IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim

dokumen-dokumen yang mirip
GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM KOTA DUMAI. Riau. Ditinjau dari letak geografis, Kota Dumai terletak antara 101 o 23'37 -

BAB IV GAMBARAN UMUM

IV. KONDISI UMUM WILAYAH

KAJIAN UMUM WILAYAH PENELITIAN. Kondisi Geografis

BAB I PENDAHULUAN A. DASAR HUKUM A. Gambaran Umum Daerah 1. Kondisi Geografis Daerah 2. Kondisi Demografi

V. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV. KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. ANALISIS SITUASIONAL DAERAH PENELITIAN

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Administrasi

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat bertambah sehingga akan meningkatkan kemakmuran masyarakat

I. PENDAHULUAN. rumah kaca yang memicu terjadinya pemanasan global. Pemanasan global yang

IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Wilayah pesisir Indonesia memiliki luas dan potensi ekosistem mangrove

BAB IV GAMBARAN UMUM

IV. KONDISI UMUM PROVINSI RIAU

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Provinsi Lampung terletak di ujung tenggara Pulau Sumatera. Luas wilayah

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN. terletak di bagian selatan Pulau Jawa. Ibu kota Provinsi Daerah Istimewa

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Tulang Bawang adalah kabupaten yang terdapat di Provinsi

BAB I PENDAHULUAN. pantai sekitar Km, memiliki sumberdaya pesisir yang sangat potensial.

BAB IV. KONDISI UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu sektor yang memiliki peranan yang cukup besar dalam. pembangunan perekonomian nasional adalah sektor pariwisata.

IV. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PRODUKSI PADI SAWAH DI DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. yang dapat dimanfaatkan untuk menuju Indonesia yang maju dan makmur. Wilayah

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM PENELITIAN. batas-batas wilayah sebagai berikut : - Sebelah Utara dengan Sumatera Barat. - Sebelah Barat dengan Samudera Hindia

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Ekosistem pesisir tersebut dapat berupa ekosistem alami seperti hutan mangrove,

4 KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

IV. GAMBARAN UMUM Letak Wilayah, Iklim dan Penggunaan Lahan Provinsi Sumatera Barat

BAB II TUJUAN, KEBIJAKAN, DAN STRATEGI PENATAAN RUANG WILAYAH PROVINSI BANTEN

I. PENDAHULUAN. Sejak tahun 2001 Indonesia telah memberlakukan desentralisasi yang lebih

Bab V POTENSI, MASALAH, DAN PROSPEK PENGEMBANGAN WILAYAH. 5.1 Potensi dan Kendala Wilayah Perencanaan

BAB I PENDAHULUAN. berkelanjutan (sustainabel development) merupakan alternatif pembangunan yang

GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

KEADAAN UMUM WILAYAH. Projotamansari singkatan dari Produktif-profesional, ijo royo royo, tertib, aman,

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB I PENDAHULUAN. Lahan merupakan sumber daya alam strategis bagi segala pembangunan. Hampir

28 antara 20º C 36,2º C, serta kecepatan angin rata-rata 5,5 knot. Persentase penyinaran matahari berkisar antara 21% - 89%. Berdasarkan data yang tec

IV. KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

BAB II TINJAUAN UMUM

5 KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

BAB II. GAMBARAN UMUM WILAYAH DAN PEMBANGUNAN PENDIDIKAN DI KABUPATEN SUMBA BARAT

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN. Sejarah terbentuknya Kabupaten Lampung Selatan erat kaitannya dengan dasar

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kondisi Geografis dan Demografis Provinsi Kalimantan Timur

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Geografis. dusun dan terletak di bagian selatan Gunungkidul berbatasan langsung dengan

PENDAHULUAN Latar Belakang

KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

KONDISI UMUM WILAYAH STUDI

KAJIAN LINGKUNGAN HIDUP STRATEGIS (KLHS) Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Kabupaten Polewali Mandar

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. maupun terendam air, yang masih dipengaruhi oleh sifat-sifat laut seperti pasang

