KAJIANTENTANGANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PERKARA KONEKSITAS MENURUT KUHAP 1 Oleh : Arwin Syamsuddin 2

dokumen-dokumen yang mirip
Lex Administratum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Maraknya tindak pidana yang terjadi di Indonesia tentu

BAB I PENDAHULUAN. A. Alasan Pemilihan Judul. Institusi militer merupakan institusi unik karena peran dan posisinya yang

KESAKSIAN PALSU DI DEPAN PENGADILAN DAN PROSES PENANGANANNYA 1 Oleh: Gerald Majampoh 2

IMPLEMENTASI PERADILAN KONEKSITAS DALAM PERKARA TINDAK PIDANA KORUPSI (Studi Putusan No. 2478/Pid.B/Kon/2006/PN.Jak.

I. PENDAHULUAN. hukum dan pemerintahan dengan tidak ada kecualinya sebagaimana tercantum

BAB I PENDAHULUAN. Perbuatan yang oleh hukum pidana dilarang dan diancam dengan pidana

PENJATUHAN PIDANA BERSYARAT DAN MASALAHNYA SERTA KAITANNYA DENGAN PEMBINAAN DISIPLIN PRAJURIT DI KESATUANNYA

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA

II. TINJAUAN PUSTAKA

BAB I PENDAHULUAN. kelompok masyarakat, baik di kota maupun di desa, baik yang masih primitif

PROSES PENYELESAIAN PERKARA PIDANA DENGAN PELAKU ANGGOTA TNI (Studi di Wilayah KODAM IV DIPONEGORO)

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016. EKSEPSI DALAM KUHAP DAN PRAKTEK PERADILAN 1 Oleh : Sorongan Terry Tommy 2

Lex Privatum Vol. V/No. 8/Okt/2017

yang tersendiri yang terpisah dari Peradilan umum. 1

BAB IV PENUTUP A. Simpulan

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA ANGKATAN DARAT (TNI AD) YANG TINDAK PIDANA. Oleh : Dr. Ruslan Abdul Gani, SH, MH

BAB III PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan di muka maka penulis

I. PENDAHULUAN. Orang hanya menganggap bahwa yang terpenting bagi militer adalah disiplin. Ini tentu benar,

PENANGGUHAN PENAHANAN DALAM PROSES PERKARA PIDANA (STUDI KASUS KEJAKSAAN NEGERI PALU) IBRAHIM / D Abstrak

Penerapan Tindak Pidana Ringan (Studi Putusan Pengadilan Negeri Kisaran Nomor 456/Pid.B/2013/PN.Kis)

BAB III PENUTUP. a. Kesimpulan. 1. Pertanggungjawaban pidana menyangkut pemidanaannya sesuai dengan

PEMECATAN PRAJURIT TNI

PERTIMBANGAN HAKIM DALAM PENERAPAN PIDANA TERHADAP ANGGOTA TENTARA NASIONAL INDONESIA YANG MELAKUKAN DESERSI

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ATMAJAYA YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. wilayahnya dan berbatasan langsung dengan beberapa negara lain. Sudah

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang Masalah. Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah tiang penyangga

Lex et Societatis, Vol. V/No. 6/Ags/2017

BAB I PENDAHULUAN. dalam hal dan menurut tata cara yang diatur dalam undang-undang untuk

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN. sebagaimana diuraikan dalam bab sebelumnya dapat dikemukakan kesimpulan

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015

I. PENDAHULUAN. Anggota Tentara Nasional Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang

PEMBERHENTIAN DENGAN TIDAK HORMAT PRAJURIT TNI

BAB I PENDAHULAN. dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia dalam Pasal 1 Ayat (3)

Tinjauan Putusan terhadap Penyimpangan Ketentuan Hukum Acara Pemeriksaan Koneksitas Oleh : Letkol Chk Parluhutan Sagala 1

Lex et Societatis, Vol. II/No. 7/Ags/2014. PEMIDANAAN TERHADAP ANAK DI BAWAH UMUR 1 Oleh: Judy Mananohas 2

Lex Crimen Vol. IV/No. 8/Okt/2015

Lex Administratum, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

Kata kunci: Pencabutan keterangan, terdakwa. AKIBAT HUKUM TERHADAP PENCABUTAN KETERANGAN TERDAKWA DI PENGADILAN 1 Oleh: Efraim Theo Marianus 2

BAB II TINDAK PIDANA DESERSI YANG DILAKUKAN OLEH ANGGOTA TNI. mengenai fungsi, tugas dan tanggungjawab mereka sebagai anggota TNI yang

Makalah Daluwarsa Penuntutan (Hukum Pidana) BAB I PENDAHULUAN

II. TINJAUAN PUSTAKA. Secara harfiah militer berasal dari kata Yunani, dalam bahasa Yunani adalah orang

I. PENDAHULUAN. sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Dengan demikian sudah seharusnya penegakan

BAB I PENDAHULUAN. kekuasaan tertinggi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Konsep Negara

PRAPENUNTUTAN DALAM KUHAP DAN PENGARUH BERLAKUNYA UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2004 TENTANG KEJAKSAAN REPUBLIK INDONESIA 1 Oleh: Angela A.

BAB I PENDAHULUAN. tercipta pula aturan-aturan baru dalam bidang hukum pidana tersebut. Aturanaturan

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DAFTAR PUSTAKA. Ali, Achmad, Menguak Realitas Hukum: Rampai Kolom Dan Artikel Pilihan Dalam Bidang Hukum, (Jakarta: Kencana, 2008).

