A. KESIMPULAN. Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, Universitas Indonesia

dokumen-dokumen yang mirip
Penggunaan instrumen..., Ronny Roy Hutasoit, FH UI, Universitas Indonesia

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

HAK MENUNTUT KERUGIAN KEUANGAN NEGARA SETELAH PUTUSAN BEBAS DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI 1 Oleh: Jekson Kasehung 2

PERATURAN MAHKAMAH AGUNG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 13 TAHUN 2016 TENTANG TATA CARA PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA OLEH KORPORASI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NO. 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI BAB I

2 tersebut dilihat dengan adanya Peraturan Mahkamah agung terkait penentuan pidana penjara sebagai pengganti uang pengganti yang tidak dibayarkan terp

BAB 1V PENUTUP. sebelumnya maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: yaitu Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor

BAB III PENUTUP KESIMPULAN. Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan Tindak Pidana

BAB IV KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI. A. Perbedaan Kewenangan Jaksa dengan KPK dalam Perkara Tindak

Instrumen Perdata untuk Mengembalikan Kerugian Negara dalam Korupsi

Perkembangan Kasus Perjadin Mantan Bupati Jembrana: Terdakwa Bantah Tudingan Jaksa

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG PERLINDUNGAN TERHADAP KORBAN TINDAK PIDANA KORUPSI

PEMBAHASAN RANCANGAN UNDANG - UNDANG TENTANG PERAMPASAN ASET * Oleh : Dr. Ramelan, SH.MH

PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI. UU No. 31 TAHUN 1999 jo UU No. 20 TAHUN 2001

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Keempat, Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 3.4 Penyidikan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)

BAB I PENDAHULUAN. uang. Begitu eratnya kaitan antara praktik pencucian uang dengan hasil hasil kejahatan

INDONESIA CORRUPTION WATCH 1 Oktober 2013

2014, No c. bahwa dalam praktiknya, apabila pengadilan menjatuhkan pidana tambahan pembayaran uang pengganti, sekaligus ditetapkan juga maksimu

PENAGIHAN SEKETIKA SEKALIGUS

MANTAN BOS ADHI KARYA KEMBALI DAPAT POTONGAN HUKUMAN.

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA R.I

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET TINDAK PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II KEWENANGAN JAKSA DALAM SISTEM PERADILAN DI INDONESIA. diatur secara eksplisit atau implisit dalam Undang-undang Dasar 1945, yang pasti

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesatu, Wewenang-Wewenang Khusus Dalam UU 8/2010

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB II PIDANA TAMBAHAN DALAM TINDAK PIDANA KORUPSI YANG BERUPA UANG PENGGANTI. A. Pidana Tambahan Dalam Tindak Pidana Korupsi Yang Berupa Uang

II. TINJAUAN PUSTAKA

Matriks Perbandingan KUHAP-RUU KUHAP-UU TPK-UU KPK

KERUGIAN KEUANGAN NEGARA DALAM UNDANG-UNDANG TINDAK PIDANA KORUPSI

Lex Crimen Vol. IV/No. 5/Juli/2015

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

BAB III PEMBAHASAN. A. Akibat Hukum terhadap Jabatan Notaris yang Dinyatakan Pailit Menurut UUJN DAN UU Kepailitan.

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

P U T U S A N NOMOR 74/PDT/2015/PT.BDG. DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA

BAB I PENDAHULUAN. dalam tahap pemeriksaan penyidikan dan atau penuntutan. 1

I. PENDAHULUAN. nyata. Seiring dengan itu pula bentuk-bentuk kejahatan juga senantiasa mengikuti perkembangan

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN... TENTANG PERAMPASAN ASET PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Pernyataan Pers MAHKAMAH AGUNG HARUS PERIKSA HAKIM CEPI

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

I. PENDAHULUAN. disuatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk menentukan

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. a. Pengertian, Kedudukan, serta Tugas dan Wewenang Kejaksaan

UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI [LN 1999/140, TLN 3874]

BAB IV PENUTUP. Tinjauan hukum..., Benny Swastika, FH UI, 2011.

BAB I PENDAHULUAN. Salah satu lembaga negara yang ada di Indonesia adalah Badan Pemeriksa

PEJABAT LELANG TERANCAM HUKUMAN 5 TAHUN PENJARA.

