung perkembangan kegiatan perekonomiannya dan untuk meningkatkan taraf kehidupannya.pihak pemberi pinjaman yang mempunyai kelebihan uang bersedia memberikan pinjaman uang kepada yang memerlukannya. Sebaliknya, pihak peminjam berdasarkan keperluan atau tujuan tertentu melakukan peminjaman uang tersebut. 4 Biasanya orang meminjam uang untuk membiayai kebutuhan sehari-hari atau untuk memenuhi keperluan dana, guna pembiayaan kegiatan usahanya. Pada tahun 1978, MPR menetapkan Tap No. IV/MPR/1978 tentang GBHN yang dalam Bab IV Pola umum Pelita Ketiga huruf D angka 22 menyatakan antara lain: Demikian pula perlu dilanjutkan program-program yang memberi kesempatan lebih banyak kepada pengusaha-pengusaha kecil dan golongan ekonomi lemah untuk memperluas dan meningkatkan usahanya, antara lain dengan jalan memperkuat permodalan,. Dari kata-kata memperkuat permodalan itu dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud adalah pemberian kredit atau pinjaman. 5 Pemberian kredit tidak saja dapat dilakukan oleh bank pemerintah atau swasta, tetapi pada prinsipnya dapat dilakukan oleh siapapun yang mempunyai 4 5 M Bahsan, 2007, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hal. 1 Oey hoey Tiong, 1984, Fidusia sebagai Jaminan Unsur-unsur Perikatan, Jakarta Timur: Ghalia Indonesia, hal. 7

3 kemampuan untuk itu, melalui perjanjian utang piutang antara kreditur pemberi pinjaman di satu pihak dan debitur penerima pinjaman di lain pihak. Setelah terjadinya perjanjian itu maka kreditur mempunyai kewajiban untuk menyerahkan uang yang diperjanjikan kepada debitur dan berhak untuk menerima kembali uang itu pada debitur pada waktunya, sedang kan debitur mempunyai hak dan kewajiban yang merupakan kebalikan dari hak dan kewajiban kreditur. 6 Selanjutnya, dalam kegiatan pinjam-meminjam uang yang terjadi di masyarakat dapat diperhatikan bahwa umumnya sering dipersyaratkan adanya penyerahan jaminan utang oleh pihak peminjam kepada pihak pemberi pinjaman. Jaminan utang dapat berupa barang (benda) sehingga merupakan jaminan kebendaan dan atau berupa janji penanggungan utang sehingga merupakan jaminan perorangan. Jaminan kebendaan memberikan hak kebendaan kepada pemegang jaminan. 7 Jaminan kebendaan dapat berbentuk gadai, hipotek, hak tanggungan ataupun fidusia. Dalam pelaksanaan penilaian jaminan utang dari segi hukum, pihak pemberi pinjaman seharusnya melakukannya menurut (berdasarkan) ketentuan hukum yang berkaitan dengan objek jaminan utang dan ketentuan hukum tentang penjaminan utang yang disebut sebagai hukum jaminan. 8 Hukum Jaminan merupakan himpunan ketentuan yang mengatur atau berkaitan dengan penjaminan dalam rangka utang piutang (pinjaman uang) yang 6 7 8 Ibid, hal. 8 M Bahsan, Op.Cit., hal. 2 Ibid, hal. 3