BAB I PENDAHULUAN. diperlukan suatu aturan hukum tertulis yang disebut pidana. Adapun dapat ditarik kesimpulan tujuan pidana adalah: 2

II. TINJAUAN PUSTAKA. Pertanggungjawaban pidana ( criminal liability) atau ( straafbaarheid),

BAB I PENDAHULUAN. tangga itu. Biasanya, pelaku berasal dari orang-orang terdekat yang dikenal

Lex Crimen Vol. III/No. 4/Ags-Nov/2014

BAB I PENDAHULUAN. penjajahan mencapai puncaknya dengan di Proklamasikan Kemerdekaan. kita mampu untuk mengatur diri sendiri. 1

NASKAH PUBLIKASI PENEGAKAN HUKUM TERHADAP ANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI WILAYAH HUKUM PENGADILAN MILITER II 11 YOGYAKARTA

BAB I PENDAHULUAN. pemberian sanksi atas perbuatan pidana yang dilakukan tersebut. 1. pidana khusus adalah Hukum Pidana Militer.

BAB I PENDAHULUAN. penyelesaian perkara pidana, keterangan yang diberikan oleh seorang saksi. pidana atau tidak yang dilakukan terdakwa.

Lex et Societatis, Vol. V/No. 2/Mar-Apr/2017

BAB I PENDAHULUAN. dapat di pandang sama dihadapan hukum (equality before the law). Beberapa

Lex Crimen Vol. VI/No. 3/Mei/2017

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

BAB I PENDAHULUAN. Sebagai Negara hukum, Pasal 28 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara

I. PENDAHULUAN. didasarkan atas surat putusan hakim, atau kutipan putusan hakim, atau surat

Lex Crimen Vol. VI/No. 7/Sep/2017

HAL-HAL YANG PERLU PENGATURAN DALAM RUU PERADILAN MILITER

NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER

I. PENDAHULUAN. dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Prajurit TNI adalah warga

BAB III PENUTUP. mewujudkan rasa keadilan dalam masyarakat. dari Balai Pemasyarakatan. Hal-hal yang meringankan terdakwa yaitu :

BAB I PENDAHULUAN. Undang Dasar 1945, sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 31 TAHUN 1997 TENTANG PERADILAN MILITER DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

II. TINJAUAN PUSTAKA. A. Tugas dan Wewenang Hakim dalam Proses Peradilan Pidana. Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk

BAB I PENDAHULUAN. dibesarkan, dan berkembang bersama-sama rakyat Indonesia dalam

BAB II LANDASAN TEORI. Adapun yang menjadi tujuan upaya diversi adalah : 6. a. untuk menghindari anak dari penahanan;

PENJELASAN ATAS UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 25 TAHUN 2014 TENTANG HUKUM DISIPLIN MILITER

BAB I PENDAHULUAN. positif Indonesia lazim diartikan sebagai orang yang belum dewasa/

BAB III PENUTUP. A. Kesimpulan. Dari uraian hasil penelitian dan analisa yang telah dilakukan oleh penulis,

II. TINJAUAN PUSTAKA. wajib untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya. Pertanggungjawaban

Peranan Pembimbing Kemasyarakatan dalam Pengadilan Anak di Pematangsiantar. Abstrak

Lex Crimen Vol. V/No. 1/Jan/2016. Pangemanan, SH, MH; M.G. Nainggolan, SH, MH, DEA. 2. Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM,

BAB I PENDAHULUAN. yang berkaitan dengan modus-modus kejahatan.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA RI

Lex Crimen Vol. V/No. 4/Apr-Jun/2016

TUGAS II PENGANTAR ILMU HUKUM PENGARUH PUTUSAN PENGADILAN DALAM HUKUM

TINJAUAN HUKUM TERHADAP TUNTUTAN GANTI KERUGIAN KARENA SALAH TANGKAP DAN MENAHAN ORANG MUHAMMAD CHAHYADI/D Pembimbing:

Lex Privatum, Vol. IV/No. 3/Mar/2016. PENAHANAN DITINJAU DARI ASPEK YURUDIS DAN HAK ASASI MANUSIA 1 Oleh : Muhamad Arif 2

Lex Privatum Vol. V/No. 7/Sep/2017

Tinjauan Yuridis terhadap Pelaksanaan Prapenuntutan Dihubungkan dengan Asas Kepastian Hukum dan Asas Peradilan Cepat, Sederhana, dan Biaya Ringan

BAB III PENUTUP. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis penulis yang telah dilakukan maka dapat

PERAN PERWIRA PENYERAH PERKARA DALAM TINDAK PIDANA MILITER (STUDI DENPOM IV/ 4 SURAKARTA)

KEWENANGAN JAKSA PENUNTUT UMUM DALAM PROSES PRA PENUNTUTAN MENURUT KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA 1 Oleh : Richard Olongsongke 2

I. PENDAHULUAN. Negara Indonesia adalah Negara hukum, hal ini tercantum dalam Pasal 1 ayat (3)

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA

PENGADILAN ANAK Undang-Undang No. 3 Tahun 1997 Tanggal 3 Januari 1997 DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 5 TAHUN 2004 TENTANG PERUBAHAN ATAS UNDANG-UNDANG NOMOR 14 TAHUN 1985 TENTANG MAHKAMAH AGUNG

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

RAHASIA UJIAN AKADEMIK DIKTUKPA TNI AD TA 2015 MATA UJIAN : PENGMILCAB CHK WAKTU : 2 X 45 MENIT TANGGAL : 23 SEPTEMBER 2014

BAB I PENDAHULUAN. sebagai negara hukum tersebut terbaca dalam Penjelasan Undang-Undang

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Praperadilan merupakan lembaga baru dalam dunia peradilan di

STANDAR PELAYANAN PENGADILAN (SPP) DALAM LINGKUNGAN PERADILAN MILITER

BAB I PENDAHULUAN. melalui media massa maupun media elektronik seperti televisi dan radio.

