BAB I PENDAHULUAN. yang dipungut berdasarkan undang-undang (Suarja, 2007). yang diatur berdasarkan peraturan daerah masing-masing dan hasil

dokumen-dokumen yang mirip
BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sedangkan pengertian pajak menurut Marihot P. Siahaan (2010:7) adalah: 1. Yang berhak memungut pajak hanyalah negara.

BAB I PENDAHULUAN. Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah adalah salah satu

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1997 TENTANG PAJAK DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB II KAJIAN PUSTAKA. a. Pengertian Pendapatan Asli Daerah (PAD)

BAB I PENDAHULUAN. dalam lingkungan Pemerintah kabupaten Karanganyar yang berkedudukan

BAB I PENDAHULUAN. mengurus keuangannya sendiri dan mempunyai hak untuk mengelola segala. sumber daya daerah untuk kepentingan masyarakat setempat.

ANALISIS KONTRIBUSI PAJAK MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH DI KABUPATEN ROKAN HULU TAHUN

BAB I I TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. diharapkan suatu daerah otonom dapat berkembang sesuai dengan kemampuan

BAB I PENDAHULUAN. No.22 tahun 1999 dan Undang-undang No.25 tahun 1999 yang. No.33 tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat

BAB I PENDAHULUAN. hubungan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Perubahan pada aspek

PERATURAN DAERAH KABUPATEN BANDUNG BARAT NOMOR 10 TAHUN 2010 TENTANG PAJAK MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PERATURAN BUPATI REJANG LEBONG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG HARGA STANDAR PENGAMBILAN MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN BUPATI REJANG LEBONG,

BAB II LANDASAN TEORI

BAB III KONTRIBUSI PENDAPATAN PAJAK PARKIR TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH DI DINAS PENGELOLAAN KEUANGAN DAN ASET DAERAH KOTA SEMARANG

TENTANG BUPATI SRAGEN,

PEMERINTAH KABUPATEN LUMAJANG

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. membentuk watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang.

BAB I PENDAHULUAN. pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat untuk penyelenggaraan

BAB I PENDAHULUAN. dikelola dengan baik dan benar untuk mendapatkan hasil yang maksimal.

BAB 1 PENDAHULUAN. suatu Negara, ketersediaan data dan informasi menjadi sangat penting dalam

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang telah direvisi menjadi Undang-

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

6. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 1997 tentang Penagihan pajak dengan Surat Paksa (Lembaran Negara Tahun 1997 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor

ekonomi K-13 PERPAJAKAN K e l a s A. PENGERTIAN PAJAK Semester 1 Kelas XI SMA/MA K-13 Tujuan Pembelajaran

BAB I PENDAHULUAN. bersangkutan, sebagaimana yang diamanatkan dalam Undang-Undang Nomor 32

BAB II LANDASAN TEORI. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-undang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Praktik Kerja Lapangan Mandiri. Dalam menghadapi era-globalisasi dan peningkatan usaha pembangunan, maka

BAB II LANDASAN TEORI. untuk pengeluran umum (Mardiasmo, 2011; 1). menutup pengeluaran-pengeluaran umum (Ilyas&Burton, 2010 ; 6).

BAB 1 PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Pemerintah daerah diberi kewenangan yang luas untuk mengurus rumah

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Penelitian

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Gambaran Umum Objek Penelitian

Sama seperti pajak, namun terdapat imbalan (kontra-prestasi) secara langsung yang dapat dirasakan oleh pembayar retribusi

BUPATI BULULUKUMBA PERATURAN DAERAH KABUPATEN BULUKUMBA NOMOR : 1 TAHUN 2012 TENTANG PAJAK MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Sommerfeld Ray M., Anderson Herschel M., dan Brock Horace R.

BAB I PENDAHULUAN. pengelolaan keuangan. Oleh karena itu, daerah harus mampu menggali potensi

BUPATI SITUBONDO PERATURAN BUPATI SITUBONDO NOMOR 56 TAHUN 2011 TENTANG

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Menurut Sirojuzilam (2005) pengembangan wilayah pada dasarnya

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Masalah

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan termasuk

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Di negara Indonesia pajak sangatlah penting untuk menambah

BAB I PENDAHULUAN. adalah ketersediaan dana oleh suatu negara yang diperlukan untuk pembiayaan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Pembangunan ekonomi daerah khususnya pemerintah kota merupakan

PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN

I. PENDAHULUAN. sendiri adalah kemampuan self supporting di bidang keuangan.

BAB I PENDAHULUAN. Pajak merupakan salah satu sumber penerimaan Pemerintah Republik

ANALISIS EFISIENSI DAN EFEKTIVITAS PENERIMAAN PAJAK DAERAH PROPINSI JAMBI (Studi Pada Dinas Pendapatan Daerah Propinsi Jambi)

BAB I PENDAHULUAN. Sesuai dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang

BAB I PENDAHULUAN. mayoritas bersumber dari penerimaan pajak. Tidak hanya itu sumber

POTENSI PAJAK MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN DI KABUPATEN SUMBAWA TAHUN Oleh: Nining Sudiyarti ABSTRAK

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan harus dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat. Pembangunan

BAB I PENDAHULUAN. pembangunan dan kemasyarakatan harus sesuai dengan aspirasi dari

LAJU PERTUMBUHAN PAJAK RESTORAN, HOTEL DAN HIBURAN DALAM PAD KOTA KEDIRI

BAB I PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang No.32 Tahun 2004 tentang Otonomi

LEMBARAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA TAHUN 2011 NOMOR 32 PERATURAN DAERAH KABUPATEN HULU SUNGAI UTARA NOMOR 32 TAHUN 2011 TENTANG

BAB 1 PENDAHULUAN. pusat (sentralistik) telah menimbulkan kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa

Perpajakan 2 Pajak Daerah dan Retribusi Daerah Bea Materai

BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PEMIKIRAN. Dalam kajian pustaka ini, akan dijelaskan mengenai pengertian pajak, jenisjenis

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS. bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat (Mardiasmo, 2009:21). digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

BAB I PENDAHULUAN. Undang undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah adalah

BAB I PENDAHULUAN. Sistem pemerintahan Republik Indonesia mengatur asas desentralisasi,

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB II TINJAUAN PUSTAKA. Pajak adalah iuran rakyat kepada kas negara berdasarkan undang-undang sehingga

BAB I PENDAHULUAN. masyarakat adil dan makmur sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar pembangunan tersebut dibutuhkan dana yang cukup besar.

BAB I PENDAHULUAN. antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah

BAB I PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang Penelitian. Peran pemerintah daerah semakin meningkat dengan adanya kebijakan otonomi

EFEKTIVITAS PAJAK RESTORAN UNTUK MENINGKATKAN PENDAPATAN ASLI DAERAH (PAD) PADA PEMERINTAH DAERAH KOTA KEDIRI

BAB II LANDASAN TEORI. keempat atas Undang-Undang Nomor 6 tahun 1983 ketentuan Umum dan Tata

EFEKTIVITAS PAJAK DAERAH DAN PENDAPATAN ASLI DAERAH TAHUN (Di Kabupaten Kulon Progo) TUGAS AKHIR

BAB I PENDAHULUAN. langsung berhubungan dengan teori keahlian yang diterima diperkuliahan. Praktik

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

PERATURAN DAERAH KABUPATEN JEMBRANA NOMOR 8 TAHUN 2011 TENTANG PAJAK MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI JEMBRANA,

BAB II KAJIAN PUSTAKA

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2001

BAB I PENDAHULUAN. dengan kata lain Good Governance, terdapat salah satu aspek di dalamnya yaitu

BAB I PENDAHULUAN. Undang Nomor 23Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-

BAB I PENDAHULUAN. ini tidak terlepas dari keberhasilan penyelenggaraan pemerintah propinsi maupun

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2014 ANALISIS POTENSI PENERIMAAN PAJAK PENERANGAN JALAN DI KOTA BANDUNG TAHUN