4 terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku saat ini. 9 Objeknya berupa barang baik barang bergerak maupun tidak bergerak yang khusus diperuntukkan untuk menjamin utang debitur kepada kreditur apabila di kemudian hari utang tersebut tidak dapat dibayar oleh debitur. Barang-barang yang dijaminkan itu milik debitur dan selama menjadi jaminan utang tidak dapat dialihkan atau dipindah tangankan baik debitur maupun kreditur. Apabila debitur wanprestasi atas utangnya, objek jaminan tidak dapat dimiliki oleh kreditur, karena lembaga jaminan bukan bertujuan untuk memindahkan hak milik atas suatu barang. 10 Mengenai jaminan kebendaan bergerak, praktek melalui yurisprudensi mengenal fiducia. Konstruksi fidusia adalah penyerahan hak milik atas barang-barang bergerak kepunyaan debitur kepada kreditur sedangkan penguasaan fisik atas barang-barang itu tetap pada debitur (constitutumpossesorium); dengan syarat bahwa bilamana debitur melunasi utangnya maka kreditur harus mengembalikan hak milik atas barang-barang itu kepada debitur. Jadi, jika dilihat bahwa debitur tidak perlu menyerahkan barang jaminan secara fisik kepada kreditur, maka bentuk jaminan ini lebih menguntungkan bagi debitur apalagi kalau dibandingkan dengan gadai. 11 Sebelum Indonesia merdeka bangsa kita sudah mengenal jaminan fidusia, waktu itu menggunakanistilah Fiduciaeigendomoverdracht. Penggunaan jaminan 9 10 11 Ibid, hal. 3 Gatot Supramono, Op.Cit., hal. 58 Oey hoey Tiong, Op. Cit., hal. 9

5 ini dahulunya berdasarkan hukum kebiasaan dalam praktik dan diikuti yurisprudensi. Setelah merdeka lebih kurang 49 tahun, Negara kita baru membentuk peraturan tertulisnya yaitu Undang-Undang No.42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. 12 Ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyebutkan Fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikannya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No.42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia menyebutkan: Jaminan Fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak khususnya bangunan yang tidak dapat dibebani hak tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang No.4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditor lain. Dengan adanya jaminan yang demikian maka bilamana debitur lalai mengembalikan pinjamannya, kreditur dapat menjual barang-barang yang dijadikan jaminan dan mengembalikan sebagian atau seluruh hasil penjualan itu untuk melunasi utang debitur. 13 Dengan kata lain jika debitur gagal melaksanakan kewajibannya dalam jangka waktu yang ditentukan, kreditur memiliki hak untuk menjual lelang kebendaan yang dijaminkan tersebut. Di dalam Pasal 1131 K.U.H. Perdata diletakkan asas umum hak seseorang 12 13 Gatot Supramono, Op. Cit., hal.80 Oey hoey Tiong, Op.Cit., hal. 8

6 kreditur terhadap debiturnya,dalam mana ditentukan bahwa segala kebendaan si berhutang, baik yang bergerak maupun tak bergerak,baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada dikemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan. Jadi hak-hak tagihan seorang kreditur dijamin dengan: a) Semua barang-barang debitur yang sudah ada,artinya yang sudah ada pada saat hutang dibuat. b) Semua barang yang akan ada; di sini berarti: barang-barang yang pada saat pembuatan hutang belum menjadi kepunyaan debitur, tetapi kemudian menjadi miliknya. Dengan perkataan lain hak kreditur meliputi barang-barang yang akan menjadi milik debitur, asal kemudian benar-benar menjadi miliknya. c) Baik barang bergerak maupun tak bergerak. Ini menunjukkan, bahwa piutang kreditur menindih pada seluruh harta debitur tanpa terkecuali. 14 Krisis moneter yang melanda hampir seluruh belahan dunia di pertengahan tahun 1997 telah memporak-porandakan sendi-sendi perekonomian. Dunia usaha merupakan dunia yang paling menderita dan merasakan dampak krisis yang tengah melanda. Negara kita memang tidak sendirian dalam menghadapi krisis tersebut, namun tidak dapat dipungkiri bahwa negara kita adalah salah satu negara yang paling menderita dan merasakan akibatnya. Selanjutnya tidak sedikit dunia usaha yang gulung tikar, sedangkan yang masih dapat bertahan pun hidupnya menderita. 15 Dengan makin terpuruknya kehidupan perekonomian nasional pasti dapat dipastikan akan makin banyak dunia usaha yang ambruk dan rontok sehingga tidak 14 15 J Satrio, 1993, Hukum Jaminan Hak-hak Jaminan Kebendaan, Bandung: PT Citra Aditya Bakti, hal.4 Ahmad Yani & Gunawan widjaya, 2002, Kepailitan, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, hal. 1