Transkripsi:

KAJIANTENTANGANGGOTA MILITER YANG MELAKUKAN TINDAK PIDANA DALAM PERKARA KONEKSITAS MENURUT KUHAP 1 Oleh : Arwin Syamsuddin 2 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana proses pemeriksaan terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana dalam perkara koneksitas menurut KUHAP dan bagaimana pertanggungjawaban dan sanksi terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana dalam perkara koneksitas. Dengan menggunakan metode penelitian yuridis normatif, disimpulkan: 1. Proses pemeriksaan terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana dalam perkara koneksitas pada prinsipnya sama dengan proses pemeriksaan pada perkara biasa namun terdapat 2 (dua) perbedaaan dalam hal aparat yang berwenang untuk melakukan penyidikan dan cara bekerja dari tim yang melakukan penyidikan dan hal ini disebutkan dalam Pasal 198 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dan Pasal 89 ayat (2) KUHAP bahwa aparat yang berwenang dalam melakukan penyidikan untuk perkara koneksitas terdiri dari suatu tim tetap, yang terdiri dari unsur penyidik Polri, Polisi Militer dan Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi, sedangkan cara bekerja tim tetap ini disesuaikan dengan kewenagan yang ada pada masing-masing unsur tim, yaitu tersangka pelaku sipil diperiksa oleh unsur penyidik Polri sedangkan tersangka pelaku anggota militer diperiksa oleh penyidik dari Polisi Militer dan Oditur Militer. Kemudian dalam pemeriksaan di sidang pengadilan maka susunan majelis hakim peradilan koneksitas sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang. apabila diaperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan umum, maka Hakim ketua adalah dari Hakim peradilan Umum sedangkan hakim anggotanya 1 (satu) dari lingkungan peradilan umum dan 1 (satu) dari lingkungan peradilan militer, apabila diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan militer, Hakim Ketua dari lingkungan peradilan militer dan hakim anggota diusulkan 1 Artikel Skripsi. Dosen Pembimbing : Godlieb N. Mamahit, SH. MH., Eske N. Worang, SH. MH 2 Mahasiswa pada Fakultas Hukum Unsrat, NIM. 100711305 oleh Menteri Kehakiman (menteri Hukum dan HAM), dimana untuk hakim anggota dari lingkungan peradilan umum akan diberikan pangkat militer tituler. 2. Sebagai seorang anggota militer maka dia dianggap mampu untuk mempertanggung jawabkan tindak pidana yang dilakukannya secara bersama dengan orang sipil, maka penerapan pidana terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana dalam perkara koneksitas adalah sesuai dengan jenis kejahatan yang dilakukan yang diatur dalam Buku II KUHP dan pemidanaannya akan diterapkan sesuai jenisjenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP dan juga sesuai yang diatur dalam Pasal 6 KUHPM. Kata kunci: Anggota Militer, Melakukan Tindak Pidana, Perkara Koneksitas, KUHAP. PENDAHULUAN A. Latar Belakang Anggota Tentara Negara Indonesia (TNI) adalah warga negara Indonesia yang memenuhi persyaratan yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan dan diangkat oleh pejabat yang berwenang untuk mengabdikan diri dalam dinas keprajuritan yang diatur dalam Pasal 21 UU No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia. Tentara adalah mereka yang berikatan dinas secara sukarela pada Angkatan Perang, yang wajib berada dalam dinas secara terus menerus dalam tenggang waktu ikatan dinas tersebut {Pasal 46 ayat (1) UU No. 31 Tahun 1997 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM)}. 3 Setiap anggota Tentara Nasional Indonesia yang telah dibina fisik dan mental harus mampu dan dapat diandalkan untuk melaksanakan tugas pokok Tentara Nasional Indonesia baik dalam tugas Operasi Militer untuk perang maupun tugas Operasi Militer Non perang. 4 Sebagai anggota militer apabila perbuatan atau tindak pidananya itu tergolong sebagai tindak pidana militer yang pengaturannya terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) UU No. 31 Tahun 1997 3 Rezafaraby, Kedudukan Peran Peradilan Militer Di Indonesia, diakses pada tanggal 27 Maret 2017 dari www.dilmil-banjarmasin.go.id 4 S.R. Sianturi, Hukum Pidana Militer di Indonesia, Badan Pembinaan Hukum Tentara Nasional Indonesia, Jakarta, 2010, hlm. 18. 64