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENANGANAN PERKARA TINDAK PIDANA KORPORASI PERBANKAN DENGAN PERMA NO. 13 TAHUN 2016

Abstrak. Kata kunci: Peninjauan Kembali, Kehkilafan /Kekeliranan Nyata, Penipuan. Abstract. Keywords:

BAB II TINJAUAN UMUM MENGENAI HUKUM JAMINAN KREDIT. Istilah hukum jaminan berasal dari terjemahan zakerheidesstelling,

IMPLEMENTASI PENGATURAN JAKSA PENGACARA NEGARA DALAM PENANGANAN PERKARA KEPAILITAN DI KEJAKSAAN NEGERI BANJARMASIN. Abstrak

BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG HUKUM PERJANJIAN. dua istilah yang berasal dari bahasa Belanda, yaitu istilah verbintenis dan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB 2 GUGATAN PERDATA DALAM RANGKA PENGEMBALIAN KERUGIAN KEUANGAN NEGARA

BAB I PENDAHULUAN. kehidupan, baik bidang hukum, sosial, politik, ekonomi dan budaya. Dari

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II KEDUDUKAN CORPORATE GUARANTOR YANG TELAH MELEPASKAN HAK ISTIMEWA. A. Aspek Hukum Jaminan Perorangan Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata

Subbagian Hukum BPK Perwakilan Provinsi Bali

2013, No.50 2 Mengingat c. bahwa Indonesia yang telah meratifikasi International Convention for the Suppression of the Financing of Terrorism, 1999 (K

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG NOMOR 28 TAHUN

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 74/PUU-XV/2017

RANCANGAN PENJELASAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG PENCEGAHAN DAN PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

RAHASIA BANK. Vegitya Ramadhani Putri, SH, S.Ant, MA, LLM

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS MEDAN AREA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tata Cara Pelaksanaan Putusan Pengadilan Terhadap Barang Bukti

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 16 TAHUN 2000 TENTANG

BAB I PENDAHULUAN. dalam masyarakat itu sendiri, untuk mengatasi permasalahan tersebut dalam hal ini

BERITA NEGARA REPUBLIK INDONESIA

RINGKASAN PERMOHONAN PERKARA Nomor 41/PUU-XIII/2015 Pembatasan Pengertian dan Objek Praperadilan

PERAN KEMENTERIAN KEUANGAN DALAM PEMULIHAN ASET TINDAK PIDANA KORUPSI

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 20 TAHUN 2001 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 31 TAHUN 1999

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

PENEGAKAN HUKUM. Bagian Kesepuluh, Penelusuran Aset Penelusuran Aset. Modul E-Learning 3

Pemeriksaan Sebelum Persidangan

BAB I PENDAHULUAN. warga negaranya untuk menjunjung hukum itu agar dapat berperilaku, bertindak dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan

I. PENDAHULUAN. hukum serta Undang-Undang Pidana. Sebagai suatu kenyataan sosial, masalah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 1 TAHUN 2006 TENTANG BANTUAN TIMBAL BALIK DALAM MASALAH PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

NOMOR 25 TAHUN 2003 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2002 TENTANG TINDAK PIDANA PENCUCIAN UANG

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 6 TAHUN 1983 TENTANG KETENTUAN UMUM DAN TATA CARA PERPAJAKAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

BAB VIII KEPAILITAN. Latar Belakang Masalah

PH TAMHER-RAHAYAAN TEPIS TUNTUTAN JAKSA

KAJIAN TERHADAP PENYITAAN SEBAGAI PEMAKSAAN YANG DIHALALKAN OLEH HUKUM

LEMBARAN DAERAH KOTA LUBUKLINGGAU. Nomor 12 Tahun 2010 PERATURAN DAERAH KOTA LUBUKLINGGAU NOMOR 12 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK AIR TANAH

RANCANGAN UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR... TAHUN TENTANG HUKUM ACARA PIDANA DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. pidana korupsi yang dikategorikan sebagai kejahatan extra ordinary crime.

