PENDAHULUAN Human Immunodeficiency Virus (HIV) adalah virus yang menyerang salah satu jenis sel darah putih yang berperan sebagai sistem kekebalan tubuh manusia. Sedangkan AIDS adalah gejala penyakit yang timbul akibat dari menurunnya sistem kekebalan tubuh akibat dari infeksi virus HIV dalam tubuh manusia. Kasus penularan HIV saat ini bukan hanya terkonsentrasi pada kelompok-kelompok beresiko saja seperti Waria, PSK, Gay, dan Penasun, namun sudah menyebar luas ke masyarakat tidak mengenal pekerjaan, usia, jenis kelamin bahkan anak-anak pun banyak yang telah terinfeksi HIV/AIDS. Data Kementerian Kesehatan menyebutkan bahwa ibu rumah tangga menjadi pengidap HIV terbanyak di bandingkan dengan profesi yang lain. Gambar 1.1. Jumlah Kumulatif AIDS yang dilaporkan menurut jenis pekerjaan tahun 1978 sampai dengan September 2014 Sumber : Ditjen PP & PL, Kemenkes RI, 2014 Data yang dirilis oleh Ditjen PP dan PL Kementerian Kesehatan RI menunjukkan bahwa ibu rumah tangga menepati jumlah penderita AIDS terbanyak di Indonesia. Banyaknya ibu rumah tangga yang terinfeksi HIV berpotensi menularkan virus HIV pada anak yang dikandungnya jika tidak ditangani secara medis dengan baik. Banyak Anak dengan HIV/AIDS yang [1]
akhirnya menjadi yatim piatu akibat kedua orang tuanya meninggal karena AIDS, dan juga banyak dari anak dengan HIV/AIDS (ADHA) yang harus hidup bersama kedua orang tuanya yang juga positif HIV. UNICEF (2008) menyatakan bahwa sekitar 50 persen bayi yang terinfeksi HIV meninggal sebelum merayakan ulang tahun kedua mereka dan lebih dari 15 juta anak kehilangan seorang atau kedua orangtua mereka akibat penyakit terkait AIDS. Di berbagai belahan dunia 2,3 juta anak di bawah 15 tahun hidup dengan HIV, dimana sekitar 530 ribu di antaranya baru terinfeksi pada tahun 2006, kebanyakan melalui penularan dari ibu ke anak, cara penularan yang sebenarnya dapat dicegah bila memperoleh penanganan medis yang optimal. Data dari Ditjen PP & PL Kementrian Kesehatan Republik Indonesia sampai dengan triwulan III tahun 2014 jumlah penderita AIDS pada usia 0 14 tahun mencapai 2,9 %. Data terbaru dari hasil pemetaan populasi kunci oleh Komisi Penaggulangan AIDS kota Surakarta menunjukkan ibu rumah tangga dan anak menjadi pengidap HIV terbanyak di Kota Surakarta. Tabel 1.1. Hasil Pemetaan Populasi Kunci KPA Kota Surakarta Desember 2015 Kelompok Resiko Estimasi Data Dijangkau Gap ODHA Tinggi 2012 Lapangan Penasun (Idus) Pasangan 194 160 41 119 107 WPS 700 700 395 305 213 LBT (Lelaki beresiko tinggi) 29.776 1.944 512 1.421 758 Waria 51 57 29 28 22 MSM/LSL 760 364 152 212 289 IRT, Anak Terpapar 432 ODHA 1.356 1.821 Sumber : Komisi Penanggulangan AIDS Kota Surakarta, 2015 Anak-anak yang mengidap HIV rentan mendapat masalah sosial terutama mereka yang tertular HIV dari orang tuanya. Masalah yang yang paling rentan menimpa mereka adalah menjadi yatim karena salah satu atau kedua orang tua [2]