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kecerdasan dan kesejahteraan seluruh rakyat. Dalam rangka mewujudkan tujuan

I. PENDAHULUAN. Sejak diberlakukannya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi

BAB I PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG. Dalam penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan nasional,

ANALISIS RASIO UNTUK MENGUKUR KINERJA PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH KABUPATEN BANTUL

BAB 1 PENDAHULUAN. 1.1 Latar Belakang

KONTRIBUSI REALISASI PAJAK DAERAH DAN RETRIBUSI DAERAH TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN ASLI DAERAH DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN OTONOMI DAERAH

BAB I PENDAHULUAN. yang tidak sedikit. Dana tersebut dapat diperoleh dari APBN. APBN dihimpun dari semua

BAB I PENDAHULUAN. Pembangunan ekonomi daerah khususnya Daerah Tingkat II (Dati II)

PERATURAN DAERAH KABUPATEN KARO NOMOR 04 TAHUN 2013 TENTANG PAJAK MINERAL BUKAN LOGAM DAN BATUAN DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA BUPATI KARO,

PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 65 TAHUN 2001 TENTANG PAJAK DAERAH PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

BAB I PENDAHULUAN. tertinggi diperoleh dari perpajakan sebesar Rp1.235,8 triliun atau 83% dari

BAB 2 TINJAUAN TEORETIS. yang menyelenggarakan pemerintahan (Waluyo, 2007: 2) untuk memelihara kesejahteraan secara langsung.

BAB 1 PENDAHULUAN. Pemerintah sebagai pengatur dan pembuat kebijakan telah memberi

BAB I PENDAHULUAN. Reformasi yang terjadi pada bidang politik mulai merambah pada bidang

ANALISIS EVEKTIVITAS DAN KONTRIBUSI PAJAK DAERAH TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH KOTA PADANG PANJANG PERIODE

ANALISIS EFEKTIVITAS DAN EFISIENSI PAJAK DAERAH SERTA KONTRIBUSINYA TERHADAP PENDAPATAN ASLI DAERAH DI PROVINSI JAWA TENGAH

Transkripsi:

1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dalam rangka penyelenggaraan pembangunan dan menunjang pemerintahan daerahnya, pemerintah daerah berhak mengenakan pemungutan pajak daerah dan retribusi daerah kepada seluruh warga masyarakatnya (Ismail, 2011). Pajak pada dasarnya adalah pemberian harta kekayaan rakyat, dan atau badan usaha untuk membiayai kegiatan pembangunan yang dilakukan oleh Negara. Oleh sebab itu pajak merupakan salah satu sumber pendapatan Negara yang dipungut berdasarkan undang-undang (Suarja, 2007). Definisi pajak menurut Prof. Dr. M.J.H. Smeets dalam bukunya de Economische Betekenis der Belastingen, 1951 adalah prestasi kepada pemerintah yang terutang melalui norma-norma umum dan yang dapat dipaksakan tanpa adanya kontra-prestasi, yang dapat ditunjukkan dalam kasus yang bersifat individual; maksudnya adalah untuk membiayai pengeluaran pemerintah (Purwono, 2011). Dalam konteks daerah, pajak daerah adalah pajakpajak yang dipungut oleh pemerintah daerah (misal: Provinsi, Kabupaten, Kota) yang diatur berdasarkan peraturan daerah masing-masing dan hasil pemungutannya digunakan untuk pembiayaan rumah tangga daerah (Prakosa, 2005). Maka dari hal tersebut pemerintah daerah dituntut untuk lebih bijaksana dalam mengambil suatu keputusan yang menyangkut dengan hak-hak rakyatnya, dalam arti lain pemerintah daerah harus adil melakukan pemungutan pajak

2 daerah dan retribusi daerah kepada seluruh warga masyarakatnya (Wirawati, 2013). Sumber penerimaan pajak daerah yang diperoleh dari pajak Kabupaten/Kota daerah Tingkat I terdiri dari pajak kendaraan bermotor, bea balik nama kendaraan bermotor, pajak bahan bakar kendaraan bermotor. Kemudian sumber penerimaan pajak daerah Tingkat II terdiri dari pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan dan pengelolaan bahan galian golongan C, dan pajak pemanfaatan air bawah tanah dan air permukaan (Pasal 2 ayat (1) dan (2) dalam Undang- Undang Nomor 18 tahun 1999). Kebijakan pemerintah tentang pelaksanaan otonomi daerah diharapkan mampu mengurangi ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat, dalam pelaksanaannya banyak kendala yang dihadapi terutama karena adanya kesenjangan fiskal antar daerah. Suatu daerah yang menyelenggarakan otonomi daerah dituntut untuk dapat mengembangkan dan mengoptimalkan semua potensi daerah, yang digali dari dalam wilayah daerah yang bersumber dari Pendapatan Asli Daerah tersebut (Soamole, 2011). Menurut penelitian Setiawan (2010) belanja pemerintah yang oleh pemerintah daerah disampaikan dalam APBD merupakan aktivitas rutin pengeluaran kas daerah dalam hal mendanai aktivitas-aktivitas operasional. Pengeluaran belanja yang semakin meningkat membutuhkan banyak dana untuk memenuhi kebutuhan belanja pemerintah daerah. Terpenuhinya kebutuhan belanja pemerintah, diharapkan mampu meningkatkan pelayanan publik kepada masyarakat serta mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Belanja

3 daerah merupakan pengalokasian anggaran yang patut dilaksanakan dengan efektif dan ekonomis, belanja daerah mampu dijadikan sebagai patokan keberhasilan pengimplementasian wewenang regional. Apalagi dalam masa pelaksanaan desentralisasi, pemerintah diminta mengendalikan keuangan daerah dengan baik dan efektif. Secara umum, keuangan daerah di era reformasi, meskipun telah menyinggung otonomi daerah, masih memberikan wewenang yang terbatas kepada pemerintah daerah sebagai kekuatan eksekutif. Hal ini tercermin dari definisi pemerintah daerah yang terdiri atas kepala daerah dan DPRD. Tidak demikian hanya dengan keuangan daerah di era (pasca) reformasi. Pada era ini wewenang kepada pemerintah daerah telah terlihat secara nyata melalui definisi pemerintah daerah yang hanya meliputi kepala daerah beserta perangkat daerah lainnya (Halim, 2004). Sehubungan dengan diterapkannya anggaran kinerja, pengukuran kinerjapun menjadi semakin penting dalam pengelolaan keuangan daerah untuk menilai tingkat akuntabilitas instansi pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya yang ada dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan menghasilkan pelayanan publik yang berkualitas. Untuk menjawab sejauh mana tingkat keberhasilan suatu instansi pemerintah, maka seluruh aktivitas instansi tersebut harus dapat diukur. Pengukuran kinerja pemerintah daerah diarahkan pada masing-masing satuan kerja yang telah diberi wewenang mengelola sumber daya sebagaimana bidangnya (Mustafa, 2008). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2004, belanja daerah adalah semua kewajiban daerah yang diakui sebagai pengurang

4 nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang bersangkutan. Menurut Sasana (2011) penghasilan daerah yang diterima melalui Pendapatan Asli Daerah (PAD) ataupun dana perimbangan pastinya diperuntukkan untuk menanggung beban pengeluaran regional. Karakteristik khusus pelaksanaan otonomi daerah bagi suatu daerah yaitu yang pertama adalah kemampuan keuangan daerah, suatu daerah memiliki hak dan wewenang untuk menggali, mengolah sumber-sumber daya yang menghasilkan uang untuk kemajuan daerahnya. Kedua, sumber keuangan dari pemerintah pusat dan daerah sebagai prasyarat dalam sistem pemerintahan negara. Otonomi daerah pengembangannya dapat dilihat dari perbandingan antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) dengan total penerimaan APBD yang semakin meningkat (Soamole, 2011). Saragih (2003) dalam Ulfi Maryati (2010) dalam kaitannya dengan pelaksanaan otonomi, peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) selalu dikerahkan karena penerimaan dari usaha untuk membiayai penyelenggaraan pemerintah daerah. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus berdampak pada perekonomian daerah. Pada kenyataannya, semakin banyak kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap APBD, ini menandakan makin kecilnya keterikatan regional terhadap sentral sebagai efek implementasi otonomi daerah atas asas secara nyata serta bertanggung jawab (Rinaldi, 2012). Menurut penelitian Soamole (2011) Pendapatan Asli Daerah (PAD) memiliki peran yang cukup signifikan dalam menentukan kemampuan daerah untuk melakukan aktivitas pemerintahan dan program-program pembangunan. Peningkatan kemandirian daerah sangat erat hubungannya dengan kemampuan