TINJAUAN PUSTAKA. 1. Pertanggungjawaban Pidana Korporasi

Transkripsi:

106 A. KESIMPULAN 1. UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK), mengenai gugatan perdata diatur dalam pasal 32 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 33, 34 dan Pasal 38 C UU PTPK. Didalam pengaturannya UU PTPK menetapkan karakteristik dapat gugatan perdata tindak pidana korupsi yang berbeda dengan gugatan perdata pada umumnya, yakni : a) Gugatan perdata diajukan setelah proses pidana tidak dimungkinkan. Gugatan perdata untuk tindak pidana korupsi dengan demikian mengandung karakteristik yang spesifik, yaitu dilakukan setelah upaya pidana tidak dimungkinkan lagi untuk diproses karena dihadapkan pada kondisi-kondisi tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 32, 33, 34, 38 C UU PTPK, meskipun telah terjadi kerugian keuangan negara. Tanpa adanya proses pidana terlebih dahulu, tertutup kemungkinan dilakukannya gugatan perdata untuk perkara tindak pidana korupsi. Kondisi hukum tertentu tersebut meliputi: Setelah dilakukan penyidikan ditemukan unsur tidak cukup bukti adanya tindak pidana korupsi; Gugatan perdata untuk tindak pidana korupsi diajukan antara lain karena penyidik gagal menemukan unsur-unsur cukup bukti dalam tindak pidana korupsi, sehingga tidak dimungkinkan proses pidana ditindak lanjuti. Pengertian tidak cukup bukti dalam Pasal 32 ayat (1) jika penyidik menganggap tidak terpenuhinya unsur-unsur tindak pidana korupsi dengan bukti-bukti yang dimilikinya. Ketentuan Pasal 32 ayat (1) selain memberikan dasar pengajuan gugatan perdata, juga berfungsi sebagai pijakan bagi para penyidik yang dituntut untuk bersikap profesional dan proporsional dalam

107 penanganan tindakan korupsi dalam jalur pidana. Penyidik dalam pegertian ini tidak harus memaksakan suatu tindakan yang terindikasi korupsi selalu diajukan ke depan persidangan pidana apabila ternyata salah satu unsur tindak pidana korupsi tersebut tidak cukup bukti. Penyidik tidak perlu melakukan berbagai cara untuk memaksakan pembuktian unsur-unsur tindak pidana tersebut dengan cara-cara yang melawan hukum. Contoh kasus misalnya dengan pembuatan berita acara pemeriksaan yang palsu yang pada akhirnya berujung pada putusan bebas. Tersangka meninggal dunia pada saat penyidikan dan Terdakwa meninggal dunia pada saat pemeriksaan sidang pengadilan; Gugatan perdata untuk tindak pidana korupsi juga dapat diajukan dalam keadaan tersangka meninggal dunia pada saat proses penyidikan, sebagaimana ketentuan Pasal 33 UU PTPK, sehingga tidak mungkin diproses secara pidana. Mengenai meninggal dunia saat proses pemeriksaan sidang pengadilan dalam keadaan sebagai terdakwa, diatur dalam Pasal 34 UU PTPK. Tanpa adanya tersangka atau terdakwa meninggal dunia tidak mungkin dilakukan gugatan perdata. Hal ini merupakan ciri khas lainnya dari gugatan perdata untuk tindak pidana korupsi, sehingga gugatan perdata dapat diajukan kepada ahli warisnya. Pengaturan gugatan perdata menjadi penting karena jika melalui jalur pidana, maka kewenangan menuntut pidana hapus jika terdakwa meninggal dunia, sebagaimana ketentuan Pasal 77 KUHP, yang menyatakan bahwa hak menuntut hilang karena meninggalnya si tersangka. Keberadaan Pasal 33 dan 34 UU PTPK tersebut menjadi penting dan tidak hanya sebagai dasar untuk dilakukannya gugatan perdata, tetapi juga merupakan solusi pengembalian keuangan negara, ketika proses pidana tidak mungkin dilakukan. Kenyataannya banyak ditemukan perkara tindak pidana korupsi