mereka meninggal akibat AIDS. Penelitian yang dilakukan oleh Abashula, dkk (2014) dengan judul The situation of orphans and vulnerable children in selected Woredas and towns in Jimma Zone menemukan masalah-masalah yang dihadapi anak-anak yang menderita HIV. Penelitian yang dilakukan di Ethiopia ini menemukan fakta bahwa anak-anak yang terinfeksi HIV di sana banyak yang mengalami permasalahan kesehatan, kekerasan seksual bahkan banyak dari mereka yang harus dipekerjakan di usia yang belum cukup umur. Masalah lain yang dihadapi anak-anak pengidap HIV disana adalah masih sedikitnya ADHA yang mendapat akses layanan kesehatan, pendidikan dan perumahan. Penelitian yang dilakukan Nilesh Thakor dkk (2015) dengan judul Sociodemographic profile and health status of children living with HIV AIDS attached to an NGO (ADHAR) of Ahmedabad city menggambarkan berbagai persoalan yang dihadapi oleh anak-anak yang hidup dengan HIV/AIDS. Penelitian yang dilakukan pada anak dengan HIV/AIDS pada rentang usia 5-14 tahun di India mengungkapkan berbagai permasalahan yang dihadapi anakanak dengan HIV/AIDS, 30% dari anak-anak yang menjadi responden penelitian telah dikeluarkan dari sekolah, 65,5% anak-anak harus hidup bersama kedua orang tua mereka yang juga mengidap HIV/AIDS, sedangkan 63% kasus orang tua yang lebih memilih untuk merahasiakan status HIV/AIDS anak mereka dari orang-orang sekitar seperti guru dan teman. Selain itu beberapa anak juga ditemukan dengan kondisi kesehatan yang buruk seperti kekurangan nutrisi bahkan juga ditemukan beberapa anak yang tidak mendapatkan terapi ART. Sedangkan di Indonesia permasalahan ADHA di indonesia tergambar dari penelitian yang dilakukan oleh Astuti dan Suhendi (2014) yang menemukan masalah yang dihadapi anak-anak penderita HIV/AIDS. Secara umum masalah yang dihadapi anak dengan HIV/AIDS (ADHA) bersumber pada 2 (dua) pihak secara bersamaan. Pertama, bersumber dari anak dan keluarga anak itu sendiri. Masalah yang bersumber dari anak terkait dengan stabilitas atau daya tahan mental (aspek psikologis) anak sebagai penyandang masalah. Hal ini sekaligus [3]
terkait dengan kemampuan keluarga anak dalam memberikan dukungan kepada anak (baik dukungan sosial, emosional, dan ekonomi). Dukungan ini sekaligus tercermin dalam pola pengasuhan yang diterapkan keluarga terhadap anak sebagai penyandang masalah. Kedua, bersumber dari masyarakat sekitar anak dan keluarga anak itu. Masalah yang bersumber dari masyarakat sekitar terkait dengan pengetahuan, persepsi, sikap, dan atau perilaku masyarakat lingkungan sekitar anak dan keluarga sehubungan dengan statusnya sebagai penyandang HIV/ AIDS. Masalah utamanya adalah stigma yang berkembang di tengah masyarakat yang kemudian tercermin dalam sikap dan perilaku aktual dalam bentuk prasangka dan diskriminasi. Stigma berkembang di tengah masyarakat dalam bentuk pemberian cap atau label negatif kepada anak dan penyandang HIV/AIDS dan keluarganya didasarkan pada penilaian subjektif. Dari beberapa penelitian diatas menunjukkan masalah sosial yang dihadapi oleh anak-anak penderita HIV/AIDS sangatlah kompleks. Masalah stigma dan diskriminasi masih menjadi isu yang menjadi tantangan besar dalam upaya meningkatkan kualitas hidup penderita HIV. Salah satu kasus yang menjadi bukti terjadinya diskriminasi terhadap ADHA di Kota Surakarta adalah penolakan pada anak-anak dari Rumah Singgah Lentera yang sedianya akan pindah namun di tolak oleh warga Kedunglumbu. Kejadian ini terjadi pada 06 Desember 2015. Mendengar kabar kepindahan ADHA ke wilayah mereka warga Kedunglumbu lantas memblokir jalan dan memasang poster penolakan. Warga menolak kepindahan anak-anak tersebut karena takut anak-anak mereka akan tertular HIV. Padahal pihak