5 daerah dalam mengelola Pendapatan Asli Daerahnya (PAD). Sumber pembiayaan yang paling penting adalah sumber pembiayaan yang dikenal dengan istilah PAD (Pendapatan Asli Daerah) dimana komponen utamanya adalah penerimaan yang berasal dari komponen pajak daerah dan retribusi daerah (Riduansyah, 2003). Menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan salah satu sumber pendapatan daerah yang penting guna membiayai pelaksanaan pemerintahan daerah. Dalam rangka meningkatkan pelayanan kepada masyarakat dan kemandirian daerah, perlu dilakukan perluasan objek pajak daerah dan retribusi daerah dan pemberian diskresi dalam penetapan tarif. Pajak dan retribusi daerah dilaksanakan berdasarkan prinsip demokrasi, pemerataan dan keadilan, peran serta masyarakat, dan akuntabilitas dengan memperhatikan potensi daerah. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang- Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, perlu disesuaikan dengan kebijakan otonomi daerah. Pada data Laporan Realisasi Anggaran Pendapatan dan Belanja yang didapatkan dari DPKAD Kota Semarang, terlihat besarnya realisasi pajak daerah pada tahun 2009 sebesar Rp 154.505.287.140, tahun 2010 sebesar Rp 177.680.372.947, tahun 2011 sebesar Rp 360.084.128,238, tahun 2012 sebesar Rp 597.519.522.248, dan tahun 2013 sebesar Rp 683.708.489.950. Hasilnya yaitu pada tahun 2010pajak daerah mengalami kenaikan sebesar 13,04 %, tahun

6 2011 naik sebesar 50,6 %, tahun 2012 naik sebesar 39,7 %, dan tahun 2013 naik sebesar 12,6 %. Dari data diatas kenaikan dan penurunan yang tidak stabil dari tahun 2009-2013, dan hasilnya cenderung turun. Untuk besarnya realisasi retribusi daerah pada tahun 2009 sebesar Rp 69.874.090.022,tahun 2010 sebesar Rp 80.559.886.995, tahun 2011 sebesar Rp 84.487.321.935, tahun 2012 sebesar Rp 84.877.260.948 dan tahun 2013 sebesar Rp 102.785.108.993. Hasilnya yaitu pada tahun 2010 retribusi daerah mengalami kenaikan sebesar13,26 %, tahun 2011 naik sebesar 4,64 %, tahun 2012 naik sebesar 0,45 %, dan tahun 2013 naik sebesar 17,4 %. Dari data diatas kenaikan dan penurunan yang tidak stabil dari tahun 2009-2013, dan hasilnya cenderung turun. Hasil dari perkembangan pajak daerah dan retribusi daerah mengalami fluktuasi. Hal ini dikarenakan realisasi yang terjadi selalu lebih besar dari penentuan target oleh Pemerintah Daerah Kota Semarang. Undang-Undang Nomor. 22 Tahun 1999 diperbaharui dengan Undang-Undang Nomor. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah, UU No. 25 Tahun 1999 diperbaharui dengan UU No. 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat Daerah dalam rangka pelaksanaan Otonomi Daerah maka dibentuklah Dinas Pengelolaan Keuangan Daerah Kota Semarang atau lebih dikenal DPKAD Kota Semarang, yang merupakan organisasi baru hasil penggabungan Dinas Pendapatan Daerah Kota Semarang (Dipenda) dengan Bagian Keuangan Setda Kota Semarang. Peraturan Walikota Semarang Nomor : 42 Tahun 2008 Tanggal 24 Desember 2008 tentang Penjabaran Tugas dan Fungsi Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kota Semarang. Namun perkembangan waktu dan

7 berubahnya peraturan-peraturan baru tentang Pengelolaan Keuangan Daerah menuntut DPKAD Kota Semarang untuk eksis dalam menjalankan misinya untuk menjadi motor dalam pengelolaan keuangan daerah yang professional dalam rangka meningkatkan kemampuan keuangan daerah dan terlaksananya tertib administrasi pengelolaan asset daerah sehingga dapat meningkatkan dan mengembangkan system pengelolaan keuangan daerah yang lebih adil dan rasional. Peraturan untuk mengukur kinerja instansi adalah Undang-Undang Aparatur Sipil Negara. Dalam rangka mewujudkan cita-cita Indonesia sesuai dengan amanat pembukaan UUD 1945, dibutuhkan Aparatur Sipil Negara yang professional, bersih dari praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme, bebas dari intervensi politik, serta mampu menyelenggarakan pelayanan publik kepada masyarakat. Dalam pelaksanaan manajemen aparatur sipil negara masih belum mengacu pada perbandingan antara kompetensi dan kualifikasi yang dibutuhkan oleh jabatan dengan kompetensi dan kualifikasi yang dikuasai calon dalam proses rekruitmen, pengangkatan, penempatan, dan promosi jabatan sejalan dengan tata kelola pemerintah yang baik, serta sudah tidak sesuainya Undang- Undang Kepegawaian. Beberapa hal yang perlu dicermati dari Undang-Undang ASN : 1. ASN terdiri dari profesi PNS dan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja. 2. Penyelenggaraan ASN berdasarkan ASAS, PRINSIP, NILAI-NILAI DASAR, DAN KODE ETIK.

8 3. ASN berfungsi sebagai pelaksana kebijakan publik, pelayanan publik, dan perangkat bangsa. 4. Jabatan ASN terdiri dari : Jabatan Administrasi, Jabatan Fungsional, dan Jabatan Eksekutif. 5. Jabatan Fungsional akan diperbanyak dan Jabatan Struktural akan dipersempit. 6. ASN (PNS dan PPPK) memiliki hak dan kewajiban. 7. Presiden pemegang kekuasaan pemerintahan merupakan pemegang kekuasaan tertinggi dalam kebijakan, pembinaan profesi, dan manajemen ASN. Presiden mendelegasikan sebagian tugas tersebut kepada : Kementerian terkait, Komite ASN, LAN, dan BKN. Berdasarkan hasil wawancara dengan Bapak Iwan Boedi Prasetyo P.P, SE sebagai KA Sie Penetapan DPKAD Kota Semarang sampai dengan tahun 2013 selalu mencapai target, tolok ukurnya yaitu kenaikan realisasi pajak daerah setiap tahun harus naik sebesar 12,5 %. Periode pengukuran dilakukan ketika Eksekutif (Walikota) dimintai laporan pertanggungjawaban oleh Legislatif (DPRD), dan laporan pertanggungjawaban bisa diterima oleh DPRD tanpa revisi. Perencanaan Pembangunan Daerah merupakan upaya terencana untuk memberdayakan dan meningkatkan kapasitas masyarakat dan potensi yang dimiliki daerah dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tersebut dilakukan melalui serangkaian pelaksanaan pembangunan daerah dari berbagai aspek, baik ekonomi, sosial, budaya, infrastruktur maupun aspek lainnya.