108 yang sedang berjalan kemudian tersangka atau terdakwanya meninggal dunia, proses persidangan tersebut menjadi terhenti dan dianggap selesai, tanpa ditindaklanjuti dengan gugatan perdata padahal nyata-nyata kerugian negara telah muncul. Gugatan perdata seharusnya dapat dilakukan oleh Jaksa Pengacara Negara sebagai penggugat yang ditujukan kepada ahli warisnya dalam posisi sebagai tergugat. Tanpa ada ketentuan seperti Pasal 33 dan 34 UU PTPK, sebetulnya Jaksa Pengacara Negara tetap dapat mengajukan gugatan perdata terhadap ahli waris yang ditujukan atau dibebankan pada harta pribadi si pembuat. Hal ini jelas secara hukum tidak ada persoalan, sesuai dengan sistem pembebanan pertanggungjawaban pidana yang bersifat pribadi. Maksud dilakukannya gugatan perdata apabila tersangka atau terdakwa perkara korupsi meninggal dunia, sehingga tanggung jawabnya beralih kepada ahli waris menandai bahwa dalam perkara korupsi di samping menekankan pemidanaan terdakwa juga menekankan adanya pengembalian uang negara yang dicuri. Pemahaman dalam konteks hukum maka proses hukum perkara korupsi tidak berhenti sampai dengan terjadinya kondisi seperti diatur dalam Pasal 77 KUHP. Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa perkara korupsi memiliki dua sisi, yaitu pidana dan perdata. Terdakwa diputus bebas; Gugatan perdata untuk tindak pidana korupsi dapat diajukan juga sehubungan dengan adanya putusan bebas, sebagaimana diatur di dalam ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU PTPK, yang menyatakan bahwa Putusan bebas dalam perkara tindak pidana korupsi tidak menghapuskan hak untuk menuntut kerugian terhadap keuangan negara. Akibat dari putusan bebas tersebut menjadikan terdakwa tidak mungkin lagi diajukan upaya secara pidana.

109 Pengertian putusan bebas dalam Pasal 32 ayat (2) UU PTPK adalah putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 191 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP berupa putusan vrijspraak ataupun onslag van rechtvervolging. Putusan yang dimaksud 191 ayat (1) didasarkan pada hasil pemeriksaan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara sah dan meyakinkan, yang berarti tidak terbukti menurut penilaian hakim atas dasar pembuktian dengan menggunakan alat bukti menurut ketentuan Hukum Acara Pidana. Adapun pengertian yang terkandung dalam Pasal 191 ayat (2) perbuatan yang dimaksud bukan merupakan suatu tindak pidana. Ketentuan Pasal 32 ayat (2) UU PTPK sangat signifikan untuk mengantisipasi adanya putusan bebas yang kemungkinan besar bisa membebaskan terpidana dari segala tuntutan kerugian keuangan negara, sehingga secara yuridis formil ketentuan. Pasal tersebut merupakan payung hukum dan sekaligus ciri khas dari gugatan perdata terhadap putusan bebas. Diduga terdapat hasil korupsi yang belum dirampas untuk negara walaupun putusan pengadilan telah berkekuatan hukum tetap. Gugatan perdata untuk tindak pidana korupsi dapat juga diajukan terkait dengan adanya putusan pengadilan yang telah dinyatakan mempunyai kekuatan hukum tetap. Gugatan perdata ini diajukan berdasarkan ketentuan Pasal 38 C UU PTPK yang mengharuskan adanya harta benda yang dikuasai oleh terpidana atau ahli warisnya diduga atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi setelah putusan pengadilan dinyatakan telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Gugatan ini dilakukan dengan perkataan lain ketika proses peradilan pidana berlangsung hingga putusan pengadilan berkekuatan hukum tetap tidak berhasil dilakukan perampasan.