maka anggota militer tersebut akan diperiksa dan diadili sesuai dengan acara pemeriksaan yang terdapat dalam UU No. 31 Tahun 1997, namun tak jarang terjadi bahwa anggota militer menjadi turut tersangka dalam tindak pidana yang dilakukannya secara bersama dengan orang sipil yang tunduk pada pengadilan dalam lingkungan peradilan umum. Apabila ternyata bahwa tindak pidana yang dilakukan oleh anggota militer yang nyata-nyata tunduk pada peradilan dalam lingkungan peradilan militer tersebut dilakukan secara bersama dengan orang sipil yang tunuk pada pengadilan dalam lingkungan peradilan militer maka tindak pidana tersebut dikenal dengan tindak pidana dalam perkara koneksitas. Perkara koneksitas sebagaimana disebutkan dalam Pasal 89 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) adalah Tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer. 5 Secara umum sudah diketahui bahwa acara pemeriksaan untuk tindak pidana diperiksa dan diadili sebagaimana yang diatur dalam KUHAP sebagaimana disebutkan dalam Pasal 3 KUHAP bahwa: Peradilan dilakukan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, 6 namun bagaimana halnya dengan tindak pidana dalam perkara koneksitas? Lingkungan peradilan manakah yang akan mengadilinya? Acara pemeriksaan yang diatur dalam KUHAP bahwa pemeriksaan itu harus dilakukan secara singkat, cepat dan murah. Namun ternyata proses pemeriksaan perkara koneksitas memakan waktu yang lama, sebab perkara koneksitas hanya bisa disidangkan jika ada keputusan dari Menteri Pertahanan dan Keamanan dan telah disetujui oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM). Kemudian harus menunggu hasil pengkajian dari tim penyidik yang dibentuk untuk menentukan apakah perkara masuk lingkungan peradilan umum ataukah lingkungan peradilan militer. Proses pemeriksaan yang lama inilah yang menyebabkan Brigadir Jenderal Soenarko GA, selaku Komandan Polisi Angkatan Laut dalam kasus pembunuhan Direktur PT Aseba Budyarto Angsono pada Tahun 2004 tidak melaksanakan acara pemeriksaan sesuai dengan acara 5 KUHAP dan KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 234. 6 Ibid, hlm. 203 pemeriksaan koneksitas padahal terdakwa melakukan pembunuhan dibantu oleh 4 (empat) orang marinir. Berdasarkan keadaan yang terjadi dalam proses pemeriksaan perkara koneksitas maka penulis tertarik untuk membahas bagaimana sesungguhnya proses pemeriksaan perkara koneksitas dan diharapkan dengan penulisan skripsi ini proses pemeriksaan perkara koneksitas diterapkan sebagaimana peraturan yang mengaturnya karena bagaimanapun juga anggota militer yang melakukan tindak pidana adalah merupakan sesuatu yang berbeda karena anggota militer sepatutnya melindungi bangsa dan negara dari ancaman-ancaman yang ada bukan turut terlibat dalam perbuatan yang meresahkan masyarakat. B. Perumusan Masalah 1. Bagaimana proses pemeriksaan terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana dalam perkara koneksitas menurut KUHAP? 2. Bagaimana pertanggungjawaban dan sanksi terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana dalam perkara koneksitas? C. Metode Penelitian Penelitian ini adalah penelitian hukum normatif atau penelitian hukum kepustakaan, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder belaka. 7 Penelitian ini merupakan penelitian normatif, yaitu terutama mengkaji kaidahkaidah (norma-norma) hukum dalam hukum positif. PEMBAHASAN A. Proses Pemeriksaan Terhadap Anggota Militer Yang Melakukan Tindak Pidana Dalam perkara Koneksitas Adapun tentang proses pemeriksaan terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana dalam perkara koneksitas diatur dalam beberapa peraturan selain yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai berikut: 7 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif; Suatu Tinjauan Singkat, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hlm-13. 65

a. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer Acara pemeriksaan Koneksitas diatur dalam Bagian Kelima mulai Pasal 198 sampai dengan Pasal 203. Pasal 198 menyebutkan : 8 (1) Tindak Pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk yustisiabel Peradilan Militer dan yustisiabel Peradilan Umum, diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum, kecuali apabila menurut keputusan Menteri dengan persetujuan Menteri kehakiman perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh Pengadilan dalam lingkungan Peradilan Militer. (2) Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari Polisi Militer, Oditur dan penyidik dalam lingkungan peradilan umum, sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku untuk penyidikan perkara-perkara. (3) Tim sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dibentuk dengan surat keputusan bersama Menteri Pertahanan dan keamanan dan Menteri Kehakiman. b. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 16 menentukan bahwa: Tindak pidana yang dilakukan bersamasama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkungan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam keadaan tertentu menurut Keputusan Ketua Mahkamah Agung perkara itu harus diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan militer. 9 Dalam Pasal 16 ini, jelas undang-undang memberikan kewenagan kepada Menteri Pertahanan/Keamanan dengan persetujuan Menteri Kehakiman untuk menetapkan Pengadilan Militer sebagai pengadilan yang berwenang mengadili perkara koneksitas. Apabila unsur militer melebihi unsur sipilnya misalnya, maka hal tersebut dapat dijadikan landasan untuk menetapkan pengadilan lain daripada Pengadilan Umum ialah Pengadilan 8 Ibid, hlm. 308. 9 Indonesia, UURI Nomor. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Militer untuk mengadili perkara-perkara koneksitas. Jika dalm hal perkara diadili oleh Pengadilan Militer, maka susunan hakim adalah dari Pengadilan Militer dan Pengadilan Umum. Dalam hal ini kepentingan dari yustisiabel tetap mendapat perhatian sepenuhnya, yaitu dalam susunan hakim yang bersidang. 10 c. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor VII/MPR/2000 Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Nomor VII/MPR/2000 tentang Peran Tentara Nasional Indonesia dan Peran Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam Pasal 3 ayat (4) huruf a menyebutkan: Prajurit Tentara Nasional Indonesia tunduk pada kekuasaan Peradilan Militer dalm hal pelanggaran hukum militer dan tunduk pada kekuasaan Peradilan Umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum. Ketetapan MPR ini menunjukkan bahwa secara tidak langsung maslaah koneksitas yang berkenaan dengan tindak pidana sebagaimana telah diatur didalam hukum pidana dihapuskan, namun kendalanya terdapat pada peraturan perundang-undangan yang menjadi aturan pelaksanaan yang tertuang dalam bentuk perundang-undangan, ketetapan tersebut belum dapat dilaksanakan. 11 d. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Acara pemeriksaan untuk bagi anggota militer yang melakukan tindak podana dalam perkara koneksitas diatur dalam Bab XI dari Pasal 89 sampai dengan Pasal 94 KUHAP. Pasal 89 menentukan bahwa: 12 (1) Tindak pidana yang dilakukan bersamasama oleh mereka yang termasuk lingkungan peradilan umum dan lingkugan peradilan militer, diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum kecuali jika menurut keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan 10 Nico Ngani, I Nyoman Budi Jaya, Hasan Madani, Mengenal Hukum Acara Pidana, Seri 3, Liberty, Yogyakarta, 1985, hlm. 24. 11 Christian Damero Sitompul, Implementasi Peradilan Koneksitas Dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi, Jurnal Ilmiah Fakultas Hukum USU, Medan, 2012, hlm.13. 12 Republik Indoneisa, KUHAP dan KUHP, Sinar Grafika, Jakarta, 2013, hlm. 234-235. 66

