BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Lahirnya pemikiran untuk melakukan suatu perubahan sistem pemerintahan dari sistem sentralisasi menjadi sistem desentralisasi dalam rangka memberikan harapan yang sangat besar bagi bangsa Indonesia untuk menciptakan kesejahteraan bagi seluruh lapisan masyarakat. Banyak pihak yang menganggap sistem ini akan memberikan jawaban terhadap keraguan seluruh bangsa Indonesia yang selalu manganggap bahwa pembangunan hanya terpusat pada pulau jawa, pulau yang menjadi tempat pusat pemerintahan. Dahulunya pemerintahan pusat harus mengurusi seluruh daerah yang ada di Indonesia, sehingga terkadang ada daerah yang luput dari perhatian pemerintah pusat, mengingat begitu banyak dan luasnya daerah yang ada di Negara Kesatuan Republik Indonesia ini serta tidak didukungnya dengan akses transportasi yang memadai (Antong dkk, 2015). Sistem desentralisasi ini dilaksanakan dengan melalui kebijakan otonomi daerah. Adanya otonomi daerah membuat pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk mengatur rumah tangga sendiri. Pemerintah daerah melaksanakan roda pemerintahan secara mandiri, tetapi tetap melakukan koordinasi dan pengawasan dari pemerintah pusat. Diharapkan dengan otonomi daerah ini bisa membuat pemerintah lebih dekat dengan masyarakatnya (Antong dkk, 2015). Otonomi daerah adalah wewenang yang dimiliki daerah otonom untuk mengatur dan mengurus masyarakatnya menurut kehendak sendiri berdasarkan 1
2 aspirasi masyarakat, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pertimbangan yang mendasari perlunya diselenggarakan otonomi daerah adalah perkembangan kondisi di dalam dan di luar negri (Halim, 2012). Salah satu aspek penting pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi yang harus diatur secara hati-hati adalah masalah pengelolaan keuangan daerah dan anggaran daerah. Salah satu upaya pemerintah daerah dalam membiayai daerahnya adalah melalui penerimaan pajak, khususnya Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Pajak Bumi dan Bangunan merupakan salah satu penerimaan pemerintah pusat yang sebagian hasilnya (sekitar 90 persen) diserahkan kembali kepada daerah yang bersangkutan. Pajak bumi dan bangunan (PBB) dikenakan pada lima sektor yaitu sektor perdesaan, perkotaan, perkebunan, kehutanan dan pertambangan (Mardiasmo, 2009). Pemungutan pajak ini dilakukan oleh pemerintah pusat yang dalam pelaksanaanya senantiassa bekerja sama dengan pemerintah daerah. Pemungutan dan pengalokasian PBB dilakukan oleh pusat agar ada keseragaman dan keadilan dalam perpajakan. Hal ini karena pemerintah pusat bertindak sebagai pengatur agar pemerintah daerah tidak memutuskan PBB atas kemauannya sendiri. Untuk mendukung kebijakan otonomi daerah, maka dilakukan pengalihan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang dituangkan dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (www.pajak.go.id). Pemberlakuan Undang-Undang nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah yang menggantikan Undang-Undang Nomor 34 tahun 2000
3 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, telah memberikan peluang kepada daerah Kabupaten dan Kota untuk memperluas basis pajak bagi daerah karena memberikan kemungkianan yang lebih besar bagi daerah untuk meningkatkan pendapatan asli daerah (Nurbowono, 2016). Dengan terbitnya Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Pemerintah Daerah kini mempunyai tambahan sumber pendapatan asli daerah (PAD) yang berasal dari Pajak Daerah sehingga saat ini jenis pajak kabupaten/kota terdiri dari sebelas jenis pajak, yaitu Pajak Hotel, Pajak Restoran, Pajak Hiburan, Pajak Reklame, Pajak Penerangan Jalan, Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan, Pajak Parkir, Pajak Air Tanah dan Sarang Burung Walet, Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan, dan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (Fitri, 2014). Namun hanya PBB sektor perdesaan dan Perkotaan saja yang pengelolaannya dialihkan kepada pemerintah daerah berdasarkan UU No.28/2009, sehingga hal ini berdampak kepada bertambahnya jenis pajak Kabupaten/Kota seperti yang terlihat pada tabel berikut:
4 Tabel 1.1 Perbedaan Jenis Pajak Kabupaten/Kota pada UU No.34/2000 dengan UU No.28/2009 UU 34/2000 UU 28/2009 1. Pajak Hotel 1. Pajak Hotel 2. Pajak Restoran 2. Pajak Restoran 3. Pajak Hiburan 3. Pajak Hiburan 4. Pajak Reklame 4. Pajak Reklame 5. Pajak Penerangan Jalan (PPJ) 5. Pajak Penerangan Jalan (PPJ) 6. Pajak Parkir 6. Pajak Parkir 7. Pajak Pengambilan Bahan Galian Gol. 7. Pajak Mineral Bukan Logam dan C Batuan (perubahan nomenklatur) 8. Pajak Air Tanah (pengalihan dari provinsi) 9. Pajak Sarang Burung Walet (baru) 10. PBB sektor Perdesaan dan Perkotaan (baru) 11. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (baru) Sumber : Materi Presentasi Pengalihan PBB-P2 dan BPHTB sebagai Pajak Daerah, Direktorat Jendral Pajak Agustus 2011. Menurut Undang-undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah, pengalihan pengelolaan BPHTB dilaksanakan mulai 2 Januari 2011 dan pengalihan pengelolaan PBB P2 ke seluruh pemerintah kabupaten/kota dimulai paling lambat Januari 2014. Kota Surabaya merupakan kota pertama yang menerima pengalihan pengelolaan PBB P2. Dengan demikian pemerintah Kota Surabaya merupakan pilot project atau kota pertama atas pelaksanaan pengalihan pengelolaan penerimaan dari sektor PBB P2. Keberhasilan Pemerintah Surabaya dalam mengelola penerimaan
5 dari sektor PBB P2 dapat dijadikan contoh bagi pemerintah kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Salah satu jenis pajak baru yang dipungut daerah adalah Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2). PBB P2 yang sebelumnya merupakan pajak pusat, dialihkan menjadi pajak daerah kabupaten/kota, dengan berbagai pertimbangan. Pertama, secara konseptual PBB P2 dapat dipungut oleh daerah karena lebih bersifat lokal, visibilitas, objek pajak tidak berpindah-pindah (immobile), dan terdapat hubungan erat antara pembayar pajak dan yang menikmati hasil pajak tersebut. Kedua, pengalihan PBB P2 kepada daerah diharapkan dapat meningkatkan PAD dan memperbaiki struktur APBD. Ketiga, pengalihan PBB P2 kepada daerah dapat meningkatkan pelayanan kepada masyarakat, dan memperbaiki aspek transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan. Keempat, berdasarkan praktik di banyak negara, PBB P2 termasuk kedalam jenis lokal tex (www.kemenkeu.go.id). Menurut Kepala Bidang Penagihan, keberatan dan pelaporan Badan Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPPKAD) Kabupaten Blora pada tanggal 2 Januari 2014, PBB P2 resmi dikelola mandiri oleh pemerintah daerah, mulai dari perencanaan hingga pengelolaan dilakukan oleh BPPKAD, tidak lagi melalui KPP Blora. Pengambilan alih PBB P2 di Kabupaten Blora selain karena peraturan yang telah ditetapkan pemerintah pusat juga untuk memaksimalkan potensi penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) di Kabupaten Blora.
6 Kabupaten Blora merupakan salah satu Kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Sektor utama perekonomian di Kabupaten Blora adalah pertanian. Subsektor kehutanan Kabupaten Blora adalah daerah penghasil kayu jati terbesar dan merupakan salah satu yang terbaik di Indonesia. Selain itu daerah juga merupakan daerah tambang minyak bumi dengn cadangan minyak bumi sebanyak 250 juta barel. Dengan kekayaan alam yang melimpah diharapkan pertumbuhan pembangunan di Kabupaten Blora meningkat sehingga objek Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perdesaan dan Perkotaan bertambah. Berikut merupakan tabel jumlah SPPT dari tahun 2012-2015 : Tabel 1.2 Perkembanganh Wajib Pajak PBB-P2 di Kabupaten Blora Tahun 2012-2015 Tahun Jumlah SPPT 2012 505.984 2013 509.490 2014 537.453 2015 537.915 Sumber : BPPKAD Kabupaten Blora Dapat dilihat dari tabel 1.2 pada tahun 2012-2013 mengalami kenaikan jumlah SPPT sebanyak 3.506 sedangkan pada tahun 2013-2014 mengalami kenaikan sebanyak 27.963 SPPT dan pada tahun 2014-2015 mengalami peningkatan jumlah SPPT hanya sebanyak 462 SPPT.