110 Ketidakberhasilan perampasan dapat disebabkan alasan-alasan teknis, sebagai misal disembunyikan atau dicuci (money laundering) di negara lain. Dapat juga terjadi harta telah diketahui namun tidak dilakukan perampasan, meskipun UU PTPK memungkinkan sebagaimana ketentuan Pasal 38 B ayat (2). Apabila terdakwa tindak pidana korupsi tidak dapat membuktikan bahwa harta benda yang dimilikinya bukan berasal dari tindak pidana korupsi, maka hakim berwenang untuk memutuskan seluruh atau sebagian harta benda tersebut dirampas untuk negara. Tetapi apabila terhadap terdakwa telah dijatuhi putusan pengadilan dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap ternyata masih terdapat harta benda milik terpidana yang diduga atau patut diduga juga berasal dari tindak pidana korupsi yang belum dikenakan perampasan untuk negara, maka negara dapat melakukan gugatan perdata terhadap terpidana atau ahli warisnya. Negara memiliki hak untuk melakukan gugatan perdata kepada terpidana dan atau ahli warisnya terhadap harta benda yang diperoleh sebelum putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap, baik putusan tersebut didasarkan pada ketentuanketentuan sebelum berlakunya UU PTPK atau setelah berlakunya Undang-Undang tersebut. Gugatan perdata pengembalian kerugian keuangan negara terkandung makna yang sangat kuat untuk memenuhi rasa keadilan sebagai akibat dari tindakan melawan hukum yang dilakukan terpidana atau ahli warisnya yang dengan sengaja menyembunyikan harta benda yang diperoleh dari hasil korupsi yang telah merugikan keuangan negara, sebagaimana penjelasan Pasal 38 C UU PTPK. b) Gugatan perdata terbatas untuk Tindak Pidana Korupsi merugikan keuangan negara.

111 Ketentuan Pasal 32, 33, 34, dan 38 C UU PTPK mensyaratkan adanya unsur kerugian keuangan negara yang nyata, untuk dapat dilakukannya gugatan perdata. Hal tersebut disebabkan penyebutan bahwa kerugian keuangan negara hanya diatur dalam 2 (dua) pasal, yaitu Pasal 2 dan Pasal 3 UU PTPK. Ketentuan UU PTPK selain Pasal 2 dan Pasal 3 tidak menyinggung kemungkinan dapat atau secara nyata menimbulkan kerugian keuangan secara nyata. Hal ini berarti bahwa gugatan perdata tidak mencakup keseluruhan jenis tindak pidana korupsi yang diatur dalam UU PTPK. Berdasarkan uraian-uraian tersebut di atas menunjukan bahwa karakteristik spesifik gugatan perdata diajukan setelah tindak pidana tidak memungkinkan lagi dilakukan dan untuk tindak pidana korupsi yang merugikan keuangan negara, karena dihadapkan pada kondisi-kondisi tertentu sebagaimana dimaksud Pasal 32, 33, 34, 38 C UU PTPK. Tanpa adanya pengaturan dalam UU PTPK tidak memungkinkan untuk dilakukan gugatan perdata. Mengikuti logika UU PTPK dapat didalilkan, apabila tidak diatur oleh Undang-Undang berarti tidak dibenarkan untuk dilakukan gugatan perdata. 2. Instrumen Hukum Perdata Pembayaran Tidak Terutang (Onverschulddigde Betaling) diatur didalam KUHPerdata Bab ke-iii tentang perikatan-perikatan yang dilahirkan demi Undang-Undang, yakni pada Pasal 1359 s/d Pasal 1364 KUHPerdata.Menurut doktrin, pada dasarnya Undang-Undang telah membedakan Onvershulddigde Betaling, ke dalam berbagai kondisi, yakni : Terdapat kondisi tidak ada perikatan, namun karena suatu sebab/asumsi/anggapan seseorang atau pihak tertentu memperkirakan bahwa seseorang atau pihak tertentu tersebut memiliki utang, atau kewajiban atau prestasi atau perikatan yang harus dipenuhi olehnya kepada orang atau pihak lain, oleh karena itu seseorang atau pihak

