Pancor. Sebuah desa terpencil di sebelah timur pulau Lombok menawarkan kisah nyata yang begitu memotivasi dalam mengarungi dahsyatnya gelombang kehidupan. Alkisah, terlihat seorang lelaki berdiri di dekat tangga sebuah mesjid tua. Muhammad Amien namanya. Badan kurus kerempeng dengan bayangan tulang dadanya terlihat dari balik kemeja jarang yang ia kenakan. Anak bungsu dari 13 bersaudara ini mengawali hidupnya pada tahun 1955 semenjak terlahir dari rahim Inaq Noermah, si ibu yang kini tidak lagi berusia muda. Dan Abdullah, sosok ayah yang entah bagaimana rupa ataupun sifat serta kharismanya sama sekali tidak diketahui Amien. Abdullah, sang ayah meninggalkan Noermah dan 13 orang anaknya sejak usia Amien si bungsu masih belia lantaran penyakit tua yang ia alami. Hari terus berganti, senja mengundang datangnya malam, angin tetap terbangkan dedaunan dan debu, namun Abdullah tidak akan pernah 1
kembali setelah dipanggilnya ke tanah bumi. Sebelum Abdullah meninggal dunia, anak-anaknya ada yang lebih dulu meninggakan bumi karena bermacam-macam penyebab. Sampai Abdullah menempuh hidup abadi, Inaq Noermah hidup bersama 3 orang anak yang tidak diharapkannya pergi terlalu dini. Ketiga anak-anaknya lebih bernasib baik. Muhasyim, anak tertua di antara yang tersisa. Kemudian Jaelani serta si bungsu Amien. Mereka hidup bersama dalam satu gubuk sederhana peninggalan mendiang Amaq. Noermah berprofesi sebagai pengumpul nasi basi sekaligus tiang penyangga bagi kehidupan tiga orang anaknya. Inaq Noermah. Semakin hari semakin tua. Bertambahnya usia tidak menghalanginya untuk tetap bekerja keras kala tenaga kian melemah. Ia terus berusaha mengumpulkan nasi basi yang di buang di tempat sampah oleh tetangga-tetangganya. Setelah merasa cukup, Inaq beranjak pulang dan segera menjemur nasi basi tadi untuk kemudian ditukar 2
dengan beras, singkong, atau apa saja yang dapat menahan lapar anak-anaknya. Inaq tidak lagi berteman dengan rasa malu, jijik, meski harus bergelut dengan tempat sampah setiap harinya. Walau sebatangkara, Inaq berikrar untuk memerdekakan anak-anaknya. Di hatiku, dalam fikiranku, dan dalam kenyataan hidupku, mereka adalah satu-satunya harta yang sangat berharga bagiku. Pada mereka akanku berikan apapun melebihi kemampuanku, karena mereka adalah anakku. Kata-kata itu sering terucap ketika Inaq dihampiri rasa putus asa. Kata-kata itu juga yang merubah perasaan putus asa menjadi sebuah usaha. Saat malam hampir pagi. Saat matahari masih bersembunyi. Dan saat tiga orang anak-anaknya masih tertidur. Inaq menangis dalam keadaan terjaga. Tidak ada lagi nasi kering untuk ditukarnya esok hari. Tidak ada lagi barang miliknya untuk dijual. Hingga harapan sepertinya menghilang. 3
Perlahan, ia hampiri ketiga anak-anaknya sembari menyelimuti mereka dengan seutas kain panjang peninggalan suami tercinta. Tidak lama berselang tangisan semakin tidak tertahankan. Inaq memeluk ketiga anak-anaknya dengan air mata yang terus membasahi pipi. Tiba-tiba suara petir mengejutkan Inaq yang menangis. Melalui jendela kayu lapuh ia menerawang ke langit. Ia belum melihat hujan. Namun petir telah menyambar harapannya. Tidak ada payung untuk melindungi. Tidak ada api untuk menghangatkan diri. Dan tidak ada jalan untuk mencari nasi basi. Satu-satunya perasaan yang terasa olehnya kala itu hanyalah tumpukan derita yang penuhi dada. Jendela perlahan ia tutup, lampu tempel mulai coba dinyalakan. Creek.. Creek! Suara korek kayu tanpa ada api. Ia mencoba lagi. Dan sumbu lampu tempel dengan minyak tanah yang kering hanya menghasilkan kegelapan semata. 4
Di sela kegelapan, sambaran petir adalah penerangan. Di dalam larutnya tangis Inaq. Di tengah pulasnya tidur Muhasyim dan Jaelani, terbangunlah si bungsu Amien. Diam-diam ia mengangkat badan dari lantai. Tanpa cahaya, mata seperti buta. Tanpa sebab, tidak akan ada akibat. Inaq Inaq Suara si bungsu Amien memanggil. Berkali-kali panggilan itu ia lontarkan, namun tetap tidak ada sahutan. Si bungsu Amien kembali memanggil. Dan kali ini terdengar suara dari tepi jendela lapuh dan berlubang. Inaq menyahut sembari menghusap air mata dan berusaha menetralisir suaranya. Dengan langkah pelan, si bungsu Amien mencoba mendekat. Tidak butuh waktu lama, si bungsu Amien kini tepat berada di pangkuan Inaq. Inaq kenapa belum tidur? - Kau sendiri kenapa terbangun? Wajahku tersiram air. - Inaq tidak pernah menyiram wajahmu, nak. 5