7 Peralihan kewenangan PBB-P2 dari Pusat ke Daerah bukan tanpa masalah, hal tersebut karena yang menjadi perhatian utama adalah masalah tunggakan PBB tahun sebelumnya ketika masih ditangani oleh DJP, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Blora mendapatkan limpahan piutang dari pengelola sebelumnya. Sedangkan menurut ketentuan Perda Kabupaten Blora Nomor 6 tahun 2012 tentang PBB-P2 penagihan pajak menjadi kadaluwarsa setelah melebihi 5 tahun, dalam hal ini terjadi inkonsistensi regulasi, kemudian informasi tunggakan PBB-P2 tidak bisa ditelusuri satu per satu, dan setelah ditelusuri ada indikasi ketetapan ganda dan objeknya tidak ada, dengan kata lain objeknya tidak valid. Dengan adanya pengalihan pengelolaan PBB P2 dari pusat ke daerah tersebut diharapkan Kabupaten Blora bisa menggali dan memaksimalkan sumber-sumber penerimaan dan pemanfaatan potensi yang dimiliki oleh daerah. Hal itu dikarenakan pemerintah daerah lebih mengetahui karakteristik wilayah serta wilayah objek wajib, sehingga mampu meningkatkan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) yang secara tidak langsung akan berdampak terhadap kemajuan pembangunan daerah. Efektivitas merupakan suatu ukuran untuk mengetahui berhasil atau tidaknya suatu organisasi dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Mahmudi (2010) menyatakan bahwa efektivitas merupakan hubungan antara keluaran dengan tujuan atau sasaran yang harus dicapai. Dikatakan efektif apabila proses kegiatan mencapai tujuan dan sasaran akhir kebijakan. Semakin besar output yang dihasilkan terhadap pencapaian tujuan dan sasaran yang ditentukan, maka semakin efektif proses kerja suatu unit organisasi. Demikian pula sebaliknya, semakin kecil tingkat efektivitas
8 yang dicapai maka kinerja aparatur penegak pajak kurang maksimal. Dalam hal tersebut diperlukan persiapan yang baik dan matang yang akan membuat besarnya pendapatan dan bangunan perkotaan di Kabupaten Blora. Kontribusi adalah sesuatu yang diberikan bersama-sama dengan pihak lain untuk tujuan biaya atau kerugian tertentu atau bersama. Sehingga kontribusi yang dimaksud dapat diartikan sebagai sumbangan yang diberikan oleh pendapatan Pajak Bumi dan Bangunan terhadap besarnya pendapatan daerah. Mahmudi (2010) menyatakan bahwa jika potensi penerimaan pajak bumi dan bangunan semakin besar dan pemerintah daerah dapat mengoptimalkan sumber penerimaannya dengan meningkatkan target dan realisasi Pajak Bumi dan Bangunan yang berlandaskan potensi sesungguhnya, hal ini dapat meningkatkan total hasil penerimaan daerah. Sehingga akan mengurangi ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat. Penelitian tentang efektivitas dan kontribusi pajak bumi dan bangunan terhadap pendapatan asli daerah ini sudah pernah dilakukan oleh Kharisma Wanta Tarigan (2013), Indah Eunike Kakunsi (2013), Ni Putu Dian Damayanti dan I Putu Ery Setiawan (2014), dan Kurniawati Fitri (2014) mereka meneliti di tempat-tempat yang berbeda yaitu Kota Manado, Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kota Denpasar dan Kota Pekanbaru. Mereka baru meneliti tentang pajak bumi dan bangunan pada saat masih dikelola oleh Direktorat Jendral Pajak (DJP). Ada satu peneliti yang sudah meneliti tentang kontribusi penerimaan pajak bumi dan bangunan perdesaan dan perkotaan (PBB-P2) terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Sidoarjo, yaitu penelitian dari Surendro Nurbowono (2016). Akan tetapi ada keterbatasan dalam