112 tertentu yang disebut pertama melakukan suatu pembayaran terhadap orang atau pihak lain tersebut, padahal sesungguhnya utang, atau kewajiban atau prestasi atau perikatan tersebut pada dasarnya tidak pernah ada sejak awal ataupun karena suatu sebab tertentu telah hapus, sehingga sesungguhnya utang atau kewajiban atau prestasi atau perikatan tersebut sudah tidak ada lagi (Pasal 1359 KUHPerdata). Terdapat kondisi ada perikatan, tetapi berkemungkinan orang yang tidak tepat karena khilafnya melakukan pembayaran kepada orang yang tepat. (Pasal 1361 KUHPerdata).Bahwa pencantuman secara khilaf dimasukan karena Undang-Undang bermaksud membedakan pembayaran tidak terutang ini dari perikatan alamiah (natuurlijke verbintenis) yaitu suatu perikatan yang prestasinya ada pada pihak debitor tetapi tidak dapat dituntut pelaksanaannya oleh kreditor. Terdapat kondisi ada perikatan, tetapi berkemungkinan orang yang tidak tepat menyangka dirinya berutang ataupun orang yang tepat melakukan pembayaran kepada orang yang tidak tepat. Terhadap kondisi dimana orang yang tepat melakukan pembayaran kepada orang yang tidak tepat Undang-Undang membedakannya antara orang yang menerima pembayaran karena kekhilafannya (Pasal 1360 KUHPerdata), atau dengan itikad baik (Pasal 1363 KUHPerdata) dan orang yang menerima pembayaran dengan itikad jahat (Pasal 1362 KUHPerdata.) Terhadap kondisi-kondisi tersebut di atas Undang-Undang mengatur terhadap pembayaran utang tersebut dapat dituntut pengembaliannya dengan pengecualian sebagaimana di atur didalam Pasal 1359 ayat (2) yang berbunyi terhadap perikatan-perikatan bebas, yang secara sukarela telah dipenuhi, tak dapat dilakukan penuntutan kembali dan Pasal 1361 ayat (2) yang berbunyi meskipun demikian, hak ini hilang jika si berpiutang sebagai akibat pembayaran tersebut telah memusnahkan surat pengakuan berutangnya, dengan tidak mengurangi hak orang yang telah

113 membayar itu untuk menuntut kembali dari orang-orang yang sungguhsungguh berutang. Dari rumusan yang diberikan dalam Pasal 1359 KUH Perdata, dapat kita ketahui suatu Onvershulddigde Betaling memiliki unsur-unsur sebagai berikut : Adanya suatu perbuatan hukum yang halal berupa pembayaran utang. Perbuatan hukum tersebut dilakukan karena memperkirakan adanya suatu hutang / kewajiban /perikatan. Bahwa sebenarnya utang / kewajiban /perikatan tersebut tidak pernah ada sejak awal ataupun karena suatu sebab tertentu telah hapus, sehingga sesungguhnya utang/ kewajiban/ perikatan tersebut sudah tidak ada lagi. Terhadap apa yang telah dibayarkan dapat dituntut pengembaliannya dengan pengecualian sebagaimana yang telah disebutkan di atas. Undang-Undang mengatur, bahwa sebagai akibat dari adanya perbuatan hukum pembayaran yang tidak terutang oleh seseorang atau pihak tertentu kepada orang atau pihak lain, menimbulkan suatu kewajiban bagi orang atau pihak, baik dengan itikad baik maupun itikad buruk menerima pembayaran yang tidak terutang, untuk mengembalikan pembayaran yang tidak terutang ditambah bunga dan hasil-hasilnya jika dilakukan dengan itikad buruk (Pasal 1362 ayat (2) KUHPerdata), dan hanya pembayaran yang tidak terutang saja jika penerimaan pembayaran tidak terutang tersebut dilakukan dengan itikad baik (Pasal 1363 ayat (2) KUHPerdata). Mengenai bagaimana cara Pembayaran tidak terutang (Onverschulddigde Betaling) dapat diterapkan, KUHPerdata tidak mengatur secara rinci bagaimana cara pembayaran tidak terutang ini dilaksanakan dalam arti bagaimana caranya debitur dapat memperoleh kembali uang yang sudah dibayarkannya kepada kreditur. Namun dengan menafsirkan bunyi Pasal 1359, Pasal 1360, Pasal 1361 dan Pasal 1362 KUHPerdata. Debitur dapat memperoleh kembali uangnya dengan cara melakukan pemberitahuan