9 Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013-2018 merupakan penjabaran visi, misi dan program Kepala Daerah yang penyusunannya berpedoman pada Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD), dan memperhatikan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN), memuat beberapa hal : (1) arah kebijakan keuangan daerah; (2) strategi pembangunan daerah kebijakan umum, dan program Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), lintas SKPD dan program kewilayahan disertai dengan rencana kerja dalam kerangka regulasi dan kerangka pendanaan yang bersifat indikatif (Bappeda, 2014). RPJMD merupakan implementasi tahapan RPJPD Provinsi Jawa Tengah Tahun 2005-2025. Sesuai tahapan RPJPD tersebut, RPJMD Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013-2018 berada pada dua tahapan, yaitu tahap II (2010-2014) diarahkan pada peningkatan kualitas pelayanan dasar, peningkatan daya saing ekonomi rakyat, peningkatan tata kelola pemerintahan yang lebih efektif serta kualitas dan pengelolaan sumber daya alam, dan tahap III (2015-2019) yang diarahkan pada pemantapan pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang. Selanjutnya RPJMD menjadi pedoman dalam penyusunan Rencana Strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah (Renstra SKPD), yang dijabarkan menjadi kebijakan, program strategis dan peningkatan pelayanan publik untuk jangka waktu 5 (lima) tahun. Pelaksanaan RPJMD selanjutnya akan dijabarkan ke dalam Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) sebagai suatu dokumen perencanaan tahunan Pemerintah Provinsi Jawa Tengah yang memuat prioritas program dan kegiatan dari Rencana Kerja (Renja) SKPD.

10 Suatu pemerintah daerah dapat menetapkan dan memungut beragam jenis pajak daerah sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Hal ini sangat dimungkinkan jika pemerintah daerah memiliki kemampuan untuk menetapkan sendiri jenis-jenis pajak daerah dan retribusi daerah yang dapat dipungutnya, tanpa ada intervensi dari tingkatan pemerintahan yang lebih tinggi. Agar pemerintah daerah memiliki kemampuan optimal untuk memungut pajak daerah yang ada didaerahnya, perlu kiranya mempertimbangkan pajak-pajak daerah yang memang sesuai untuk dijadikan sumber pendapatan agar tercipta efisiensi dan efektivitas dalam pemungutan pajak daerah (Enggar, 2011). Menurut Mahmudi (2007) efektivitas terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya harus dicapai. Efektivitas merupakan hubungan antara output dengan tujuan. Semakin besar kontribusi output terhadap pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi, program atau kegiatan. Efektivitas berfokus pada outcome (hasil). Kemudian efisiensi terkait dengan hubungan antara outcome berupa barang atau pelayanan yang dihasilkan dengan sumber daya yang digunakan untuk menghasilkan output tersebut. Efisiensi merupakan perbandingan antara output dengan input atau dengan istilah lain output per unit input. Suatu organisasi, program atau kegiatan dikatakan efisien apabila mampu menghasilkan output tertentu dengan input serendah-rendahnya atau dengan input tertentu mampu menghasilkan output sebesar-besarnya. Berdasarkan uraian di atas, peneliti akan mereplikasi penelitian yang dilakukan oleh Enggar, dkk (2011). Terdapat perbedaan yaitu mengenai objek penelitian. Jika penelitian terdahulu Enggar, dkk (2011) mengambil judul

11 Analisis Efisiensi dan Efektivitas Penerimaan Pajak Daerah Provinsi Jambi, mengambil objek dari Dinas Pendapatan Daerah (DISPENDA) Provinsi Jambi, penelitian ini objeknya adalah Dinas Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) Kota Semarang. Persamaan dari penelitian ini yaitu menggunakan analisis deskriptif kuantitatif dengan metode CCER dan CPI. Hasil yang diperoleh dari penelitian Enggar, dkk adalah penerimaan pajak daerah dalam kurun waktu 2002-2009 mengalami peningkatan yang baik dan secara umum berada pada kategori sangat efektif dan sangat efisien dengan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor (BBN-KB) sebagai sektor yang sangat efektif dan efisien. Penelitian Mustafa, dkk (2008) yang mengambil judul Pengukuran Kinerja Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Kalimantan Barat, persamaannya yaitu menggunakan rumus kontribusi yang digunakan oleh Halim (di kutip oleh Mustafa, 2008) yang bertujuan untuk mengetahui kinerja kantor pendapatan daerah Provinsi Kalimantan Barat dalam pengelolaan pendapatan daerah, efisiensi dan efektivitas kegiatan, dan pelayanan publik, dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa : (1) Pengalaman PAD pertumbuhan yang positif dan stabil, (2) Pajak daerah masih mendominasi pendapatan PAD, (3) Pemerintah Daerah Provinsi Kalimantan Barat memiliki struktur yang baik dari PAD yang ditandai dengan elastisitas pertumbuhan PAD terhadap pertumbuhan PDRB itu, (4) Kemampuan keuangan Provinsi Kalimantan Barat mendanai pemerintah dan pembangunan daerah kategori baik, (5) Kemampuan kantor pendapatan daerah dalam mewujudkan atau memobilisasi PAD sesuai dengan target dikategorikan efektif, (6) kegiatan kantor pendapatan daerah tahun 2007 telah secara efektif dan efisien dilakukan,

12 (7) Kinerja pelayanan publik di Kantor Bersama Samsat Pontianak 1 kategori baik. Melihat kontribusi dan potensi dari pajak daerah sebagai salah satu komponen Pendapatan Asli Daerah, perlu kiranya dilakukan kajian tentang Efektivitas dan Efisiensi penerimaan pajak daerah di Kota Semarang. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis tertarik untuk mengadakan penelitian dengan judul : Tingkat Efektivitas dan Efisisensi Penghasilan Pajak Daerah Beserta Peran Sertanya Terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kota Semarang. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Bagaimana tingkat efektivitas dan efisiensi penerimaan pajak daerah di Kota Semarang? 2. Berapa besar peran serta pajak daerah tehadap Pendapatan Asli Daerah di Kota Semarang? 1.3 Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Untuk menganalisis tingkat efektivitas dan efisiensi penerimaan pajak daerah di Kota Semarang pada periode 2010-2013. 2. Untuk menganalisis besar peran serta pajak daerah terhadap Pendapatan Asli Daerah di Kota Semarang pada periode 2010-2013.

13 1.4 Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini, diharapkan dapat member manfaat bagi peneliti, pemerintah daerah dan pihak lain : 1. Bagi peneliti, untuk menambah pengetahuan tentang penerimaan pajak daerah ditingkat kota. 2. Bagi pemerintah daerah, untuk menjadi masukan bagi pemerintah daerah (khususnya Pemerintah Kota Semarang) dalam pengamblan keputusan kebijakan diwaktu akan dating sehubungan dengan pemungutan pajak daerah. 3. Bagi pihak lain, memberikan informasi kepada masyarakat mengenai pentingnya membayar pajak daerah demi meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat. 1.5 Sistematika Penulisan Penelitian ini disusun dalam lima bab yang terdiri dari : BAB I : PENDAHULUAN Pada bab ini berisi tentang latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, serta sistematika penulisan. BAB II : LANDASAN TEORI Pada bab ini berisi tentang landasan teori, penelitian terdahulu, dan kerangka penelitian.

14 BAB III : METODE PENELITIAN Pada bab ini berisi tentang objek penelitian, populasi dan sampel, jenis dan sumber data, metode pengumpulan data, dan metode analisis. BAB IV : HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pada bab ini bersi tentang data penelitian, hasil penelitian dan pembahasan. BAB V : PENUTUP Bab ini berisi kesimpulan dari penelitian dan saran untuk penelitian selanjutnya.