dengan persetujuan Menteri Kehakiman (sekarang Menteri Hukum dan HAM), perkara itu harus diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan militer. (2) Penyidikan perkara pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilaksanakan oleh suatu tim tetap yang terdiri dari penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 dan polisi militer Angkatan Bersenjata Republik Indonesia dan oditur militer atau oditur militer tinggi sesuai dengan wewenang mereka masing-masing menurut hukum yang berlaku untuk penyelidikan perkara pidana. (3) Tim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dibentuk dengan surat keputusan bersama Menteri Pertahanan dan Kemanan dan Menteri Kehakiman (Menteri Hukum dan HAM). Dari bunyi Pasal 89 ini terlihat bahwa untuk tindak pidana dalam perkara Koneksitas, terdapat dua orang atau lebih yang bekerja sama atau bersama-sama melakukan tindak pidana. Yang satu terdiri dari orang sipil yang tunduk pada lingkungan peradilan umum sedangkan yang lain adalah orang militer yang tunduk pada lingkungan peradilan militer {(Pasal 89 ayat (1)}. B. Pertanggungjawaban dan Sanksi Bagi Anggota Militer Yang Melakukan Tindak Pidana Dalam Perkara Koneksitas Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) sendiri tidak memberikan penjelasan mengenai kemampuan bertanggung-jawab, KUHP hanya memuat alasan-alasan yang terdapat pada diri si pelaku sehingga perbuatan itu tidak dapat dipertanggungjawabkan kepadanya. Alasan tersebut berupa keadaan pribadi pelaku yang jiwanya cacat dalam pertumbuhan atau terganggu karena penykit (Pasal 44 KUHP). Dalam keadaan demikian, pelaku tidak mempunyai kebebasan kehendak, dan oleh karena itu tidak dapat menentukan kehendaknya atas perbuatannya, sehingga tidak dapat dipidana. 13 Dari batasan yang diberikan di atas tentang mampu bertanggung jawab maka dapat diambil kesimpulan bahwa seseorang itu dapat dikatakan mampu bertanggung jawab terhadap perbuatan yang dilakukannya apabila dia benar-benar menyadari bahwa perbuatan yang dilakukannya adalah merupakan suatu perbuatan yang salah atau dilarang menurut undang-undang namun tetap dia melakukannya dan perbuatan pidana itu dilakukannya secara sadar. Untuk orang-orang yang telah melakukan tindak pidana secara sadar dan mampu untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya akan dikenakan sanksi sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP yang mengatur tentang jenisjenis pidana yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dalam Buku II KUHP. Jenisjenis pidana ini dapat diberlakukan terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana dalam perkara koneksitas. Adapun jenis-jenis pidana menurut Pasal 10 KUHP adalah sebagai berikut: 14 a. Pidana Pokok: 1. pidana mati 2. pidana penjara 3. pidana kurungan 4. denda 5. pidana tutupan (UU No. 20 /1946) b. Pidana Tambahan: 1. pencabutan beberapa hak yang tertentu, 2. perampasan beberapa barang yang tertentu, 3. pengumuman putusan hakim. Dalam Rancangan KUHP yang dibuat untuk menggantikan KUHP sekarang yang merupakan warisan dari penjajahan, terdapat beberapa kali perubahan sebagai berikut: a. Rancangan KUHP tahun 2008. 15 Ketentuan Pasal 60 RUU KUHP menyebutkan bahwa: 1. Pidana Pokok terdiri atas: a. Pidana penjara; b. Pidana tutupan; c. Pidana pengawasan; d. Pidana denda; dan 14 R. Sugandhi, KUHP dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya, 1981, hlm. 12. 15 Lilik Mulyadi, Kapita Selekta Hukum Pidana, Kriminologi dan victimologi, Djambatan, Jakarta, 2007, hlm. 22-23. 13 Ibid, hlm. 50. 67