114 kepada kreditur bahwa kreditur sudah menerima sejumlah pembayaran tanpa hak dari si debitur dan atas pembayara tersebut dimintakan kepada kreditur untuk mengembalikannya. Dalam kondisi jika kreditur sudah diberitahu dan mengetahui bahwa Ia telah menerima pembayaran dari debitur tanpa hak, namun tidak juga melakukan pengembalian, maka debitur dapat menuntut atau menggugat kreditur dengan gugatan perbuatan melawan hukum karena tidak melakukan kewajiban hukumnya untuk mengembalikan uang si debitur sebagaimana diatur didalam Pasal 1359 s/d Pasal 1364 KUHPerdata, sehingga atas perbuatannya tersebut mengakibatkan kerugian dari sisi debitur. Lebih jauh pada praktek diluar KUHPerdata, penulis menemukan praktik konsep pembayaran tidak terutang (Onverschulddigde Betaling) pada konsep pengembalian terhadap pembayaran pajak yang seharusnya tidak terhutang dan konsep tuntutan ganti rugi didalam hukum administrasi negara. 3. Terkait dengan pokok permasalahan apakah instrumen hukum perdata pembayaran tidak terutang (Onverschulddigde Betaling) dapat digunakan atau tidak dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi, khusus terkait penanganan kasus mantan Presiden Soeharto. Tidak ada satupun UU PTPK yang mengatur mengenai pelarangan mengenai penggunaan instrumen hukum perdata pembayaran tidak terutang (Onverschulddigde Betaling) dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi, sehingga menurut penulis dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi, instrumen hukum perdata pembayaran tidak terutang (Onverschulddigde Betaling) dapat saja digunakan namun Ia tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi dasar didalam gugatan secara perdata, karena UU PTPK hanya mengatur mengenai jalur perdata dalam penanganan kasus tindak pidana korupsi berupa gugatan perdata. Dapat atau tidaknya penggunaan instrumen hukum perdata pembayaran tidak terutang

115 (Onverschulddigde Betaling) didalam penanganan kasus tindak pidana tidak terlepas pada dapat digunakan atau tidaknya, gugatan perdata sesuai dengan yang diatur dalam UU PTPK, karena UUPTPK sudah mengatur kondisi-kondisi yang bagaimana sehingga jalur perdata dapat digunakan dalam penanganan kasus korupsi. Khusus dalam kasus tindak pidana korupsi mantan Presiden Soeharto. Penulis berpendapat dalam rangka mengoptimalkan pengembalian kerugian keuangan negara, seharusnya Kejaksaan Agung (Jaksa Penuntut Umum) menggunakan kontruksi hukum pembayaran tidak terutang sebagai dasar gugatan daripada perbuatan melawan hukum atas penyalahgunaan dana yang dikumpulkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor : 15 Tahun 1976 tanggal 23 April 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-Bank Milik Pemerintah yang kemudian diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 333/KMK.011/1978 tanggal 30 Agustus 1978, karena otomatis pengembalian kerugian keuangan negara yang akan dikembalikan hanya terbatas pada pengembalian terhadap uang yang disalahgunakan, padahal secara keseluruhan uang yang dikumpulkan berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor : 15 Tahun 1976 tanggal 23 April 1976 tentang Penetapan Penggunaan Sisa Laba Bersih Bank-Bank Milik Pemerintah yang kemudian diatur lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor : 333/KMK.011/1978 tanggal 30 Agustus 1978, adalah milik negara dan pada dasarnya negara tidak memiliki kewajiban untuk menyetorkannya kepada Yayasan Beasiswa Supersemar oleh karena itu apa yang sudah disetorkan tersebut berdasarkan Pasal 1359 KUHPerdata dapat dituntut pengembaliannya oleh negara. B. SARAN 1. Perlu dilakukan kegiatan penambahan pengetahuan secara kontinyu terhadap para penegak hukum (khususnya penuntut umum) terkait

116 pemahaman konsepsi gugatan perdata tindak pidana korupsi dalam rangka pengembalian kerugian keuangan negara, bahwa terdapat banyak instrumen hukum perdata yang dapat digunakan sebagai dasar gugatan guna mengoptimalkan pengembalian kerugian keuangan negara. 2. Agar dilakukan sosialisasi mengenai keberadaan instrumen hukum perdata pembayaran tidak terutang (Onverschulddigde Betaling) sebagai dasar gugatan perdata tindak pidana korupsi dalam rangka optimalisasi pengembalian kerugian keuangan negara dalam kasus tindak pidana korupsi. DAFTAR PUSTAKA BUKU/MAJALAH Ali, Chaidir, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1987.