BAB V LAHAN DAN HUTAN

4. KEADAAN UMUM 4.1 Kedaan Umum Kabupaten Banyuwangi Kedaan geografis, topografi daerah dan penduduk 1) Letak dan luas

2.1 Gambaran Umum Provinsi Kalimantan Timur A. Letak Geografis dan Administrasi Wilayah

PEMERINTAH DAERAH KABUPATEN PELALAWAN BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. mempercepat proses pelaksanaan pembangunan dan hasil-hasilnya upaya

KONDISI UMUM BANJARMASIN

GAMBARAN UMUM KABUPATEN LAMPUNG BARAT

Mata Pencaharian Penduduk Indonesia

PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang

BAB I PENDAHULUAN. antara dua samudera yaitu Samudera Hindia dan Samudera Pasifik mempunyai

BAB IV ANALISIS DAN PEMBAHASAN. 1. Keadaan Geografi Kabupaten Badung. satu kota di Bali yang mempunyai wilayah seluas 418,52 km 2 atau 41.

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

PENDAHULUAN. didarat masih dipengaruhi oleh proses-proses yang terjadi dilaut seperti

BAB III Data Lokasi 3.1. Tinjauan Umum DKI Jakarta Kondisi Geografis

V. DESKRIPSI DAERAH PENELITIAN. Kabupaten Morowali merupakan salah satu daerah otonom yang baru

KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI. A. Kondisi Geografis. dari luas Provinsi Jawa Barat dan terletak di antara Bujur Timur

IV. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Kabupaten Kulon Progo merupakan salah satu dari lima daerah otonom di

V. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN

I. PENDAHULUAN Latar Belakang. Mangrove merupakan ekosistem unik dengan fungsi yang unik dalam

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

PROFIL SANITASI SAAT INI

IV. GAMBARAN UMUM DAERAH PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

Lomba Penulisan Artikel HUT KORPRI Ke 43 Kabupaten Cilacap Mengangkat HARKAT, MINAPOLITAN Cilacap*

KONDISI UMUM DAERAH PENELITIAN

V KEADAAN UMUM DAERAH PENELITIAN

I. PENDAHULUAN. kemampuan daerah tersebut dalam swasembada pangan atau paling tidak

PENDAHULUAN. Indonesia memiliki hutan mangrove yang terluas di dunia. Hutan

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang

BAB III TINJAUAN LOKASI. 3.1 Tinjauan Umum Kabupaten Kulon Progo sebagai Wilayah Sasaran Proyek

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang. Indonesia sebagai negara kepulauan mempunyai lebih dari pulau dan

BAB I PENGANTAR. 1.1 Latar Belakang. masyarakat, dan institusi-institusi nasional, di samping tetap mengejar akselerasi

BAB I PENDAHULUAN. membentang dari Sabang sampai Merauke yang kesemuanya itu memiliki potensi

V. GAMBARAN UMUM. Kota Bogor mempunyai luas wilayah km 2 atau 0.27 persen dari

BAB II GAMBARAN UMUM WILAYAH STUDI

KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN

III. KARAKTERISTIK WILAYAH STUDI

IV. GAMBARAN UMUM PROVINSI JAMBI. Undang-Undang No. 61 tahun Secara geografis Provinsi Jambi terletak

DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN

Gambar 4.1 Peta Provinsi Jawa Tengah

Bab 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN

BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH

BAB IV GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN. Provinsi Lampung yang dikukuhkan berdasarkan Undang-Undang Negara Republik

BAB III GAMBARAN UMUM KOTA BOGOR

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Tabel 1.1 Luas Hutan Mangrove di Indonesia Tahun 2002 No Wilayah Luas (ha) Persen

Tabel 7. Luas wilayah tiap-tiap kabupaten di Provinsi Jawa Barat. IV. HASIL DAN PEMBAHASAN

Transkripsi:

IV. GAMBARAN UMUM 4.1. Kondisi Geografis dan Iklim Provinsi Banten secara geografis terletak pada batas astronomis 105 o 1 11-106 o 7 12 BT dan 5 o 7 50-7 o 1 1 LS, mempunyai posisi strategis pada lintas perdagangan internasional dan nasional dengan batas-batas wilayahnya : a. Sebelah utara dengan Laut Jawa b. Sebelah timur dengan Provinsi DKI c. Sebelah selatan dengan Samudra Hindia d. Sebelah barat dengan Selat Sunda Morfologi wilayah Banten secara umum terbagi menjadi tiga kelompok yaitu dataran, perbukitan landai-sedang (bergelombang rendah-sedang) dan perbukitan terjal. Dataran dengan tingkat kemiringan 0-15% tersebar di sepanjang pesisir Utara Laut Jawa, sebagian wilayah Serang, sebagian Kabupaten Tangerang bagian utara serta wilayah selatan yaitu di sebagian pesisir Selatan dari Pandeglang hingga Kabupaten Lebak. Perbukitan landaisedang (kemiringan 25% dengan tekstur bergelombang rendah-sedang) sebagian besar terdapat di bagian utara meliputi Kabupaten Serang, Kota Cilegon, Kabupaten Tangerang dan Kota Tangerang serta bagian utara Kabupaten Pandeglang. Sedangkan perbukitan terjal (kemiringan > 25%) terdapat di Kabupaten Lebak, sebagian kecil Kabupaten Pandeglang bagian selatan dan Kabupaten Serang. Iklim wilayah Banten sangat dipengaruhi oleh angin Muson. Dengan tingkat kelembaban udara 78-85% dan curah hujan 95-480 mm, saat musim penghujan (November-Maret) cuaca didominasi oleh angin barat (dari Sumatera, Samudera Hindia sebelah selatan India) yang bergabung dengan angin dari asia yang melewati Laut Cina Selatan. Pada musim kemarau (Juni-Agustus), cuaca didominasi oleh angin timur yang menyebabkan wilayah Banten mengalami kekeringan yang keras terutama di wilayah bagian pantai utara. Temperatur di daerah pantai dan perbukitan berkisar antara 22 o C dan 32 o C, sedangkan temperatur di pegunungan dengan ketinggian antara 400-1.350 m dpl mencapai 18 o C-29 o C.

33 4.2. Pemerintahan Berdasarkan Undang-Undang No. 23 Tahun 2000, status Karesidenan Banten Provinsi Jawa Barat berubah menjadi Provinsi Banten. Sebagai salah satu provinsi dari Negara Kesatuan Republik Indonesia, Provinsi Banten mempunyai sistem pemerintahan yang sama dengan provinsi lainnya. Unit pemerintahan di bawah provinsi adalah kabupaten/kota. Masing-masing kabupaten/kota terdiri dari beberapa kecamatan. Sedangkan kecamatan terbagi habis dalam beberapa desa/kelurahan. Wilayah Provinsi Banten yang mempunyai luas 9.438,33 km 2, terdiri dari 4 kabupaten yaitu Kabupaten Pandeglang, Lebak, Serang, Tangerang, dan 2 Kota yaitu Kota Tangerang dan Cilegon. Provinsi ini meliputi 135 kecamatan, 146 kelurahan dan 1.337 desa (Tabel 4). Jumlah pegawai negeri sipil di Banten pada tahun 2004 sebanyak 2,768 orang yang terdiri dari 1.286 orang berpendidikan sarjana (Strata I/II/III), sedangkan sisanya 1.482 orang hanya berpendidikan non gelar (Sarjana muda/d3 atau yang lebih rendah). Tabel 4 Jumlah Kecamatan, Kelurahan dan Desa di Banten Kabupaten/Kota Kecamatan Desa/Kelurahan Desa Kelurahan Jumlah Kabupaten: 1. Pandeglang 31 322 13 335 2. Lebak 23 295 5 300 3. Tangerang 26 328-328 4. Serang 34 351 22 373 Kota: 5. Tangerang 13-104 104 6. Cilegon 8 41 2 43 Banten 135 1.337 146 1.483 Sumber: BPS Provinsi Banten 2006 4.3. Penduduk Jumlah penduduk di suatu daerah merupakan suatu aset dan potensi pembangunan yang besar, manakala penduduk tersebut berkualitas. Sebaliknya dengan jumlah pertumbuhan penduduk yang pesat tetapi dengan kualitas yang rendah akan menjadi beban besar bagi proses pembangunan yang akan dilaksanakan.

