BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Tawuran terjadi dikalangan pelajar sudah menjadi suatu hal yang biasa, sebagai contoh kasus tawuran (metro.sindonews.com, 25/11/2016) yang terjadi di tangerang, sejumlah pelajar di Kota Tangerang kembali terlibat tawuran di Jalan Sudirman, Cikokol, Tangerang. Para pelajar ini awalnya saling mengejek satu sama lain dan tawuran antar pelajar pun terjadi. Para pelajar menyerang dengan pedang panjang dan juga melempar batu. Menurut data dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), kasus kekerasan pada anak di dunia pendidikan belakangan ini makin marak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mencatat sedikitnya 1.850 kasus kekerasan (bullying) yang terjadi, baik di lingkunan sekolah maupun di luar sekolah. Kondisi ini disinyalir akibat ada yang salah di sekolah. Kepala Sub Bagian Data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Lasmi mengatakan, dari Januari 2011 sampai 2013 kasus yang terjadi pada anak-anak di lingkungan pendidikan terus mengalami peningkatan, namun pada 2014 malah menurun. Data penurunan anak sebagai korban menunjukkan adanya kesadaran dari orang tua dan pendidik terhadap isu perlindungan anak. KPAI mengkategorikan kasus kekerasan terhadap anak diklaster (pengelompokan) pendidikan. Dalam klaster pendidikan antara lain anak korban tawuran pelajar, anak pelaku tawuran pelajar, anak korban kekerasan 1
2 sekolah, anak korban pelaku kekerasan di sekolah, dan anak korban kebijakan lembaga sekolah. Data dari klaster (pengelompokan kasus) dalam lingkungan pendidikan dari KPAI untuk anak korban tawuran pelajar menunjukkan, pada 2011 terdapat 20 kasus, 2012 terdapat 49 kasus, 2013 terdapat 52 kasus, 2014 terdapat 113 kasus, 2015 ada 37 kasus. Anak pelaku tawuran pelajar, pada 2011 terdapat 64 kasus, 2012 ada 82 kasus, 2013 ada 71 kasus, 2014 terdapat 46 kasus, dan 2015 terdapat 62 kasus. Menyikapi hal tersebut, KPAI meminta kepada masyarakat untuk tidak berdiam diri bila melihat kejadian terhadap anak, baik dalam lingkungan sekolah maupun di lingkungan tempat tinggal (http://www.harnas.co, 22/09/2015). Berbagai faktor pemicu terjadinya tawuran antar pelajar tersebut, dapat dikategorikan menjadi dua, yakni faktor internal yang berasal dari dalam diri pelajar dan faktor eksternal dari luar diri pelajar sebagai remaja. Faktor internal dari dalam diri remaja ini berupa faktor-faktor psikologis sebagai manifestasi dari aspek-aspek psikologis atau kondisi internal individu yang berlangsung melalui proses internalisasi diri yang keliru dalam menanggapi nilai-nilai di sekitarnya (Basri, 2015). Faktor internal, yaitu : 1). Mengalami krisis identitas, menunjuk pada ketidakmampuan pelajar sebagai remaja dalam proses pencarian identitas diri. Identitas diri yang dicari remaja adalah bentuk pengalaman terhadap nilai-nilai yang akan mewarnai kepribadiannya. 2). Memiliki kontrol diri yang lemah, remaja kurang memiliki pengendalian diri dari dalam, sehingga sulit menampilkan sikap dan perilaku yang adaptif sesuai dengan pengetahuannya atau tidak terintegrasi dengan baik. 3). Tidak mampu