9 penelitian Surendro (2016), yaitu dalam penelitian tersebut hanya melakukan perhitungan kontribusi PBB perdesaan dan perkotaan secara global tidak dihitung dengan lebih rinci. Maka dari itu penulis melakukan penelitian ini dengan tujuan untuk menyempurnakan penelitian sebelumnya, yaitu dengan melakukan perhitungan efektivitas PBB perdesaan dan perkotaan secara lebih rinci. Adapun perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang dilakukan Surendro Nurbowono (2016) yaitu pada objek penelitian, dimana penelitian ini dilakukan di Kabupaten Blora, sedangkan penelitian Surendro Nurbowono (2016) dilakukan di Kabupaten Sidoarjo. Kemudian ada perbedaan perhitungan kontribusi PBB perdesaan dan perkotaan dimana pada penelitian ini mengitung penerimaan yang berasal dari PBB perdesaan dan perkotaan, sedangkan penelitian Surendro Nurbowono menghitung kontribusi dengan Dana Bagi Hasil (DBH) sebagai acuan perhitungan. Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan merupakan hal yang menarik untuk deteliti karena PBB perdesaan dan perkotaan merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai penyelenggaraan daerah dan pembangunan daerah untuk menetapkan Otonomi Daerah. Oleh karena itu perlu dianalisis efektivitas dan kontribusi penerimaan PBB perdesaan dan perkotaan di Kabupaten Blora. Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka peneliti tertarik untuk mengangkat ke dalam penelitian yang berjudul Efektifitas dan Kontribusi Pengalihan Pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) terhadap Peningkatan Penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Blora sebagai judul
10 penelitian, karena peneliti menganggap dengan dialihkannya Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah dapat mempengaruhi Pendapatan Asli daerah. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang sudah diuraikan diatas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimana tingkat efektivitas atas pengalihan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) terhadapat peningkatan penerimaan Pendapatan Asli Daerah (PAD) Kabupaten Blora? 2. Bagaimana kontribusi pengalihan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) di Kabupaten Blora? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian : 1. Untuk mengetahui tingkat efektivitas pengalihan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD). 2. Untuk mengetahui kontribusi pengalihan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) terhadap Pendapatan Asli Daerah.
11 1.4 Manfaat Penelitian 1. Bagi penulis Hasil penelitian diharapkan memperluas pengetahuan penulis mengenai pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan di Kabupaten Blora. 2. Bagi Pemerintah Daerah Sebagai bahan refrensi oleh pemerintah daerah untuk meningkatkan Efektivitas pemungutan Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan perkotaan di Kabupaten Blora. 3. Bagi Akademik Hasil penelitian ini diharapkan bisa digunakan sebagai bahan dan masukan dalam melakukan penelitian pada bidang yang sejenis. 1.5 Sistematika Penulisan Sistematika penulisan dalam penelitian ini terdiri dari 5 bab, antara lain: BAB I : Pendahuluan Bab ini merupakan bagian pendahuluan yang berisi latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penelitian. BAB II : Tinjauan Pustaka Bab ini berisi landasan teori dan hasil-hasil penelitian yang sejenis, serta kerangka teoritis yang menjadi dasar perumusan hipotesis.
12 BAB III : Metode Penelitian Bab ini berisi metode penelitian yang digunakan dalam penelitian meliputi objek penelitian, jenis dan sumber data, teknik pengumpulan data dan tahap-tahap penelitian. BAB IV: Hasil dan Pembahasan Bab ini berisi tentang pembahasan tingkat efektivitas dan kontribusi Pajak Bumi dan Bangunan sektor Perdesaan dan Perkotaan terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kabupaten Blora. BAB V : Simpulan dan Saran Pada bab ini hanya merupakan bab penutup yang berisi simpulan yang diperoleh dari hasil penelitian, saran yang berkaitan dengan simpulan yang diperoleh.