34 Penduduk Banten berdasarkan data hasil sensus penduduk yang disajikan pada Tabel 5 menunjukkan bahwa jumlah penduduk terus bertambah. Pada tahun 1961 tercatat sebanyak 2,43 juta jiwa. Dan pada tahun 2000, jumlah penduduk tersebut berdasarkan hasil sensus penduduk 2000 (SP 2000) telah bertambah menjadi 8,09 juta jiwa, kemudian di tahun 2005 meningkat menjadi 9,30 juta jiwa. Tabel 5 Perkembangan Penduduk di Banten 1980-2005 Kabupaten/Kota 1961 1971 1980 1990 2000 2005 Kab : 1. Pandeglang 440.213 572.628 694.759 858.435 1.011.788 1.106.788 2. Lebak 427.802 546.364 682.868 873.646 1.030.040 1.139.043 3. Tangerang 643.647 789.870 1.131.199 1.843.755 2.781.428 3.324.949 4. Serang 648.115 766.410 968.358 1.244.755 1.652.763 1.866.512 Kota : 5. Tangerang 206.743 276.825 397.825 921.848 1.325.854 1.537.244 6. Cilegon 72.054 93.057 140.828 226.083 294.936 334.408 Banten 2.438.574 3.045.154 4.015.837 5.967.907 8.096.809 9.308.944 Sumber: Sensus penduduk 1961, 1971, 1980, 1990, 2000 dan Susenas 2005 Kecenderungan penduduk yang terus bertambah dari periode sensus yang satu ke sensus berikutnya tentunya bukan hanya disebabkan oleh pertambahan penduduk secara alamiah, tetapi tidak terlepas dari kecenderungan migran baru yang masuk. Hal ini dikarenakan daya tarik Provinsi Banten dilihat dari potensi daerahnya seperti adanya perusahaan industri besar/sedang di daerah Cilegon, Tangerang dan Serang maupun potensi pariwisata di Pandeglang, Serang dan daerah lainnya, sehingga ketersediaan lapangan kerja dan makin kondusifnya kesempatan berusaha akan menarik pendatang dari luar Banten. Laju pertumbuhan penduduk Banten seperti yang disajikan pada Tabel 6 selama kurun waktu 1990-2000 rata-rata tumbuh sebesar 3,21%. Angka ini menunjukkan penurunan dibandingkan pertumbuhan antara tahun 1980-1990 yang rata-rata sebesar 4,04% tetapi relatif lebih besar bila dibandingkan antara kurun waktu 1971-1980 yang rata-rata sebesar 3,12%. Jumlah penduduk Banten pada tahun 2005 berdasarkan hasil Susenas bertambah menjadi 9.308.944 jiwa. Bila dihitung rata-rata laju pertumbuhan penduduk selama periode 2000-2005 besarnya sekitar 2,83%, relatif menurun dibandingkan periode 1990-2000 tetapi masih relatif lebih besar bila dibandingkan antara kurun waktu 1961-1971 yang besarnya 2,25%.