7 dapat meneruskan kegiatannya termasuk dalam memenuhi kewajiban kepada kreditur. Keambrukan itu akan menimbulkan masalah besar jika aturan main yang ada tidak lengkap dan sempurna. Untuk itu perlu ada aturan main yang dapat digunakan secara cepat, terbuka, efektif sehingga dapat memberikan kesempatan kepada pihak kreditur dan debitur untuk mengupayakan penyelesaian yang adil. 16 Untuk mengantisipasi adanya kecenderungan dunia usaha yang bangkrut yang akan berakibat pula pada tidak dapat dipenuhinya kewajiban-kewajiban yang sudah jatuh tempo, maka pemerintah melakukan perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah dengan merevisi Undang-Undang kepailitan yang ada. 17 sistem yang dipergunakan dalam perubahan Undang-Undang Kepailitan adalah tidak melakukan perubahan secara total, tetapi hanya mengubah pasal-pasal tertentu yang perlu diubah dan menambah berbagai ketentuan baru ke dalam undang-undang yang sudah ada. 18 penyempurnaan juga terjadi pada saat berlakunya Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang. Dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang dimaksud dengan Kepailitan adalah Sita Umum atas semua kekayaan Debitur Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hukum Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. Dari pengertian tersebut, dapat kita lihat bahwa pengertian pailit 16 17 18 Ibid, hal. 2 Loc. Cit.,hal. 1 Ibid, hal. 5

8 dihubungkan dengan Ketidakmampuan untuk membayar dari seorang (debitur) atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo. Ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitur sendiri, maupun atas permintaan pihak ketiga (diluar debitur), suatu permohonan pernyataan pailit ke Pengadilan. 19 Agar debitur dapat dikatakan pailit, maka Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 telah menentukan syarat seorang debitur untuk dapat dinyatakan pailit, yaitu: Debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan penundaan Kewajiban Pembayaran Utang juga berpengaruh besar terhadap lembaga jaminan Fidusia. Dengan dijatuhkannya putusan kepailitan, mempunyai pengaruh bagi debitur dan harta bendanya. Bagi debitur, sejak diucapkan putusan kepailitan, ia kehilangan hak untuk melakukan pengurusan dan penguasaan atas harta bendanya. Pengurusan dan penguasaan harta pailit itu akan beralih ke tangan balai harta peninggalan (BHP), dan BHP akan bertindak selaku pengampu ( Kurator ). 20 Berdasarkan uraian diatas maka penulis tertarik untuk mengkaji lebih dalam dengan melakukan penelitian untuk penulisan skripsi yang berjudul TINJAUAN YURIDIS STATUS DAN KEDUDUKAN BENDA JAMINAN YANG 19 20 Ibid, hal. 11-12 Zainal Asikin, 2002, Hukum Kepailitan dan Penundaan Pembayaran di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo persada, hal. 53

9 DIBEBANI FIDUSIA YANG DITERIMA KREDITUR DALAM HAL DEBITUR PAILIT PRESFEKTIF UNDANG-UNDANG NO 42 TAHUN 1999 TENTANG JAMINAN FIDUSIA DAN UNDANG-UNDANG NO.37 TAHUN 2004 TENTANG KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN PEMBAYARAN UTANG B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dikemukakan perumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana Status dan Kedudukan Benda Jaminan yang dibebani Fidusia apabila Debitur dinyatakan Pailit Persfektif Undang-undang No.42 tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia? 2. Bagaimana Status dan Kedudukan benda Jaminan yang dibebani Fidusia apabila Debitur dinyatakan Pailit Persfektif Undang-undang No.37 tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini mempunyai tujuan, yaitu: 1. Untuk Mengetahui Status dan Kedudukan Benda Jaminanyang dibebani Fidusia apabila Debitur dinyatakan Pailit Persfektif Undang-undang No.42 tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia. 2. Untuk Mengetahui Status dan Kedudukan Benda Jaminanyang dibebani