e. Pidana kerja sosial. 2. Urutan pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) menentukan berat ringannya pidana. Sedangkan terhadap pidana tambahan, Pasal 62 RUU KUHP menentukan bahwa: 1. Pidana tambahan terdiri atas: a. Pencabutan hak tertentu; b. Perampasan barang tertentu; c. Pengumuman keputusan hakim; d. Pembayaran ganti kerugian; dan e. Pemenuhan kewajiban adat. 2. Pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat dijatuhkan jika tercantum secara tegas dalam perumusan tindak pidana. 3. Pidana tambahan berupa pemenuhan kewajiban adat atau pencabutan hak yang diperoleh korporasi dapat dijatuhkan, walaupun tidak tercantum dalam perumusan tindak pidana. 4. Pidana tambahan untuk percobaan dan pembantuan adalah sama dengan pidana tambahan untuk tindak pidananya. Berikut ini dibahas tentang pelaksanaan pidana militer menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM). 1. Pelaksanaan pidana mati Dalam ketentuan Pasal 8 dan 9 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) ditegaskan bahwa pidana mati yang diajtuhkan kepada militer, sepanjang ia tidak dipecat dari dinas militer, dijalankan dengan tembak mati oleh sejumlah militer. 16 Hal ini sejalan dengan UU No. 2 PNPS 1964 yang menegaskan bahwa pelaksanaan pidana mati dilakukan dengan ditembak sampai mati. Pasal 255 Hukum Acara Pidana Militer menentukan bahwa pelaksanaan pidana mati dilakukan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak dimuka umum. 17 16 Tim Pengajar Fakultas Hukum UNSRAT, Bahan Ajar Hukum Pidana Militer, Fakultas Hukum UNSRAT Manado, tanpa tahun, hlm. 51. 17 Rudi Pradisetia Sudirdja, Op-Cit, hlm. 21. Untuk pelaksanaan pidana mati, belum bisa untuk dilaksanakan sepanjang belum mendapat keputusan dari Presiden walaupun pidana mati yang dijatuhkan oleh hakim sudah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, artinya terpidana tidak naik banding, tidak memohonkan grasi, dalam artian bahwa terpidana menerima putusan hakim. Hal ini diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 UU Grasi No. 22 Tahun 2002. Apabila keputusan yang dikeluarkan oleh Presiden sama sekali tidak mengubah pidana mati yang dijatuhkan oleh Pengadilan, maka pidana mati akan segera dilaksanakan sesuai dengan pengaturan dalam UU No. 2 PNPS 1964. Adapun maksudnya adalah untuk mencegah kesalahan yang mungkin terjadi, dengan melalui prosedur yang ketat masih dianggap perlu untuk minta pendapat dan keputusan Presiden yang berbentuk grasi. 18 2. Pelaksanaan Pidana Penjara Setelah menerima kutipan Surat Keputusan yang telah menjadi tetap dari Panitera Pengadilan, Oditur melaporkan hal itu kepada PAPERA (Perwira Penyerah Perkara) atau ANKUM (Atasan Yang berhak Menghukum) dengan melampirkan Ikhtisar Putusan. Bagi seorang militer, baik ia dijatuhi hukuman pada Pengadilan Militer maupun Pengadilan Umum dalam rangka Koneksitas, maka tempat menjalani hukuman itu dijalankan sesuai dengan yang termaksud dalam Pasal 256 Hukum Acara Pidana Militer (HAPMIL). 19 Dalam Pasal 256 HAPMIL ini ditegaskan bahwa: 20 a. Pidana penjara atau kurungan dilaksanakan di Lembaga Pemasyarakatan Militer atau di tempat lain menurut ketentuan perundangundangan yang berlaku (ayat 1); b. Dalam hal terpidana dipidana penjara atau kurungan dan kemudian dijatuhi pidana penjara atau sejenis, sebelum menjalani pidana yang dijatuhkan terdahulu, pidana tersebut mulai dijalankan dengan pidana yang dijatuhkan terlebih dahulu (ayat 2); c. Apabila terpidana dipecat dari dinas keprajuritan, pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan di lembaga Pemasyarakatan Umum. Jadi bagi seorang militer baik ia dijatuhi hukuman oleh Pengadilan Militer maupun 18 Tim Pengajar Fakultas Hukum, Op-Cit, hlm. 51. 19 Moch. Faisal Salam. 2006, Op-Cit, hlm. 80. 20 Tim Pengajar Fakultas Hukum, Loc-Cit, hlm. 53. 68