Rumah Singgah Lentera sudah mendatangkan dokter untuk memberikan sosialisasi tentang penularan HIV ke warga namun mereka tetap menolak dengan berbagai alasan. Hal ini membuktikan bahwa anak-anak pengidap HIV rentan untuk mendapat masalah sosial terkait dengan status mereka sebagai pengidap HIV postif. Melihat permasalahan HIV/AIDS di Indonesia khususnya di Kota Surakarta pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Daerah Kota Surakarta nomor 12 tahun 2014 tentang pencegahan dan penaggulangan HIV dan AIDS. Perda ini merupakan suatu langkah yang diambil oleh pemerintah Kota [4]
Surakarta dalam upayanya menanggulangi permasalahan HIV/AIDS di Kota Surakarta. Ruang lingkup pencegahan dan penaggulangan HIV/AIDS yang termuat dalam peraturan tersebut meliputi Penyelenggara, Promosi, Pencegahan, PDP (Perawatan, Dukungan dan Pengobatan) dan Rehabilitasi. Pemerintah Kota Surakarta menjamin hak-hak ADHA dalam peraturan tersebut seperti yang termuat dalam pasal 27 yang menyatakan ADHA berhak mendapatkan layanan kesehatan yang komprehensif, mendapat pemenuhan hak-hak anak, dan mendapatkan dukungan kebutuhan dasar. Upaya penanggulangan dan pencegahan HIV/AIDS di Surakarta semakin diperkuat dengan adanya Layanan Komprehensif Berkesinambungan yang digulirkan oleh Kementrian Kesehatan. Di Kota Surakarta saat ini sudah tersedia fasilitas layanan kesehatan yang sudah support LKB yaitu Puskesmas Manahan, Sangkrah, Kratonan dan Setabelan sedangkan Rumah Sakit yang sudah support LKB ada RSUD Kota Surakarta, RSUD Dr. Moewardi, RS Dr. Oen, RS BBKP Kota Surakarta. Hadirnya layanan kesehatan yang sudah support LKB diharapkan mampu memberikan dampak yang postif dalam upaya pencehagan dan penanggulangan HIV dan AIDS di Kota Surakarta. Layanan yang berkesinambungan adalah pemberian layanan HIV & IMS secara paripurna, yaitu sejak dari rumah atau komunitas, ke fasilitas layanan kesehatan seperti puskesmas, klinik dan rumah sakit dan kembali ke rumah atau komunitas; juga selama perjalanan infeksi HIV (semenjak belum terinfeksi sampai stadium terminal). Kegiatan ini harus melibatkan seluruh pihak terkait, baik pemerintah, swasta, maupun masyarakat (kader, LSM, kelompok dampingan sebaya, ODHA, keluarga, PKK, tokoh adat, tokoh agama dan tokoh masyarakat serta organisasi/kelompok yang ada di masyarakat). Layanan komprehensif dan berkesinambungan juga memberikan dukungan baik aspek manajerial, medis, psikologis maupun sosial ODHA selama perawatan dan pengobatan untuk mengurangi atau menyelesaikan permasalahan yang dihadapinya. Tujuan dari layanan tersebut adalah : 1. Menurunkan hingga meniadakan infeksi HIV baru; [5]
2. Menurunkan hingga meniadakan kematian yang disebabkan oleh keadaan yang berkaitan dengan AIDS; 3. Meniadakan diskriminasi terhadap ODHA; 4. Meningkatkan kualitas hidup ODHA; dan 5. Mengurangi dampak sosial ekonomi dari penyakit HIV dan AIDS pada individu, keluarga dan masyarakat. (Kemenkes, 2013) Untuk melihat bagaimana Layanan Komprehensif Berkesinambungan terhadap ADHA di Kota Surakarta maka penelitian ini akan dilakukan dengan menggunakan penelitian jenis studi kasus dengan mengambil kasus anak-anak dengan HIV/AIDS yang saat ini berada di Rumah Singgah Lentera. Rumah Singgah Lentera merupakan rumah singgah yang menampung anak-anak yatim piatu yang terinfeksi HIV/AIDS. [6]