10 Fidusia apabila Debitur dinyatakan Pailit Persfektif Undang-undang No.37 tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis a. Hasil Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa sumbangan ilmu pengetahuan khususnya dibidang ilmu hukum baik dalam teori dan asas-asas hukum. b. Hasil penelitian ini dapat dipergunakan sebagai acuan terhadap penelitian-penelitian yang sejenis dikemudian hari. c. Diharap dapat menambah wawasan dan pengetahuan penulis yang berkaitan dengan Hukum Jaminan fidusia dan Hukum Kepailitan. 2. Manfaat Praktis Diharapkan dapat memberikan sumbangan bagi hukum positif untuk dijadikan sebagai bahan pertimbangan bagi lembaga keuangan bank maupun non bank seperti lembaga Fidusia. E. Metode Penelitian Penelitian merupakan suatu kegiatan yang ditujukan untuk mengetahui seluk-beluk sesuatu. Kegiatan ini dilakukan karena ada suatu masalah yang memerlukan jawaban atau mengetahui berbagai latar belakang terjadinya

11 sesuatu. 21 Pengetahuan yang dicari dalam ilmu hukum adalah tentang cara penerapan kaidah hukum secara benar. Karena itu, dari keseluruhan konstelasi kenyataan tertentu, hanya data yang yuridis relevan, yakni yang penting untuk penerapan kaidah hukum, yang dipilih atau dikualifikasi sebagai fakta. Jadi, penentuan data yuridis relevan itu terjadi berdasarkan kaidah hukum yang mungkin terpilih untuk penerapan dalam memproses penyelesaian masalah hukum yang mungkin timbul. 22 Metode penelitian adalah cara yang digunakan oleh peneliti dalam mengumpulkan data penelitiannya dengan dilengkapi oleh teknik-teknik tertentu, misal metode penelitian deskriptif, studi kasus, normatif, dan sebagainya. 23 Lalu, dalam teknik pengumpulan data digunakan metode studi dokumen atau bahan pustaka. Metode penelitian yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Metode Pendekatan Ada dua jenis penelitian hukum, yaitu penelitian hukum normatif dan penelitian hukum sosiologis atau empiris. Untuk penelitian yang akan dilakukan penulis ini merupakan penelitian yang bersifat Yuridis Normatif. Penelitian hukum normatif disebut juga penelitian hukum doktrinal. 21 22 Dadang Kuswana, 2011, Metode Penelitian Sosial, Bandung: CV Pustaka Setia, hal. 24 Amiruddin & Zainal Asikin, 2012, Pengantar Metode Penelitian Hukum, hal. 109-110 23 Ibid, hal. 160

12 Pada penelitian hukum jenis ini, acapkali hukum dikonsepkan sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (law in books) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas, oleh karena itu sumber datanya hanyalah data sekunder. 24 Penelitian hukum normatif juga disebut sebagai penelitian perpustakan atau studi dokumen karena penelitian ini lebih banyak dilakukan pada bahan hukum yang bersifat sekunder yang ada diperpustakaan. 25 2. Jenis Penelitian Dalam Penelitian ini, penulis menggunakan jenis penelitian deskriptif, yaitu: penelitian yang berusaha menggambarkan masalah-masalah yang diteliti sesuai dengan keadaan dengan apa adanya, yaitu tanpa ditambah dan dikurangi. Selanjutnya, dilakukan penafsiran terhadap data yang ada sebagai solusi masalah yang muncul dalam penelitian. 26 Menurut Winarno Surakhmad, penelitian deskriptif tertuju pada pemecahan masalah yang ada pada masa sekarang. Metode penelitian deskriptif lebih merupakan istilah umum yang mencakup berbagai teknik deskriptif. Diantaranya ialah penelitian yang menuturkan, menganalisis, dan mengklasifikasi. Sebagaimana berlaku dalam penelitian teknik survei, interview, angket, observasi, tes, studi kasus, studi komperatif, studi waktu, dan gerak, analisis kuantitatif dan kualitatif. 27 24 25 26 27 Ibid, hal. 118 Bambang Waluyo, 1991, Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta: Sinar Grafika, hal. 31 Dadang Kuswana, Op.Cit., hal. 37 Winarno Surakhmad, 1990, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar, Metode, dan Teknik, Bandung: Tarsito, hal. 139