Tabel 6 Laju Pertumbuhan Penduduk di Banten (%) Kabupaten/Kota 1961-1971 1971-1980 1980-1990 1990-2000 2000-2005 Kab: 1. Pandeglang 2,66 2,17 2,14 1,71 1,81 2. Lebak 2,48 2,51 2,49 1,72 2,05 3. Tangerang 4,07 4,07 5,00 4,35 3,63 4. Serang 2,69 2,63 2,54 2,98 2,46 Kota: 5. Tangerang 2,96 4,11 8,77 3,83 3,00 6. Cilegon 2,59 4,71 4,85 2,79 2,54 Banten 2,25 3,12 4,04 3,21 2,83 Sumber: Sensus penduduk 1961, 1971, 1980, 1990, 2000 dan Susenas 2005 35 Kepadatan penduduk Banten mencapai 1.058 orang per kilometer persegi. Kota Tangerang masih merupakan daerah terpadat, yaitu sebesar 8.355 orang per kilometer persegi, sedangkan yang terendah adalah Kabupaten Lebak yang hanya sebesar 398 orang per kilometer persegi. Jumlah rumah tangga pada tahun 2005 di Banten mencapai 2.504.330. Berdasarkan hasil registrasi jumlah warga negara asing pada tahun 2005 tercatat sebanyak 16.871 jiwa yang terdiri dari warga negara asing Cina 12.141 dan sisanya 4.730 warga negara asing lainnya. 4.4. Tenaga Kerja Gambaran umum tingkat pendidikan tenaga kerja di Banten menunjukkan bahwa lebih dari separuhnya hanya berpendidikan sekolah dasar ke bawah, yaitu 56,6% (tahun 2001), berkurang menjadi sekitar 53,2% (tahun 2003) dan 48,6% (tahun 2004). Penurunan persentase tenaga kerja berpendidikan rendah tersebut mengindikasikan adanya perbaikan kualitas tenaga kerja dari sisi pendidikan. Untuk jenjang satu tingkat di atasnya (SLTP), porsinya sebesar 13,7% (tahun 2001) dan mengalami peningkatan setiap tahunnya, sehingga pada tahun 2004 telah mencapai 17,6%. Harapan tenaga kerja agar mampu menghadapi tingkat persaingan yang makin kompetitif, akan sangat bertumpu pada mereka yang memiliki tingkat pendidikan minimal SLTA di samping memiliki keterampilan dan keahlian sesuai tuntutan pasar kerja. Tenaga kerja berpendidikan SLTA pada tahun 2004 telah mencapai 27,0% dan meningkat cukup signifikan dibanding tahun 2001 yang besarnya baru mencapai 23,1%. Sementara itu tenaga kerja yang berpendidikan tinggi (PT) masih relatif rendah, hanya sebesar 6,8%.

36 Sektor ketenagakerjaan merupakan salah satu sektor penting pembangunan ekonomi khususnya dalam upaya pemerintah untuk menanggulangi kemiskinan. Hal ini disebabkan karena tenaga kerja adalah modal utama bagi geraknya roda pembangunan. Tahun 2004 dari jumlah penduduk Banten 9,08 juta jiwa ternyata 7,12 juta jiwa (78,46%) diantaranya merupakan penduduk usia kerja (PUK). Dari sejumlah PUK tersebut 3,9 juta jiwa (55,11%) merupakan angkatan kerja dan 3,19 (44,88%) bukan angkatan kerja. Tingkat partisipasi angkatan kerja (TPAK) Banten pada tahun 2004 sebesar 55,11%, meningkat dibanding tahun sebelumnya (55,07%). TPAK menurut kabupaten/kota tidak jauh berbeda dibanding tahun sebelumnya. TPAK tertinggi di Kabupaten Lebak (58,62%) dan terendah di Kota Tangerang (52,65%). Tingkat pengangguran di Provinsi Banten mencapai 19,85%. Tingkat pengangguran menurut kabupaten/kota tertinggi berada di Kabupaten Pandeglang (23,29%) dan Kota Cilegon (20,76%), sementara terendah di Kota Tangerang (16,55%). Proporsi penduduk yang bekerja menurut lapangan usaha biasanya dipakai sebagai salah satu ukuran untuk melihat potensi sektor perekonomian dalam menyerap tenaga kerja. Di Provinsi Banten, lapangan usaha pertanian (termasuk di dalamnya perikanan budidaya) merupakan sektor yang paling dominan dalam menyerap tenaga kerja, yaitu 25,80% dari total penduduk yang bekerja. Kemudian diikuti oleh industri (25,23%) dan perdagangan (20,58%). Perikanan budidaya sendiri menyerap tenaga kerja sebesar 15.469 orang atau hanya 1,89% dari total tenaga kerja di sektor pertanian secara agregat. 4.5. Investasi Pembangunan Investasi merupakan salah satu penggerak roda pembangunan karena investasi merupakan salah satu sumber pembiayaan bagi proses pembangunan. Investasi diperlukan untuk menunjang pertumbuhan ekonomi ataupun ekspansi lapangan kerja. Oleh karena itu, pemerintah melalui kebijakannya berusaha memfasilitasi para investor agar lebih giat melakukan investasi, antara lain dengan dipermudah kepemilikan saham oleh para pemodal asing dan makin terbukanya peluang usaha di Indonesia. Investasi pembangunan (baik oleh swasta dan pemerintah) sebagai salah satu bentuk stimulan ekonomi dalam pengembangan suatu sektor dialokasikan pada berbagai sektor. Sektor pertanian, kehutanan dan perikanan di Provinsi Banten mendapat alokasi investasi pembangunan (swasta dan pemerintah)