15 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Landasan Teori 2.1.1 Pajak Menurut Setiawanta, dkk. (2011) pajak di Indonesia telah dipergunakan oleh Negara sebagai sumber penerimaan terbesar setelah migas dalam menutupi belanja negara, sebagaimana yang tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara setiap tahunnya. Pendapatan dari sektor pajak setiap tahun anggaran selalu diupayakan mengalami kenaikan. Hal ini sejalan dengan fungsi pajak itu sendiri baik sebagai Alat Budgeter maupun alat Regulator. Penjelasan dua fungsi pajak yaitu : 1. Fungsi Penerimaan (Budgeter) Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pembiayaan pengeluaran-pengeluaran pemerintah dalam negeri. Sebagai contoh yaitu dimasukannya pajak dalam APBN sebagai penerimaan dalam negeri. 2. Fungsi Mengatur (Regulator) Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijakan di bidang sosial dan ekonomi. Sebagai contoh yaitu dikenakannya pajak yang lebih tinggi terhadap minuman keras, dapat ditekan. Demikian pula terhadap barang mewah. Menurut Undang-Undang No.28 Tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang,

16 dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesa-besarnya kemakmuran rakyat. Pajak secara kewilayahannya terbagi dalam dua kategori, yaitu Pajak Pusat dengan landasan hukumnya berbentuk Undang-Undang dan Pajak Daerah dengan landasan hukumnya adalah Peraturan Daerah (Perda). Dalam hal pajak pusat dikenal beberapa jenis pajak antara lain Pajak Penghasilan, Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan Atas Barang Mewah, Pajak Bumi dan Bangunan yang didalamnya terdapat Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan serta Bea Materai. 2.1.2 Otonomi Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004, otonomi daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Penelitian (Ulfi Maryati,2010) menjalankan prinsip yang seluas-luasnya, dan dilaksanakan pula prinsip otonomi yang nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang, dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi, yang pada dasarnya untuk memberdayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional (Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah).

17 Menurut Enggar(2011) pelaksanaan otonomi daerah yang di titikberatkan pada daerah Kabupaten dan daerah Kota dimulai dengan adanya penyerahan sejumlah kewenangan (urusan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah yang bersangkutan). Dalam buku Nurcholis (2005) pembinaan dan pengawasan terhadap pemerintah daerah merupakan bagian integral dari sistem penyelenggaraan pemerintahan. Pembinaan atas penyelenggaraan pemerointahan daerah adalah upaya yang dilakukan oleh pemerintah dan / atau gubernur selaku wakil pemerintah di daerah untuk mewujudkan tercapainya tujuan penyelenggaraan otonomi daerah, meliputi koordinasi pemerintahan antar susunan pemerintahan, pemberian pedoman dan standar pelaksanaan urusan pemerintahan, pemberian bimbingan, supervisi dan konsultasi pelaksanaan urusan pemerintahan, pendidikan dan pelatihan bagi kepala daerah atau wakil kepala daerah, anggota DPRD, perangkat desa, pegawai negeri sipil daerah, kepala desa, anggota badan permusyawaratan desa, dan masyarakat. Pengawasan atas penyelenggaraan pemerintahan daerah oleh pemerintah, gubernur, dan bupati atau walikota adalah proses kegiatan yang ditujukan untuk menjamin agar penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pemerintah desa berjalan sesuai dengan rencana dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pengawasan tersebut dilakukan oleh aparat pengawa internal pemerintah sesuai dengan bidang kewenangannya masing-masing. Implikasi lain dari penyelenggaraan otonomi daerah adalah dalam hal peningkatan kualitas pelayanan publik. Pelayanan publik yang berkualitas adalah salah satu pilar untuk menunjukkan terjadinya perubahan penyelenggaraan pemerintahan yang berpihak pada peningkatan kesejahteraan masyarakat (Mustafa, 2008).

18 2.1.3 Pendapatan Asli Daerah Pendapatan Asli Daerah yakni penerimaan yang dihasilkan daerah melalui pemungutan yang berdasarkan pada tata tertib daerah yang berlandaskan pada tatanan perundang-undangan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan sumber pendapatan yang dihasilkan sendiri oleh daerah yang harus selalu dikembangkan supaya bisa membiayai beberapa tanggung jawab belanja yang dibutuhkan bagi pengelolaan pemerintahan serta aktivitas ekspansi yang setiap tahunnya bertambah, sehingga kedaulatan otonomi daerah yang luas, nyata serta bertanggung jawab sanggup dijalankan. Pendapatan Asli Daerah (PAD) mencakup pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah (Darise, 2009). Besar kecilnya Pendapatan Asli Daerah (PAD) menjadi tolok ukur kemampuan otonomi dari segi pendanaan pembangunan. Semakin besar Pendapatan Asli Daerah, menunjukkan semakin mampu daerah tersebut meningkatkan kemandiriannya. Sebaliknya, semakin kecil Pendapatan Asli Daerah menunjukkan semakin kecil kemampuan daerah untuk berotonomi. Pada prinsipnya semakin besar sumbangan Pendapatan Asli Daerah ke APBD akan menunjukkan semakin kecil ketergantungan daerah kepada pusat (Kori, 2001). 2.1.4 Pajak Daerah Pajak daerah, sebagai salah satu komponen Pendapatan Asli Daerah (PAD), merupakan pajak yang dikenakan oleh pemerintah daerah kepada penduduk yang mendiami wilayah yurisdiksinya, tanpa langsung memperoleh kontraprestasi yang diberikan oleh pemerintah daerah yang memungut pajak daerah yang dibayarkannya (Riduansyah,2003).

19 Menurut Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997, tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pasal 1 menyatakan bahwa pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. 1) Kriteria Pajak Daerah Kriteria pajak daerah secara spesifik diuraikan oleh Davey (1988) dalam bukunya Financing Regional Government dikutip dari buku Prakosa (2005) yang terdiri dari empat hal yaitu : Pajak yang dipungut oleh pemerintah daerah berdasarkan pengaturan dari daerah sendiri, 1. Pajak yang dipungut berdasarkan peraturan pemerintah pusat tetapi penetapan tarifnya dilakukan oleh pemerintah daerah, 2. Pajak yang ditetapkan dan atau dipungut oleh pemerintah daerah, 3. Pajak yang dipungut dan diadministrasikan oleh pemerintah pusat tetapi hasil pungutannya diberikan kepada pemerintah daerah. 2) Jenis-Jenis Pajak Daerah Menurut Prakosa (2005), pajak daerah termasuk klasifikasi pajak menurut wewenang pemungutnya. Artinya, pihak yang berwenang dan berhak memungut pajak daerah adalah pemerintah daerah. Selanjutnya, pajak daerah ini diklasifikasikan kembali menurut wilayah kekuasaan pihak pemungutnya. Menurut wilayah pemungutannya pajak daerah dibagi menjadi:

20 1. Pajak Provinsi Pajak Provinsi adalah pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah daerah tingkat provinsi. Pajak Provinsi yang berlaku di Indonesia sampai saat ini, terdiri dari: a) Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air Pajak Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air adalah pajak atas kepemilikan dan/atau penguasaan kendaraan bermotor dan kendaraan di atas air. b) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor dan Kendaraan di atas Air merupakan pajak yang dikenakan terhadap penyerahan hak milik Kendaraan Di Atas Air sebagai akibat perjanjian dua pihak atau perbuatan sepihak atau keadaan yang terjadi karena jual beli, tukar menukar, hibah, warisan, atau pemasukan ke dalam badan usaha. c) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor merupakan pajak atas bahan bakar yang disediakan atau dianggap digunakan untuk kendaraan bermotor, termasuk bahan bakar yang digunakan untuk kendaraan di atas air. Bahan bakar kendaraan bermotor dan/atau menggerakkan kendaraan bermotor dan/atau kendaraan di atas air. d) Pajak Pengambilan dan Pemanfaatan Air Bawah Tanah dan Air Permukaan Pajak yang dikenakan terhadap pengambilan dan pemanfaatan air, baik air bawah tanah maupun air permukaan untuk digunakan bagi orang

21 pribadi atau badan, kecuali untuk keperluan dasar rumah tangga dan pertanian rakyat. Air bawah tanah adalah air yang berada di perut bumi, termasuk mata air yang muncul secara alamiah di atas permukaan tanah. Air permukaan adalah air yang berada di atas permukaan bumi, tidak termasuk air laut. 3. Pajak Kabupaten/Kota Pajak Kabupaten/Kota adalah pajak daerah yang dipungut oleh pemerintah daerah tingkat kabupaten/kota. Pajak kabupaten/kota yang berlaku Indonesia sampai saat ini, terdiri dari: a) Pajak Hotel Objek Pajak Hotel adalah pelayanan yang disediakan hotel dengan pembayaran, termasuk fasilitas penginapan atau fasilitas tinggal jangka pendek; pelayanan penunjang sebagai kelengkapan fasilitas penginapan atau tinggal jangka pendek yang sifatnya memberikan kemudahan dan kenyamanan; fasilitas olahraga dan hiburan yang disediakan khusus untuk tamu hotel, bukan untuk umum; jasa persewaan ruangan untuk kegiatan acara atau pertemuan di hotel. b) Pajak Restoran Objek Pajak Restoran adalah pelayanan yang disediakan restoran dengan pembayaran. Tidak termasuk objek pajak restoran adalah pelayanan jasa boga atau catering; pelayanan yang disediakan oleh restoran atau rumah makan yang peredarannya tidak melebihi batas tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.