3 menyesuaikan diri, pelajar yang melakukan tawuran biasanya tidak mampu melakukan penyesuaian dengan lingkungan yang kompleks. Di samping faktor internal, faktor lain yang juga dapat menyebabkan remaja terlibat dalam tawuran adalah kondisi eksternal (kondisi di luar diri remaja), yakni lingkungan sosialnya. Faktor-faktor yang bersumber dari lingkungan sosial pelajar ini, yaitu: 1). Lingkungan keluarga. Keluarga adalah tempat pendidikan pertama kali diterima remaja sebagai pelajar. Sehingga, baik buruknya pendidikan keluarga yang diterima pelajar, akan menentukan sikap dan perilakunya. 2). Lingkungan sekolah. Sekolah pertama-tama bukan dipandang sebagai lembaga yang harus mendidik pelajar menjadi sesuatu. Tetapi sekolah terlebih dahulu harus dinilai dari kualitas pengajarannya. 3). Lingkungan teman sebaya. Setiap pelajar memiliki perilaku yang berbeda, dan setiap perilaku yang terbentuk pada diri pelajar merupakan cerminan dari lingkungan pertemanannya. Mereka berkelompok karena mereka merasakan sebuah perasaan senasib. Perasaan senasib tersebut menimbulkan sebuah solidaritas yang sifatnya fanatik dan simbolik. Dari kasus diatas kita bisa melihat salah satu cara remaja menyelesaikan permasalahan. Tawuran antar pelajar maupun tawuran antar remaja semakin meningkat semenjak terciptanya geng-geng sekelompok anak muda. Mereka sudah tidak merasa bahwa perbuatan tawuran yang dilakukan sangatlah tidak terpuji dan bisa menggangu ketenangan dan ketertiban masyarakat. Sebaliknya, mereka malah merasa bangga jika masyarakat itu takut dengan geng/kelompoknya. Seorang pelajar yang berpendidikan seharusnya tidak melakukan tindakan yang tidak terpuji seperti itu.
4 Biasanya permusuhan antar sekolah itu terjadi dimulai dari masalah yang sangat sepele. Remaja yang masih labil tingkat emosinya justru menanggapi sebagai sebuah tantangan bagi mereka. Masalah sepele tersebut bisa berupa saling ejek ataupun masalah memperebutkan seorang wanita. Pemicu lain biasanya adanya rasa dendam. Dengan rasa kesetiakawanan yang tinggi para siswa tersebut akan membalas perlakuan yang disebabkan oleh siswa sekolah yang dianggap merugikan seorang siswa atau mencemarkan nama baik sekolah. Sikap para remaja dalam memandang tawuran setiap orangnya pasti berbeda. Apabila sikap remaja memandang tawuran merukapan hal yang biasa dan dapat menyelesaikan masalah yang ada, maka mereka akan aktif dalam tawuran. Apabila sikap remaja menganggap tawuran itu hal yang negatif maka mereka akan pasif dalam tawuran. Sikap menurut Azwar (2007), adalah suatu bentuk evaluasi atau reaksi perasaan. Sikap seseorang terhadap suatu objek adalah perasaan mendukung atau memihak (favorable) maupun perasaan tidak mendukung atau tidak memihak (unfavorable) pada objek tersebut. Azwar (2007) menyatakan, sikap memiliki 3 komponen yaitu: aspek kognitif, afektif, dan konatif. Komponen kognitif merupakan komponen yang berisi kepercayaan seseorang mengenai apa yang berlaku atau apa yang benar bagi objek sikap. Komponen afektif merupakan komponen yang menyangkut masalah emosional subjektif seseorang terhadap suatu objek sikap. Secara umum, komponen ini disamakan dengan perasaan yang dimiliki terhadap sesuatu. Komponen konatif dalam struktur sikap menunjukkan bagaimana perilaku atau kecenderungan berperilaku yang ada dalam diri seseorang berkaitan dengan objek sikap yang dihadapinya.