37 sebesar 120 juta rupiah pada tahun anggaran 2002/2003. Investasi tersebut dialokasikan di beberapa subsektor pertanian, kehutanan, perikanan (termasuk perikanan budidaya) untuk meningkatkan produksi di subsektor tersebut. Tabel 7 memperlihatkan bahwa sektor industri merupakan sektor utama, karena paling banyak diminati oleh perusahaan penanam modal yaitu mendapat investasi mencapai 1.356.264,62 juta rupiah atau 78,49%. Kemudian diikuti oleh sektor listrik, perdagangan dan jasa mencapai 297.555,00 juta rupiah atau 17,22%. Tabel 7 Realisasi Investasi Pembangunan di Provinsi Banten Tahun Anggaran 2002/2003 (Juta Rp) Sektor Dana Anggaran 1. Pertanian, Kehutanan, Perikanan 120,00 2. Pertambangan 70.650,00 3. Industri 1.356.264,62 4. Angkutan 3.411,00 5. Listrik, Perdagangan & Jasa 297.555,00 Total 1.728.000,62 Sumber: BPS Provinsi Banten 2005 Sebagai provinsi baru yang sedang membangun, Banten membutuhkan dana yang cukup besar untuk membiayai pembangunan. Di samping usaha memobilisasi dana dari dalam negeri, dana investasi dari luar negeri di luar pinjaman pemerintah juga terus diupayakan. Dalam upaya untuk menarik minat investor menanamkan modalnya di Banten, pemerintah daerah terus meningkatkan kegiatan promosi. 4.6. Perikanan Budidaya Selama masa krisis moneter melanda kawasan Asia, sektor perikanan telah menunjukkan kemampuannya sebagai salah satu sektor yang mampu bertahan dari krisis, bahkan menunjukkan peningkatan nilai ekspor. Hal ini disebabkan karena sektor ini mempunyai kandungan impor yang relatif kecil dibandingkan nilai ekspor yang dihasilkan. Kegiatan perikanan dapat dibedakan menjadi dua yaitu perikanan tangkap dan perikanan budidaya. Mengingat semakin banyaknya areal penangkapan yang mulai menunjukkan gejala over fishing di beberapa wilayah perairan Indonesia termasuk Provinsi Banten, maka perikanan budidaya dapat memberikan peluang usaha guna mensuplai makanan laut dalam jumlah besar dan berkualitas tinggi.

38 Perkembangan luas areal dan tempat pemeliharaan ikan dapat dilihat pada Tabel 8. Dari tabel tersebut tampak bahwa selama periode tahun 2004-2005 luas areal pemeliharaan ikan di Provinsi Banten khususnya tambak memiliki luas areal mencapai 8.010,55 ha, sedangkan budidaya laut memiliki luas areal efektif mencapai 11.882,00 ha (DKP 2006) yang tersebar di perairan pesisir Provinsi Banten. Sementara untuk tingkat kabupaten/kota luas areal tambak tertinggi berada di Kabupaten Serang, yaitu 5.141,67 ha (64,19%) dan terendah di Kabupaten Lebak 37,50 ha (0,47%). Tabel 8 Luas Areal dan Tempat Pemeliharaan Ikan di Banten (dalam ha) Kabupaten/Kota Budidaya Laut Budidaya Tambak Kab: 1. Pandeglang 6.317,69 354,00 2. Lebak 1.250,68 37,50 3. Tangerang 751,20 2.477,38 4. Serang 3.187,58 5.141,67 Kota: 5. Tangerang - - 6. Cilegon 374,85 - Banten 11.882,00* 8.010,55 Sumber: BPS Provinsi Banten 2006 * DKP 2006 Lokasi areal pengembangan budidaya perikanan terdapat di Kabupaten Serang, Kabupaten Tangerang, Kabupaten Pandeglang dan Kabupaten Lebak. Sementara itu Kota Cilegon dan Kota Tangerang tidak memiliki areal pengembangan, karena lebih didominasi oleh fungsi areal industri dan permukiman. Perkembangan produksi perikanan budidaya dapat dilihat dari Tabel 9. Hasil produksi perikanan budidaya di Provinsi Banten pada periode tahun 2004-2005 mengalami peningkatan. Tingkat produksi budidaya tambak mengalami peningkatan sebesar 14,09% dari 9.424,10 ton di tahun 2004 menjadi 10.970,70 ton. Budidaya laut juga mengalami peningkatan produksi sebesar 51,06%, menjadi 5.840,00 ton yang sebelumnya di tahun 2004 mencapai 2.858,00 ton.