22 c) Pajak Hiburan Objek Pajak Hiburan adalah penyelenggaraan hiburan dengan dipungut bayaran. Tidak termasuk objek pajak hiburan adalah penyelenggaraan hiburan yang tidak dipungut bayaran, seperti hiburan yang diselenggarakan dalam rangka pernikahan,upacara adat, kegiatan keagamaan. d) Pajak Reklame Objek Pajak Reklame adalah semua penyelenggaraan reklame. Tidak termasuk sebagai objek Pajak Reklame adalah penyelenggaraan reklame melalui internet, televisi, radio, warta harian, warta mingguan, warta bulanan, dan sejenisnya; penyelenggaraan reklame lainnya yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah. e) Pajak Parkir Objek Pajak Parkir adalah penyelenggaraan tempat parkir di luar badan jalan, baik yang disediakan berkaitan dengan pokok usaha maupun yang disediakan sebagai suatu usaha, termasuk penyediaan tempat penitipan kendaraan bermotor dan garasi kendaraan bermotor yang memungut bayaran. f) Pajak Penerangan Jalan Objek Pajak Penerangan Jalan adalah penggunaan tenaga listrik di wilayah daerah yang tersedia penerangan jalan, yang rekeningnya dibayar oleh Pemerintah Daerah.

23 g) Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C Objek Pajak Pengambilan Bahan Galian Golongan C adalah kegiatan pengambilan bahan galian golongan C. Bahan galian golongan C sebagaimana dimaksud meliputi asbes, batu tulis, batu setengah permata, batu kapur, batu apung, batu permata, bentonit, dolomit, feldspar, garam batu (halite), grafi, granit/andesit, gips, kalsit, kaolin, leusit, magnesit, mika, marmer, nitrat, opsidien, oker, pasir dan kerikil, pasir kuarsa, perlit, phospat, talk, tanah serap (fullers earth), tanah diatome, tanah liat, tawas (alum), tras, yarosif, zeolit, basal, dan trakkit. 3) Pungutan Pajak Menurut Prakosa (2005), teori pungutan pajak muncul untuk mencarai dasar konseptual pemungutan pajak bagi negara, sehingga secara teoritis pemungutan pajak yang dilakukan negara itu dapat dibenarkan baik dipandang dari sisi yuridis naupun sisi ilmiah. Dengan kata lain, teori pungutan pajak ada guna memberi dasar menyatakan keadilan (justification) kepada hak negara untuk memungut pajak dari rakyatnya. Berikut ini beberapa teori pungutan pajak yang pernah ada atau yang masih digunakan sebagai dasar pemungutan pajak sampai sekarang. a) Teori Daya Pikul Kesamaan beban pajak untuk setiap orang sesuai daya pikul masing-masing. Ukuran daya pikul ini dapat berupa penghasilan dan kekayaan atau pengeluaran seseorang. Teori ini dikenal sebagai Ability to Pay Approach Theory.

24 b) Teori Bakti Pajak (kewajiban asli) merupakan bukti tanda bakti seseorang kepada negaranya c) Teori Asas Daya Beli Dasar keadilan pemungutan pajak, pada kepentingan masyarakat, bukan pada individu atau Negara. Keadilan dipandang sebagai efek dari pemungutan pajak. 4) Pemungutan Pajak Menurut Prokasa (2005) dasar pemungutan pajak ini merupakan bentuk operasional dari pengakuan dan pengukuran keadaan objek pajak atau stelsel. Berikut ini dasar pemungutan pajak yang dikenal dalam berbagai literatur perpajakan yaitu: a) Stelsel Nyata (Riil Stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada keadaan objek yang sesungguhnya (riil atau nyata), sehingga pemungutannya baru dapat dilakukan pada akhir tahun setelah keadaan sesungguhnya objek pajak diketahui. Keunggulan stelsel ini sebagai dasar pemungutan pajak lebih realistis. Kelemahan dari stelsel ini, pajak baru dapat dibayar atau dikenakan setelah akhir periode, yaitu ketika keadaan objek pajak secara riil telah diketahui. b) Stelsel Anggapan (Fictieve Stelsel) Pengenaan pajak didasarkan pada keadaan yang diatur oleh ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang berlaku. Keadaan yang diatur ini merupakan suatu asumsi atau anggapan yang ditetapkan oleh ketentuan atau peraturan. Misalnya, keadaan objek pajak tahun sekarang sama dengan

25 keadaan objek pajak tahun lalu, sehongga pajak tahun sekarang dapat dikenakan pada awal tahun. Keunggulan stelsel ini, pajak dapat dibayar selama tahun berjalan, tanpa harus menunggu pada akhir tahun. Kelemahannya, pajak yang dikenakan atau dibayar tidak menggambarkan keadaan pajak yang sebenarnya. c) Stelsel Campuran Untuk mengatasi kelemahan masing-masing stelsel tersebut, maka dalam pelaksanaan pengenaan pajak dilakukan dengan dua cara. Diawal tahun, pajak yang dikenakan didasarkan pada keadaan objek pajak pada tahun lalu, dan di akhir tahun pajak dikenakan berdasar keadaan objek pajak sesungguhnya. Karena pelaksanaannya demikian, maka stelsel ini disebut Stelsel Campuran. Jika pajak yang dibayar di awal tahun lebih besar dari pajak yang dihitung pada akhir tahun, maka terjadi kelebihan pajak. Kelebihan pajak bayar ini dapat direstusi (kelebihannya dapat diminta kembali). Sebaliknya, jika akhir tahun yang lebih besar, maka wajib pajak yang bersangkutan melunasi kekurangannya. Kewenangan pungut dan cara menetapkan besarnya pungutan pajak inilah yang melahirkan system pemungutan pajak. Berikut ini sistem pemungutan pajak yang dikenal dengan literatur perpajakan, yaitu: 1. Official Assesment System Sistem pemungutan pajak yang mempercayakan kewenangan untuk menentukan besarnya pajak terutang pada fiskus (pemerintah). Sistem ini meletakkan wajib pajak pada posisi yang lemah dan pasif, utang pajak timbul setelah terbitnya surat ketetapan pajak oleh fiskus

26 2. Self Assessment System Sistem pemungutan pajak yang memberikan kepercayaan tanggung jawab dan kewenangan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan pajak yang terutang atau harus dibayar kepada diri pribadi wajib pajak sendiri. Sistem ini hanya cocok diterapkan bagi masyarakat yang sudah maju dan iklim pajaknya sudah baik, tax minded tinggi, dan tingkat integritas masyarakat tinggi. 3. Withholding System Sistem pemungutan pajak yang memberikan kewenangan dan kepercayaan kepada pihak ketiga untuk menghitung, memotong, atau memungut besarnya pajak yang terutang oleh wajib pajak. 5) Tarif Pajak Menurut Prakosa (2005) sebagaimana diuraikan dalam azas pemungutan pajak, bahwa pemungutan pajak dilakukan secara adil, artinya umum dan merata.salah satu bentuk operasional penciptaan keadaan pemungutan pajak yang adil yaitu melalui tarif pajak. Tarif pajak, merupakan alat ukur untuk menilai tingkatan besarnya pajak yang harus dibayar oleh wajib pajak. Secara teoritis terdapat 4 macam tarif pajak, yaitu: a) Tarif Proporsional Tarif pajak yang persentasenya tetap dan tidak bergantung pada besarnya dasar pengenaan pajak. b) Tarif Progresif Tarif pajak yang persentasenya meningkat, sesuai besarnya (meningkatnya) dasar pengenaan pajak.