13 3. Sumber Data Penelitian Sumber bahan hukum Penelitian ini berasal dari penelitian kepustakaan dan sumber datanya hanyalah data sekunder, yang terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. a. Bahan Hukum Primer Yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari: 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW). 2) Undang-Undang Nomor 42 tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia. 3) Undang-Undang Nomor 37 tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 4) Peraturan Perundang-Undangan lain yang berkaitan dengan pembahasan masalah yang akan diteliti. b. Bahan Hukum Sekunder Yaitu bahan yang memberikan penjelasan dan tambahan mengenai bahan hukum primer, yaitu literatur makalah, jurnal hukum, dan artikel-artikel lain yang ada hubungannya dengan masalah yang akan diteliti. c. Bahan Hukum Tersier Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder,seperti kamus (hukum) dan sebagainya. 4. Teknik Pengumpulan Data Menurut Soerjono Soekamto, dalam penelitian lazimnya dikenal tiga

14 jenis alat pengumpulan data,yaitu studi dokumen atau bahan pustaka, pengamatan atau observasi, dan wawancara atau interview. 28 Studi dokumen merupakan langkah awal dari setiap penelitian hukum (baik normatif maupun yang Sosiologis) karena penelitian hukum selalu bertolak dari premis normatif. 29 Pengumpulan bahan hukum dilakukan melalui studi pustaka yang meliputi: Bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Setiap bahan hukum ini harus diperiksa ulang validitas dan reliabilitasnya, sebab hal ini sangat menentukan hasil suatu penelitian. Studi pustaka dilakukan melalui tahapan: identifikasi bahan hukum, selanjutnya data yang telah terkumpul kemudian diolah. Pengolahan bahan hukum umumnya dilakukan melalui tahapan : pemeriksaan bahan hukum,penandaan bahan hukum dan penyusunan atau sistematisasi bahan hukum. 5. Teknik Analisis Data Data yang telah ada lalu di olah dan akan dibahas menggunakan teknik analisis kualitatif yaitu menguraikan atau memecahkan permasalahan antara data kepustakaan berupa peraturan, literatur, dan bahan lain yang ada hubungannya dengan permasalahan yang akan diteliti yaitu tentang Hukum Jaminan Fidusia dan Hukum Kepailitan kemudian dicari pemecahannya yang kemudian dapat ditarik kesimpulan. 28 29 Amiruddin & Zainal Asikin, Op.Cit., hal. 67 Ibid, hal. 68

15 F. Sistematika Skripsi Dalam penulisan skripsi ini, sistematika penulisannya akan dibuat sebagai berikut: Bab I adalah Pendahuluan yang berisikan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metode penelitian, dan sistematika skripsi. Bab II adalah Tinjauan Pustaka yang akan menguraikan tentang tinjauan umum tentang jaminan fidusia berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999, dan tinjauan umum tentang kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004. Bab III adalah Hasil Penelitian dan Pembahasan yang akan menguraikan tentang Status dan Kedudukan Benda Jaminan yang dibebani Fidusia apabila Debitur dinyatakan Pailit Persfektif Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 tentang Jaminan Fidusia dan Status dan Kedudukan benda Jaminan yang dibebani Fidusia apabila debitur dinyatakan pailit persfektif Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Bab IV adalah Penutup yang berisikan kesimpulan yang ditarik dari hasil penelitian oleh penulis dan saran bagi pihak yang berkaitan dalam penulisan skripsi ini.