Tabel 9 Produksi Ikan Menurut Tempat Pemeliharaan (dalam Ton) Kabupaten/Kota Budidaya Laut Budidaya Tambak Kab: 1. Pandeglang 3.010,00 429,30 2. Lebak - 80,40 3. Tangerang 2.830,00 7.309,50 4. Serang - 3.151,50 Kota: 5. Tangerang - - 6. Cilegon - - Banten 5.840,00 10.970,70 Sumber: BPS Provinsi Banten 2006 39 Dilihat dari kabupaten/kota, produksi tertinggi untuk budidaya tambak berada di Kabupaten Tangerang yang mencapai 7.309,50 ton (66,63%) dan terendah di Kabupaten Lebak yang hanya mencapai 80,40 ton (0,73%). Sementara untuk budidaya laut, Kabupaten Pandeglang memiliki produksi tertinggi yang mencapai 3.010,00 ton (51,54%) kemudian diikuti oleh Kabupaten Tangerang sebesar 2.830,00 ton (48,46%). Nilai produksi perikanan budidaya dapat dilihat pada Tabel 10. Nilai produksi perikanan di Provinsi Banten ternyata budidaya tambak memiliki nilai produksi mencapai 179.343 juta rupiah. Sementara budidaya laut memiliki nilai produksi mencapai 12.728 juta rupiah. Jika dilihat dari produktivitas tiap jenis usaha perikanan budidaya, maka budidaya tambak memiliki nilai produktivitas 1,37 ton/ha sementara budidaya laut memiliki nilai produktivitas 0.49 ton/ha. Hal ini perlu mendapat perhatian mengingat potensi budidaya laut yang lebih besar dari budidaya tambak, memungkinkan produktivitas budidaya laut lebih besar dari budidaya tambak. Tabel 10 Nilai Produksi Ikan Menurut Tempat Pemeliharaan (dalam Juta Rupiah) Kabupaten/Kota Budidaya Laut Budidaya Tambak Kab: 1. Pandeglang 1.408 14.777 2. Lebak - 809 3. Tangerang 11.320 133.389 4. Serang - 30.368 Kota: 5. Tangerang - - 6. Cilegon - - Banten 12.728 179.343 Sumber: BPS Provinsi Banten 2006