27 c) Tarif Degresif Tarif pajak yang persentasenya menurun, sesuai meningkatnya dasar pengenaan pajaknya. d) Tarif Tetap Jumlah atau angkanya tetap, tidak bergantung besarnya dasar pengenaan pajak. 2.1.5 Efisiensi Menurut Adisasmita (2006) efisiensi adalah input yang digunakan, dialokasikan secara optimal dan baik untuk mencapai output yang menggunakan biaya terendah. Mahmudi (2007) juga menjelaskan bahwa efisiensi merupakan perbandingan antara output dengan input atau dengan istilah lain output per unit input. Suatu organisasi, program atau kegiatan dikatakan efisien apabila mampu menghasilkan output tertentu dengan input serendah-rendahnya atau dengan input tertentu mampu menghasilkan output sebesar-besarnya. Dikutip oleh Enggar, dkk (2011), untuk mengukur tingkat efisiensi penerimaan masing-masing jenis pajak daerah, Machfud Sidik menggunakan metode Cost of Collection Ratio (CCER) yaitu perbandingan antara biaya pemungutan pajak daerah yang dikeluarkan dengan realisasi penerimaan pajak daerah. Rumusnya adalah : Biaya Pemungutan PD it CCER it = x 100 Realisasi PD it

28 Dimana: CCER it : Persentase tingkat efisiensi pajak daerah jenis i pada tahun tertentu. PD it : Pajak daerah jenis i pada tahun tertentu. 2.1.6 Efektivitas Sumaryadi (2005) berpendapat dalam bukunya Efektivitas Implementasi Kebijakan Otonomi Daerah bahwa organisasi dapat dikatakan efektif bila organisasi tersebut dapat sepenuhnya mencapai sasaran yang telah ditetapkan. Efektivitas umumnya dipandang sebagai tingkat pencapaian tujuan operatif dan operasional. Dengan demikian pada dasarnya efektivitas adalah tingkat pencapaian tujuan atau sasaran organisasional sesuai yang ditetapkan. Efektif adalah seberapa baik pekerjaan yang dilakukan, sejauh mana seseorang menghasilkan keluaran sesuai dengan yang diharapkan. Menurut Mahmudi (2007) efektivitas terkait dengan hubungan antara hasil yang diharapkan dengan hasil yang sesungguhnya harus dicapai. Efektivitas merupakan hubungan antara output dengan tujuan. Semakin besar kontribusi output terhadap pencapaian tujuan, maka semakin efektif organisasi, program atau kegiatan. Efektivitas berfokus pada outcome (hasil). Kemudian efisiensi terkait dengan hubungan antara outcome berupa barang atau pelayanan yang dihasilkan dengan sumber daya yang digunakan untuk menghasilkan output tersebut. Dikutip oleh Enggar, dkk (2011), untuk mengukur tingkat efektivitas penerimaan pajak daerah untuk masing-masing sector, Machfud Sidik menggunakan metode Charge Performance Index (CPI) yang merupakan perbandingan antara

29 realisasi penerimaan pajak daerahdengan sasaran atrau target penerimaan pajak daerah yang direncanakan. Rumusnya adalah: Dimana: CP it : Persentase tingkat efektivitas pajak daerah jenis I pada tahun tertentu PD it : Pajak daerah jenis I pada tahun tertentu. 2.1.7 Penelitian Terdahulu Adapun hasil penelitian terdahulu mengenai efektifitas dan efisiensi pajak daerah dan peran sertanya terhadap Pendapatan Asli Daerah dapat ditunjukkan pada tabel sebagai berikut. Realisasi PD it CP it = X 100 Target PD it Tabel 2.1 Tabel Penelitian Terdahulu No Nama Peneliti 1. Rosy Puspita Sari dan I Gusti Bagus Indrajaya (2014) 2. Enggar, Sri Rahayu Wahyudi (2011) dan Judul Penelitian Pengaruh Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan Dana Perimbangan Terhadap Alokasi Belanja Daerah Kabupaten Badung Analisis Efisiensi dan Efektivitas Penerimaan Pajak Daerah Provinsi Jambi Hasil Penelitian Kemampuan Dispenda Provinsi Kalimantan Barat dalam merealisasi atau memobilisasi PAD sesuai yang ditargetkan dikategorikan efektif.pendapatan Asli Daerah (PAD) dan dana perimbangan berpengaruh signifikan terhadap alokasi belanja daerah Kabupaten Badung Tahun 2001-2012, baik secara serempak maupun parsial. Penerimaan pajak daerah kurun waktu 2002-2009 mengalami peningkatan yang baik dan secara umum berada pada kategori sangat efektif dan sangat efisien dengan Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor sebagai sektor yang sangat efektif dan efisien.

30 3. Nurrahman Putry dan Abdullah (2011) Peranan Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Kota Bengkulu Kontribusipajak pemerintahdaerah terhadap PAD(pendapatan asli daerah) dikota Bengkuluselama limatahun terakhirdari tahun 2003-2007memilikisebagian besardariperanyangada yaitu48,10persen. Sementara itu,retribusipemerintah daerahmemberikan kontribusisebesar31,20persenterhadap PADdikotaBengkulu. Efektivitaspajak dan retribusipendapatanpemerintahlokal di kotabengkulutahun2003-2007telahberjalan efektifyaitu97,06persenuntuk pendapatanpajak daerahdan81,56persen untukretribusidikota Bengkulupada2003-2007adalah29,92persendan19,32persen. 4. Bob Mustafa dan Abdul Halim (2008) Pengukuran Kinerja Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Kalimantan Barat 1. PAD Provinsi Kalimantan Barat mengalami pertumbuhan yang positif dan relatif stabil. 2. Pajak daerah masih mendominasi dalam perolehan PAD provinsi Kalimantan Barat. 3. Provinsi Kalimantan Barat memiliki struktur PAD yang baik. 4. Kemampuan keuangan daerah Provinsi Kalimantan Barat dalam membiayai penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan di daerah dalam kategori baik.

31 2.1.8 Kerangka Penelitian Salah satu yang dapat mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan pajak daerah. Penerimaan pajak daerah didapat dari target pajak daerah, realisasi pajak daerah, dan biaya pemungutan pajak daerah. Dari data-data tersebut maka dapat dihitung efektivitas dan efisiensi pajak daerah. Jika sudah menganalisis tingkat efektivitas dan efisiensinya, selanjutnya merekomendasikan penelitian ini. PAD Penerimaan Pajak Daerah Target Pajak Daerah Realisasi Pajak Daerah Biaya Pemungutan Pajak Daerah Analisis Efektivitas Pajak Daerah Efisiensi Pajak Daerah Rekomendasi Gambar 2.1 Kerangka Penelitian

32 BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Objek Penelitian Objek dari penelitian ini adalah Dinas Pendapatan Keuangan dan Aset Daerah (DPKAD) Kota Semarang. Dinas Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah adalah sebuah unit organisasi yang merupakan hasil perubahan dari BPKD (Badan Pengelola Keuangan Daerah). Unit DPKAD ini berasal dari penyatuan tiga bidang unit kerja yakni Dinas Pendapatan, Bagian Kas Setda, dan Bagian Keuangan Setda. 3.2 Populasi dan Sampel Populasi yaitu sekelompok orang, kejadian atau segala sesuatu yang mempunyai karakteristik tertentu (Indriantoro, 2014). Populasi yang digunakan dalam penelitian ini adalah data pajak daerah, realisasi pendapatan dan belanja daerah Kota Semarang. Menurut buku Indriantoro (2014) sampel adalah sebagian dari elemen populasi. Pemilihan sampel dilakukan secara acak dengan mengambil data yang runtut. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pajak daerah, realisasi pendapatan dan belanja daerah Kota Semarang periode tahun 2010-2013. 3.3 Jenis dan Sumber Data Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data dokumenter. Menurut Indriantoro (2014), data dokumenter adalah jenis data penelitian yang antara lain berupa: faktur, jurnal-jurnal, surat-surat, notulen hasil rapat, memo, atau dalam bentuk laporan program. Data dokumenter memuat apa dan kapan suatu kejadian atau transaksi, serta siapa yang terlibat dalam suatu kejadian.