dijatuhi oleh Pengadilan Umum selama tidak dipecat dari dinas niliter, menjalani pidana tersebut di Lembaga Pemasyarakatan Militer. Kalau terpidana militer itu dipecat, maka pelaksanaan hukuman itu di Lembaga Pemasyarakatan Umum. 21 3. Pelaksanaan Pidana Kurungan Di dalam Pasal 14 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer (KUHPM) ditegaskan bahwa: apabila seorang dinyatakan bersalah karena melakukan suatu kejahatan yang dirumuskan dalam undang-undang ini dan kepadanya akan dijatuhkan pidana penjara sebagai pidana utama yang tidak melebihi 3 bulan, hakim berhak menentukan dengan putusan bahwa pidana tersebut dijalankan sebagai pidana kurungan. 22 4. Pelaksanaan Pidana Tutupan Pidana tutupan diatur dalam Undang- Undang No. 20 Tahun 1946 yang hanya memuat enam (6) pasal sebagai berikut: Pasal 1: 23 Selain daripada hukuman tersebut dalam Pasal 10 huruf a KUHP dan Pasal 6 huruf a KUHPM adalah hukuman pokok baru, yaitu Hukuman Tutupan yang menggantikan hukuman penjara dalam hal tersebut di Pasal 2. Dalam Pasal 2: 24 (1).Dalam mengadili orang yang melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara, karena terdorong oleh maksud yang patut dihormati, hakim boleh menjatuhkan hukuman tutupan. (2). Peraturan dalam ayat (1) tidak berlaku jika perbuatan yang merupakan kejahatan atau cara melakukan perbuatan itu atau akibat dari perbuatan tadi adalah sedemikian sehingga hakim berpendapat bahwa hukuman penjara lebih pada tempatnya. Dalam Pasal 3: 25 (1). Barangsiapa dihukum dengan hukuman tutupan wajib menjalankan pekerjaan yang diperintahkan kepadanya menurut peraturan yang ditetapkan berdasar Pasal 5. 21 Moch. Faisal Salam, 2006, Loc-Cit, hlm. 80. 22 Ibid, hlm. 84. 23 Ibid. 24 Moch Faisal Salam, 2006, Op-Cit, hlm. 85. 25 Ibid, hlm. 86. Dalam Pasal 4: 26 Semua peraturan yag mengenai hukuman penjara berlaku juga terhadap hukuman tutupan, jika peraturan-peraturan itu tidak bertentangan dengan sifat atau peraturan khusus tentang hukuman tutupan. Dalam Pasal 5: 27 (1). Tempat untuk menjalani hukuman tutupan, cara melakukan hukuman itu dan segala sesuatu yang perlu untuk menjalankan UU ini diatur dalam PP; (2). Peraturan tata tertib guna rumah buat menjalankan hukuman tutupan diatur oelh Menteri Kehakiman dengan persetujuan Menteri Pertahanan. Dalam Pasal 6: 28 UU ini mulai berlaku pada hari pengumumannya. 6. Pelaksanaan Pidana Bersyarat Lembaga pidana bersyarat diatur dalam KUHP Pasal 14 a sampai dengan f dan dalam ordonansi pelaksanaan pidana bersyarat (Stb. 1926 No. 251 jo. 486 dan 487, yang berlaku mulai tanggal 1 Januari 1927) dan Pasal 15 samapai dengan Pasal 22 KUHPM. 29 Adapun yang dimaksud dengan pidana bersyarat adalah: hukuman yang dijatuhkan kepada terpidana tidak perlu dijalani, kecuali ada perintah lain dari hakim, disebabkan terpidana sebelum masa percobaan habis, melakukan perbuatan pidana atau telah melanggar syarat-syarat yang telah ditentukan dalam putusan. 30 Dalam Pasal 14 a ayat (4) KUHP ditentukan bahwa pidana bersyarat dapat dijatuhkan jika hakim berkeyakinan akan adanya pengawasan yang memadai mengenai pelaksanaannya. R. Soesilo mengatakan bahwa : Dalam pokoknya ialah orang dijatuhi hukuman, tetapi hukuman itu tidak usah dijalankan, kecuali jika kemudian ternyata bahwa terhukum sebelum habis tempo percobaan, berbuat peristiwa pidana atau melanggar perjanjian yang diadakan oleh hakim kepadanya, jadi penjatuhan keputusan tetap ada, hanya pelaksanaan hukuman itu tidak dilakukan 31. 26 Tim Pengajar Fakultas Hukum, Op-Cit, hlm. 55. 27 Ibid. 28 Ibid. 29 Moch Faisal Salam, 2006, Op-Cit, hlm. 90. 30 Tim Pengajar Fakultas Hukum, Op-Cit, hlm. 56. 31 R.Soesilo, Op-Cit, hlm. 40. 69