40 Dalam rangka menguatkan daya saing daerah pada era otonomi, maka perlu dikembangkan berbagai jenis komoditas unggulan perikanan dari usaha budidaya sesuai dengan keunggulan masing-masing kabupaten. Berbagai jenis komoditas unggulan perikanan budidaya yang layak untuk dikembangkan di Provinsi Banten adalah : Kabupaten Serang : udang dan bandeng Kabupaten Pandeglang : udang, patin dan kerapu Kabupaten Tangerang : udang dan patin Kabupaten Lebak : udang, bandeng dan patin Selain itu, rencana tata ruang wilayah Provinsi Banten menyebutkan bahwa lokasi budidaya yang dianggap tepat adalah kawasan pesisir sekitar Pulau Panaitan, kawasan pesisir Ujung Kulon, kawasan pesisir antara Labuan dan Panimbang, serta Pulau-pulau kecil di bagian utara dan selatan Provinsi Banten. 4.7. Ekosistem Hutan Mangrove Ekosistem mangrove merupakan kawasan pasang surut di muara sungai yang ditumbuhi vegetasi khas mangrove dan memiliki nilai ekonomi, ekologis dan sosial yang tinggi. Ekosistem mangrove ini tersebar hampir di seluruh provinsi di Indonesia, namun luasan mangrove juga terus mengalami perubahan yang disebabkan oleh berkurangnya luasan di alam karena konversi. Provinsi Banten yang memiliki luas wilayah 943.833 ha memiliki luas hutan mangrove sebesar 2.214,45 ha yang tersebar di Kabupaten Tangerang (Teluknaga, Mauk, Pakuhaji, Kronjo), Kabupaten Serang (Sepanjang pesisir sebelah selatan hingga timur Pulau Panjang, pesisir selatan, timur hingga utara Pulau Merak Besar dan Pulau Merak Kecil) serta Kabupaten Pandeglang (Pulau Panaitan, pesisir Teluk Pamegaran, Teluk Linto, Tanjung Waton, dan bagian timur laut Tanjung Karangjajar, pesisir Teluk Paraja dan Lorogan Cilintang) (DKP 2006). Secara ekologis, mangrove merupakan daerah asuhan, tempat berkembang biak dan mencari makan dari berbagai jenis ikan dan udang. Selain itu, mangrove juga merupakan sumberdaya yang memiliki potensi ekonomi dan sosial yang tinggi. Ekosistem mangrove menjadi salah satu kawasan andalan untuk berbagai bentuk kegiatan ekonomi produktif, seperti wisata, penghasil bahan bakar, kawasan perikanan, dan sebagainya yang menyebabkan banyak masyarakat yang kehidupannya tergantung secara sosial dan ekonomi pada keberadaan mangrove tersebut.

41 Arahan pengelolaan kawasan ekosistem mangrove di Provinsi Banten antara lain (BAPEDA 2002): 1. Kegiatan yang tidak menunjang perlindungan terhadap flora dan fauna di kawasan ini dilarang. 2. Kegiatan yang sudah ada, yang tidak menunjang perlindungan terhadap flora dan fauna di kawasan ini secara bertahap dipindahkan dengan penggantian yang layak. 3. Kegiatan tambak dan kegiatan lain yang berhubungan dengan aktivitas kelautan diperkenankan. 4. Penanaman kembali tanaman bakau pada daerah-daerah yang rawan terhadap bahaya banjir dan abrasi pantai. Berdasarkan arahan pengelolaan maka pemanfaatan lahan mangrove untuk budidaya harus tetap memperhatikan kelestarian ekosistem mangrove. Hal ini disebabkan karena lahan mangrove bermanfaat untuk penyedia pakan alami dan sumber benih bagi areal tambak yang ada di sekitarnya. Selain itu mangrove dapat berfungsi sebagai penyaring dan mengendapkan limbah yang berasal dari kawasan budidaya. Mengingat perikanan budidaya mampu memberikan sumbangan bagi perekonomian nasional yang tidak kecil dan menyadari arti pentingnya kawasan mangrove, maka pengembangan tambak di daerah mangrove membutuhkan pertimbangan yang komprehensif dan penuh kehati-hatian serta pemilihan lokasi yang paling sesuai. Dengan demikian, pemanfaatan areal tambak nantinya dapat menghasilkan panen yang optimal, sekaligus meminimumkan kuantitas pembukaan lahan mangrove yang sia-sia. Menurut informasi dari Dinas Kehutanan dan Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Banten, hutan mangrove yang ada tidak semua diprogramkan untuk kepentingan konservasi ataupun jalur hijau sehingga dapat dimanfaatkan untuk pengembangan perikanan budidaya. Pemanfaatan mangrove harus dilakukan dengan mempertimbangkan beberapa aspek teknis dan sesuai dengan kebutuhan. Salah satu cara untuk memadukan dua kepentingan yaitu pengembangan areal perikanan budidaya dengan pelestarian mangrove adalah bentuk silvofishery. Dengan teknik ini maka kegiatan budidaya dapat dipadukan dengan konservasi mangrove.