33 Sumber data dalam penelitian ini adalah sumber data sekunder. Data sekunder adalah penelitian arsip (archival research) yang memuat kejadian masa lalu (historis). Pengumpulan data sekunder relatif lebih cepat dan lebih murah dbandingkan dengan pengumpulan data primer. Data sekunder, meskipun demikian, umumnya tidak dirancang secara spesifik untuk memenuhi kebutuhan penelitian tertentu. Seluruh atau sebagian aspek dari data sekunder kemungkinan tidak sesuai kebutuhan suatu penelitian. 3.4 Metode Pengumpulan Data Dalam penelitian ini peneliti menggunakan data sekunder. Data penelitian yang digunakan adalah pajak daerah yang di dapat dari Laporan Realisasi Pendapatan Daerah Kota Semarang yang bersumber dari Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Aset Daaerah Kota Semarang dengan periode Tahun Anggaran 2010-2013. 3.5 Metode Analisis Metode analisis yang digunakan di penelitian ini adalah analisis deskriptif, yaitu mengeksplorasi dan klarifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial, dengan jalan mendeskripsikan sejumlah variabel yang berkenaan dengan masalah dan unit yang diteliti. Salah satu yang dapat mempengaruhi Pendapatan Asli Daerah adalah penerimaan pajak daerah. Penerimaan pajak daerah didapat dari target pajak daerah, realisasi pajak daerah, dan biaya pemungutan pajak daerah. Dari data-data tersebut maka dapat dihitung efektivitas dan efisiensi pajak daerah. Jika sudah mengetahui tingkat efektivitas dan efisiensinya, selanjutnya menganalisis tingkat kontribusi pajak daerah bagi PAD Kota Semarang.

34 1. Menghitung tingkat efektivitas penerimaan pajak daerah periode 2010-2013. Pendekatan yang digunakan oleh Enggar, Sri Rahayu dan Wahyudi (2011) sebagai berikut: Dimana: PD it PD it-1 Perkembangan = X 100 PD it-1 PD it = Realisasi pajak daerah jenis i pada tahun tertentu PD it-1 = Realisasi pajak daerah jenis i pada tahun sebelumnya Untuk mengetahui tingkat efektivitas pajak daerah menggunakan rumus sebagai berikut: Rasio Efektivitas = Realisasi Penerimaan Pajak Daerah Target Penerimaan Pajak Daerah Sumber : Data sekunder, DPKAD Kota Semarang Hasil pengukuran tingkat efektivitas penerimaan pajak daerah menggunakan kategori nilai sebagai berikut: 1) Koefisien efektivitas bernilai dibawah 40% artinya sangat tidak efektif. 2) Koefisien efektivitas bernilai antara 40%-60% artinya tidak efektif. 3) Koefisien efektivitas bernilai 60%-80% artinya cukup efektif. 4) Koefisien efektivitas bernilai antara 80%-100% artinya efektif. 5) Koefisien efektivitas bernilai diatas 100% artinya sangat efektif. Sumber : Sidik (dikutip oleh Enggar, dkk, 2011)

35 2. Menghitung tingkat efisiensi pajak daerah pada periode 2010-2013. Pendekatan yang digunakan oleh oleh Enggar, Sri Rahayu, dan Wahyudi (2011) sebagai berikut: Biaya Pemungutan PD it CCER it = x 100 Realisasi PD it Dimana: CCER it : Persentase tingkat efisiensi pajak daerah jenis i pada tahun tertentu. PD it : Pajak daerah jenis i pada tahun tertentu. Untuk mengetahui tingkat efisiensi penerimaan pajak daerah menggunakan rumus sebagai berikut : Rasio Efisiensi = Belanja Pajak Daerah Realisasi Penerimaan Pajak Daerah Sumber : Data sekunder, DPKAD Kota Semarang Hasil pengukuran tingkat efisiensi penerimaan pajak daerah menggunakan kategori nilai sebagai berikut: 1) Koefisien efisiensi bernilai 0-20% artinya sangat efisien. 2) Koefisien efisiensi bernilai 21-40% artinya efisien. 3) Koefisien efisiensi bernilai 41 60% artinya cukup efisien. 4) Koefisien efisiensi bernilai 61-80% artinya tidak efisien. 5) Koefisien efisiensi bernilai > 80% artinya sangat tidak efisien. Sumber : Sidik (dikutip oleh Enggar, dkk, 2011)

36 3. Untuk mengetahui peran serta penerimaan pajak daerah tehadap Pendapatan Asli Daerah, Penulis menggunakan rumus yang digunakan oleh Halim (di kutip oleh Mustafa, 2008) sebagai berikut : X Y X 100 Dimana: X = Realisasi Penghasilan Pajak Daerah Y = Realisasi Pendapatan Asli Daerah

37 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1 Deskripsi Objek Penelitian 4.1.1 Pajak Daerah Kota Semarang Menurut Undang-Undang No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1997, tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, pasal 1 menyatakan bahwa pajak daerah yang selanjutnya disebut pajak adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerah dan pembangunan daerah. Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 yang termasuk pajak daerah adalah pajak hotel, pajak restoran, pajak hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak mineral bukan logam dan batuan, pajak parkir, pajak air tanah, pajak sarang burung walet, pajak bumi dan bangunan, dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan. Pola pelaksanaan perpajakan yang terkoordinasi secara serasi meliputi tax policy, tax law dan tax administration. Ketiga faktor tersebut saling terkait satu dengan lainnya. Untuk mewujudkan sistem perpajakan daerah yang baik dan sehat, maka ketiga faktor tersebut harus berjalan secara seimbang dan harmonis. Sehingga dalam pelaksanaannya dapat menunjang penerimaan daerah. Di sisi lain usaha pelaksanaan sistem perpajakan daerah yang baik dan sehat dapat melalui sistem perpajakan yang sederhana, mudah dan jelas intensifikasi pemungutan pajak, pemeliharaan aparat pajak yang jujur dan bersih dari peningkatan kualitas kemampuan aparat pajak.

38 Pemungutan adalah suatu rangkaian kegiatan mulai dari penghimpunan data objek dan subjek pajak, penentuan besarnya pajak yang terutang sampai kegiatan penagihan pajak kepada wajib pajak serta pengawasan penyetorannya. Pemungutan pajak tidak dapat diborongkan dan dipungut berdasarkan penetapan Kepala Daerah atau dibayar sendiri oleh wajib pajak. Pemungutan pajak berdasarkan penetapan dilaksanakan dengan menggunakan Surat Ketetapan Pajak Daerah atau dokumen lain yang dipersamakan. Sedangkan pembayaran pajak yang dilakukan sendiri oleh wajib pajak dilakukan dengan menggunakan Surat Pemberitahuan Pajak Daerah, Surat Ketetapan Pajak Daerah Kurang Bayar Tambahan. Terhadap wajib pajak tersebut dapat diterbitkan Surat Tagihan Pajak Daerah, Surat Keputusan Pembetulan, Surat Keputusan Keberatan, dan Putusan Banding sebagai dasar pemungutan dan penyetoran pajak. 4.2 Analisis Data dan Pembahasan DPKAD Kota Semarang mempunyai tugas untuk mengelola keuangan daerah terutama Pendapatan Asli Daerah. Pengelolaan keuangan daerah yang baik akan berdampak pada sumber pembiayaan otonomi daerah dan meningkatnya usaha-usaha pembangunan. Penghasilan PAD Kota Semarang tidak selalu mengalami kenaikan setiap tahunnya. Data realisasi penghasilan PAD Kota Semarang selama tahun 2009-2013 dapat dilihat pada tabel 4.1.