5 Dalam hal ini tawuran yang biasa terjadi di sekolah-sekolah disebabkan oleh para siswa memiliki tingkat kematangan emosi yang rendah. Menurut Azwar (2007) faktor-faktor yang mempengaruhi pembentukan sikap, yaitu: pengalaman pribadi, pengaruh orang lain yang dianggap penting (orangtua), pengaruh kebudayaan, media massa, lembaga pendidikan dan lembaga agama, dan faktor emosional. Pengaruh orang lain yang dianggap penting (orangtua), pada umumnya, individu cenderung untuk memiliki sikap yang konformis atau searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting (Azwar, 2007). Pola asuh orang tua merupakan segala bentuk dan proses interaksi yang terjadi antara orang tua dan anak yang merupakan pola pengasuhan tertentu dalam keluarga yang akan memberi pengaruh terhadap perkembangan kepribadian anak (Baumrind, dalam Irmawati 2002). Pola asuh orang tua memiliki pengaruh yang amat besar dalam membentuk kepribadian anak yang tangguh sehingga anak berkembang menjadi pribadi yang percaya diri, berinisiatif, berambisi, beremosi stabil, bertanggung jawab, dan mampu menjalin hubungan interpersonal yang positif. Sedangkan pola asuh yang menerapkan disiplin dan sistem hukuman yang berlebihan, yang tidak berusaha berkomunikasi, memberikan penjelasan, pengertian, dan menerapkan peraturanperaturan yang konsisten, dan yang secara keterlaluan memarahi anak-anak cenderung menghalangi perkembangan perilaku prososial anak (Hastings dkk, 2000). Orang tua merupakan pengambil peran utama dalam mengasuh anak anaknya. Terutama kedekatan anak terhadap ibu, karena ibunya yang
6 mendukung, melahirkan dan menyusui secara psikologis menpunyai ikatan yang lebih dalam. Terjadinya krisis hubungan yang melibatkan antara orang tua dan anak sebagian besar disebabkan karena ketidakbijaksanaan orang tua dalam menerapkan pola asuh kepada anaknya. Sikap pengasuhan anak itu tercermin dari dalam pola pengasuhan kepada anak yang berbeda beda karena orang tua dan keluarga mempunnyai pola pengasuhan tertentu (Setyono, 2009). Erikson (1993), pentingnya peran orang tua dalam mengembangkan aspek psikososial anak orang tua yang memberikan kehangatan, kenyamanan, cinta dan kasih sayang pada anak sejak usia dini, akan memungkinkan anak mengembangkan rasa percaya pada lingkungannya bila bisa melalui tahap-tahap ini dengan baik, anak akan lebih mudah mengembangkan atonomi dan inisiatif pada dirinya dengan kata lain anak tidak akan di dominasi oleh rasa ragu ataupun cemas dalam mengeksploitasi lingkungannya. Faktor yang mempengaruhi dalam pembentukan sikap adalah faktor emosional, dimana pada masa SMA kematangan emosi masih menimbulkan polemik tersendiri. Faktor emosional, suatu bentuk sikap terkadang didasari oleh emosi, yang berfungsi sebagai semacam penyaluran frustrasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Masa remaja dikenal sebagai masa transisi dari masa anak-anak ke masa dewasa. Pada masa ini remaja banyak mengalami perubahan-perubahan pada sejumlah aspek perkembangannya baik fisik, psikologis, emosi, mental, sosial maupun moral. Akibat dari perubahanperubahan yang terjadi pada remaja akan membuat remaja menjadi bingung dalam menempatkan dirinya dalam masyarakat.
7 Hurlock (2004) juga mengatakan bahwa, perubahan-perubahan yang terjadi pada remaja menuntut remaja untuk mengadakan perubahan besar pada perilaku dan sikapnya sesuai dengan tugas perkembangannya dengan cara yang adiktif. Sebagian remaja beranggapan bahwa tugas perkembangan yang mereka kerjakan semakin sulit yang mengakibatkan tekanan yang dialami semakin berat. Proses pencapaiannya sangat dipengaruhi oleh kondisi sosio-emosional lingkungannya, terutama lingkungan keluarga dan lingkungan kelompok teman sebaya. Di waktu yang bersamaan mereka harus mampu menyesuaikan diri dengan sejumlah perubahan yang terjadi akibat perubahan fisiknya. Sebagai konsekuensi dari berbagi perubahan tersebut mengakibatkan kestabilan emosi dari waktu ke waktu turut berubah. Menurut Hurlock (2004), individu yang dikatakan matang emosinya yaitu dapat melakukan kontrol diri yang bisa diterima secara sosial. Individu yang emosinya matang mampu mengontrol ekspresi emosi