Maksud dari penjatuhan hukuman semcam ini ialah untuk memberikan kesempatan kepada terhukum supaya dalam tempo percobaan ini memperbaiki diri dengan tidak berbuat peristiwa pidana atau tidak melnggar perjanjian yang diberikn kepadanya dengan pengharapan jika berhasil, hukuman yang telah dijatuhkan kepadanya itu tidak akan dijalani buat selama-lamanya. Hukuman dengan bersyarat ini hanya dapat dijatuhkan dalam hal dijatuhkan hukuman penjara tidak lebih dari satu (1) tahun dan hukuman kurungan yang bukan kurungan pengganti denda. Tentang pelaksanaan pidana bersyarat, dalam Pasal 257 HAPMIL disebutkan bahwa, dalam hal pengadilan menjatuhkan pidana bersyarat, pelaksanaannya dilakukan dengan pengawasan serta pengamatan yang sungguhsungguh dan menurut ketentuan undangundang ini. 32 6. Pelaksanaan Pidana Tambahan Dalam Pasal 26 sampai dengan Pasal 31 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Militer disebutkan bahwa pidana tambahan yang dapat dijatuhkan kepada seorang anggota militer yang telah melakukan tindak pidana militer adalah: a. Pemecatan dari Dinas Militer; b. Penurunan pangkat; dan c. Pencabutan hak. Khusus tentang pencabutan hak, maka sesuai Pasal 35 ayat (1) KUHPM, maka hak yang dicabut adalah: a. hak memegang jabatan pada umumnya atau jabatan tertentu; b. hak memasuki Angkatan Bersenjata; c. hak memilih dan dipilih dalam pemilihan yang diadakan berdasarkan aturan-aturan umum. 33 PENUTUP A. Kesimpulan 1. Proses pemeriksaan terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana dalam perkara koneksitas pada prinsipnya sama dengan proses pemeriksaan pada perkara biasa namun terdapat 2 (dua) perbedaaan dalam hal aparat yang berwenang untuk melakukan 32 Rudi Pradisetia Sidirdja, Op-Cit, hlm. 35. 33 Tim Pengajar Fakultas Hukum, Op-Cit, hlm. 62. penyidikan dan cara bekerja dari tim yang melakukan penyidikan dan hal ini disebutkan dalam Pasal 198 UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer, dan Pasal 89 ayat (2) KUHAP bahwa aparat yang berwenang dalam melakukan penyidikan untuk perkara koneksitas terdiri dari suatu tim tetap, yang terdiri dari unsur penyidik Polri, Polisi Militer dan Oditur Militer atau Oditur Militer Tinggi, sedangkan cara bekerja tim tetap ini disesuaikan dengan kewenagan yang ada pada masingmasing unsur tim, yaitu tersangka pelaku sipil diperiksa oleh unsur penyidik Polri sedangkan tersangka pelaku anggota militer diperiksa oleh penyidik dari Polisi Militer dan Oditur Militer. Kemudian dalam pemeriksaan di sidang pengadilan maka susunan majelis hakim peradilan koneksitas sekurang-kurangnya terdiri dari 3 (tiga) orang. apabila diaperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan umum, maka Hakim ketua adalah dari Hakim peradilan Umum sedangkan hakim anggotanya 1 (satu) dari lingkungan peradilan umum dan 1 (satu) dari lingkungan peradilan militer, apabila diperiksa dan diadili dalam lingkungan peradilan militer, Hakim Ketua dari lingkungan peradilan militer dan hakim anggota diusulkan oleh Menteri Kehakiman (menteri Hukum dan HAM), dimana untuk hakim anggota dari lingkungan peradilan umum akan diberikan pangkat militer tituler. 2. Sebagai seorang anggota militer maka dia dianggap mampu untuk mempertanggung jawabkan tindak pidana yang dilakukannya secara bersama dengan orang sipil, maka penerapan pidana terhadap anggota militer yang melakukan tindak pidana dalam perkara koneksitas adalah sesuai dengan jenis kejahatan yang dilakukan yang diatur dalam Buku II KUHP dan pemidanaannya akan diterapkan sesuai jenis-jenis pidana yang diatur dalam Pasal 10 KUHP dan juga sesuai yang diatur dalam Pasal 6 KUHPM. B. Saran Bahwa pada dasarnya anggota militer itu selain sebagai anggota masyarakat biasa juga 70

merupakan warga negara yang mempunyai tugas khusus untuk mempertahankan keamanan negara. Oleh karena itu bagi anggota militer yang melakukan tindak pidana secara bersama-sama dengan orang sipil yang dikenal dengan perkara koneksitas haruslah lebih tegas lagi dalam penerapan hukumannya. Sekecil apapun pelanggaran yang dilakukan oleh seorang anggota militer perlu mendapatkan tindakan yang benar-benar tegas sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku, yang bagi anggota militer selain KUHP juga KUHPM dan Hukum Disiplin Militer. dalam KUHPM, Makalah, FH Universitas Pasundan, Bandung, 2011. Salam, Moch. Faisal, Peradilan Militer Indonesia, Mandar maju, Bandung, 1994...., Hukum Pidana Militer di Indonesia, Mandar Maju, Bandung, 2006. Soekamto, Soerjono dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003. Tim Pengajar Fakultas Hukum, Hukum Pidana Militer, Universitas Sam Ratulangi Manado. DAFTAR PUSTAKA Amiroedin, Syarief, Pertanggungjawaban Pidana Anggota Militer Dalam Perkara Pidana Kesusilaan, Jakarta, 1996. Anonimous, KUHAP dan KUHP, Sinar Grafika, Jakarta., 2013. Harahap, Yahya, Pembahasan dan Permasalahan dan Penerapan KUHAP; Pemriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, edisi Kedua, cetakan pertama, Sinar Grafika, jakarta, 2000. Kurniawan, Adi, Pembuktian Tindak Pidana Perzinahan Yang dilakukan Oleh Militer, Purwokerto, 2013. Maramis, Frans, Hukum Pidana Umum dan Tertulis di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta, 2013. Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1983. Prinst, Darwan, Peradilan Militer, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003. Poernomo, Bambang, Azas-Azas Hukum Pidana, Ghalia Indonesia, Jakarta, cetakan ke-3, 1978. Prodjodikoro, Wirjono, Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia, edisi ke-3, Refika Aditama, Bandung, 2003. Sianturi, S.R, Hukum Pidana Militer, Badan Pembinaan Tentara Nasional Indonesia, Jakarta, 2010...., Azas-Azas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Alumni AHM- PTHM, Jakrta, 1989. Soesilo. R, KUHP, Politea, Bogor, 1996. Sudirdja Rudi Pradisetia, Sanksi Pidana Bagi anggota Militer Yang Melakukan Tindak Pidana 71