yang tidak dapat diterima secara sosial atau membebaskan diri dari energi fisik dan mental yang tertahan dengan cara yang dapat diterima secara sosial. Dari beberapa kasus yang terjadi pada remaja dapat dilihat bahwa persoalan yang mendasar adalah adanya ketidakmampuan remaja mengendalikan emosi dalam dirinya. Emosi dikatakan sebagai kunci kehangatan dari sebuah interaksi dalam bermasyarakat. Ditinjau dari sifatnya, ada emosi yang bersifat positif yaitu emosi yang menyenangkan. Emosi yang positif ini dapat memperkaya dan mengisi arti kehidupan bagi seseorang sehingga dapat dinikmati.sedangkan emosi yang bersifat negatif biasanya sering menimbulkan
8 gangguan atau masalah dalam kehidupannya. Emosi-emosi tersebut dapat berupa takut, marah dan iri. Remaja dikatakan telah mencapai kematangan emosinya, jika ia mampu mengendalikan emosi dengan baik dan tidak meledakkan emosinya ditempat umum (Hurlock, 2004). Pada tahapan perkembangan seperti remaja, kematangan emosi dapat dicapai melalui beberapa tahap dan cara, antara lain dengan cara mengenali stimulus maupun gejala-gejala emosi yang timbul dalam dirinya, mengasah kemampuannya dalam berfikir secara rasional dan belajar dari lingkungannya. Berdasarkan beberapa permasalahan diatas, penulis tertarik untuk mengangkat masalah sikap tawuran yang terjadi pada remaja khususnya pada siswa SMA dikaitkan dengan pola asuh orangtua dan kematangan emosi, dengan judul penelitian Pengaruh Pola Asuh Orangtua dan Kematangan Emosi terhadap Sikap Tawuran Remaja pada Siswa SMA X di Tangerang. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis menarik rumusan masalah sebagai berikut : a. Adakah pengaruh antara pola asuh orangtua dan kematangan emosi terhadap sikap tawuran remaja pada siswa SMA X di Tangerang. b. Adakah pengaruh pola asuh orangtua terhadap sikap tawuran remaja pada siswa SMA X di Tangerang. c. Adakah pengaruh kematangan emosi terhadap sikap tawuran remaja pada siswa SMA X di Tangerang.
9 1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut : a. Ingin mengetahui pengaruh antara pola asuh orangtua dan kematangan emosi terhadap sikap tawuran remaja pada siswa SMA X di Tangerang. b. Ingin mengetahui pengaruh pola asuh orangtua terhadap sikap tawuran remaja pada siswa SMA X di Tangerang. c. Ingin mengetahui pengaruh kematangan emosi terhadap sikap tawuran remaja pada siswa SMA X di Tangerang. 1.4 Kegunaan Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Menambah wawasan dan ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan bimbingan dan konseling yang khususnya dapat dimanfaatkan sebagai kajian bersama mengenai pola asuh orangtua tentang kematangan emosi anak sehingga dapat dijadikan sumber informasi yang bermanfaat bagi dunia pendidikan. 1.4.2 Manfaat Praktis a. Bagi guru, hasil penelitian ini dapat menjadi pengetahuan yang baru bagi para guru pembimbing saat mengajar disekolah, agar lebih mengetahui tingkat kematangan emosi para siswanya. b. Bagi Orang tua, penelitian ini diharapkan menjadi bahan introspeksi orang tua dalam mendidik anaknya sehingga dapat menjadikan anak lebih baik lagi. Selain itu dapat menjadi masukan orang tua agar dapat menerapkan pola asuh yang ideal bagi anak-anaknya sehingga
10 dapat menjadikan anak matang dalam emosi di dalam dirinya maupun pergaulan dalam lingkungannya. c. Bagi peneliti lainnya, penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan tentang pengaruh pola asuh orang tua terhadap kematangan emosi pada siswa SMA X di Tangerang. 1.5 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan skripsi ini terdiri dari lima bab yang meliputi : Bab I: Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II: Landasan Teori berisi, Pengaruh Pola Asuh Orangtua dan Kematangan Emosi terhadap Sikap Tawuran Remaja pada Siswa SMA X di Tangerang, penelitian yang relevan dan hipotesis. Bab III: Metode Penelitian berisi tentang jenis penelitian, variable penelitian, Populasi dan sampel, metode pengumpulan data, teknik analisis data. Bab IV: Hasil Penelitian dan Pembahasan berisi tentang gambaran umum subyek penelitian, hasil penelitian dan pembahasan. Bab V: Penutup berisi kesimpulan dan saran.